Selasa, 04 Oktober 2011


ADOPSI
(Suatu tinjauan etis teologis)

I. Pendahuluan
Secara umum setiap pernikahan atau keluarga menginginkan anak. Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Secara Alkitabiah  dalam sebuah keluarga, anak dipandang sebagai pemberian anugerah dan karunia Tuhan. Oleh karena itu, menyambut seorang anak adalah menyambut anugerah Tuhan  dengan sukacita dan ucapan syukur. Dalam pemahaman ini maka fungsi orangtua adalah memberikan kasih sayang yang utuh untuk mendidik, dan membimbing anak agar menjadi anak yang memiliki kepribadian yang kuat baik secara moral dan spiritual.
Fenomena sosial yang terjadi dari dahulu hingga saat ini adalah banyak keluarga setelah menikah tidak dikaruniakan anak setelah pernikahan berlangsung lama. Hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa faktor baik secara psikologis, biologis, geneologis, dan  faktor lainnya.  Sehubungan dengan itu maka adopsi merupakan alternatif untuk memiliki anak bagi keluarga yang mendambakan anak. Sebenarnya adopsi bukan hanya terjadi bagi keluarga yang tidak memiliki anak namun juga bagi keluarga yang sudah memiliki anak sekalipun.
  Adopsi telah menjadi fenomena yang tidak asing lagi dewasa ini. Tujuan dan motivasi melakukan adopsi juga beraneka ragam. Mengapa dan bagaimana  adopsi itu menurut iman kristen perlu untuk dikaji dan dipahami dari pendekatan etis. Oleh sebab itu dalam hal ini pembanding juga mencoba memberikan bahan masukan bagi topik penyaji tentang adopsi.
II. Tinjauan Alkitab tentang Anak dalam keluarga
Dalam Kitab Kejadian dicatat bahwa motivasi Allah dalam menciptakan lembaga pernikahan adalah: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja”. Tujuan pernikahan adalah untuk kehidupan bersama untuk saling melengkapi dan sama sekali tidak menyatakan bahwa pernikahan bertujuan untuk mempunyai anak. Dalam berita tentang kesediaan Tuhan  membela mereka yang berkedudukan rendah dan lemah, dikatakan bahwa Tuhan akan mendudukan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak penuh suka cita (Mzm.113:9). Ketika Tuhan Yesus menggambarkan penderitaan berat yang masih akan datang menimpa pengikutNya, Ia berkata: “Berbahagialah perempuan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang susunya tidak pernah menyusui” (Luk.23: 29). Dalam hal ini dapat dipahami bahwa mendapat anak adalah berkat, tetapi sebaliknya, tidak mendapat anak pun adalah berkat dari Tuhan.[1] Pernikahan memang bukan bertujuan untuk melahirkan dan mempunyai anak. Jika pernikahan tidak dikaruniai anak itu sama sekali bukan berarti bahwa pernikahan itu gagal. Baik pernikahan yang dikaruniai anak maupun yang tidak. Dihadapan Tuhan merupakan pernikahan yang diberkati.
