Senin, 06 Agustus 2012

TEOLOGI KERAJAAN ALLAH



TEOLOGI KERAJAAN ALLAH 



I. PENDAHULUAN
Istilah Kerajaan Allah merupakan salah satu topik terpenting dalam kitab-kitab injil dan Perjanjian Baru dan pada umumnya para sarjana dari berbagai aliran teologi yang berbeda setuju bahwa berita utama yang disampaikan Yesus adalah tentang kerajaan Allah. Jürgen Moltmann, seorang teolog pencetus teologi pengharapan (Theology of Hope), menyatakan eratnya hubungan Yesus dengan berita kerajaan Allah melalui pernyataannya, “Kerajaan Allah dinyatakan dalam Yesus.”[1] Hans Küng, seorang teolog Katolik, juga merumuskan pentingnya kerajaan Allah sebagai pusat proklamasi Yesus dengan menyatakan, “This seems [Kingdom of God] is at center of His proclamation. . . .”[2] Hal yang sama dikemukakan oleh Jon Sobrino, seorang teolog pembebasan dan imam Yesuit, “Hal yang paling penting dari sejarah tentang hidup Yesus adalah bahwa konsep dominan dari pengajaranNya, dimana realitas aktifitasNya telah memberikan arti bagi seluruh pelayanNya adalah Kerajaan Allah.”[3] Teolog pembebasan lain dari kalangan Protestan Choan-Seng Song turut mengklaim sentralitas kerajaan Allah sebagai inti dari berita Yesus. Mengutip pandangan Güther Bornkamm ia menulis,  Pemerintahan Allah, kemudian, dirangkumkan dalam keseluruhan pesan pemberitaan Yesus.”[4] Bahkan, ia lebih jauh menyimpulkan bahwa identitas Yesus tidak dapat dilepaskan dari berita kerajaan Allah yang disampaikan-Nya, “It is more than that. All Jesus said and did has to do with the reign of God.”[5] Walter Rauschenbusch, bapak teologi Social Gospel, yang menempatkan kerajaan Allah sebagai dasar berteologinya untuk menentang konsep eksklusif sempit Gereja sebagai kerajaan Allah menyatakan pentingnya kerajaan Allah, If theology is to offer an adequate doctrinal basis for the social gospel, it must not only make room for the doctrine of the Kingdom of God, but give it a central place and revise all other doctrines so that they will articulate organically with it. This doctrine is itself the social gospel. . . . To those whose minds live in the social gospel, the Kingdom of God is a dear truth, the marrow of the gospel.[6] David Wenham menyimpulkan bahwa para sarjana modern yang tampaknya tidak dapat sepakat dalam hampir setiap hal tentang Yesus, “. . . are nearly unanimous on this one point—that Jesus proclaimed the coming of the Kingdom.”[7] Sayangnya, kesepakatan tersebut tidak diiringi dengan kesepakatan yang sama terhadap definisi dan intensi kerajaan Allah yang disampaikan Yesus.[8]
Nampaknya pemahaman yang berbeda tentang makna kerajaan Allah menurut Yesus tampaknya didasari oleh adanya motif tertentu untuk mendukung suatu sistem teologi yang dipegang atau diyakini agar tampak konsisten dan koheren. Akibatnya, terjadi pengabaian pada penelusuran makna kerajaan Allah secara historis-biblikal dari Kitab Suci.
