Minggu, 01 Juli 2012

TEOLOGI SOSIAL BERBASIS DIAKONIA SOSIAL


TEOLOGI SOSIAL BERBASIS DIAKONIA SOSIAL
           
I. Pendahuluan
            Titik berangkat teologi adalah realitas-realitas sosial karena tindakan-tindakan ketidakadilan secara khusus ketidakadilan di dalam sisitem-sistem ekonomi, sosial dan politik yang kemudian mengakibatkan bentuk-bentuk penderitaan, kemiskinan, marjinalisasi pada orang-orang lemah.[1] Teologi sosial senantiasa berkaitan dengan keberpihakan pada kaum marginal. Lebih tajam teologi sosial menyoroti apa dampak dari kemiskinan dan bagimana kemiskinan itu bisa terjadi. Salah satu faktor yang melahirkan kemiskinan adalah struktur sosial. Sistim telah dicipta untuk melakukan “penindasan” oleh para penguasa dan pemilik modal. Sistim yang berjalan melalui peraturan dan perundangan nampaknya berjalan dalam koridor kebenaran, namun pada hakikatnya adalah terjadi “praktek perbudakan” (eksploitasi ekonomi) bagi kaum lemah dan minoritas. Perbudakan oleh sisitim meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, baik sosial ekonomi, agama, politik, dan sebagainya.
 Pokok penting tentang Keluaran dari Mesir yang meletakkan dasar berdirinya umat Israel oleh kuasa perbuatan TUHAN sehingga Israel lahir sebagai umat TUHAN. Pembebasan adalah untuk perayaan (beribadah), dimana beribadah selalu berjalan dalam proses pembebasan. Keluaran dari Mesir menjadi pokok pujian bagi bangsa Israel di dalam kebaktian yang pada umumnya dilakukan dan pada masaraya Paskah. Demikian juga dalam peranan pokok tersebut terdapat juga di dalam rumusan kepercayaan umat Israel yaitu Credo (Pengakuan Iman) di mana munculnya pernyataan ilahi, yaitu “AKUlah TUHAN, Allahmu yang telah membawa engkau ke luar dari Mesir” dan perbuatan Allah dalam kehidupan bangsa Israel yang telah melakukan pembebasan dari perbudakan (Ul 26:5-9).
            Gereja mewujudkan secara konkret perutusan pembebasan terhadap kemiskinan, dimana sikap netral gereja yang turut melanggengkan status quo kemiskinan. Oleh karena itu perlu kehadiran baru gereja ditengah sejarah yang merepresentasi jati dirinya sesuai semangat injili. Menurut Gutierrez, gereja harus memaklumkan pesan injili yang mendahulukan Kerajaan Allah untuk kaum miskin.[2]
   Misi “pembebasan” secara eklesiologis dan teologis  merupakan tugas dan tanggungjwab gereja. Demikian halnya kehadiran gereja yang memperlengkapi orang-orang kudus agar menjadi jemaat yang diakonial, demi terciptanya kesejahteraan dan kedamaian jemaat dan membangun Kerajaan Allah yang mensejahterakan jemaat di dunia. Sebagaimana jemaat missioner adalah kumpulan orang-orang yang telah dipanggil, dikumpulkan, dipelihara oleh Allah yang bertugas untuk meneruskan misi pekerjaan Kristus di dunia yaitu memberitakan injil keselamatan bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian kerajaan Allah telah dimulai dalam Yesus Kristus dan akan disempurnakan melalui kedatanganNya yang kemudian.
II. Dasar teologi teologi sosial
2.1 Pembebasan dari perbudakan di Mesir dan kelangsungan ibadah Israel
            Pembebasan dari Mesir bukan hanya memiliki makna politis, melainkan berorientasi pada makna teologis.
            Pembebasan itu berarti “melepaskan pergi” dan mengizinkannya keluar sebagai orang yang merdeka. Menjadi orang yang merdeka tidaklah berarti “menjadi tuannya sendiri” atau “menurut kesukaannya sendiri”. Keadaan umat Israel setelah mengalami pembebasan, mereka turut dalam kebebasan untuk mengabdi kepada TUHAN. Umat Israel berhak pergi “sebagai orang merdeka”, lepas dari kuasa-paksa orang Mesir tetapi kebebasan tersebut memiliki dasar, isi, dan tujuan : pelayanan dan pengabdian atau ibadat kepada TUHAN. Bekerja, melayani, mengabdi dan beribadat kepada TUHAN menunjukkan adanya status dan keadaan umat Israel yang normal. Kebebasan adalah hamba-hamba TUHAN dan ke dalam keadaan yang sah inilah mereka diangkat dan dipindahkan oleh perbuatan Allah keluar dari perbudakan.
            Umat TUHAN adalah persekutuan orang-orang yang mengabdi kepada Allah. “Mengabdi” berarti “melayani”, “hidup sebagai hamba” dan perkataan yang menyatakan “Lepaslah umat-Ku pergi, supaya mereka mengabdi kepada-Ku”, merupakan tujuan Allah menuntut pelepasan dan kebebasan umat-Nya. Oleh karena itu pengabdian yang dimaksudkan ialah pelayanan kepada TUHAN berupa kebaktian atau ibadah. Hidup sebagai abdi/hamba menlakukan perayaan kebaktian dan ibadah menjadi suatu peranan utama. Permintaan Musa dan para tua-tua Israel yang sebelumnya memohon kepada Firaun untuk memberikan kesempatan kepada bangsa tersebut untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, sesuai dengan tuntutan TUHAN melalui Musa. Dalam hal inilah terlihat bahwa bangsa tersebut meminta permohonan agar mereka diberikan kebebasan untuk beragama. Namun Firaun menolak tuntutan tersebut dan penolakan ini menyatakan dia sebagai pemerintah yang lalim dan penguasa uang tak usah dan tak boleh ditaati lagi. Tuntutan atau permintaan orang Israel untuk bebas beragama, terpaksa menjadi tuntutan kemerdekaan penuh. Firaun terpaksa melepas mereka pergi beribadah dan berarti membebaskan mereka pergi dengan tidak kembali lagi.
