Selasa, 09 Oktober 2012

Markus 10:2-16


BAHAN SERMON KHOTBAH EPISTEL
MARKUS 10:2-16

KEKUDUSAN PERNIKAHAN
Pengantar[1]
Pernikahan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang dipilih secara bebas dan sadar. Dalam perjanjian itu laki-laki dan perempuan memulai persekutuan hidup dan kasih yang intim yang dikehendaki Allah. Lembaga perkawinan merupakan tuntutan dari inti perjanjian cinta kasih keduanya. Perkawinan merupakan hubungan ikatan janji baik secara horizontal maupun secara vertikal, yaitu hubungan perjanjian antara sesama manusia (pria dan wanita) dan antara manusia dengan Tuhan Allah.
Perkawinan (pernikahan) adalah peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan dan merupakan persekutuan hidup yang tidak bisa dilakukan sebagai uji coba (eksperimen), karena pernikahan itu merupakan penyerahan tubuh dan jiwa kepada pasangannya, sehingga keduanya tidak dapat membatalkan penyerahan itu dan tidak dapat mengundurkan diri dari hubungan itu, hal ini merupakan syarat mutlak bahwa perkawinan adalah perkara yang teguh yang didasarkan dari ungkapan Yesus Kristus. Ápa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mark. 10: 9). Ajaran kristen juga menolak adanya pernikahan (perkawinan) antara dua orang yang berjenis kelamin sama (homo seks dan lesbian). Sebab dalam Alkitab telah dengan jelas disebutkan bahwa perkawinan hanya terjadi bagi satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, (bnd. Kej 2: 22-23). Dalam teks ini Yesus memberikan sikap etis dan teologis tentang perceraian.

Penjelasan Teks
Ay: 10:2.  Jawaban teologis: Pertanyaan yang diajukan orang-orang Farisi berkaitan dengan salah satu pokok perdebatan saat itu. Para ahli Taurat yang mengikuti pandangan Hillel beranggapan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya untuk hampir semua alasan. Para penganut Shammai, dalam pada itu, bersikukuh bahwa perceraian hanya diperbolehkan apabila terjadi perzinahan. Kata mencobai (peirazo;kata kerja) dalam Istilah Yunani dapat juga diartikan sebagai "menguji." Tujuan sebenarnya orang Farisi mengajukan pertanyaan kepada Yesus adalah untuk menguji Dia, artinya ada upaya atau motivasi yang terselebung untuk menjatuhkan Yesus lewat pertanyaan yang problematis dan dilematis
Ay 4. Lalu Yesus menjawab perihal pertanyaan Farise tentang perceraian dengan sikap Musa tentang masalah Memberi izin. Peraturan yang ditetapkan Musa ini terdapat dalam Ul 24:1*. Perlu diperhatikan bahwa orang-orang Farisi itu tidak menyebutkan syarat yang diberikan Musa dalam mengizinkan perceraian.
Ay 5. Yesus kembali menegaskan bahwa; pada dasarnya izin tentang perceraikan bukan berati menyetujui adanya perceraian melainkan“Karena ketegaran hatimulah. Peraturan yang ditetapkan Musa itu sesungguhnya bukan perintah, tetapi sebuah kelonggaran yang disebabkan oleh kondisi rohani manusia yang sangat tidak memuaskan. Ketetapan tersebut merupakan usaha untuk mengatur dan mengendalikan perceraian bukan mendorong perceraian. Jika demikian apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya….(Markus 10:2-12; Matius 19:7, bnd. Ul. 24:1-5).. Yesus menjawab pertanyaan ini dengan “karena ketegaran hatimulah, Musa mengijinkan kamu menceraikan istrimu”, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Jadi apa yang menurut mereka adalah perintah itu dinyatakan Yesus sebagai yang diijinkan, dan itupun terpaksa. Karena kekerasan hati manusia dan bukan karena kehendak Allah yang mutlak, itulah dosa dan itu berada di bawah peradilan Allah
Ay 6-8:Pernyataan yang dimulai dengan Allah menjadikan mereka  (Mrk 10:6) dan diakhiri dengan sehingga keduanya itu menjadi satu daging (Mrk 10:8) dikutip langsung kata demi kata dari Kej 1:27; 2:24. Keadaan yang ada pada awal dunia merupakan petunjuk tentang cita-cita Allah. Allah memaksudkan pernikahan sebagai suatu persatuan seumur hidup di dalam segala hal.
Ay 11. Laki-laki, di dalam kasus ini hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu, bukan karena bercerai tetapi karena menikah lagi. Sekalipun dia telah melakukan seluruh prosedur perceraian, di hadapan Allah dia masih terikat kepada istrinya yang pertama. Perkecualian berupa perzinaan ditambahkan oleh Matius dalam Mat 19:9.
Ay 13. Rangkaian peristiwa yang tercatat dalam ayat ini mungkin terjadi di dalam rumah (bdg. Mrk 10:10). Orang Membawa anak-anak. Mereka “terus membawa” (teks Yunani) anak-anak. Sikap para murid tampaknya dilandasi pemahaman bahwa waktu Tuhan terlalu berharga untuk dibuang-buang bagi anak-anak.
Ay 14. Kecerdasan emosional: Injil Markus unik di dalam melukiskan emosi-emosi Kristus. Sikap Yesus kepada muridnya “biarkan anak-anak itu“. Dipergunakan dengan arti "izinkan." Larangan Yesus secara harfiah berarti, “Berhentilah melarang mereka“. Alasan yang dikemukakan Yesus untuk bertindak demikian ialah bahwa kerajaan Allah dimiliki oleh orang-orang semacam itu. Jelas bahwa yang dipikirkan oleh-Nya adalah kerajaan rohani saat ini.
Ay 16. Ia memberkati mereka merupakan kata kerja majemuk yang melukiskan semangat Kristus yang muncul dari dalam hati-Nya ketika mengucapkan kata-kata berkat ini (bdg Kej 14:19,20; 27:26-29; 48:15-20).