Salah satu contoh yang secara singkat adalah pandangan kerajaan Allah menurut teologi feminisme yang dikemukakan oleh salah satu tokohnya, Elisabeth Schüssler Fiorenza. Pada dasarnya fondasi biblika yang dikemukakan Fiorenza bahwa basileia (dia ingin konsisten dengan tetap memakai kata Yunani basileia untuk “kerajaan Allah”) harus dipahami dalam “. . . etos umum Yahudi pada masanya, dan apabila sejarah dan komunitas Israel menjadi fokusnya.”[9] Sayangnya, fondasi yang apik ini sangat terganggu oleh motif dan keinginannya untuk menonjolkan cita-cita kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan, yang sedang diusungnya. Akhirnya, definisi kerajaan Allah yang sebenarnya sangat luas dan mencakup aspek-aspek yang sangat kaya, disempitkan dengan satu istilah, “duduk bersama.”[10] Realitas-realitas yang sama, seperti contoh di atas, dapat pula kita temui dalam formulasi kerajaan Allah dalam teologi pembebasan, teologi Yesus dan para murid nya pada lahirnya nampak seperti satu kecil dan permulaan yang tidak penting untuk satu karya besar. Namun di dalam berabad-abad yang sudah mengikuti, menyatakan gereja sudah menjadi satu institusi dahsyat, termasuk berjuta-juta individu. Bagi Gutiérrez, seorang teolog pembebasan terkenal, kerajaan Allah identik dengan pembebasan (liberation). Pembebasan yang ia maksud ialah pembebasan dalam tendensi politis dan sosial, “It can even be said that historical, political, liberating actions mean the growth of the kingdom. . . .”. Pandangan ini mirip dengan definisi yang diberikan oleh Reinhold Niebuhr, “Kingdom of God seemed to be an immanent force in history, culminating in a universal society of brotherhood and justice”. Ini berbeda dengan konsep kerajaan Allah,  Küng yang kelihatannya memiliki kemiripan dengan konsep demitologisasi Bultmann. Ia menekankan transcendental atau heavenly Kingdom yang berbeda dari religio-political theocracy. Satu artikel yang membahas dengan baik dan cukup panjang lebar tentang perbedaan pandangan konsep kerajaan Allah antara yang pro dengan konsep otherworldliness of the Kingdom dengan konsep this-worldly of the Kingdom versi Herbert Braun serta memberikan implikasinya secara singkat namun padat, adalah tulisan Günter Klein, “The Biblical Understanding of the Kingdom of God”. Dengan demikian, terjadi ketegangan-ketegangan antara nilai transenden dengan imanen, masa depan dengan masa kini, atau tekanan antara makna institusionalisme dengan makna am dari kerajaan Allah tersebut. pengharapan atau bahkan dalam teologi konservatif-injili sekalipun.[11]
Bruce Chilton mengeritik keserupaan metodologi kaum konservatif dengan teologi-teologi yang disebut di atas dalam melihat kitab suci, khususnya dalam kaitan dengan tema kerajaan Allah, melalui pernyataannya: Tempat tersendiri dari para orang Kristen konservatif dari Kitab injil telah menjadi lebih strategis. Mereka mengutip Alkitab dan menginstruksikan diri mereka dalam  muatannya, akan tetapi mereka juga membatasi banyaknya maksud/ati yang mereka akan terima dari Kitab Injil. . . . Faktanya adalah bahwa para fundamentalis mengabaikan maksud/arti yang tidak sesuaikan dengan teologi mereka[12]
Dari pembahasan awal ini, dapat disimpulkan bahwa; sedang terjadi bias makna dalam konsep kerajaan Allah. Meskipun, pada dasarnya, para teolog setuju bahwa konsep kerajaan Allah harus kembali dilihat dari perspektif Yudaisme, tampaknya terlalu banyak godaan untuk mengusung motif teologi (atau agenda) tertentu, yang hasilnya justru sering menjerumuskan dan bukan memperjelas makna kerajaan Allah. N. T. Wright, seorang teolog PB injili yang sangat terkenal saat ini, mengeritik kecenderungan ini dengan menyatakan, “Again, attempts have often been made to align kingdom-language with church-language, as though ‘the church’ is the real meaning of the kingdom.”[13]

II. DEFINISI KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN LAMA
Satu-satunya cara untuk memahami dengan baik pesan atau makna kerajaan Allah yang disampaikan Yesus adalah dengan melihat kembali konsep ini sedikit ke belakang menurut tradisi Perjanjian Lama, sebab apa yang disampaikan oleh Yesus bersumber dari Perjanjian Lama (bdk. Mat. 5:17-19). Lagi pula, konsep kerajaan Allah itu tentu tidak asing bagi kalangan Yudaisme saat itu yang memang erat memegang Perjanjian Lama.