Pada saat ini secara umum dan biasanya, suatu lembaga yang disebut keluarga adalah perkumpulan antara orangtua dan anak atau dua pasangan yang membentuk rumah tangga secara sah. Pernikahan/keluarga merupakan salah satu lembaga sosial atau masyarakat yang tertua dan sebagai media atau sarana tempat berkumpulnya beberapa orang yang mengikat persatuan satu sama lainnya.[2] Keluarga mengambil tempat dalam sosialisasi anak, karena anggota keluarga, orangtua dan saudara kandung merupakan kontak sosial pertama bahkan mungkin satu-satunya kontak sosial bagi anak sebelum membaur dengan masyarakat nantinya.[3]
Arti keluarga dalam pengertian Kekristenan adalah sebagai anugerah Tuhan dan media bersekutu dan berkumpul beberapa orang yang memiliki cita-cita dan latar belakang yang sama dan mengikat.[4] Anak dalam pengertian umumnya adalah salah satu anggota dari suatu keluarga yang terikat secara sah. Anak juga menjadi generasi atau keturunan selanjutnya yang akan meneruskan kelangsungan berdirinya keluarga di tengah-tengah masyarakat. Anak sebagai anugerah Allah perlu dididik dan dibimbing oleh orangtuanya demi masa depannya.[5]
Di dalam PL, anak disebut dengan  ben (anak lelaki) dan bat (anak perempuan) mempunyai kata-kata serumpunnya dalam kebanyakan bahasa Semit. Pemakaiannya dalam PL begitu berulang-ulang sehingga tidak teratur dalam perubahan bentuk tata bahasa (pertanda sering dipakai). Keinginan suami-istri yang paling besar adalah mempunyai banyak anak (Mzm. 127:3-5), khususnya lelaki. Istilah dalam PL untuk anak-anak dari orangtua yang sama disebut ‘akh (kakak-adik lelaki) dan ‘akhot (kakak-adik perempuan).[6]
Sedangkan di dalam PB, anak disebut dengan teknon (tikto : melahirkan, memperanakkan). Kata ini menunjukkan pengertian anak hanya dalam arti biologis. Anak berada dalam hubungan akrab dengan orangtuanya, yang seharusnya menunjukkan kepadanya kemesraan tetapi berhak menuntut ketaatannya. Kata ini juga searti dengan keturunan. Anak disebut juga keanggotaan dalam suatu kelompok ataupun adanya suatu ciri khas yang sama.[7] Dengan kata lain, anak di dalam PL dan PB, juga termasuk dalam penciptaan manusia pada hari keenam.
Dari pengertian tentang anak di atas dan makna kehadiran anak di tengah keluarga sangat sentral dalam arti memiliki anak menjadi dambaan setiap keluarga yang menikah. Dengan adanya anak maka kasih sayang orangtua (suami dan istri) akan semakin nyata bagaimana mereka melaksanakan fungsinya sebagai orangtua, baik sebagai pendidik, pemimpin, sahabat dan sebagai imam di tengah keluarga. Dalam artian inilah barangkali menjadi latar belakang bagi keluarga yang tidak memiliki anak termotivasi untuk melakukan adopsi agar kasih sayang mereka dapat tersalur secara langsung  dan nyata di tengah keluarga.
III. Pengertian Adopsi
3.1 Etimologi
Secara etimologi, adopsi berasal dari  kata Adoptie (bahasa Belanda) dan Adopt, Adoption (bahasa Inggris), yang artinya pengangkatan anak. Dalam bahasa Aram disebut “tabani” yang artinya menjadikan sebagai anak. Sedangkan Mahmud Yunus mengartikan “tabani” dengan mengambil anak.[8] Dalam bahasa Yunani, adopsi disebut Hoiostesia, yang terdiri dari 2 kata: huios, artinya “anak” dan titemi, artinya “menjadikan” (Roma 8:15; 8:23; 9:4; Gal. 4:5; Ef. 1:5). Ayat-ayat ini berada pada perikop dengan konteks pembicaraan tentang orang beriman yang diangkat sebagai anak Allah, yang artinya pengangkatan anak atau pemungutan anak.[9] Dalam bahasa Arab disebut dengan Tabbani, artinya untuk mengambil anak angkat.[10]
Dalam Kamus Umum bahasa Indoneisia pengertian anak angkat adalah anak orang lain diambil dan diasuh sebagai anak sendiri[11]  Kemudian Hilman Kusuma[12] merumuskan anak angkat adalah orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adopsi setempat dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaaan rumah tangga. Penekanan utama adalah penerimaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung.
Pengertian secara terminologi memberikan defenisi pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu pengertian anak angkat adalah seorang yang bukan keturunan suami istri, namun ia diambil, dipeliharan dan diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri. Pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa alasan:[13]
a.            Adanya beberapa kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah yang mengatakan bahwa dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapatkan keturunan sendiri.
b.            Mempertahankan garis keturunan. Dalam suatu pekawinan dimana pasangan suami istri yang tidak mendapatkan keturunan sehingga mereka kwatir akan punahnya garis keturuna mereka, oleh sebab itu jalan untuk penyelamatan adalah mengangkat anak.
c.            Alasan ekonomis; dimana keluarga si anak tidak sanggup lagi memelihara dan mendidiknya, oleh sebab itu diberi kesempatan kepada keluarga lain untuk mendidiknya dan memeliharan anak itu dengan jalan mengadopsinya.