Refleksi:
1.      Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru terdapat larangan berzinah dan larangan bercerai. Perceraian adalah dosa yang melawan hukum Tuhan dan merupakan bentuk pengingkaran atas kasih-Nya. Sebab kasih Allah pada anak-anaknya haruslah menjadi pola kesatuan dalam perkawinan. Perceraian juga pelanggaran perjanjian suatu tindakan penghianatan. Dengan demikian tidak ada satu halpun jadi alasan perceraian. Artinya perceraian itu salah dan tidak dikehendaki oleh Tuhan,sifatnya mutlak(= unconditional)
2.      Paulus menggambarkan hubungan dalam perkawinan itu sebagaimana hubungan antara Kristus dengan jemaat (Efesus 5: 22), sehingga tujuan perkawinan adalah suci, sebagaimana kasih Kristus terhadap jemaatNya. Perkawinan merupakan suatu hubungan rohani yang mulia dan tertinggi, dimana perkawinan itu mengangkat kehidupan seseorang yang membujang kepada kehidupan bersama orang lain, yaitu suatu hubungan yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Dengan demikian tujuan pernikahan kristen tidak hanya sebatas mendapatkan kebahagiaan, tetapi pernikahan juga lebih dari itu, bahwa melalui pernikahan setiap keluarga mempunyai panggilan sesuai dengan maksud-maksud Allah
3.      Akhir-akhir ini banyak rumah tangga kristen yang tidak harmonis dan ironisnya sampai pada perceraian. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perceraian: masalah ekonomi, kehidupan sosial, dari keluarga, perselingkuhan (WIL(wanita idaman lain & PIL(pria idaman lain), tidak memiliki keturunan,dll. Melihat masalah yang terjadi pada saat ini, bagaimana peranan gereja memperlengkapi jemaatnya tentang arti dan hakikat pernikahan? Sebab pernikahan merupakan wujud dan bukti penyerahan diri kepada sesama dan Tuhan secara totalitas, kontiniu, yang membutuhkan komitmen,konsekwensi dan konsistensi.


[1] Pdt.Remanto Tumanggor,M.Div, melayani di HKBP pardomuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar