Rabu, 27 Juni 2012

AKHIR ZAMAN-ESKATON


BAB I

1. 1. Latar belakang masalah dan alasan memilih judul
Akhir zaman (eskaton) merupakan salah satu pokok penting dalam teologi sistematika. Dalam urgenitasnya topik “akhir zaman” sering menjadi perdebatan di tengah-tengah kehidupan jemaat Kristen, dan perbedaan paradigma akhirnya menimbulkan masalah dalam sikap. Secara etika, implikasi terhadap makna pengharapan iman akan akhir zaman merupakan sesuatu kebutuhan yang sangat bernilai dalam kehidupan manusia, khususnya umat Kristen. Dalam hal inilah ajaran agama memiliki korelasi dengan sikap dan tindakan manusia, dengan demikian nilai spritualitas[1] orang Kristen pada hakikatnya dibangun berdasarkan konsep dan pemahaman ajaran keagamaannya. Tidak dapat dipungkiri rumusan sebuah kebenaran iman yang menjadi doktrin dalam kekristenan nampaknya selalu ada perbedaan dan bahkan  ada pertentangan satu dengan yang lain. Maka indikasi dari perbedaan itu melahirkan implikasi sikap yang berbeda pula dalam komunitas orang Kristen. Akan tetapi, sikap etis umat Kristen merupakan konsekwensi dari pertanggung jawaban imannya dari apa yang ia terima dan ia pahami.
Dalam komunitas orang Kristen, khususnya kaum awam pemahaman mereka akan sebuah kebenaran ajaran agama dan pengharapan imanya tentunya dibangun berdasarkan apa yang mereka terima, baik secara lisan dan tulisan. Oleh sebab itu bagaimanakah sikap orang Kristen menghadapi akhir zaman? Banyak para ahli teologi memberi perhatian untuk membahas topik akhir zaman. Namun pendekatan yang berbeda untuk memahami iman Kristen tentang akhir zaman  pada akhirnya menimbulkan berbagai pandangan muncul di kalangan para teolog.  
Pada dasarnya manusia memang tidak mengetahui kapan datangnya akhir zaman. Bahkan masa depan hidup manusiapun, secara pasti tidak dapat dibuktikan secara faktual. Dengan demikian setiap pengetahuan dan masalah yang muncul tentang keberadaan manusia di masa depan, dalam arti tertentu akan menyita perhatian manusia. Tidak dapat dipungkiri di tengah-tengah kehidupan umat Kristen pengharapan akan akhir zaman menjadi pusat perhatian dewasa ini.
Dalam tulisan ini berbicara pengharapan iman Kristen, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa fokus utamanya adalah menyoroti tentang akhir zaman (eskatologi). Dalam teologi sistematika: secara dogmatis, kajian terhadap eskatologi pada hakikatnya menggumuli masalah bagaimana makna Firman Tuhan dalam konteks masa kini, dan secara etis melihat bagaimana implikasinya dalam kehidupan orang percaya. [2] Oleh sebab itu secara sistematis perlu  merumuskan pokok-pokok ajaran iman Kristen dan etisnya bagaimana hal tersebut menjadi pedoman serta sikap dalam perilaku orang Kristen.
Sikap etis sangat dibutuhkan, untuk menyikapi diskusi tentang akhir zaman yang selalu merupakan bahan spekulasi yang ramai dibicarakan oleh kalangan akademisi, teolog, serta orang percaya. Ironisnya banyak orang terjebak dan mengatakan, “Akhir zaman akan terjadi disini atau disana, pada hari, jam, menit, dan detik ini dan itu”. Asumsi atau interpretasi seperti ini secara iman kristiani perlu dihindarkan, dan bahkan dapat dikatakan sangat keliru sebab waktu akhir zaman, kedatangan Tuhan tidak dapat ditentukan oleh manusia (bnd. 1 Tes 5:1-2).
Meskipun demikian ternyata tidak dapat dihempang munculnya penekanan tertentu dalam ajaran kekristenan. Klaim tentang akhir zaman menjadi fenomena sosial yang terjadi dewasa ini, di mana adanya keyakinan-keyakinan tentang akhir zaman dikalangan Kristen Protestan sangat berbeda-beda, khususnya aliran Kharismatik. Adanya kepercayaan orang-orang Kristen yang memahami bahwa pada akhir zaman nanti akan terjadi suatu peristiwa secara adikodrati, dimana orang-orang percaya akan dikumpulkan ke surga oleh Yesus dalam suatu peristiwa yang disebut pengangkatan. Artinya tanda-tanda akhir zaman akan didahului suatu peristiwa-peristiwa besar. Pemahaman ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran Alkitab, dasar yang sering dipergunakan adalah Matius 24-25; Markus 13 dan Lukas 21, serta Kitab Wahyu.[3] Selain itu, fenomena sosial  yang perlu dicermati adalah masalah Gereja kharismatik yang sangat menekankan ajaran akhir zaman, kedatangan Yesus keduakalinya. Iman dan pengharapan jemaat diarahkan kepada suatu penantian bahwa waktu akhir zaman sudah dekat.[4]
Misalnya pada awal abad ke 19 dikalangan kaum Injili (yakni yang bersemangat dalam kebangunan rohani) terdapat penekanan yang kuat atas penelahaan bagian-bagian khusus Alkitab yang berbicara mengenai Advent Kedua (parousia), yakni kedatangan Tuhan Yesus kedua kali, dan eskaton (akhir zaman).  Banyak dari antara mereka yang ambil bagian dalam penelahaan ini menjadi yakin bahwa kedatangan kembali Kristus dan Hari Penghakiman akan segera tiba, dan millenium pun akan mulai.[5] Salah satu aliran gereja yang sangat menekankan tentang akhir zaman (eskaton) adalah aliran gereja Adventis. Namun penulis tidak akan memperdalam kajian historis dan dogmatis aliran gereja Adventis, namun hanya menjadi bahan untuk mengkaji topik “akhir zaman” dari sudut etika dan bagaimana sikap etis kristiani.
Masalah-masalah selanjutnya yang timbul dan perlu  disikapi secara etis adalah munculnya gerakan-gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan ini pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang mengharapkan bahwa kedatangan Kristus yang kedua kalinya, akan terjadi dalam bentuk suatu peristiwa bencana hebat, yang umumnya disebut adventisme, telah muncul sepanjang era kekristenan; khususnya pada masa Reformasi Protestan dan sesudahnya. Emanuel Swedenborg menganggap kedatangan Kristus yang kedua kali secara simbolik, sudah terjadi pada tahun  1757. Pada abad ke 19 melalui sejumlah gerakan dan paham millenium (kerajaan seribu tahun), eskatologi, parousia, dan apokaliptik (mengenai penglihatan khusus yang bersifat supra alamiah), tokoh Adventis William Miller dan para pengikutnya menetapkan waktu kedatangan kembali Kristus dengan perhitungan-perhitungan kalender yang didasarkan pada tulisan-tulisan apokaliptik di Alkitab. William Miller pada waktu itu menyimpulkan kedatangan Kristus pada tahun 1843 atau selambat-lambat 1844. Ada juga yang memprediksi kedatangan Yesus dengan melihat bencana moral, gejala alam, peperangan dan dengan demikian mereka percaya bahwa penghakiman Allah terhadap dunia yang dilanda konflik dan korup ini sudah makin dekat.[6]
Dalam memberikan pemahan akhir zaman yang benar maka dibutuhkan pengajaran yang benar oleh gereja. Hal ini untuk menjawab sehubungan dengan isu tentang “akhir zaman” dewasa ini yang membuat interpretasi tentang datangnya akhir zaman yang menimbulkan munculnya ajaran-ajaran fundamental yang bersikap eksklusif dan mengklaim suatu hipotesa kronologi tentang akhir zaman.
Wacana tentang akhir zaman telah banyak menghebohkan kehidupan umat manusia, khususnya dalam kalangan orang Kristen. Salah satu  wacana yang muncul lebih dari dasawarsa yang lalu adalah interpretasi spekulatif yang mengatakan bahwa pada tangggal 28 Oktober 1992, tepatnya jam 01.00 dini hari diyakini oleh sebagian orang bahwa Yesus akan datang, dan dunia akan berakhir (kiamat). Berita tentang hari kiamat tersebut sempat membuat sebagian orang Kristen menjadi resah, bingung, gelisah dan bertanya-tanya: “Apakah betul dunia ini akan kiamat pada tanggal 28 Oktober ?”[7] Wacana dan fenomena sosial tersebut nampaknya menjadi salah satu masalah yang perlu disikapi dalam kajian etis. Jika persoalan tentang akhir zaman tidak disikapi secara etis dikawatirkan lambat laun akan melahirkan dan menyuburkan berkembangnya sikap eksklusif dan fundamentalis dalam kalangan orang Kristen dan tentunya akan memberikan dampak dalam relasi sosial umat manusia.
Dalam kekristenan (gereja) penganut paham fundamentalisme adalah orang-orang yang memahami Alkitab secara harfiah. Dalam hal ini James Barr mencirikan fundamentalisme sebagai berikut[8]: Pertama, penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun; kedua, kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat studi kritik modern terhadap Alkitab; ketiga, jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan mereka adalah sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati’.
Penganut paham fundamentalisme jarang mau terlibat dalam diskusi-diskusi teologi ilmiah, dan mereka melihat bahwa Alkitab adalah sumber penghiburan, petunjuk hidup dalam krisis menghadapi kemelut. Jika Luther menganjurkan kembali kepada Alkitab atau hanya Alkitab, maka kaum fundamentalis menganjurkan kembali kepada huruf-huruf Alkitab.[9]
Dalam konteks keberbagaian pandangan dan perbedaan ajaran tentang akhir zaman tersebut, nampaknya topik tentang akhir zaman menjadi kajian yang menarik untuk dibahas dari sudut etika Kristen. Kajian etika dalam hal ini bukan sebuah konfrontasi dan spekulasi untuk merelatifkan apa doktrin kebenaran yang diimani oleh komunitas umat percaya antara satu dengan yang lain. Namun sebagai kritisi etis, sebab secara etika, totalitas hidup orang percaya harus dapat dipertanggung  jawabkan secara etika kristiani.
Kajian etis dalam menghadapi akhir zaman perlu dirumuskan atau dijelaskan dalam menyikapi munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang memberikan interpretasi secara harfiah tentang kedatangan Kristus yang keduakali dengan melihat fenomena sosial, fenomena alam (gempa bumi, bencana alam, bancir, dan kelaparan) menjadi gambaran bahwa hari Tuhan telah dekat.[10]
Perlu dikaji bagaimana sikap etis orang Kristen terhadap akhir zaman, sebab refleksi dan implikasi iman mereka menjadi hal yang urgen untuk melihat dan mengetahui apa makna dari penantian akan akhir zaman dalam totalitas orang Kristen dan bagaimana orang Kristen mengambil sikap terhadap hal tersebut dalam kehidupannya. Sikap etis Kristis sangat penting untuk menyikapi ajaran-ajaran tentang akhir zaman yang berkembang dalam kehidupan umat Kristen dewasa ini.
Sehubungan dengan latar belakang yang dipaparkan di atas maka penulis tertarik untuk membahas topik: Sikap Etis Kristiani menghadapi Akhir Zaman (Tinjauan Etika  Kristen dalam menghadapi Akhir Zaman/eskatologi)

1.2.               Rumusan masalah
Setelah membahas latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk membuat rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.        Apakah  arti dan makna Akhir zaman bagi jemaat Kristen (eskaton)?
2.        Bagaimana fenomena dan paradigma akhir zaman dalam kekristenan?
3.        Bagaimana implikasi sikap etis kristiani  menghadapi akhir zaman?

1.3. Tujuan tulisan
Adapun yang menjadi  tujuan penulisan ini adalah:
1.        Mengetaui dan memahami arti dan makna Akhir zaman (eskaton)?
2.        Mengetahui dan memahami fenomena dan paradigma akhir zaman dalam kekristenan?
3.        Mengetahui dan memahami sikap etis kristiani  menghadapi akhir zaman?
1.4. Manfaat Penulisan
a.        Manfaat teoritis: Untuk menambah wawasan penulis  dan memahami berbagai paradigma pemahaman tentang akhir zaman. Kemudian penulis mengharapkan, melalui tulisan ini  para pembaca dapat memperoleh informasi dan pemahaman yang tidak sempit tentang eskatologi (khususnya tentang akhir zaman).
b.        Manfaat etis;  Penulis juga mengharapkan kepada gereja (sebagai individu) dapat mengambil sikap etis sebagai orang percaya dalam mengimplementasikan sifat-sifat Kristiani

1.5.                Batasan Penulisan
Untuk mengarahkan kajian ini agar lebih terfokus dan tepat sasaran maka penulis membuat batasan penulisan, membahas bagaimana sikap etis kristiani dalam menghadapi akhir zaman bagi jemaat masa kini dengan mengkaji :
1.        Sifat dan hakikat akhir zaman dalam Alkitab (PL dan PB), menjadi dasar utama  pemahaman yang benar
2.         Pandangan para ahli menjadi rujukan dalam pemahaman yang benar tentang akhir zaman.
3.        Fenomena dan paradigma akhir zaman perlu disikapi, khususnya  paradigma  kedatangan Yesus kedua kali (kerajaan seribu tahun) dalam realitas jemaat Kristen
4.        Refleksi teologis etis, menjadi dasar implikasi sikap etis kristiani dalam menghadapi akhir zaman?
1.6.                Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan riset literatur, yaitu dengan membaca buku-buku yang membahas mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini, di samping menggunakan sumber-sumber lain seperti: artikel, majalah atau surat kabar dan internet.
1.7.               Sistematika dan Ruang Lingkup Tulisan
Dalam Bab I pendahuluan, penulis akan mendeskripsikan alasan dan tujuan penulisan. Oleh sebab itu alasan pemilihan judul ini dipaparkan dari masalah-masalah yang sedang terjadi dalam pemahaman tentang akhir zaman. Fenomena yang terjadi adalah terjadinya problematika seputar akhir zaman. Masalah-masalaah tersebut sebagai dasar alasan memilih tulisan ini. Kemudian untuk memfokuskan pembahasan ini maka akan dibuat perumussan masalah sebagai pembatasan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, pembatasan masalah ini bertujuan untuk mencapai tujuan penulisan sebagai gambaran apa yang hendak dicapai dalam tulisan ini, sedangkan manfaat tulisan sebagai acuan untuk menekankan bahwa tulisan ini berguna dalam kehidupan jemaat masa kini untuk menunjukkan sikap etis terhadap ajaran yang menyesatkan. Kemudian metode penulisan akan memfokuskan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dalam bab II akan dijelaskan apa dan bagaimana terminologi dan pemahaman tentang akhir zaman yang sebenarnya. Secara gamblang akan dibahas dasar teologisnya baik dalam PL dan PB, dan kemudian dipaparkan beberapa pendapat para ahli untuk melihat keanekaragaman dalam pandangan akhir zaman. Dari pembahasan bab ini akan memporoleh pemahaman yang benar apa arti sikap etis secara kristiani dan  arti dari akhir zaman. Pemahaman dalam bab ini akan menjadi acuan untuk melihat masalah-masalah yang dipaparkan dalam bab III.
Dalam bab III akan dipaparkan kesenjangan yang terjadi antara pemahaman yang benar tentang akhir zaman dengan fenomena yang terjadi. Dalam bab ini akan dipaparkan bagaimana fenomena sosial dan paradigma akhir zaman dalam kekristenan. Fenomena sosial yang menjadi masalah-masalah dalam jemaat Kristen menjadi indikator untuk menyikapi Akhir zaman secara etis.  Dalam bab ini dipaparkan sikap HKBP tentang akhir zaman. Kemudian akan dipaparkan bagaimana konsep akhir zaman menjadi dasar dalam etika.
Dalam bab IV merupakan refleksi teologis etis, sebagai upaya untuk mencari solusi atas pembahasan sebelumnya. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sikap etis kristiani dalam menghadapi akhir zaman.  Sikap etis jemaat Kristen dalam hal ini merujuk pada kebajikan yang disebut sebagai sifat-sifat baik orang Kristen. Sikap etis dalam pembahasan ini tentunya tidak membahas secara umum kebajikan orang Kristen, namun penulis akan membahas pokok penting yang berkaitan dengan akhir zaman menurut pemahaman penulis dan tentunya hal tersebut didukung oleh buku-buku etika yang ada.
Bab V merupakan kesimpulan dari setiap pembahasan tulisan ini. Kesimpulan ini berisikan paparan singkat dari inti pokok seluruh pembahasan tulisan skripsi ini. Kesimpulan ini akan dirumuskan berdasarkan tanggapan penulis terhadap paparan skripsi ini.



[1]Spiritualitas adalah kesadaran manusia akan adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang transenden (Tuhan). Spiritualitas mencakup idealisme, sikap, pola pikir, serta penghargaan kepada yang Ilahi (Tuhan). Spiritualitas mencakup cara seseorang mengaplikasikan hubungannya dengan yang Ilahi dalam kehidupan sehari-harinya.
[2]B.F.Drewes dan Julianus Majau, Apa itu Teologi? Pengantar ke dalam Ilmu Teologi, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 126-128
[3]tp. http://wapedia.mobi/id/Perjanjian Baru, Pematang Siantar, diakses pada tanggal 3 Mei 2010
[4] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar 2007: hlm.235
[5] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996: hlm. 295
[6] Lih. Jan S. Aritonang, Op.cit., hlm. 290.296
[7]Eka Darmaputera, Iman: Menjawab Pertanyaan, Mempertanyakan Jawaban, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 1
[8] James Barr, Fundamentalisme, diterjemahkan Stephen Suleman, BPK Gunung Mulia Jakarta, 1996: hlm. 1
[9] Viktor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, BPK Gunung Mulia Jakarta 1996:hlm. 88
[10]tp. http://wapedia.mobi/id/Perjanjian Baru, Pematang siantar, diakses pada tanaggal 3 Mei 2010

ABORSI
(Suatu Tinjauan  Etis-Teologis)
I. Pendahuluan
                Masalah aborsi memang pelik. Aspeknya bermacam-macam, legal, teologis, etis, sosial dan personal. Malasah aborsi juga bersifat emosional, sebab menyentuh dimensi seksualitas dan reproduksi, dan sering melibatkan dilema-dilema menyakitkan dan problematis.
Dewasa ini kasus tentang aborsi menjadi fenomena  sosial yang semakin marak terjadi. Pergaulan bebas di kalangan para remaja menimbulkan  kehamilan  di luar nikah, dan pada akhirnya  mencari solusi melalui aborsi dengan motif menghilangkan aib untuk menjaga status sosial, beban psikologis. Secara  moral sikap dan tindakan aborasi merupakan indikasi dari kejahatan  dan mengabaikan  kebajikan. Secara historis  masalah aborsi selalu menjadi kontroversi, ada pro dan kontra. Nampaknya tidak  mudah untuk  menghentikan praktek aborsi, dan bahkan ada kecenderungan yang lebih signifikan melakukan aborsi ketimbang tidak melakukan aborsi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar aborsi, apa, mengapa dan bagaimana itu aborsi adalah menarik untuk dikaji. Dalam  pembahasan ini penulis  akan  membahas  dan mengupas  tindakan  aborsi secara umum dan akhirnya bagaimana aborsi ditinjau dari perspektif  etis teologis. Oleh sebab itu untuk mempermudah  topik ini maka penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
I.                     Pendahuluan
II.                   Kajian Teoritis
            Defenisi
            Sejarah praktek aborsi
            Jenis-jenis aborsi
            Faktor-faktor  terjadinya praktek aborsi
            Tindakan aborsi dan konsekuensinya
III.                 Tinjauan Etis-Teologis
            Aborsi dalam sejarah dunia dan gereja
            Tanggapan pro dan kontra 
            Pro aborsi
            Aborsi yang dilakukan sekali-kali
            Kontra aborsi
            Tanggapan terhadap Aborsi
            Secara umum
            Tanggapan etis-teologis
            Aborsi dalam kaitannya dengan titah ke 6
            Aborsi dalam kaitannya dengan konsepsi
IV.                 Kesimpulan dan implikasi
V.                   Daftar pustaka

II. Kajian Teoritis
2.1. Defenisi
Secara etimologi aborsi/abortus (berasal dari kata Latin) artinya  “keguguran”. Pengguguran kandungan atau pengakhiran kehamilan atau membuang janin.  Dalam istilah kedokteran disebut pengakhiran kehamilan sebelum masa  gestasi (kehamilan) 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1000 gram. Sedangkan menurut istilah umum aborsi berarti penghentian kehamilan atau matinya janin sebelum waktu  kelahiran.[1] Dalam kamus bahasa Indonesia kata yang dipakai “menggugurkan” yang diartikan menjatuhkan, menyebabkan gugur dan dipakai juga kata “pengguguran” yang artinya melahirkan bayi sebelum waktunya.[2] Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin sejak konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.[3] Aborsi juga diartikan  sebagai salah satu cara untuk mengurangi dan mengatur frekwensi kelahiran dan jumlah penduduk.[4]
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahawa aborsi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau tidak disengaja dengan tujuan agar janin yang ada di dalam rahim si ibu dilahirkan dalam keadaan mati.
2.2. Sejarah praktek aborsi
Menurut catatan sejarah, metode aborsi yang tertua adalah melalui “pelebaran dan pengikisan”. Leher rahim diperlebar untuk memudahkan memasukkan “alat pengikis”. Dinding rahim dikikis hingga janin hancur terpotong-potong, atau melalui penyedotan terhadap janin sehingga janin disedot keluar setelah tercabik-cabik dalam potongan-potongan kecil. Metode kedua (yang dilakukan pada waktu antara 12 dan 16 minggun sesudah pembuahan, dengan menyuntikkan cairan yang mengandung racun melalui jarum yang panjang, janin yang kena racun  akan hangus, lalu mati dan kemudian didorong ke luar secara spontan. Aborsi juga dilakukan melalui pembedahan (semacam pembedahan caesar tapi bukan untuk menyelamatkana bayi, melainkan membunuhnya). Metode lain dengan menggunakan memberikan obat yang mengakibatkan kelahiran prematur. [5] Menurut buku Tiongkok tentang obat-obatan yang ditulis 4600 tahun yang lalu, bahwa air raksa sudah digunakan untuk melakukan aborsi[6] Kemudian perkembangan IPTEK pada abad 20, khususnya dalam dunia kedokteran menyangkut reproduksi manusia dan alat-alat cangkih dalam bidang medis turut memicu peningkatan aborsi[7]
Meningkatnya praktek aborsi dimungkinkan beberapa hal:[8]
a.                             Kurangnya pengenalan ajaran iman tentang Allah, kedaulatan Allah dan kesucian hidup. Dialah satu-satunya pemberi, pemelihara, pengambil hidup. Disatu pihak Dia-lah yang memberikan hidup dan napas kepada semua orang (Kis 17:25). Jadi mengambil hidup bagi orang Kristen adalah hak prerogatif Allah (bnd Ayb 1:21)
b.                             Dekadensi moral
c.                             Adanya peluang melalui rancangan Undang-undang aborsi dengan pertimbangan:pertama aborsi dapat dilakukan untuk menyelamatkan si ibu, kedua, kesehatan jasmani dan mental si anak yang sudah ada yang lebih besar jika kehamilan itu dihentikan, ketiga, resiko substansial, jika bayi dilahirkan akan menderita ketidaknormalan badani sehingga menjadi anak yang cacat.
d.                             Perkembangan ilmu pengetahuan modern secara khusus dalam dunia kedokteran, praktek aborsi menjadi ajang bisnis para dokter dan klinik-klinik tertentu
2.3.   Jenis-jenis aborsi
Secara umum aborsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:[9]
a.        Aborsi spontan, yaitu terjadinya aborsi dengan tidak sengaja
b.        Aborsi buatan (provocatus) yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja, hal ini meliputi dua tipe yaitu:
-          Aborsi therapeutic provocatus, yaitu aborsi buatan yang dilakukan atas alasan medis untuk  kepentingan  si ibu, baik  dilihat dari segi fisik, mental adan sosial.
-          Aborsi criminalis provocatus, yaitu  pengguguran dengan sengaja tanpa adanya alasan medis yang biasanya dilakukan secara  sembunyi oleh tenaga yang terdidik dan aborsi yang bersifat ilegal.
Secara klinis aborsi  dapat dibedakan atas:
a.        Aborsi immenence, yakni kondisi  kehamilan  masih dapat dipertahankan
b.        Aborsi incipient, yakni  kondisi  kehamilan  masih dapat dipertahankan dan pengobatan  hanya bertujuan untuk menjegah  pendarahan dan membersihkan  rongga rahim dari hasil konsepsi
c.        Aborsi incomplete, yakni sebahagian hasil konsepsi masih tertinggal di rahim, sehingga pengobatan bertujuan  menghentikan pendarahan dari sisa hasil konsepsi
d.        Aborsi complete, yakni seluruh hasil konsepsi dikeluarkan
e.        Aborsi habitual adalah aborsi spontan yang dialami tiga kali berturut-turut atau lebih
2.4.Faktor-faktor  terjadinya praktek aborsi
Sedikitnya ada tiga indikasi  penting yang menyebabkan tindakan aborsi, yakni:
a.        Pergaulan bebas kaum remaja yang mengakibatkan  kehamilan di luar nikah
b.        Kegagalan kontrasepsi, sehingga saat berhubungan intim dapat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan
c.        Faktor ekonomis dan psikologis, yaitu ketidakmampuan untuk merawat anak
2.5.Tindakan aborsi dan konsekuensinya
Ada beberapa hal yang menjadi indikasi terjadinya aborsi yakni:
a.        Indikasi medis. Dalam pertimbangan ini aborsi dapat dilakukan  jika  kehamilan  dapat membawa maut bagi si ibu, karena  si ibu mengidap penyakit  jantung, penyakit ginjal, penyakit paru-paru, tumor payu dara, leper, hypertensi, diabetes millitus dan sebagainya.[10]
b.        Indikasi Sosial. Indikasi ini mempertimbangkan alasan ekonomi atau  karena  pemerkosaan
III. Tinjaun Etis -Teologis
3.1. Aborsi dalam sejarah dunia dan gereja
Secara historis tindakan aborsi sudah ditentang baik pada masa Hammurabi (abad 18 sM), Hukum Musa, masa pemerintah Tiglat Pileser, Hippocrates abad ke 5 sM,  Agustus (abad ke 4 M), Santo Aquinas (abad ke 13 M), John Calvin (abad ke 16 M).[11]
                Dari sejarah gereja, sejak awal aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan bahkan dikutuk. Gereja-gereja menentang untuk melegalkan tindakan aborsi.  Hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun 1930 di dalam “Casti Connubi” dan dalam “Humanae Vitae” (1971), gereja Katolik Roma keberatan terhadap aborsi atas dasar indikasi sosial. Uskup Agung Canterbury, Lord Ramsey menjelaskan dalam sidang gereja tahun 1967, kita harus nyatakan dengan tegas “janin insani harus dujungjung tinggi  sebagai embrio kehidupan yang suatu ketika bakal mampu mencerminkan kemuliaan Allah”.[12] Pada tahun 1973, Uskup-uskup di Jerman Barat menyatakan penolakannya terhadap terbitnya undang-undang aborsi atas dasar indikasi sosial. Demikian juga gereja-gereja Orthodox Timur dan sebagian gereja Protestan mennetang undang-undang Aborsi[13]
3.2. Tanggapan pro dan kontra 
                 Masalah aborsi sangat problematik, ada kontroversi sebagai konsekuensi dari perbedaan pemahaman,  intepretasi teologis, ilmiah dan etis terhadap aborsi. Sehubungan dengan hal itu, Geisler mengajukan pertanyaan etis dapatkah   dibenarkan tindakan untuk mengakhiri kehidupan dalam kandungan melalui aborsi? Pertanyaan sekitar status janin terkait aborsi memunculkan 3 sikap dasar:[14]
a)        Pertama: kelompok yang  berpendapat bahwa janin itu merupakan bagian dari tubuh manusia sehingga kelompok ini menyutujui aborsi sesuai permintaan.
b)       Kedua: Kelompok yang berpendapat bahwa janin itu berpotensi menjadi manusia sehingga mereka menyetuji aborsi dalam situasi tertentu.
c)        Ketiga: Kelompok yang berpendapat bahwa janin itu benar-benar manusia sehingga  mereka menolak aborsi.
                Ketiga kelompok di atas masing-masing memiliki sikap dasar dengan argumentasi alkitabiah maupun ilmiah.
3.2.1. Pro aborsi[15]
                Aborsi dapat dilakukan kapan saja. Pandangan ini meyakini bahwa janin merupakan bagian dari tubuh manusia. Kelompok pro aborsi/pro choice, menekankan kebebasan memilih, memberi tekanan utama pada hak seorang ibu untuk memutuskan apakah dia ingin memiliki bayinya. Dalam hal ini seorang wanita tidak dapat dipastikan untuk memiliki anak yang bertentangan dengan keinginanya. Tindakan aborsi di Amerika dilegalkan di selutru 50 negara bagian. Argumentasi alkitabiah yang dibangun oleh kelompok ini bertolak dari Kej 27, Ayub 34:14-15, Yes 57:10, Peng 6:3-5, Mat 26:24, yang semuanya ditafsirkan bahwa janin bukanlah manusia sebab belum dapat bernafas. Hal ini kemudian didukung oleh argumentasi ilmiah yang mengatakan bahwa:
a)        Argumentasi karena kesadaran diri: Dalam hal ini janin hanaya dipahami sebagai bagian dari tubuh manusia, dan bukanlah manusia seutuhnya samapai dia memiliki kesadaran diri.
b)       Argumentasi karena ketergantungan fisik. Bayi adalah gangguan bagi daerah kekuasaan fisik seorang ibu, oleh sebab itu ibu memilik hak untuk mengaborsinya.
c)        Argumentasi psikologis dan phisikis. Kehamilan yang tidak didinginkan berakibat pada anak-anak yang akan mengalami penyiksaan dan disia-siakan orangtua. Oleh sebab itu aborsi menjadi solusi yang efektif untuk mengatasinya.
d)       Argumentasi karena cacat. Kemajuan ilmu kedokteran dapat mengidentifikasi sejak dini bayi yang cacat, oleh sebab itu kelahirannya dapat ditolak daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat dikemudian hari.
e)        Argumentasi kebebasan personal
f)        Argumentasi karena pemerkosaan. Mempertahanan kehamilan dalam kondisi terhina akibat pemerkosaan merupakan sikap tidak bermoral dan wanita tidak harus dipaksanakan memiliki bayi yang bertentangan dengan keinginannya.
Dalam argumentasi ini Geisler menilai bahwa argumentasi Alkitabiah yang memandang janin sebagai bagian dari tubuh manusia  sama sekali tidak benar sebagaimana yang dimaksud oleh Alkitab. Napas tidak dapat menjadi ukuran dimulainya hidup manusia. Kehidupan manusia sudah ada sebelum adanya nafas saat kelahiran, yakni saat pembuahan, misalnya Maz 51:7 “dalam dosa aku dikandung ibu” atau Mat 1:2 “anak yang ada dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”. Kelahiran merupakan permulaan kehidupan yang dapat dilihat orang, akan tetapi bukan permulaan kehidupan itu sendiri sebab seorang ibu dapat merasakan kehidupan dalam kandungan saat bayi bergerak, bahkan melonjak (Luk 1:44). Kisah penciptaan Adam adalah kasus unik dan hanya Allah yang memberikan kehidupan bagi manusia dan bagaimana kehidupan itu diberikan pada saat pembuahan (Kej 4:1)
 3.2.2. Aborsi yang dilakukan sekali-kali.[16]
Kelompok ini berkeyakinan bahwa janin berpotensi menjadi manusia. Padangan ini menegaskan bahwa sifat manusia dari individu berkembangan berangsur-angsur diantara pembuahan dan kelahiran. Janin itu mulai sebagai sesuatu yang mungkin menjadi manusia dan menjadi manusia secara berangsur-angsur. Kelompok ini menyetujui aborsi dengan alasan untuk menyelamatkan sang ibu, karena kasus peerkosaan dan cacat genetik. Argumentasi Alkitabiahnya mengacu pada Kel 21:22-23, yang ditafsirkan, bahwa kematian janin karena kecelakaan, nilainya tidak sebandung dengan kematian sanga ibu, sebab janin tidak dianggap benar-benar sebagai manusia. Mzm 51:7, ditafsirkan bahwa dalam kandungan, janin berdosa dan karena itu masih dalam proses “ditenun” dan dapat disebut “belum berbentuk” (bakal anak). Rom 5:12, ditafsirkan bahwa janin hanyalah berpotensial sebagai manusia sebelum dilahirkan. Ibr 7:9, ditafsirkan bahwa janin itu hanya secara potensial manusia ketika mereka di dalam tubuh sang ibu. Argumentasi Alkitabaih tersebut diperkuat dengan argumentasi ilmiah yang menekankan:
a.        Kepribadian manusia berkembang secara berangsur-angsur, karena janin hanyalah sesuatu yang berpotensi menjadi manusia.
b.        Perkembangan manusia saling berhubungan satu sama lain dengan perkembangan fisik, karena janin berpotensi menjadi manusia sebab belum lengkap fisiknya sebagai manusia.
c.        Analoginya dengan mahluk hidup hanya seperti biji pohon/sebutir telur yang memberi potensi untuk hidup.
Menurut Geisler, Kel 21:22-23, tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengatakan bahwa janin berpotensi sebagai manusia. Interpretasi yang benar adalah bahwa janin yang gugur karena kecelakaan tetaplah seorang manusia yang sama harganya dengan nyawa sang ibu. Oleh sebab itu Mzm 51:7, harus ditafsirkan, bahwa sejak dari pembuahan manusia berdosa dan menjadi bagian dari keturunan adam yang berdosa. Mzm 139:13,16 dapat dipahami bahwa bayi yang belum terbentuk adalah manusia yang diciptakan Allah dan telah dikenal Allah sebelum dilahirkan. Dengan demikian Rom 5:12, tidak dimaksudkan bahwa janin berpotensi sebagai manusia sebelum dilahirkan, melainkan kita semua termasuk berada di dalam Adam dan bertanggungjawab di dalam dosa. Maka Ibr 7:9 sama sekali tidak berbicara embrio manusia, melainkan secara kiasan mau dikatakan tentang persekutuan Lewi dengan Abraham secara iman. Oleh sebab itu Geisler berpendapat, bahwa kepribadian adalah konsep psikologis dan pribadi merupakan sebuah kategori ontologi, karena janin adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setelah kelahirannya kepibadiannya akan berkembang seturut pertambahan usianya. Jiwa manusia tetap sama sejak dari pembuahan hingga mengalami perkembangan tubuh, sehingga jiwa dapat hadir secara keseluruhan dan komflit. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan, jika dikatakan bahwa buah biji pohon X, maupun embrio berpotensi  memiliki kehidupan. Biji pohon X merupakan satu pohon X hidup yang sangat kecil di dalam sebuah tempurung dan embrio adalah seorang manusia kecil dalam potensi besar
Lebih sejauh Philip Edgcumber Hughes, menekankan bahwa janin itu merupakan kehidupan, yakni kehidupan kemanussiaan dan bukan kehidupan kebinatangan. Janin yang digugurkan adalah manusia, sebab jann itu merupakan hidup dari suatu oindividu sehingga mematikan yang hidup adalah mematikan hidup dari suatu individu[17] Dan menurut Susan Foh, sebagaimana dikutip oleh P.E. Hughes bahawa janin itu merupakan suatu kombinasi dari gen si ibu dan si bapa. Janin itu mempunyai sustu sistim/sususnan syaraf  tertentu yang terpisah dari si ibu, juga mempunyai sistim sirkulasi ddan alat-alat (organ tubuh), oleh sebab itu ia menolak aliran feminis yang mengatakan bahwa janin itu merupakan bagian dari tubuh si ibu.[18]
3.2.3 Kontra aborsi[19]
                Kelompok ini mendasari keyakinanya bahwa janin itu benar-benar manusia. Argumentasi alkitabiah yang dibangun adalah : Luk 1:41-44; 2:12,16, Kel 21:22. Bayi yang belum lahir disebut anak-anka dan diciptakan Allah (Mzm 139:13), hidup mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22), sama seperti dewasa (Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dari rahim Maria (Mat 1:20-212, Luk 1:26-27).
                Alasan secara ilmiah didasari pada fakta bahwa: sejak dari pembuahan jenis kelamin pria/wanita sudah ditentukan  dan sesuai dengan jenis kelamin (Kej 1:27), anak-anak yang belum lahir memiliki karakteristik pribadi seperti dosa (Mzm 51:5,7), tetapi dikenal dekat oleh Allah (Mzm 139:15-16, Yer 1:5), bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej 25:22-23, Yes 49:1,5, Gal 1:15). Oleh sebab itu anak yang belum dilahirkan secara pribadi sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5). Seacara ilmiah, bahkan ilmu pengetahuan kedokteran membuktikan bahwa hidup manusia individual sudah dimulai pada saat pembuahan dimana seluruh informasi genetik ada pada saat terjadi pembuahan ketika sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu manusia baru yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom, dan sejak saat itu sampai kematiannya tidak ada informasi genetik baru yang ditambahkan. Semua yang ditambahkan di antara pembuahan dan kematian adalah makanan, air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang dikandung adalah manusia yang memiliki orang tua.
                Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bayi yang belum dilahirkan bukanlah calon manusia, melainkan manusia. Artinya bayi yang belum dilahirkan itu adalah manusia yang sama dengan manusia dewasa. Dengan demikian praktek aborsi merupakan tindakan menghancurkan manusia.
                Dengan dasar Alkitabiah dan juga ilmiah, secara etis teologis, tindakan aborsi adalah tindakan pembunuhan yang sama seperti pembunuhan anak bayi.  Secara umum aborsis telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-orang moralis, baik Kristen maupun penganut agama yang lain.
Aborsi dari sudut  Moral

3.3. Tanggapan terhadap Aborsi
3.3.1.           Secara umum
Secara moral menghormati kehidupan sejak pembuahan merupakan tuntutan dasar etis berdasarkan keyakinan bahwa manusia adalah ciptaan Allah.[20] Mengatasi persoalan aborsi merupakan panggilan bagi orang Kristen untuk mengambil dan memutuskan keputusan etis sesuai iman Kristen. Sehubungan dengan itu maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam aborsi yakni:
a.        Kehamilan bukan hanya tanggungjawab wanita semata, oleh sebab itu kehamilan merupakan tanggungjawab bersama (suami dan istri)
b.        Alsan sosial tidak dapat menjadi dasar utama dalam melakukan aborsi
c.        Jika kehamilan menimbulkan ancaman bagi si ibu, baik faktor kesehatan, mental, mapun sosial, maka perlu melakukan konseling, bimbingan, baik secara psikis, moral, maupun medis.
d.        Jika si ibu tidak menginginkan kehamilan, maka dapat difasilitasi dengan memberikan pengetahuan, dan sosialisasi obat-obatan dan alat-alat kontrasepsi.
e.        Apabila aborsi merupakan satu-satunya pilihan, maka alternatif ini hanya dapat diambil melalui pertimbangan matang baik secara medis, etis dan moral.
f.         Undang-undang negara dan kode etik kedokteran, dalam penjelasan pasal 10, seorang dokter harus berusaha mempertahankan hidup makhluk insani. Oleh sebab itu, menurut hukum agama dan undang-undang negara  maupun kode etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan aborsi.
Larangan aborsi juga dijelaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang di atur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346-349. Dalam pasl-pasal tersebut dinyatakan sanksi bagi sipelaku dan si ibu. Kemudian pasal 299 KUHP intinya ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, kepada seseorang yang memberi penghapan kepada si ibu bahwa kandungannya dapat digugurkan. Selanjutnya pasal 346 KUHP, menyebutkan si wanita dengan sengaja menggurkan kandungan, atau membunuh kandungannya atau menyuruh orang lain akan mendapat sanksi penjara selama-lamanya.
Namun dalam aturan KUHP ada pengecualian lewat undang-undang kesehatan yang dicantumkan pada pasal 15 ayat 1. Ayat ini menyebutkan tindakan medis dalam bentuk pengguguran dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, agama, kesusilaan. Namun dalam keadaan darurat dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis. Penjelasan terhadap hal tersebut juga kurang jelas. Oleh sebab itu, di Indonesia karena undang-undang aborsi tidak begitu jelas, maka aborsi meskipun diperlukan untuk kesehatan si ibu dalam keadaan darurat, namun banyak dokter tidak mau melakukannya.[21]
3.3.2.           Tanggapan etis teologis
                Alkitab mengisyaratkan dan menegaskan bahwa proses pertumbuhan janin bukanlah proses yang terjadi dengan sendirinya atau secara otomatis melainkan campur tangan Allah (bnd Mzm 139:13-14, Ayb 10:18). Alkitab memberikan konsep penting untuk melindungi kehidupan janin dan juga bagi perlindungan si ibu (bnd Kej 9:5).[22]
                Dalam Perjanjian baru, secara khusus tulisan-tulisan Paulus dan Wahyu, ditegaskan bahwa hidup dan kehidupan adalah sangat berharga, oleh sebab itu memberikan obat tertentu untuk menghancurkan kehidupan sangat ditentang. Dalam pengertian ini minuman atau obat-obatan yang diberikan dengan tujuan, atau menimbulkan keguguran waktu tejadinya kehamilan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.[23]
                Meskipun Alkitab tidak secara langsung menyoroti tentang Alkitab, namun ajaran Alkitab terhadap abosi dapat dikemukakan dalam beberapa hal:
a.        Alkitab menyatakan bahwa kehidupan manusia berbeda dari segala bentuk kehidupan lainnya, sebab manusia diciptakan segambar dengan Allah (bnd Kej 1
b.        Alkitab mengajarkan bahwa anak adalah berkat (Kej 1:28)
c.        Anak dalam rahim adalah sungguh-sungguh adalah manusia yang bahkan memiliki hubungan dengan Tuhan (Mzm 51:7, 139:1)
d.        Alkitab mengutuk pembunuhan orang yang tak bersalah ( Kel 20:1,3, Ul 17, Mat 19:18)
e.        Alkitab menyatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan atas keadilan. Maka melakukan aborsi adalah menolak keadilan. Aborsi adalah pembinasaan terhadap yang tidak berdaya
f.         Alkitab mengajarkan untuk mengasihi. Kasih bertentangan dengan tindakan pembunuhan ( 1 Yoh 3:11-12)