Pada umumnya, para ahli setuju bahwa konsep kerajaan Allah yang berkembang dalam Yudaisme bukan dalam makna area kekuasaan atau sebuah teritorial dengan seorang raja yang memerintah di atasnya.[14]  Kerajaan Allah juga tidak boleh dipahami dalam pengertian modern seperti halnya kekaisaran Jepang atau konsep kerajaan Inggris (Kingdom), karena frasa ini bertendensi simbolik saja. Sekarang ini, seorang Ratu di kerajaan Inggris atau Kaisar di Jepang, tidak lagi mempunyai kuasa apapun untuk memerintah. Kekuasaan politik atau militer sepenuhnya terletak dalam tangan seorang Perdana Menteri. Ia hanya menjadi penguasa simbolik untuk mempertahankan tradisi kuno yang sudah hampir terkikis habis oleh tuntutan sistem demokrasi-liberal modern. Ambiguitas inilah yang menyebabkan banyak kalangan yang kurang sepakat dengan istilah Kingdom of God, dan lebih setuju dengan terminologi Reign of God.[15]
Kata Ibrani untuk kerajaan adalah malkuth. Seorang ahli Perjanjian Baru, C. H. Dodd mengatakan bahwa malkuth merupakan kata benda abstrak yang dapat berarti: kemerajaan (kingship), kuasa pemerintahan (kingly rule), pemerintahan (reign) atau kedaulatan (sovereignty). [16] Secara sederhana, ia mengartikan the malkuth of God (kerajaan Allah) sebagai: “God reigns as King” atau bertakhtanya Allah sebagai raja.[17]
Dengan demikian, frasa kerajaan Allah dapat diartikan, “. . . the idea of God, and the term ‘kingdom’ indicates that spesific aspect, attribute or activity of God, in which He is revealed as King or sovereign Lord of His people, or of the universe which He created.”[18] Kaufmann Kohler, seorang teolog Yahudi memberikan definisi lain namun serupa (dan menguraikan secara lebih jelas tentang King of the universe yang dipaparkan Dodd), “Reign or sovereignty of God as contrasted with the kingdom of the worldly powers. The hope that God will be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expound in prophecy and song.” (Kedaulatan atau pemerintahan dari Tuhan seperti yang dibandingkan dengan kerajaan kuasa-kuasa duniawi. Tuhan itu adalah harapan dan menjadi Raja di atas semua bumi, bila semua pemujaan berhala akan dibuang, apakah menguraikan terperinci di dalam nyanyian dan nubuatan)[19]
Dari dua definisi ini terlihat satu pengertian yang sama bahwa kerajaan Allah sama sekali tidak menunjuk kepada sebuah lokasi atau tempat yang istimewa dan penuh dengan kebahagiaan (seperti gambaran surga yang banyak dipahami orang Kristen selama ini) melainkan menunjuk kepada pemerintahan Allah atas umat-Nya dan atas semesta ciptaan-Nya, yang berbeda bahkan bertolak belakang dari pemerintahan dunia ini. Dalam hal ini dapat dipahami pandangan John Meier, seorang teolog Katolik, yang mempertegas bahwa definisi ini berlaku untuk menunjukkan relasi yang erat antara Allah sebagai Raja dengan umat sebagai hamba-hamba yang diperintah-Nya, bukan dalam pengertian suatu cakupan teritorial, “Hence his action upon and his dynamic relationship to those ruled, rather than any delimited territory, is what is primary.”[20]
Dalam sejarahnya, konsep the kingship of YHWH mengalami perkembangan yang signifikan. Sejarah the kingship of YHWH sebenarnya telah ditulis sejak Taurat. [21] Melalui pujian umat dalam Keluaran 15:18, setelah mereka berhasil lolos dari kejaran bala tentara Mesir lewat peristiwa spektakuler yang dilakukan YHWH di depan mata mereka, termaktub dengan jelas pengakuan bahwa hanya Dia yang layak untuk memerintah mereka selama-lamanya. Pengakuan mereka ini kemudian ditahbiskan lewat kovenan Sinai, di mana mereka diangkat dari antara segala bangsa menjadi “kingdom of priest (kerjaan imam),” kerajaan imam, kerajaan di mana Allah memerintah dan umat patuh serta melayani-Nya (Kel. 19:4- 6; bdk. Ul. 33:5).[22]
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Umat ternyata meminta raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:6-22).[23] Tindakan demikian sama saja dengan pemberontakan terhadap sistem teokrasi mutlak yang telah dideklarasikan Allah di Sinai melalui Musa, hamba-Nya.[24] Perjalanan berikutnya menyebutkan Tuhan “memaklumi” hal ini (1Sam. 12), namun aturan main yang ditetapkan adalah sang raja terpilih tidak punya kedaulatan atas umat.
Dalam hal ini, ditenemukan satu masalah pelik yang ada di balik konsep kerajaan Allah. Apakah ada dua kerajaan di dalam kerajaan Allah: kerajaan yang bersifat spiritual-teokratis (dipimpin oleh YHWH) dan kerajaan yang bersifat politis-monarkis (dipimpin oleh raja-manusia)? Masalah ini tidak mudah namun menjadi titik berangkat penting yang pada akhirnya membawa kita memahami makna kerajaan Allah versi Yesus.[25]
Masalah ini hanya dapat dipecahkan jika kita kembali melihat dua ayat yang sudah disebutkan sebelumnya: Keluaran 19:4-6 dan Ulangan 17:14-20. Di dalam Keluaran 19:4-6, Allah mendeklarasikan kerajaan Allah yang diistilahkan-Nya: kerajaan imam.[26] Dalam hal ini kita setuju dengan komentar John I. Durham terhadap Keluaran 19:6 yang menyatakan bahwa makna kerajaan imam ini tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang melekat dan melatarbelakangi konsep ini yakni “harta kesayangan” dan “bangsa yang kudus,” yang merupakan dwitunggal penting dalam kovenan YHWH dengan Israel.[27] Sebagai “harta kesayangan,” Israel “. . . become uniquely Yahweh’s prized possession by their commitment to him in covenant,”[28] dan sebagai “bangsa yang kudus,” Israel: . . . then represents a third dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are to be a people set apart, different from all other people by what they are and are becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant with Yahweh changes a people.[29]
Dengan demikian, sebagai kerajaan imam, Israel, “. . . was always supposed to be: a kingdom run not by politicians depending upon strength and connivance but by priests depending on faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling nation.”[30] Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa maksud YHWH mendirikan kerajaan-Nya [31] di tengah-tengah Israel, bukan untuk membentuk suatu dinasti monarki-ekslusif (apalagi fasis) yang paling jaya, paling kuat dan paling superior tanpa dapat ditandingi bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti eskpansi militer model Nebukadnezar dari Babel, Koresy dari Persia atau Aleksander Agung dari Yunani. Ia menghimpun dan mengangkat Israel untuk masuk dalam kerajaan-Nya hanya demi satu tujuan: menjadi model atau patron bagi bangsa-bangsa kafir di sekitarnya tentang bagaimana hidup taat dan beriman kepada YHWH agar mereka pun pada akhirnya hanya me-Rajakan-Nya. Dari pembahasan ini, ada tiga poin pokok yang menjadi inti kerajaan imam versi Sinai: pertama, YHWH sebagai inisiator; kedua, kekudusan sebagai fokus utama dan ketiga, Israel sebagai umat kesayangan YHWH, yang tujuan utamanya bukan untuk membentuk suatu umat yang ekslusif dan superior tetapi suatu umat yang inklusif, di mana kerajaan itu pada akhirnya tidak hanya mencakup Israel tapi seluruh kosmos.
Konsep ini makin lengkap jika mencermati Ulangan 17:14-20. Pandangan yang dapat dirumuskan bahwa bagian ini menegaskan antisipasi YHWH akan kemungkinan terbentuknya suatu bentuk pemerintahan monarki dalam umat.[32] Dengan demikian, YHWH tidak sepenuhnya menolak konsep raja-manusia,[33] tetapi YHWH menetapkan aturan main yang jelas, sebab kecenderungan terjadinya pelanggaran terhadap ketetapan kerajaan imam yang telah dideklarasikan di Sinai sangat besar. Ayat 16-17 menjelaskan tiga hal yang dapat mengancam kerajaan imam-Nya: pertama, jangan memelihara banyak kuda. Sudah menjadi kenyataan bahwa saat itu kuda merupakan lambang atau simbol kekuatan militer. Kejayaan suatu bangsa salah satunya diukur dari berapa banyak pasukan berkuda yang dimiliki (bdk. Kel. 14:23; 2Taw. 16:8; Mzm. 20:7; Hab. 1:8). Durham, melalui kutipannya terhadap pandangan Mowinckel, bahkan mengatakan bahwa pasukan berkuda merupakan simbol perlawanan kepada Allah.[34]
Kedua, jangan beristri banyak. Larangan ini tidak dapat dimengerti jika dipandang dari pandangan orang modern yang sering mengaitkan hal ini dengan persoalan moral-etis sebuah pernikahan. Dalam konteks politik dunia timur dekat kuno saat itu, perkawinan berkaitan dengan ikatan politik satu bangsa dengan bangsa lain dan ikatan politis saat ini tidak semata bertendensi relasi diplomatis seperti sekarang ini, tetapi pasti ada unsur perkawinan religius (bdk. dengan kegagalan Salomo [1Raj. 11:4-8]). Christensen menjelaskan ekses buruk dari pola ini dengan sangat baik, “. . . which has been a center for political power and intrigue from its inception.”[35] Ketiga, jangan mengumpulkan emas dan perak yang banyak. Larangan ini bertujuan menghindarkan Israel dari bersandar pada kekuatan ekonomi seperti yang kerap dilakukan bangsa-bangsa kafir.