3.2.    Pertimbangan untuk melakukan  adopsi
Alasan yang sering dikemukakan orang yang mengadopsi anak adalah karena mereka  tidak mempunyai anak kandung. Dengan kehadiran anak adopsi, keluarga itu merasa lengkap: Bapak, Ibu, Anak. Sebenarnya jika dianalisa, kebutuhan untuk mengangkat anak dapat dilihat dalam dua faktor yakni:
a. Analisa Psykologis
Sebagaimana dambaan manusia secara umum, apabila seseorang menikah sangat menginginkan kehadiran anak dam keluarga. Secara psikologis keluarga yang tidak memiliki anak  membuat mereka merasa ada yang kurang dalam diri mereka merasa tidaklah sama seperti teman-teman lain yang memiliki keturunan. Hal ini menimbulkan kurangnya percaya diri dan adanya saling menyalahkan diantara mereka.
b. Analisa Budaya
Nampaknya secara umum setiap pernikahan selalu merindukan akan kelahiran anak di tengah keluarganya. Secara khusus dalam budaya Batak, menikah merupakan hal yang sangat penting. Tujuan dari pada pernikahan itu salah satunya adalah memperoleh keturunan agar garis marga keturunan silsilah tidak terputus. Terputusnya garis keturunan (silsilah) adalah merupakan hal yang sangat menyakitkan. Mengingat pentingnya lanjutan garis keturunan, tidak jarang ditemukan seorang laki-laki kawin lagi dengan perempuan lain untuk memperoleh harapan yang sangat didambakan yaitu keturunan atau anak. Oleh sebab itu perlu melakukan adopsi untuk menjaga keutuhan keluarga.
Mengenai motivasi yang menjadi pendorong bagi upaya adopsi itu juga sangat bervariasi: .[14]
1.        Empati dan simpati. Seorang perawan tua yang merasa terpaksa memungut seorang anak, karena anak tersebut membutuhkan seorang ibu-pengganti.
2.        Ingin menunjukkan fungsi sebagai ibu, jadi karena mandul maka dilakukanlah adopsi
3.        Solidaritas. Ingin berbagi kepada kepada orang yang membutuhkan apa yang dimiliki kepada seorang anak yang membutuhkan kehidupan dan kesejahteraan.
Secara garis besar tujuan adopsi dapat dikemukakan dalam dua hal yakni:[15]
a.        Tujuan Umum: Adopsi adalah bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dalam arti luas yakni berusaha untuk membantu anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang menuju ke arah kehidupan yang harmonis yaitu kehidupan yang meliputi keamanan, ketertiban bagi jasmani maupun rohani.
b.        Tujuan Khusus: Untuk membantu anak-anak terutama mereka yang terlantar, berada dalam kehidupan tidak mampu, agar memperoleh kehidupan yang layak dalam lingkungan keluarga tertentu sehingga si anak dapat menikmati kehidupan keluarga yang dapat memberikan kasih sayang, asuhan, perlindungan dan kesempatan esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental adan sosialnya
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa  tujuan adopsi tidak hanya berorientasi semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung, mempertahankan ikatan perkawinan, sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah kepada tanggungjawab sosial, moral, spiritual, material  untuk kesejahteraan anak.
3.3. Hukum yang mengatur tentang Adopsi
3.3.1.           Hukum adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. [16] Menurut Soerejo Wighjodipoerjo, pada umumnya setiap budaya di dalam hukum adatnya tentang cara pengangkatan anak adalah sebagai berikut:[17] Mengangkat anak dari luar keluarga, yaitu mengadopsi anak oleh orangtua angkat yang dari keluarga lain dan kemudian menjadi bagian dari keluarga yang mengadopsi.
1.        Mengangkat anak dari kalangan keluarga sendiri, yaitu mengadopsi anak dari salah satu keluarga yang masih ada hubungan kekeluargaan.
2.        Mengangkat anak dari keluarga dekat, yaitu mengadopsi anak keponakan atau anak dari abang/kakak kandung. Biasanya hal ini terjadi karena keluarga yang mengadopsi itu belum dikaruniai anak
Secara hukum adat,   adopsi dalam setiap daerah memiliki perbedaan, dalam hal ini akan dikemukakan dua sistim adopsi yang berbeda yakni dalam budaya Batak dan Minangkabau.
a.        Hukum adopsi dalam budaya Batak.