3.3.3. Aborsi dalam kaitannya dengan titah ke 6
                Menurut Dietrich Bounhofer[24] “penghancuran embrio di dalam kandungan adalah pelanggaran dari hak untuk hidup yang  Allah telah berikan kepada kehidupan yang mulai muncul dan berkembang itu. Selanjutnya R.J. Rushdoony[25] menegaskan bahwa “praktek aborsi merupakan pembunuhan dan hal itu bertentangan dengan titah ke 6.
                Sehubungan dengan hal itu, J Verkuyl merusmuskan bahwa:
a.        Kehidupan manusia telah dimulai, dan berawal dari waktu konsepsi dalam kandungan.
b.        Setiap hidup manusia, adalah juga hidup janin, dan berhak atas perlindungan.
c.        Setiap pengambilan tindakan, yang membinasakan hidup yang sedang mulai itu, maka itu identik dengan pembunuhan hidup manusia yang sedang mulai.[26]
Melengkapi penegasan di atas, D Rumondor menyatakan bahwa dalam terang etika Kristen dan standar moral yang mutlak, aborsi dipandang sebagai pembunuhan manusia, sebab aborsi merupakan tindakan memutuskan kehidupan manusia secara dini. Dalam hal inilah aborsi melanggar perintah Allah “jangan membunuh”.[27]
3.3.4. Aborsi dalam kaitannya dengan konsepsi
                Dalam Alkitab sebenarnya tidak ada membicarakan secara langsung tentang aborsi, jika diteliti secara cermat, maka ditemukan “konsep mentah” mengenai aborsi dalam Alkitab. Konsep mentah ini dapat ditemukan dalam hubungan antara seksual dengan konsepsi. Beberap kesaksian Alkitab menuliskan, misalnya Kej 4:1…Hawa menyatakan bahwa ia telah memperoleh  Kain dari Tuhan, Kej 16:2..Sara percaya bahwa Tuhan tidak memberi dia anak, Kej 29:31..Tuhan membuka kandungan Lea, Kej 30:22.. Tuhan membuka kandungan Rahel, Rut 4:13…atas karunia Tuhan Rut mengandung dan Maz 139:13-18..Daud menyatakan bahwa Tuhan  secara aktif terlibat dalam proses pembentukan festus[28] Nampaknya dari kutipan nats Alkitab di atas menyatakan bahwa Allah terlibat aktif dalam hubungannya dengan konsepsi. Dalam Yer 1:5 tertulis “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau”. Jadi jelaslah Alkitab memandang bayi atau janin yang belum dilahirkan adalah manusia.[29] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk bekerja sama dalam proses terciptanya hingga lahirnya manusia[30] Dalam pengertian dan pemahan ini, maka praktek aborsi sama artinya dengan merusak hubungan kerjasama yang telah dipercayakan kepada manusia. Oleh sebab itu menerima aborsi identik dengan menerima diskriminasi, itu berarti membuka peluang untuk menyingkirkan orang-orang yang cacat jasmani, para lansia, korban AIDS, pecandu narkoba, maupun para marjinal.