            Oleh karena itulah umat harus mengadakan perayaan bagi TUHAN, dan perayaan itu dimulai pada malam keluaran setelah anak sulung bangsa Mesir mati.umat Israel hanya berbuat menurut perintah Allah, menyiapkan keberangkatan mereka dan kemudian pada hakekatnya mereka mengadakan “perayaan”, “kebaktian atau ibadah” yang dikehendaki Allah sebagai tanda kehidupan umat-Nya untuk seterusnya dan selamanya. Oleh karena itu suatu “peringatan” bagi bangsa Israel kepada perbuatan yang berkuasa dari Allah, dan suatu perjamuaan dalam suasana keberangkatan-keluarga dari “rumah perbudakan”, menuju “tempat perhentian” (UL 12:9); inilah inti kebaktian itu dan untuk itulah umat Israel digerakkan oleh pembebasannya.
            Ada tiga hal yang menjadi pokok penting dimana Allah telah membebaskan, menyelamatkan, menebus umat-Nya, yaitu: Tiga tema teologi yang muncul dari peristiwa keluaran Israel dari Mesir:[3]
  1. TUHAN sendirilah yang membebaskan umatNya. Umat Israel diturutsertakan di dalam perbuatanNya, digerakkan, sehingga dengan sukarela berbuat menurut perintahNya: menaruh percaya kepadaNya, bersiap-siap untuk berangkat, mempersembahkan seekor domba dari miliknya sendiri. Namun bukanlah “sumbangannya” itu yang membebaskan umat tersebut; Israel tidak ditebus oleh ibadahnya, malahan tidak oleh darah domba Paska itu sekalipun. Allah dengan rela menerima segala persembahan itu, tetapi Ia sendiri menebus umatNya (Ibr 11:28-29)
  2. TUHAN membebaskan UmatNya dari perbudakan orang Mesir. Pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang dikehendakiNya, Ia berkenan membebaskan umatNya dari pebudakan-perbudakan lain, termasuk juga perbudakan “dosa”. Perbuatan Allah di Mesir menyatakan Dia sebagai Penebus dari perbudakan yang manapun juga. Namun pokok tentang Keluaran ini adalah berkenan dengan satu contoh perbudakan yang kongkrit. Arti perbuatan Allah untuk umat manusia, pada segala jaman dan tempat, justru terletak di dalam “keterbatasannya” kepada contoh yang satu ini.
  3. TUHAN dengan sungguh-sungguh membebaskan umatNya. Memang benar, bahwa perbuatanNya mencetuskan cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial di tengah-tengah umat Israel, cita-cita yang membuat umat itu menjadi suluh di antara bangsa-bangsa lainnya. Tetapi Allah tidak hanya mengajar umatNya untuk “menggantungkan cita-citanya kepada bintang”. Ia memberi kemerdekaan yang sesungguhnya suatu kemerdekaan yang terbatas sifatnya namun kongkrit dan riil, sehingga – pada tanggal 14 bulan Nisan/Abib tahun Keluaran itu – dapat dirasai dengan tubuh dan jiwa. Segala cita-cita menjadi layu dan kosong, kalau umat Israel tidak dibebaskan di sana dan pada waktu itu – dengan sesungguh-sungguhnya!

2.2. Ibadah dan persekutuan mempersatukan jemaat untuk memperoleh pembebasan.
            Bangsa Israel yang Allah persatukan dalam memasuki arak-arakan dan beribadah kepada TUHAN membawa mereka untuk semakin kuat untuk melakukan perlawanan. Persekutuan tersebut mengangkat umat Tuhan untuk menentang ketertindasan dan memperjuangkan perbuatan Allah yang telah memberikan kebebasan bagi mereka. Maka melalui ibadah yang dilakukan membawa mereka untuk memohon penyertaan dan bimbingan TUHAN dalam memperjuangkan kebebasan. Melalui ibadah yang dilakukan umat TUHAN, terlihat bahwa Allah mempersatukan mereka serta memberikan dukungan untuk membuka jalan kebebasan. Umat TUHAN dipersatukan dalam persekutuan agar mereka tidak berbaur atau terpecah belah dan dipengaruhi oleh kelompok yang menghambat perjuangan bangsa untuk mendapatkan pembebasan.
            Ibadah bangsa Israel juga mengajak umat TUHAN untuk menjalankan ketaatan terhadap TUHAN. Ketertindasan dan penekanan yang diperoleh dari pemerintahan yang dilakukan bangsa Mesir membuat bangsa Israel untuk meninggalkan dan anti terhadap perbuatan tersebut yaitu kekerasan dan ketidakadilan serta kehidupan sosial dari rakyat atau bangsa Israel yang tidak diperhatikan. Maka terlihatlah dari ibadah yang diperbuat bangsa Israel terhadap TUHAN yang menyatakan anti terhadap penindasan, ketidakadilan dan menekan hak kebebasan dari umat TUHAN.
            Persekutuan umat TUHAN yang menentang pemerintahan dan para penguasa diperjuangkan dan dinyatakan dalam kesatuan yang memperjuangkan pembaharuan dengan memperhatikan kehidupan masyarakat yang tertindas dan mengangkat hak mereka sehingga terwujud kesejahteraan bersama. Dalam persekutuan umat TUHAN berusaha untuk keluar dari pergumulan kehidupannya dan bersama-sama membangun kekuatan.
III. Diakonia Perjanjian Baru.[4]
3.1. Diakonia dalam Kitab Injil
            Salah satu nats penting tentang diakonia dalam Injil ialah Matius 22:34-40, yang memuat jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi yang mau mencobabaiNya: “kasihilah tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu! Itulah hukum terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah” Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Pada hukum inilah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi”.
            Dari jawaban Yesus tersebut nampak bahwa kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama manusia. Kasih kepada Allah justru diwujudkan terhadap kasih kepada sesama manusia. Kasih itu bukan hanya sebatas wacana namun tindakan kongkrit dalam perbuatan kasih dan keadilan.  Perbuatan kasih inilah dalam PL disebut diakoni (pelayanan), diakonein (melayani) dan diakonos (pelayanan).