Secara khusus dalam Batak Toba, istilah adopsi disebut dengan “mangain” anak yang pengangkatannya haruslah dari keluarga dekat, harus keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki serta harus “dirajahon” dengan cara adat yang telah ditentukan. Namun pada masa sekarang syarat ini sudah tidak berlaku mutlak. Istilah adopsi di dalam Batak Simalungun,  disebut dengan “anduhon”. Hal ini sama halnya dengan masyarakat Toba, tetapi bagi Simalungun istilah pengangkatan anak disebut “tondok”, yang artinya memelihara, memungut anak yang berasal dari keluarga yang tidak diketahui siapa orangtuanya.[18]
b.        Hukum adopsi Minangkabau
Daerah Minang Kabau, adopsi dilakukan dengan cara mengangkat anak dari suatu keluarga yang bukan dari garis keturunan istri, kemudian anak tersebut dimasukkan menjadi suku dari si ibu yang mengadopsi anak. Pengangkatan anak di Minang Kabau dilakukan untuk mencegah punahnya suatu kerabat (garis keturunan), yaitu dengan cara mengadopsi anak perempuan.[19]
Dari penjelasan di atas maka ada dua motivasi dan latarbelakang yang berbeda dalam sistim adopsi dalam orang Batak dan Minangkabau. Dalam orang Batak adopsi itu lebih mengutamakan anak laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa dalam orang Batak menekankan sistim Patrinial. Dalam artian ini maka adopsi lebih menonjolkan regenerasi keturunan marga laki-laki (struktur sosial). Sedangkan Minangkabau lebih mengutamakan mengadopsi anak perempuan untuk melanjutkan keturunan mereka. Artinya tujuan adopsi dalam hal ini lebih menekankan pada fungsi biologis.
3.3.2.           Hukum negara
Dalam bukunya Djaja S. Meliala[20], mengemukakan beberapa syarat dalam mengadopsi anak perlu dipersiapkan dalam meminta penetapan ke pengadilan negeri yakni:
ü  Adanya akta kelahiran dari anak terebut.
ü  Adanya Akta perkawinan dan surat nikah dari orangtua kandung.
ü  Adanya Akta perkawinan dan surat nikah dari orangtua angkat.
ü  Surat keterangan perjanjian dari orangtua angkat.
ü  Surat keterangan perjanjian dengan penyerahan anak dari orangtua kandung kepada orangtua angkat yang disaksikan oleh dua saksi dari dua belah pihak dan diketahui oleh kepala desa.
Negara Indonesia memiliki hukum yang mengatur tentang adopsi, yaitu:[21]
Ø  Dalam pasal 5 staatsblad tahun 1917 no. 129, mengatur tentang siapa saja yang boleh mengadopsi  anak. Pasal 8-10, mengatur tentang tata cara pengangkatan anak. Pasal 11-14 menyangkut masalah akibat hukum pengangkatan anak. Pasal 14 menyatakan terjadinya pengangkatan, maka status anak yang bersangkutan berubah menjadi seorang anak yang sah. Pasal 15, mengatur tentang pembatalan sebuah adopsi. Pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan hanya oleh orang yang bersangkutan itu sendiri.
Ø  Hukum perundang-undangan di Indonesia sesudah kemerdekaan tentang adopsi, diatur dalam undang-undang negara RI No. 4 Tahun 1978. Pasal 12 ayat 3 menyatakan untuk kepentingan kesejahteraan anak, maka pengangkatan anak dilakukan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (PP).
Ø  Urusan adopsi di Indonesia diatur dalam undang-undang  No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 37 ayat 1 tentang pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan itu. Pasal 37 ayat 2 berbunyi: “Anak yang diasuh harus seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga itu dan pasal 39:3 menjelaskan bahwa calon orangtua angkat harus seagama dengan agama calon anak angkat.
Ø  Dua pasal lain mencakup pasal 42 ayat 2 yang berisikan bahwa setiap anak mendapat perlindungan beribadah menurut agamanya, pasal 42 ayat 3 berbunyi bahwa sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk mengikuti agama orangtuanya.
Dari uraian di atas, maka secara hukum negara tujuan adopsi meliputi:
1.        Adopsi yang dilakukan secara benar  adalah perbuatan yang sah dan dijamin oleh undang-undang
2.        Tujuan adopsi adalah untuk kepentingan kesejahteraan anak bukan hanya semata-mata pada mempertahankan keturunan.
3.        Adopsi juga memiliki dimensi keagamaan, artinya harus satu agama
IV. Tinjauan Etis teologis,
       4.1. Argumetasi etis teologis
Secara teologis, adopsi merupakan tindakan Allah terhadap orang-orang yang percaya dengan memberi mereka Roh Kudus, Roh dari adopsi (Gal. 4:5; Ef. 1:5).  Dalam hal ini dapat dipahamai bahwa Yesus adalah penjelmaan Allah dan setiap orang yang percaya kepada-Nya, baik laki-laki dan perempuan, ia telah diadopsi menjadi anak-anak Allah secara rohani (Gal. 3:26). Secara teologis, kasih karunia Allah merupakan dasar adopsi manusia menjadi anak-Nya[22]
 Ada beberapa argumentasi dan contoh secara  Alkitabiah untuk memberikan pemahaman tentang adopsi yaitu [23]
1.        Eksistensi Israel sebagai anak sulung, dimana Allah diposisikan sebagai Bapak dan Israel sebagai anak-Nya.[24] Israel disebut anak sulung, mengandung gagasan bahwa Israel dijadikan ahli waris milik Allah yang berhak menerima pembebasan, bukan perbudakan. Harta warisan itu adalah tanah Kanaan, yang dikemudian hari disebut milik Pusaka Allah (2 Sam. 14:16).[25] Dari pandangan ini, hendaknya segala praktek adopsi tidak mendiskriminasi anak angkat dalam hal hak dan kewajiban, termasuk harta warisan dari keluarga yang mengadopsi. Dengan demikian maka kasih itu akan tercurah melalui pengadopsi kepada yang diadopsi.
2.        Di dalam dan melalui Yesus, setiap orang percaya telah menjadi anak-anak Allah oleh karena kasih karunia. Menurut teologi Kristen, Allah mengangkat setiap orang percaya untuk menjadi anak-anak-Nya. Pengangkatan ini terjadi karena anugerah Allah. Dalam kekristenan, masalah adopsi merupakan pernyataan iman manusia kepada Tuhan. Tuhanlah yang melakukan adopsi kepada manusia, dengan menunjukkan kuasa-Nya dan kasih-Nya melalui penebusan Kristus di kayu salib. Dengan peristiwa tersebut, maka setiap orang yang percaya telah menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kemurahan dan kehendak-Nya (Ef. 1:5). Oleh sebab itu setiap orang percaya harus hidup dalam ketaatan yang bertanggungjawab kepada Allah.[26]
4.2. Secara Alkitabiah
      4.2.1. Perjanjian Lama
Di dalam Perjanjian Lama tidak ada hukum yang mengatur mengenai adopsi. namun ada nas dalam Perjanjian Lama yang menunjukkan melakukan tindakan adopsi anak, yaitu:[27]
v  Eliezer Orang Damsyik oleh Abrahamdan untuk anak Hagar, Bilha dan Zilpa yang mengambil bagian dalam warisan Abraham dan Yakub (Kej. 15:3;16:1-4; 30:1-13; bnd. 21:1-10).[28]
v  Putri Firaun mengambil Musa (Kel. 2:10).
v  Pengangkatan Genubat oleh Firaun Raja Mesir (1 Raj. 11:20).
Dalam kebiasaan orang Yahudi, seorang budak juga sering diadopsi. Orang yang mengadopsi harus mengeluarkan sejumlah uang tebusan dan budak itu harus tunduk serta mengabdi kepada tuannya yang baru. Dalam sejarah Israel, Allah membuat perjanjian dengan Israel, sekaligus membuat Israel menjadi umat-Nya (Hos. 11:1; Kel. 4:22; Mzm. 2:7). Sebutan “anak-Ku” kepada seorang raja misalnya Daud, bukan karena adanya perkawinan ilahi, tetapi karena jabatannya sebagai raja yang diurapi Tuhan. Dalam hal ini raja berstatus sebagai anak Tuhan dan Tuhan sebagai Bapanya (bnd. 2 Sam. 7:14; Mzm. 85:26).