Jadi, jelas ketiga larangan yang diajukan YHWH sebagai prasyarat rajamanusia berdasar pada tiga hal yang berpotensi menggagalkan Israel menjadi sebuah kerajaan imam, yakni kekuatan militer, politik dan ekonomi.[36]
Berbagai hal yang selama ini dianggap “keberhasilan” Salomo (1Raj. 10:14-28) nampaknya justru merupakan awal dari kegagalannya. Perhatikan konteks selanjutnya dari bagian ini 1Raja-raja 11-12. Penilaian positif yang diberikan kitab penulis-penulis kitab Deuteronomistik kepada harta kekayaan Salomo selalu hanya dikaitkan dengan perhatian yang serius dari Salomo untuk membangun Bait Allah. Emas dan perak dalam arti positif senantiasa dikaitkan dengan persembahan untuk Bait Allah (bdk. 2Taw. 9:24). Dalam perjalanan kerajaan Israel Selatan, beberapa raja jatuh karena tiga persoalan ini, misalnya: Yoas yang jatuh karena menyerahkan emas dari rumah Tuhan demi jaminan keamanan dari Hazael, raja Aram (2Raj. 12:17-18); Raja Asa mengeluarkan emas dan perak untuk mengadakan persekutuan militer dengan Benhadad, raja Aram (2Taw. 16:2-3); Hizkia yang mempertontonkan emas, perak, persenjataan dan berbagai hartanya pada para utusan Babel untuk kerjasama membangun kerjasama politik dan militer demi mencegah ancaman Asyur (2Raj. 20:12- 21).
Atas dasar ini baru dapat dipahami dengan lebih tepat perasaan tertolak YHWH dalam 2 Samuel 8:7, tatkala umat meminta seorang rajamanusia. Jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya mereka inginkan bukan sekadar seorang rajamanusia, tetapi lebih jauh mereka ingin menginstitusionalisasi suatu kerajaan monarki baru yang ekslusif, yang pada akhirnya mengizinkan pembangunan kekuatan militer, politik dan ekonomi yang kuat demi kelanggengan eksistensi diri.[37] Sikap ini tentu sama saja dengan menolak konsep kerajaan imam yang telah dideklarasikan-Nya bagi mereka. Pasca kejatuhan Saul, YHWH ingin merestorasi cita-cita kerajaan imam ini melalui Daud dan keturunan-Nya. Formulasi janji YHWH kepada Daud dalam 2 Samuel 7:1-17, tetap memuat inti deklarasi kerajaan imam Sinai yakni ketaatan kepada-Nya (2Sam. 7:14) dan jangan lupa, konteks bagian ini adalah rencana pembangunan Bait Allah yang menjadi sentral ibadah umat, persis seperti Sinai yang merupakan pusat ibadah  umat ketika berada di padang gurun setelah keluar dari Mesir (bdk. Kel. 3:12, “. . . kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini”). Da[at juga dibandingkan dengan respons Daud dalam 2 Samuel 7:22-26 yang turut menyatakan bahwa Israel ada untuk-Nya dan bukan sebaliknya; dengan kata lain Daud hanya mengagungkan eksistensi-Nya sebagai sang Raja sebenarnya.[38]
Formulasi yang sama juga termaktub dalam 1Raja-raja 9:5-6. Khusus dalam bagian ini, ada satu konteks menarik yang dipaparkan. Janji peneguhan kerajaan Salomo dibarengi dengan syarat ketaatan mutlak dari Salomo dan semua keturunannya kelak (1Raj. 9:6). Ketidaktaatan mereka akan membawa: pertama, kehancuran kerajaan; kedua, pembuangan (9:7) dan ketiga, kehancuran Bait Allah sebagai pusat ibadat (yang baru saja diresmikan) (9:8). Indahnya, semua ini disimpulkan dalam pengulangan kisah kovenan Sinai sebagai perekat utama, “Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan Tuhan, Allah mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir. . . .” (9:9). Dari sini, dapat disimpulkan: pertama, Raja sesungguhnya adalah YHWH. Setiap raja Israel harus takluk dan tunduk di bawah  otoritas-Nya. Ia adalah pengendali sejati dari sejarah Israel; kedua, setiap tindakan atau sikap yang hendak “mengkudeta” kerajaan imam yang ditetapkan-Nya akan dibayar