            Istilah diakonia,merupakan istilah yang sering dipakai dalam PB sebagai sebutan yang biasanya disebut “jabatan”. Pemakaian kata ini sangat menyolok karena berlainan dengan jabatan-jabatan yang terdapat dalam agama Yahudi dan agama-agama lain. Ada beberapa penekanan makna kata diakonoia:
    1. Esensi dari Jabatan diakonia bukan saja tidak memiliki corak kultus dan rohani, tetapi juga istilah tersebut sedikitpun tidak mengandung unsur kehormatan. Malahan sebaliknya dalam dunia Yunani ia diakonia mempunyai arti yang hina. Plato menyebutkan dan menganggap seorang diakonos sebagai seorang “pembujuk yang hina”
    2. Dalam PB diakonia digunakan untuk menyebutkan hidup dan pekerjaan Yesus dan juga pekerjaan jemaat-Nya. Contoh yang paling jelas ialah jawaban Yesus atas permintaan ibu Yohanes dan Yakobus, supaya anak-anaknya diperbolehkan untuk duduk kelak disebelah kanan dan kiri-Nya dalam kerajaan Allah. Diakononia merupakan kesediaan untuk memberikan diri untuk orang lain, menjadi hamba untuk orang lain, rela berkorban, bukan untuk dilayani melainkan melayani, memberikan nyawa untuk tebusan orang lain (bnd 20-22-28)
    3. Diakonia juga meliputi tugas pastoral, menyembuhkan, memberi makan orang lapar, orang miskin (Mat 14:13-21). Dalam hal ini diakonia tidak hanya meliputi aspek rohani saja namun meliptuti kebutuhan jasmani (politik, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya). Keberpihakan terhadap orang miskin merupakan sikap oranmg yang bermurah hati(Luk 6:36; Luk 10:25-37)
3.2. Diakonia dalam Kisah Rasul dan surat para rasul[5]
Corak jemaat diakonal mula-mula (bnd Kis 2:42-47; 4:32-37) yakni:
-          Dibabtis (hidup baru)
-          Bertekun dalam pengajaran rasul-rasul
-          Bertekun dalam persekutuan
-          Selalu berkumpul untuk memecahkan roti
-          Selalu berkumpul untuk berdoa
-          Tetap bersatu
-          Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (komunitas)
-          Menjual harta miliknya
-          Berkumpul tiap hari di bait Allah (koinonia)
-          Membagibagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing (aksi sosial dan solidaritas)
-          Memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir
-          Makan bersama-sama
-          Dengan gembira dan dengan hati tulus sambil memuji Allah (doxologi)
-          Sehati dan sejiwa
-          Segala sesuatu adalah kepunyaan bersama
-          Dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberikan kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus
-          Hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah
-          Menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualann itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul, kemudian dibagi-bagikan kepada orang sesuai dengan keperluannya
3.3. Diaken dalam Perjanjian Baru
            Jemaat, kharisma dan jabatan[6]
Pelayanan jemaat merupakan tanggungjwab semua anggota jemaat, oleh sebab itulah Tuhan memberikan kharsima untuk melayani.  Oleh sebab itu tidak dipertentangkan antara kharisma dan jabaran sebab semua adalah sama. Kaharisma-kharisma tertentu dapat dilembagakan dalam suatu jabatan.  Kharisma adalah pemberian roh Kudus kepada anggota jemaat untuk pelayanan sedangkan jabatan dapat disebut sebagai fungsi yang harus dipenuhi untuk kepentingan semua jemaat. Orang yang memiliki kharisma dpat memangku jabatan atau dipilih oleh gereja.  Dalam perjanjian baru disebut “jabatan-jabatan” kelompok yang menerima kaharisma yakni rasul-rasul, nabi-nabi, pengajar-pengajar (1 Kor 12:27). Dalam jemaat posisi mereka bukan berada di ast melainkan disamping anggora-anggota jemaat yang lain. Dalam surat Efesus 4:11-12 “rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajara” dibedakan dari angggota jemaat (orang-orang kudus). Tugas mereka adalah melayani (melengkapai) jemaat untuk pembangunan tubuh Kristus. Dari fungsi jabatan tersebut, nampaknya jabatan tidak muncul dari manusia, melainkan dari Alllah, namun tidak dapat dikatakan bahwa jababatan diberikan atau ditetapkan Allah, sebab tidak semua pelayanan adalah jabatan. Benar  Allah yang memberikan kharisma. Oleh sebab itu yang disebut jabatan adalah pelayanan yang mempersentasikan keselamatan Allah keada jemaat. Salah satu tugas jabatan ialah mengatur pelayananp-pelayanan kharismatik dalam jemaat, sehingga berfungsi dengan teratur (1 Kor 14)
            Tugas diakonia dari para rasul[7]
-          Memberitakan firman Tuhan dimana jemaat selanjutnya dibangun (Mat 16:18; Ef 2:20; Wah 21:14)
-          Sebelum menyampaikan firman para rasul terlebih dahulu memberikan pastoral (Kis 4:34-35)
-          Membagi-bagikan hasil penjualan hak-milik anggota-anggota jemaat bagi orang sesuai dengan kebutuahan jemaat
-          Paulus Menggkoordinir dan menstimulir usaha pengumpulan bantuan untuk orang-orang percaya yang berkekurangan di Yerusalem
Namun tidak semua pelayanaan para rasul memuaskan, secara khusus dalam “diakonia” dalam perjamuan, dimana para janda kurang mendapat pehatian, oleh sebab itu banyak para janda[8] yang mengeluh. Dalam pembagian makanan mereka diberlakukan secara tidak adil, akibatnya ada indikasi perpecahan.
Oleh sebab itu para rasul menyadari kelemahan mereka dan meminta kepada jemaat untuk membatasi pelayanan mereka sekitar pelayanan firman dan doa, dan mengusulkan kepada jemaat untuk memilih dan mengangkat tujuh orang yang bertugas “melayani meja (perjamuan) dan persekutuan. Dalam perkembangan kemudian para ahli berbeda pendapat tentang eksistensi ketujuh pelayan yang dipilih jemaat, apakah mereka termasuk diaken-diaken Pekerjaan mereka mencakup lebih banyak bidang daripada hanya bidang diakonat saja. Berdasarlan data Kis 6, tentang ketujuh pelayana  meja itu nyata, bahwa dalam “jabatan” mereka memainkan motif-motif peranan diakonal yang sangat penting.
            Diaken dalam surat Filipi dan 1 Timotius[9]
Istilah yanag dipakai oleh Paulus adalah dalam surat Filipi para penilik jemaat dan para diaken (episkopoi dan diakonoia), demikian juga dapal 1 Tim 3:2,8. Episkopoi (peniik-penilik jemaat)ialah pemangku jabatan yang sma, yang ditempat lain disebut “prsbuteroi (tua-tua atau penatua-penatua). Dengan demikian bagaimana hubungan penatua-penatua dan diaken-diaken? Rasul paulusmenempatkan kata-kata “episkopoi dan “diakonoia: secara berdampingan ( I Tim 3:1-13) hal ini berarti jabatan-jabatan itu adalah jabatan-jabatan yang sama derajatnya dengan jabatab  penilijk jemaat, jabatan  yang melakukan pelayanan mereka dalam kerjasama yang erat.  Persyaratan mereka adalah sama esensinya (bnd I Tim 3:3-7). Kesimpulannya adalah diaken-diaken adalah pejabatan-pejabatan dengan satu tugas yang pada satu pihak berbeda dengan tugas penilik-penilik jemaat, tetapi pada pihak lain sederajat dengan tugas penilik-epnilik jemaat.  Menurut 1 Tim 3 kriteria diaken-diaken adalah:
-          Haruslah orang-orang yang terhormat
-          Mereka tidak boleh bercabang lidah
-          Harus berani untuk mengatakan “ya” kalau ya dan mengatakan “tidak”, kalau tidak. Dengan kata lain mreka harus selalu jujur
-          Dilarang untuk menggemari anggur secara belebihan
-          Membebaskan anggota jemaat dari hal-hala yang memperbudah, khususnaya mammon, dan tidak boleh hidup dalam pebudakan
-          Tiadak serakah
-          Menjadi teladan
-          Harus mnemelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci
-          Tidak bercacat
-          Dipilih jemaat dengan seleksi yang teruji dari pengenalan akan hidupnya
-          Harus suami dari satu isteri
            Wanita-wanita dalam pelayanan jemaat[10]
Dalam Perjanjian baru, dicatatat tentang pekerjaan diakonal yang dilakukan oleh wanita-wanita.  Salah satu diantara mereka adalah Tabita atau Dorkas (Kis 9:36-43). Ia banyak berbuat baik dan memberi sedekah. Dorkas telah menunjukan pekerjaan diakonal, dan telah memeproleh suatu tempat penting dalam jemaat di Yope. Kemudian Rasul Paulus juga menyebut Febe “diakonos” (kata ini sama dengan Fil 1:1). Dari caatat Perjanjian baru ternyata para wanita-wanita juga melaksanakan fungsi pemangku jabatan dalam jemaat. Dalam Perjanjian Baru semua bentuk pelayanan jemaat, juga pelayanan diakonal dapat dipercayakan keadaan wanita-wanita.
            Janda-janda dalam I Timotius 5[11]
Dalam surat Paulus pada Timotius, ditekankan pentingnya  memberi perhatian kepada  janda. Perhatian kepada janda, adalah untuk menghormati mereka yang dianggap samapah dalam masyaraklat. Kemudian menghormati yang dimaksud adalah melayani kebutuhan hidup mereka (bnd Mat 15:3-5).  Penekanan yang perlu diperhatikan dari maksud Rasul Paulus adalah.
a)      Janda adalah seorang pribadi yang ditinggalkan sendiri dan tidak memiliki seseorang yang dapat memelihara, oleh sebab perlu itu untuk dihormati
b)      Janda yang benar adalah janda yang beriman
c)      Usia mereka tidak kurang dari 60 tahun, mereka hanya satu kali bersuami, dan yang telah melakukan pekerjaan yang baik
d)     Rasul Paulus mengusulkan supaya janda muda kawin lagi, beroleh anak, memimpin rumah tangga mereka dengan baik
e)      Petunjuk-petunjuk rasul Paulus tidak boleh ditafsirkan secara sempit, namun intinya adalah bagaimana gereja memberi pelayanan kepada semua anggota emaat, juga kepada wanitya-wanita (janda-janda)

            Ruang lingkup pelayanan diakonat[12]
-          Perjanjian Baru mencatat bahwa tugas pelayanan diakonat bukan hanya dilakukan oleh pihak-laki-laki saja, melainkan juga kaum wanita
-          Diakonia meliputi semua orang (bnd. Mat 5:43-46, 1 Tess 5:15)
-          Pelayanan diakonal bersifat kontoniu, tanpa syarat, semua bangsa (Mat 28;19)
-          Ibadah yang sejati erat berhubungan dengan “diakonia” (Yak 1:27). Ibadah yang murni adalah memelihara yatim piatu dan janda-janda. Jadi tugas para diaken adalah menjaga kemurnia ibadah dengan jalan menunjukkan kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang ( 1 Tes 3:12, bnd 2 Pet 1:7)

IV. Sejarah Singkat dari diakonat gereja
4.1.Gereja lama[13]
Dalam diakonat gereja lama, tujuh pelayan meja yang disebut dalam Kis 6:1-6 dianggap sebagai diaken. Pada abad pertama gereja tetap memilih tujuh orag pelayan, namun dalam perkembangan beikutnya posisi tujuh pelayan tersebut mengalami perkembangan. Diaken-diaken pada pada akhir abad ke tujuh tidak identik lagi dengan Kis 6. Diaken-diaken ini mempunyai fungsi yang lain; mereka menunaikan tugas mereka daam hubungan dengan pelayanan misteri-misterii yang suci dari gereja.
4.2.Zaman bapak-bapak rasuli[14]
Situasi diakonat pada zaman bapak-bapak rasuli ditandai dengan:
-          Perkembangan kesaksian gereja dan ibadahnya
-          Safaan yang digunakan oleh anggota-anggota jemaat dalam gereja “saudara”
-          Agama Kristen pada waktu itu “memenangkan” dunia oleh suatu iman atau percaya. Melakukan pelayanan kepada orang-orang asing, orang yang tertindas, terpenjara, orang miskin.
-          Diaken-diaken membantu pelayanan “misteri-misteri suci”  juga bertugas untuk membagi-bagikan bantuan kepada jemaat. Diaken-diaken berpartisipasi dalam penegakan disiplin gereja, menerima orang yang bertobat.
-          Pada periode ini terjadi perkembangan dan perubahan fungsid an kedudukan diaken  dimana susunanya tiadak sama dengan susunan imamat dalam PL. Uskup (sebagai bapa) adalah pengajar tentang kesalehan, pemberi hukum dan pemimpin. Sesudah Allah, ia dalah bapa dari anggota-anggota Jemaat. Sebagai bapa ia harus dihormati. Diaken harus melayani uskup, sana seperti Kristus melayani Bapa di sorga. Dalam hubungan ini mucullah diaken-diaken wanita.
4.3.Pada masa abad pertengahan[15]
Pada masa ini diakonat gereja tidak banyak mendapat perhatian. Hal ini diebabkan pergeseran visi tentang hakekat pelayanan diakonat pada waktu itu. Secara kuantitas pada waktu itu gereja menjadi bertambah besar, dan gereja juga menggalakkan supaya jemaat memberikan persepuluhan, gereja memiliki dan yang banyak, namun dana-dana yang dikumpulkan gereja bisa hilang dari tangan uskup. Gereja mengabaikan pelayanan terhadap kaum miski, dan pada diaken-diaken disibukkan pada pelayanan administrasi gereja. Perang salib juga memiliki dampak negatif terhadap gereja, sehingga setelah perang salib juga gereja semakin mundur dari pelayanan. Disamping itu pengaruh sekularisasi semakin  kuat di kota-kota dan makin lama makin besar. Oleh sebab itu pelayanan diakonal sebagai pelayanan rohani, makin lama berobah menjadi pekerjaan sosial biasa. Pada akhir abad pertengahan muncullah pekerja-pekerja sosial yang makin lama  makin melerpaskan diri dari gereja. Sebenarnya gereja pada waktu itu kaya, namun kelemahan gereja adalah gereja tidak dapat menterjemahkan anugerah dan pemberian Allah, yang ia peroleh, dalam pelayanan kasih kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya.
4.4.Pada masa reformasi[16]
a. Luher
Pemahamn Luhter bertolak dari “pembenaran hanya oleh iman” oleh sebab itu Luther memahami tidak lagi selalu bergantung pada kaum rohaniawan. Luhter menekankan “imamat-am orang-orang percaya”. Luhter juga menekankan “kebebasan orang Kristen”. Oleh iman orang Kristen sudah bebas dan tidak takluk kepada siapapun. Oleh karya penyelamatan Kristus hubungan antara Allah dan manusia pulih kembali. Kristus memperbaharui-Nya, sehingga setiap orang Kristen menjadi Kristus bagi sesamanya manusia.  Artinya kita melayani sesama manusia kita karena kasih pada sesma manusia kita dan karea kasih Kristus di dalam kita. Itulah motivasi bagi diakonat gereja. Luhter juga menekankan “kasih Kristiani kepada sesama manusia. Kasih itu lahir dari hubungan orang Kristen dengan Kristus. Menurut Luhter, seorang diaken mempunyai tugas yang lebih penting daripada hanya membaca kitab-kitab Injil dan surat-surat pasa rasul dalam ibadah misa.  Namun Diaken harus membantu orang miskin. Luhter mengatakan, Lebih baik memberikan beberapa sen kepada orang-orang yang hidup dalam kekurangan daripada membangun sebuah gedung gereja emas bagi sint Petrus. Luther menekankan bahwa tugas diakonal adalah kewajiban dari pemerintah, oleh sebab itu Luhter mempercayakan hal itu kepada pemerintah yang berkuasa yang mengikuti ajarannya. Jadi kelemahan diakonal Luher adalah, lambat laut pelayanan diakonal gereja semakin lama semaki kehilangan esensisnya sesuai dengan iman Kristen, karena lebih banyak diorganisir oleh pekerja sosial.
b. Bucer
Pemikiran Bucer tentang diakonat gereja erat hubungannya dengan pemahamannnya tentang gereja. Bagi gereja adalah suatu persekutuan yang terdiri dari orang-orang yang bersaudara di dalam Kristus.  Bucer mengatakan tentang diakonat gereja yang dituangkan dalam karyanya “tentang pelayanan pastoral” (pemeliharaan jiwa) yang benar (1538), dan konsepnya tentang “pemerintahan Kristus” (1550), program yang ia susun adalah pembangunan Jemaat dengan suatu “struktur alkitabiah”.  Jemaat adalah sebagai tubuh kharismatik, dimana tiap-tiap jemaat masing-masing memiliki tugas.  Diakonat gereja dianggap sebagai salah satu bagian dari pembangunan tubuh Kristus. Menurut Bucer, kemiskinan dapat menjadi penghalang dalam pembangunan jemaat, dapat membuat masyarakat menjadi bobrok, oleh sebab itu diaken-diaken harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
c. Calvin
Beritik tolak istilah “jabatan gerejawi”  Calvin memahami bahwa diaken-diaken yang megurus kas untuk orang-orang miskin dan diaken-diaken yang bertugas untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan orang-orang sakit. Jadi menurut Calvin dan dua macam diaken: Pertama. Diaken yang melayani gereja di bidang urusan soal-soal orang miskin (seperti Kis 6), kedua, diaken yang melayani kusus gereja di bidang pembagian bantuan kepada orang-orang miskin itu.

V. Aktualisasi teologi sosial berbasis diakonia sosial
5.1. Membangun Gereja yang Diakonal[17]
Dalam kenyataannya, gereja sebagai perpanjangan dari pekerjaan TUHAN tentang keselamatan, penebusan, pendamaian dan perdamaian, serta pembenaran karena Yesus telah naik ke sorga itu, masih bekerja sebagai diaken. “Segala sesuatu telah diletakkanNya dibawah kaki Kristus dan Dia telah diberikanNya kepada jemaat sebagai kepala dari segala yang ada (Ef.1:22)”. Diakonia adalah bagian dari Gereja dan diakonia merupakan bagian organik dari substansinya. Sehingga, iman dan ajaran Gerejalah yang menentukan apa itu diakonia. Tujuan Diakoni ialah memberi komunitas dengan Allah Bapa melalui Kristus Jeruselamat kita, di dalam Roh Kudus sebagai penghibur, untuk kehidupan manusia secara keseluruhan. Ini juga merupakan dasar dan tujuan pada persekutuan:   
a.       Bilamana kamu melakukan pekerjaan diakonal
b.      Bilamana kamu sedang ditolong dalam suatu cara diakonal, kamu harus memiliki suatu jaringan kerja untuk bisa bersandar dan mendukungmu yaitu jemaat
Semua kesaksian dan lukisan yang digunakan dalam Perjanjian Baru menggaris bawahi Gereja sebagai suatu persekutuan orang yang bergantung pada Allah melalui Yesus Kristus, sehingga saling berhubungan dan bergantung satu sama lain di dalam sikap dan tindakan. Bagaimanapun juga, Yesus Kristus berperan sebagai mediator dan diaken.
Allah meletakkan dasar komunitas baru dalam sejarah dan mengikat umatNya secara bersama dalam suatu persekutuan baru, melalui penyataanNya yaitu anugerahNya, berkat dan kesetianNya. Pekerjaan Allah ini diteruskan dalam Perjanjian Baru dan difokuskan pada gereja. Mereka yang mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan penebus mereka mewakili Gereja dan menjadi umatNya. Mereka yang percaya kepada Allah dan menjadi milik gereja “dipilih” dan “dipanggil” menjadi bangsaNya sendiri (bnd. Rom.1:6; 8:28; I Kor.1:24). Gereja diberikan suatu misi yang khusus terhadap dunia, mewartakan tindakan Allah yang mengagumkan karena mereka adalam imamat yang rajani (Titus 2:14; Why.1:6).
Gambaran tubuh Kristus nyata dan penting dalam konsep perjamuan Kudus dan baptisan, melaluinya kita diinkarnasikan dalam Yesus Kristus. Melalui baptisan dan perjamuan semua orang telah dipersatukan dengan Kristus melampaui batas-batas, kebangsaaan, politik, umur, atau jenis kelamin. Semua manusia dipersatukan dalam Yesus Kristus yang mempunyai suatu dampak diakonal.
  1. Unsur-Unsur Dasar Gereja sebagai Persekutuan Kudus: Koinonia, Leturgia, Diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya:
  1. Ada suatu kehidupan bersama di dalam koinonia yang mana seseorang diidentifikasikan dengan orang lain yaitu satu di dalam semua (I Kor. 12:26). Hubungan timbal balik individu mempererat koinonia, yang hampir tidak lagi menjadi superioritas dalam gereja
  2. Keakraban hubungan antara komunitas ini dan Kristus adalah dasar Baptisan, Firman Allah dan Perjamuan Kudus
Koinonia erat hubungannnya dengan diakonia dan liturgia. Paulus dalam suratnya yang kedua kpada jemaat Korintus menggabungkan koinonia, liturgia dan diakonia bersama-sama dalm satu unit sekaligus dalam unsur-unsur dasar di dalam persekutuan yang kudus. Melalui pengujian diakonia, kamu akan memuji Allah melalui ketaatanmu dalam mengakui Injil Kristus dan melalui kederwanaan dalam koinonia (persekutuan) dengan mereka dan semua yang lain (II Kor.9:12-22). Hubungan vertikal dengan ilahi dan kasih (liturgia) direalisasikan dalam hubungan sosial/kasih manusia. kasih yang vertikal menentukan isis dari pelayanan dan memberinya makna dan tujuan. Peulus dengan tegas mengingatkan Gereja agar mengarahjkan kehidupannya sebagai tubuh kristus yang merupakan tantangan besar bagi diakonia gereja. Semua pekerjaan diakonal bertanggung jawab untuk membangun, memperkuat dan membentuk suatu komunitas yang kudus.
Membangun dan menjadi peduli terhadapap sesama adalah tugas utama Gereja. tugas utama pekerjaan diakonial adalah membangun suatu persaudaraan Kristen yang mengembangkan kepedulian terhadap sesama manusia yang berada didalam dan luar gereja. Dia mempersiapkan umat Allah untuk pekerjaan pelayanan orang-orang Kristen (diakonia), untuk membangun tubuh Kristus (Ef. 4:12).[18]
Dari sini sangat jelas terlihat bahwa Gereja (tubuh Kristus) yang di dalamnya terdapat jemaat, harus berjalan paling depan demi terciptanya tubuh Kristus yang sempurna. Sempurna di sini dalam artian Gereja bergerak dari luar dan dari dalam. Jadi keduanya saling bergerak, tidak mati sebelah.
Ada tiga unsur dasar persekutuan yang kudus bagi orang-orang yang dibaptis, dipersatukan kedalam tubuh Kristus, yaitu: Koinonia dari Firman Allah, Koinonia dari Perjamuan Kudus, Koinonia dari diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya ada suatu kehidupan bersama, yaitu satu didalam semua dan semua didalam satu. Koinonia mengarah kepada persekutuan dengan Yesus Kristus dan dengan satu sama lain yaitu anggota dari persekutuan yang kudus (Kis. 2:42). Peribadahan dan pengabdian kepada Allah didasarkan kepada pemberian Allah melalui Yesus Kristus yang diberikan kepada kita sebagai anugerah. Itulah bagian sakramentalia dari liturgi.[19]

            5.2. Misi pembebasan adalah jati diri gereja[20]
            Gutierrez mengungkapkan jati diri gereja dengan menggunakan istilah seperti persekutuan yang mengikuti Yesus, sakramen sejarah, dan komunitas ekaristi. Sehingga perutusan pembebasan gereja terhadap kemiskinan berpangkal secara hakiki dalam jati dirinya.
            a. Persekutuan Orang-orang yang mengikuti Yesus
            Mengikut Yesus dalam suatu ziarah komunal berarti hadir di tengah-tengah dunia untuk memproklamasikan Kerajaan Allah bagi semua orang melalui kaum lemah dan papa. Dalam situasi kekuasan ‘kematian’ dimana suatu sistem sosial memarjinalisasi kaum miskin yang mempunyai tempat utama dalam kerajaan kehidupan, menjadi pengikut Yesus berarti memperjuangkan kehidupan yang telah dinyatakan (bdk. 1 Yoh 1:1-4). Oleh karena itu mengikut Yesus berarti mereka yang kehilangan hidup demi TUHAN dan Injil akan diselamatkan, dan berarti penziarah dalam horizon kebangkitan, kehidupan yang definitif.
            b. Sakramen
            Gutierrez menampilkan jati diri Gereja sebagai sakramen sejarah atau sakramen universal penyelamatan yang menitik beratkan relasi antara Gereja dan dunia. Oleh karena itu istilah sakramen dalam teologi memiliki dua arti yang berhubungan, yaitu:
1. Sakramen dimaksudkan mysterion yang sigunakan Paulus dalam arti kepenuhan dan manifestasi rencana penyelamatan Allah. Rencana itu adalah kasih Allah yang memanggil semua manusia dalam Roh Kudus bersatu denganNya dan mencapai kepenuhannya dalam anugerah putraNya, Yesus Kristus.
2. Sakramen adalah tanda dan sarana rahmat yang efektif. Dimana adanya pertemuan antara Allah yang menyelamatkan dan manusia yang diselamatkan. Pertemuan ini merupakan realitas intrahistoris sebab didasari rahmat penyelamatan Allah yang mengatasi sejarah. Bagi Giuterrez menyebutkan gereja sebagai sakramen berarti mendefenisikan kaitan gereja dengan rencana penyelamatan Allah yang terpenuhi dalam sejarah melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristus, gereja adalan tanda dan sarana persatuan mesra manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Sebagai sakramen penyelamatan, Gutierrez berpendapat bahwa pada satu sisi Gereja mesti mewartakan diri pada dunia dan gereja harus membiarkan diri dievangelisasi oleh dunia. Sebab Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif dalam dunia bukan hanya dalam gereja. Dinamika gereja dan dunia mengarah menuju pemenuhan di masa depan yang dijanjikan Tuhan. Gutierrez menyatakan bahwa sebagai sakramental, gereja harus menunjukkan dalam struktur internalnya sendiri kepenuhan penyelamatan yang dia wartakan.
            c. Komunitas Ekaristi
            Tugas utama dan pertama Gereja adalah Ekaristi, yakni merayakan dengan penuh kegembiraan anugerah karya penyelamatan Allah melalui wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam ekaristi terungkap komunitas persaudaraan yang ditebus oleh Yesus Kristus. Injil menampilkan Ekaristi dengan latarbelakang Paskah Yahudi yang merupakan  perayaan pengenangan pembebasan dari Mesir dan Perjanjian Sinai. Paskah Kristiani memuat dan menyatakan kepenuhan arti Paskah Yahudi. Pembebasan dari dosa dan jalan menuju persatuan dengan Allah yang dirayakan dalam Paskah Kristiani adalah dasar dan tujuan pembebasan politis, pembebasan dari perbudakan dan eksploitasi dari Mesir (Paskah Yahudi). Ekaristi yang dirayakan Gereja sesungguhnya tidak terpisahkan dari perjuangan membangun masyarakat yang adil dan bersaudara.
            Dasar Biblis yang mendukung pernyataan bahwa Ekaristi berkaitan dengan perjuangan membangun persaudaraan antara manusia dalam suatu masyarakat yang adil-manusiawi. Pertama, ekaristi diinstitusikan dalam suatu perjamuaan yang dalam budaya Yahudi merupakan tanda persaudaraan. Kedua, penggunaan roti dan anggur menunjuk pada peristiwa pennciptaan dimana Allah memberikan barang-barang di dunia kepada semua orang agar membangun dunia manusia ynag bersaudara. Ketiga, Injil Yohanes mengganti kisah institusi Ekaristi dalam sinoptik dengan kisah pembasuhan kaki yang memperlihatkan bahwa inti Ekaristi adalah perbuatan pelayanan, kasih dan persaudaraan (Yoh 13:1-20). Keempat, Paulus menekankan etika solidaritas yang harus ada dalam merayakan Ekaristi (I Kor 11:17-34). Gereja membentuk diri sebagai komunitas Ekaristi sejauh menjadi tanda dan sarana persaudaraan manusia di tengah sejarah dalam melaksanakan perutusan pembebasan bagi kaum miskin dan hina.

            5.3.  Pilihan Mendahulukan Kaum Miskin [21]
            Jati diri Gereja dalam terminologi persekutuan yang mengikuti Yesus, sakramen sejarah, komunitas Ekaristi mengandung makna sama, yakni perutusan menyatakan karya pembebasan bagi semua orang dengan pilihan mendahulukan kaum miskin (prefential option for the poor). “Pilihan” (Option) berarti putusan dan komitmen yang bebas. Pilihan/opsi adalah sebuah solidaritas sukarela, mendalam, terus menerus dalam dunia kaum miskin. “Yang Mendahulukan” (prefential) menunjuk siapa yang seharusnya menjadi yang pertama. Kaum miskin merupakan kelompok yang diutamakan. Mendahulukan kaum miskin tidak berarti menyingkirkan golongan lain, tetapi mengundang semua orang terlibat dalam gerak bersama kaum miskin untuk membangun masyarakat yang adil-bersaudara. Melalui kaum miskin Gereja menyapa semua orang.
            Maksud dari kaum miskin secara real yang meliputi seluruh dimensi kehidupan  yang bersifat ekonomis, politis maupun kultural. Gutierrez menyatakan bahwa kemiskinan merupakan ‘kematian’, dimana dia menegaskan bahwa kaum miskin adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, harapan-harapan, gaya hidup tertentu. Kemiskinan adalah kondisi manusia yang global dan kompleks. Maka pilihan Allah mendahulukan orang lemah, hina, rendah dapat dipahami dalam perspektif kebebasan mutlak dan kasih cuma-cuma dari-Nya. Pilihan gereja dalam mendahulukan kaum miskin berpangkal dari Allah sendiri. Sebagai pengikut Kristus, gereja terlebih dahilu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (Mat 6:33). Sehingga Gutierrez berkata, kasih karunia Allah menuntut Gereja membangun keadilan autentik untuk semua dengan memberikan tempat istimewa kepada anggota-anggota masyarakat yang tidak penting yaitu mereka yang hak-hak asasinya diabaikan baik dalam teori (hukum) maupun dalam praktek.
            Allah solider dengan kaum miskin dan hina dengan mengundang semua orang terlibat dalam gerak yang sama untuk menciptakan komunitas manusia yang adil dan bersaudara. Prefensi Gereja terhadap kaum miskin, Gutierrez tidak meniadakan sifat universalitas Gereja di tengah-tengah sejarah. Gereja menjadi tanda Kerajaan dalam perjuangan menegakkan hak kaum miskin dan mempertobatkan kaum kaya dari keserakahan dan penindasan. Proklamasi Injil tidak cukup dengan kata-kata, tetapi nyata terungkap dalam solidaritas perjuangan kaum tak punya dan marjinal. Mengikuti Kristus yang miskin nyata dalam gaya hidup yang miskin. Sehingga Gereja Kristus berarti Gereja kaum miskin.