4.2.2. Perjanjian Baru
Konsep adopsi dalam Perjanjian Baru, dipengaruhi oleh cara pengangkatan anak dalam tradisi  Romawi, yakni:[29]
v  Anak adopsi kehilangan hak dalam keluarga lama dan kemudian mendapat hak dalam keluarga yang baru (yang mengadopsi).
v  Menjadi ahli waris ayah barunya, sedangkan kelahiran anak kandung  tidak mempengaruhi status dan haknya dalam keluarga barunya.
v  Anak yang diadopsi menjadi keluarga yang baru dn utuh dalan keluarga yang mengadopsi.
v  Secara yuridis, keberadaan anak adopsi mutlak menjadi anak dari ayah barunya (bnd. Yes. 14:29).
Berdasarkan gambaran tersebut, bahwa dengan adopsi yang dilakukan Yesus kepada manusia, maka setiap orang yang percaya kepada-Nya turut dipindahkan kepada keluarga kerajaan Allah.
Paulus dalam Roma 8 menekankan hidup menurut Roh, yang berlawanan dengan hidup menurut daging. Hidup dalam daging berarti hidup dalam dosa dan maut, hidup dipimpin keinginan duniawi yang melawan Allah (ay.1-8). Sedangkan hidup menurut Roh berarti hidup dalam keselamatan dan kehidupan kekal, hidup yang dipimpin oleh Roh (ay.9-10). Orang yang hidup dalam Roh diangkat menjadi anak Allah, yang dapat menyebut Allah sebagai Abba, Bapa (ay. 15; Rom. 8:15; Gal. 4:6; Mrk. 14:36; Luk. 11:2; Mat. 6:9).[30]
        4.3. Tinjauan Dogmatis
Dalam gereja HKBP hukum yang mengatur adopsi anak dirumuskan di dalam RPP-HKBP (Hukum Siasat Gereja), yaitu dalam Sakramen Baptisan Kudus dapat dilakukan kepada anak yang diadopsi, setelah ada keputusan dari pengadilan negeri tentang anak yang diadopsi tersebut.[31] Dalam hal ini berarti tindakan adopsi menurut ajaran HKBP adalah dibenarkan dan sah apabila telah sah secara hukum negara. Dengan demikian secara etis anak yang diadopsi juga mendapat kasih sayang yang penuh dari orangtua yang mengangkatnya sebagaimana Allah telah mengangkat manusia menjadi anak-Nya dan tidak melecehkan manusia tersebut, demikian jugalah orang yang mengadopsi anak melakukan apa yang dikehendaki Allah.

V. Analisis dan Kesimpulan
Adopsi merupakan tindakan yang legal bila telah diproses, disepakati, diputuskan dalam koridor hukum yang berlaku, baik hukum secara adat maupun hukum dalam negara. Dalam hal inilah secara etis-dogmatis tindakan adopsi dibenarkan oleh gereja. Maka secara etis teologis keberadaan anak adopsi adalah sama harkat dan martabatnya sebagai anak yang memperoleh anugerah Allah, sebagaimana semua manusia menjadi anak Allah di dalam dan melalui penebusan Yesus Kristus.
Dengan demikian, segala bentuk eksploitasi anak haruslah ditentang, sebab dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama (Gal. 3:28), termasuk anak yang diadopsi dan orangtua yang mengadopsi. Mengadopsi anak bukanlah menjadikan anak itu sesuka hati sendiri, tetapi hendaklah anak tersebut  dikasihi, dihargai sebagaimana ia juga adalah manusia ciptaan Tuhan yang selalu dikasihi dan dipelihara oleh Tuhan. Dengan demikian, setiap anak yang dikasihi mempunyai hak asasinya sebagaimana layaknya manusia. Di samping itu, anak yang diadopsi juga wajib menaati dan menghormati orangtua yang mengadopsinya. Adopsi pada hakekatnya bukan hanya dipahami dalam dimensi sosiologis, artinya tujuan dan motivasi adopsi hanya untuk memperbaiki status sosial dalam keluarga/rumah tangga di tengah masyarakat. Secara etis tindakan melakukan adopsi hendaknya dibarengi dengan motivasi yang sehat, dimana orangtua yang melakukan adopsi memiliki tanggungjawab moral, material, dan secara khusus spiritual terhadap anak yang diadopsi. Dalam hal ini dipahami keberadaan anak adopsi menjadi bagian integral dari keluarga yang mengadopsi secara absah dan total.
                Barangkali tidak dapat dipungkiri secara “emosional” ada perbedaan kedekatan orangtua terhadap anak kandung dengan anak yang diadopsi. Dalam hal inilah perlu sikap yang bijaksana dari orangtua. Kasih sayang orangtua terhadap anak yang diadopsi merupakan dasar utama untuk membentuk kepribadian anak agar menjadi insan yang memiliki integritas/kepribadian yang utuh dalam hidupnya.  Jika kelak ia mengetahui latar belakang kehidupannya yang sebenarnya maka ia tidak akan merasa minder terhadap temannya karena ia merasakan kasih sayang dan perhatian dari orangtua angkatnya. Jika memang perlu dan bila harus anak adopsi ingin mengetahui tentang latarbelakang dirinya, maka dalam hal ini Orangtua perlu menjelaskan secara terbuka masalah yang sebenarnya kepada anak. Namun demikian haruslah diperhatikan, yaitu apakah si anak tersebut sudah cukup mampu untuk menerima penjelasan tersebut atau tidak.[32]











[1] Andar Ismail, “ Selamat Hidup Rukun, BPK Gunung Mulia, Jakarta  1997:  hlm 100
[2] William H. Nault, The World Book Encyclopedia Vol. 7,  FHBA, USA 1968: hlm. 19.
[3] Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta  2002: hlm. 43
[4] William H.  Nault. Op. Cit., hlm.  23.
[5] E.G. Homrighausen dan I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2005: hlm. 126.
[6]J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta 2004: hlm. 537.
[7] Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1993: hlm. 117-118.
[8] Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 1995: hlm. 4
[9] Barclay M. Newman Jr, Kamus Yunani-Indonesia, BPK Gunung Mulia , Jakarta 1991: hlm. 176
[10] John Macquarrie, Dictionary of Christians Ethics, SCM Press, London 1967: hlm. 110
[11] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1984: hlm. 38
[12] Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan AdatSinar Grafika , Jakarta 2004: hlm. 149
[13] Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung1982: hlm. 4
[14] Kartini Kartono, Psikologi Wanita (Jilid 2), Mandar Maju,  Bandung 1992: hlm. 304
[15] http//www. rachmamiamrinal, Pematang Siantar, 25 September 2009
[16] http://www.legalitas.org/?q=content/adopsi-anak-tata-cara-dan-akibat-hukumnya
[17] Soerojo W, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, tp, Jakarta 1987: hlm. 118-119
[18] Bastian T,  Pengangkatan Anak Menurut Adat, CV. Rajawali, Jakarta 1983: hlm. 105
[19] Mudaris Zaini, Op. Cit, hlm. 9
[20] Djaja S. Meliala, Op. Cit, hlm. 5
[21] Ibid., hlm. 31-32, 114-118
[22] J. D. Douglas, (Peny) Op. Cit, hlm. 11
[23] Henk ten Napel, Kamus Teologi, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1990: hlm. 3
[24] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992: hlm. 281-282
[25] Ibid., hlm. 282
[26] Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 283
[27] George A. Buttrick, Interpreter’s Dictionary of the Bible, New York: tp, 1973: hlm. 48
[28] M. J. Selman, “Adoption”, dalam I. Howard Marshall, dkk (ed.), New Bible Dictionary, Leicester: Inter Varsity Press, 1996:  hlm. 16
[29] Donald G, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995:  hlm. 150-151
[30] John E. Alshup, “Adoption”, dalam Paul J. Achtemeier (ed.), Harper’s Bible Dictionary, Harper San Francisco, USA 1985:  hlm. 13
[31] HKBP, Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon, Percetakan HKBP, Pematangsiantar 1987: hlm. 23
[32] B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional Indonesia, PT Cipta Andi Pustaka, Jakarta 1988:  hlm. 347