dengan sangat mahal. Hukuman pasti tiba: hancurnya kerajaan, pembuangan dan robohnya Bait Allah. Kebalikannya, khususnya pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan, umat benar-benar akan diyakinkan bahwa kerajaan Allah telah hadir, dan Ia kembali bertakhta di Sion, melalui tiga tanda konkret: (1) restorasi dinasti Daud (hadirnya Mesias);[39] (2) dibangunnya kembali bait Allah dan; (3) kembalinya umat dari pembuangan untuk menyembah Dia yang berimbas pada konsekuensi musuh-musuh pasti akan ditaklukkan. Dari penelusuran ini, dilihat ada progresifitas konsep dari kovenan Sinai kepada perjanjian dengan Daud dan Salomo. Namun, di  sisi yang lain ada kecenderungan yang berbahaya bagi umat dari perkembangan konsep ini. Hal yang paling berbahaya adalah mulai munculnya nasionalisme sempit karena salah menafsir tiga poin pokok di atas.
Sehubungan dengan itu maka dapat disebutkan bahwa setiap idealisme pada masa Daud, dan seterusnya pada masa pasca-pembuangan, harus dilihat dari cita-cita kerajaan Allah kovenan Sinai. Penekanan ketiga dari kerajaan imam Sinai, Israel sebagai umat kesayangan YHWH, sering dipandang sebagai poin penting untuk melegalisasi perang suci (mungkin seperti pasukan crusade Kristen), apalagi setelah berulang kali mengalami kepahitan pasca-pembuangan. Dari stand-point ini baru dapat dimengerti dengan jelas kontroversi seputar pertentangan Yesus dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.

III. KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN BARU

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan  bahwa kerajaan Allah dalam Perjanjian Lama merupakan panggilan imamat bagi Israel untuk masuk dalam ketaatan mutlak kepada YHWH dan menjadi model bagi bangsa-bangsa kafir. Bukan itu saja, mereka bahkan dipanggil menjadi agen utama ilahi untuk menunjukkan kepada bangsa-bangsa kafir bagaimana hidup me-rajakan Dia dalam kesucian dan kekudusan agar mereka pada akhirnya juga hanya menyembah YHWH. Wright menyatakan hal ini dengan kalimat yang sangat indah: . . . the creator God had purposed from the beginning to address and deal with the problems within his creation through Israel. Israel was not just to be an “example” of a nation under God; Israel was to be the means through which the world would be saved.[40]
Konsekuensinya sederhana: Israel dipanggil untuk meninggalkan segala bentuk upaya mengikuti pola-pola kerajaan kafir yang ada hanya demi kelanggengan eksistensi dan institusi mereka; dan sebenarnya inilah berita kerajaan Allah yang Yesus bawa: bertobat dari segala agenda-agenda kelompok atau golongan dalam menghadirkan kerajaan Allah yang sebenarnya hanya mengikuti pola-pola bangsa kafir.[41] Sayangnya, pada masa Yesus cita-cita kerajaan imam ini terdistorsi. Berbagai kalangan bermunculan dan berupaya untuk menafsirkan makna kerajaan Allah berdasarkan cita-cita golongan mereka. Tujuannya satu: kelanggengan eksistensi kerajaan Israel. Golongan yang pertama adalah mereka yang bergerak dalam perjuangan secara revolusioner. Konteks pembuangan dan penjajahan yang dialami umat Israel secara silih berganti membuat menjamurnya gerakan-gerakan ini. Kelompok yang kebanyakan dimoderasi oleh kaum Zelot ini menggencarkan cita-citanya dengan mencaplok doktrin kerajaan Allah untuk mendapatkan dukungan luas. Semboyan mereka adalah, “No King but God!”[42] Golongan kedua adalah kaum esenit yang terkenal dengan gaya hidup asketisnya yang mempunyai penafsiran sendiri terhadap kerajaan Allah. Mereka terlalu menekankan aspek ritual dan kesucian etis sehingga akhirnya mereka menjadi kaum escapist yang “suka” melarikan diri dari dunia nyata. Wright menamakan golongan ini dengan sebutan kelompok quietist yang memiliki semangat, “. . . separate yourself from the wicked world and wait for God to do whatever God is going to do.”[43] Bagi mereka, kerajaan Allah ada dalam dimensi keheningan dan kesendirian jauh dari orang-orang kafir, sesat dan berdosa.[44]