IV. Kesimpulan
1.        Aborsi adalah keguguran. Pengguguran kandungan atau  pengakhiran kehamilan atau membuang janin. Aborsi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau tidak disengaja dengan tujuan agar janin yang ada di dalam rahim si ibu dilahirkan dalam keadaan mati
2.        Kehidupan janin adalah kehidupan insani dengan potensi menjadi makhluk manusia seutuhnya (bnd Mzm 139:13-18, Yer 1:5). Oleh sebab itu sejak pembuahan janin adalah manusia. Secara etis teologis, orang Kristen harus menjungjung tinggi bahwa janin adalah embrio kehidupan yang suatu ketika bakal mampu mencerminkan kemuliaan Allah. Maka secara etis teologis aborsi tidak dapat disetujui karena melanggar kebebasan hidup yang ditetapkan Allah. Hidup/kehidupan manusia adalah bijak dihargai lebih utama (pro-life) dibandingkan memperjuangkan hak kebebasan memilih (pro-choice) yang mengakibatkan kematian janin dan kemungkinan si ibu.
3.        Secara etis-teologis, aborsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan Alkitab. Orang Kristen terpanggil untuk mengajarkan penekanan Alkitab mengenai kemanusiaan dan nilai, bahkan kesucian hidup manusia. Jika aborsi dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan, akan tetapi semua kehamilan yang tidak diinginkan adalah akibat dari suatu kegagalan tertentu. Menolong lebih baik  dari pada menggugurkan.