            5.4.  Menuju Gereja Kaum Miskin[22]
            Gereja kaum miskin adalah gereja yang sebagai tanda Kerajaan Allah dengan mendahulukan kaum miskin dalam seluruh praksis gerejani. Gereja kaum miskin memperjuangkan dalam mewujudkan keadilan sosial dan pembentukan tatanan sosial baru, dengan terbuka terhadap kehadiran Allah kehidupan, berdasarkan solidaritas Kristus dan bertolak dari proklamasi Kerajaan Allah yang mendahulukan kaum lemah dan tersingkir dalam sejarah. Sebagai gereja kaum miskin mampu mewujudkan dalam realitas sosial dengan meninggalkan status quo, melepaskan diri dari keterikatan dengan kelas sosial penindas dan mengambil posisi membela kaum miskin.
            5.5.  Kaum Miskin Yang Berevangelisasi[23]
            Solidaritas Gereja dengan kaum miskin berpangkal pada hidup Kristus yang miskin bersama kaum miskin untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Kemiskinan gereja adalah jalan menghayati warta Injil, yaitu proklamasi Kerajaan kehidupan, keadilan, dan pendamaian bagi kaum hina dan tertindas. Karena itu masuk dalam dunia kaum miskin berarti solidaritas dalam rangka melaksanakan perutusan evangelisasi Gereja. Evangelisasi bersifat membebaskan karena menyatakan pembebasan total dalam Kristus yang mencakup baik transpormasi historis dan politis konkret maupun mengantar sejarah menuju kepenuhannya dalam Kristus. Kaum miskin memp[unyai kemampuan evangelisasi, sebab:
1. Mereka menentang Gereja secara tetap menuju pertobatan dari jalan lama yang mendukung status quo;
2. Banyak orang miskin yang menghayati nilai evangelis dalam kehidupannya seperti solidaritas, pelayanan, kesederhanaan dan keterbukaan pada Allah.

Pola Hidup  Berjemaat (spiritualitas menuju transformasi sosial)
Pola hidup berjemaat yang diperkembang di Tanah Batak berkaitan dengan pengalaman para Missionaris tentang keberhasilan gereja Jerman sebagai gereja rakyat. Salah satu unsurnya adalah peranan gereja dalam mewujudkan transformasi sosial. Hidup berjemaat menjadi pusat dari kehidupan masyarakat di segala bidang, dan itu diwujudkan dalam struktur bangunan gedung gereja dalam susunan perumahan desa. Mirip dengan itu dilakukan Missionaris melalui corak kompleks gedung gereja (“pargodungan”).  Dalam kompleks itu selalu ditemukan gedung gereja, gedung sekolah tempat pengembangan ilmu, lahan pertanian sebagai percontohan (yang dikerjakan oleh para pelayan penuh waktu) untuk pemotivasian bagi peningkatan ekonomi penduduk, dan perumahan para pelayan sebagai tanda persekutuan kristiani yang menjadi acuan bagi persekutuan baru di desa atas dasar iman Kristen. Proses untuk hidup dalam spiritualitas kemandirian yang dalam pelayanan di masyarakat kemudian akan membuahkan transformasi sosial. Dengan demikian seluruh kehidupan masyarakat diperkembang melalui gerakan penginjilan itu, sehingga peranan Injil untuk mengendalikan hidup modern dimungkinkan. Disinilah mereka dimampukan untuk melayani sebagai para penginjil, yaitu  orang-orang yang bijaksana, yang dibakar oleh api roh dari Kasih Yesus, walau pun terlihat pergeseran penekanan tugas. Pergeseran dan proses seperti di atas menolong kita untuk mendengar ucapan Tuhan Yesus: “Akulah Yang Memilih Kamu!”

VI. Kesimpulan
            Pembebasan terhadap kaum tertindas dan yang mengalami ketertekanan akibat dari pihak yang berkuasa dan pemerintah, dapat diperjuangkan dengan memberikan kekuatan terhadap mereka melalui persekutuan bersama untuk mengangkat hak dan memotivasi umat dalam ibadah. Umat Tuhan yang telah mengalami ketidakadilan sosial dan mengalami marginalisasi di tengah-tengah kehidupannya, Allah menunjukkan kekuatan bagi bangsa Israel demikian juga bagi orang-orang yang terbelakang dengan memberikan jalan untuk mendapatkan kebebasan dan mengeluarkan mereka dari perbudakan apabila datang bersekutu dengan TUHAN. Jalan kebebasan akan dicapai melalui apabila mereka secara bersama-sama bersatu untuk memperjuangkan haknya yang berlandaskan kekuatan TUHAN yang senantiasa memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau persoalan. Kaum tertindas mendapatkan tangan pengasihan dari Allah sebab TUHAN mengetahui apa yang menjadi kebutuhan umat-Nya, asalkan beribadah kepada TUHAN dan hidup sebagai umat TUHAN yang taat-Nya. Pembebasan itu akan nyata diperoleh oleh umat TUHAN, sebab kebebasan sendiri berasal dari Allah dan asalkan manusia menuruti apa yang TUHAN katakan.
            Dalam hubungannya dengan diakonia maka secara eklesiologi-teologis tugas diaken merupakan tanggungjawab setiap orang percaya:
1)      Setiap orang berhak untuk hidup bebas dan merdeka, Oleh karena itu setiap orang harus hidup didasarkan atas amanat dan semangat injil Kristus yang membebaskan (I Ptr 2:16)
2)      Pemerintah berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah (bnd. Rm. 13: 1), oleh karena itu haruslah memancarkan kasih dari Allah.
3)      Proses pembebasan tidak harus dimulai dengan mengidentifikasi kawan-lawan, melainkan dengan mengasihi, mengampuni dan mendoakan mereka yang dianggap menindas dan menyusahkan orang lain. Sesama manusia adalah anak-anak dari satu Bapa. Jadi semua orang harus dipandang sebagai sesama manusia bukan sebgai lawan yang harus dihajar dan dimusuhi.
4)      Gereja berperan sebagai suatu intitusi pembebasan, bahwa gereja terdiri dari orang-orang yang dibebaskan dan diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, Gereja adalah koinonia yang dibebaskan Tuhan dan menjadi Koinonia pembebasan yang hendak dipakai Tuhan.
5)      Tugas Gereja memberitakan injil Allah, berarti secara aktif bekerja untuk mendatangkan kebaikan dan menentang segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Artinya gereja sebagai lembaga pembebasan yang Ilahi tak boleh berdiam diri dari perjuangan demi kebaikan dan keadilan.