DAFTAR PUSTAKA


Douglas J.D.,
1978        The New International Dictionary of the Christian Church, Michigan
Diettrich Bounhover,
1960        Ethics, SCM Press ltd, London
H Cherry Sheldon,
1986        Bimbingan Ginekologi Perawatan Modern Untuk Kesehatan Wanita, Bandung
Hughes P.E.,
1984        Christian Ethic in Secular Society, Grands Rapid, Michigan, 1984

Purwawidyana,
1983        Capita Selekta, Yokyakarta, IFT, 1983
Poerwadarminta W.J.S.,
1976        “Gugur” dalam: Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta
Rusndoony R.J.,
1964        Abortion, dalam The Ecyclopedia of Christianty, Jay Pay Green, Wilmington
Rumondor Daniel,
1988        Jangan Membunuh, Yokyakarta, Yayasan ANDI
Simarmata Budiman Tua,
2008        ETIKA, Suatu Tinjauan Etis Dalam Menghadapi dan Menganalisa Tantangan dalam Zaman Post-Modernisasi, Pematang Siantar
Stott John,
1996        Isu-Isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF
Supardan,
1991        Ilmu, Teknologi dan Etika, Salatiga, Bina Darma
Sastrawinata R. Sulaiman,
1975        Teknik Keluarga Berencana, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

Verkuyl J.,
1982        Etika Kristen, Bagian Seksuil, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Walter B.K.,
1969        Old Testament Text Bearing on The problem of the control of human reproduction, dalam Birth control and the christian, Tyndale house publisher, London
………..
2009        http.//www. learning. moslemway. blogspot. Com.
……….
2009        http.//rahmiarinal.blogspot.com.sumber tulisan dari Geisler Norma L, Etika Kristen. Pilihan dan Isu, alih bahasa Wardani Mumpuni & Rahmiati Tanudja.



[1] http.//www. Learning. moslemway. blogspot. Com. 26 Agustus 2009
[2] W.J.S. Poerwadarminta, “Gugur” dalam: Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm, 330-331
[3] http.//www. Learning. moslemway. blogspot. Com. 26 Agustus 2009
[4] J. Verkuyl, Etika Kristen, Bagian Seksuil, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982, hlm, 87
[5] John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1996, hlm., 420
[6] Sheldon H Cherry, Bimbingan Ginekologi Perawatan Modern Untuk Kesehatan Wanita, Bandung, 1986, hlm., 113
[7] Supardan, Ilmu, Teknologi dan Etika, Salatiga, Bina Darma, 1991, hlm., 126
[8] John Stott, Op. Cit, hlm., 402-405
[9] http//www. Learning. moslemway. Blogspot. Com. 20 Agustus 2009
[10] R. Sulaiman Sastrawinata, Teknik Keluarga Berencana, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, 1975, hlm, 116
[11] http.//sabdaspace.org. etika Kristen ,26 Agustus 2009
[12] John Stott, Op. Cit,  hlm., 420
[13] J. Verkuyl, Op.Cit, hlm., 93
[14] http.//sabdapace.org/aborsi-tinjauan. . 26 Agustus 2009
[15] http.// sabdapace.org/aborsi-tinjauan. . 26 Agustus 2009
[16] http.// sabdapace.org/aborsi-tinjauan. . 26 Agustus 2009
[17] P.E. Hughes, Christian Ethic in Secular Society, Grands Rapid, Michigan, 1984, hlm., 176
[18] Ibid, hlm., 177
[19] http.// sabdapace.org/aborsi-tinjauan. . 26 Agustus 2009
[20] Purwawidyana, Capita Selekta, Yokyakarta, IFT, 1983, hlm., 42
[21] Budiman Tua Simarmata, ETIKA, Suatu Tinjauan Etis Dalam Menghadapi dan Menganalisa Tantangan dalam Zaman Post-Modernisasi, Pematang Siantar, 2008, hlm., 82
[22] J.D. Douglas, The New International Dictionary of the Christian Church, Michigan, 1978, hlm., 6-7
[23] Budiman Tua Simarmata, Op. Cit, hlm., 83
[24] Diettrich Bounhover, Ethics, SCM Press ltd, London, 1960, hlm., 130
[25] R.J. Rusndoony, Abortion, dalam The Ecyclopedia of Christianty, Jay Pay Green, Wilmington, 1964, hlm., 22
[26] J. Verkuyl, Op. Cit, hlm., 91
[27] Daniel Rumondor, Jangan Membunuh, Yokyakarta, Yayasan ANDI, 1988, hlm., 65
[28] B.K. Walter, Old Testament Text Bearing on The problem of the control of human reproduction, dalam Birth control and the christian, Tyndale house publisher, London, 1969, hlm., 12
[29] Budiman Tua Simarmata, Op. Cit, hlm., 84
[30] Ibid, hlm., 12