Golongan terakhir berasal dari kalangan istana, Herodes. Orang ini punya “penyakit” messianic syndrome sehingga rela untuk melakukan kompromi-kompromi politik kotor. Dengan modal uang banyak dan posisi strategis, ia membangun segala sesuatu yang diperlukan (kota benteng, istana dan Bait Allah yang megah) untuk melegalisasi dirinya sebagai the coming king. Lahirnya golongan-golongan ini membuat konsep kerajaan imam YHWH di Sinai ditinggalkan. Ketiga konsep yang umum berkembang di Palestina pada zaman Yesus seperti di atas tidak sejalan dengan konsep kerajaan imam Sinai. Itu sebabnya tidak satu pun dari pola itu sejalan dengan pandangan Yesus. Yesus memberikan pemaknaan yang kontras dan beroposisi dari konsep kerajaan Allah yang umum dianut saat itu. Ia mengajak setiap pendengar dan pengikut-Nya untuk melihat kembali makna kerajaan imam yang telah dideklarasikan YHWH bagi Israel dan memanggil mereka untuk percaya dan bertobat serta mengikut Dia untuk menjadi Israel yang sejati (the real Israel): Israel yang memancarkan ketaatan mutlak kepada YHWH.[45]
Beberapa tindakan dan perkataan Yesus dapat merepresentasikan semangat kerajaan imam Sinai ini adalah:[46] Pertama, Yesus merepresentasikan tindakan YHWH sebagai inisiator perjanjian.[47] Dalam teologi perjanjian di dunia timur dekat kuno, tujuan perjanjian (kovenan) adalah ketaatan. [48] Poin ini sangat tampak dari ajakan berulang-ulang yang disampaikan-Nya untuk taat kepada-Nya.[49] Dalam hal ini, Yesus mengasosiasikan tindakan yang biasa dilakukan YHWH pada masa lampau kepada Israel dengan tindakan-Nya. [50] Kedua, Yesus merepresentasikan tindakan YHWH untuk membentuk suatu umat yang kudus bagi-Nya. Salah satu tindakan yang sangat tampak adalah peristiwa penyucian Bait Suci sebagai pusat ibadat umat.[51] Hal lain yang memuat berita pembentukan umat yang kudus adalah berita pembenaran dan penghakiman yang berulang-ulang ditekankan Yesus.[52] Ketiga, Yesus menunjukkan diri sebagai YHWH yang datang untuk mengasihi kembali umat-Nya dengan tujuan supaya umat menyampaikan kasih itu kepada segala bangsa.[53] Ide ini biasanya dikaitkan dengan kontras terang (umat Allah)[54] dengan gelap (umat Iblis).[55] Dan menariknya, Yesus kembali mengasosiasikan diri-Nya sebagai terang, julukan yang hanya pantas disandang YHWH.[56] Pokok tentang kerajaan imam ini, kemudian juga disampaikan oleh Petrus (1Pet. 2:9). Dalam konteksnya, jelas Petrus ingin menyatukan konsep kerajaan imam dengan pribadi Yesus (lih. ay. 4-8).[57]
Dari pembahasan ini, penulis berkesimpulan bahwa berita kerajaan Allah yang disampaikan Yesus yang menuai banyak kontroversi dari orangorang sezaman-Nya, tidak hanya disebabkan karena berita itu berbeda dengan berita kerajaan Allah yang umum berkembang saat itu. Lebih jauh, Yesus sedang mendeklarasikan diri sebagai Sang Pembawa kerajaan Allah itu sendiri, dan konsekuensi logisnya jelas bahwa berita kerajaan Allah itu tidak dapat dilepaskan dari pribadi Sang Pembawa, seperti yang dikatakan Wright, “Equally important, it [kingdom of God] could never be divorced from the person and deeds of the proclaimer.”[58] Kesimpulannya jelas: Yesus adalah YHWH sendiri; Dia adalah Sang Raja yang kekal, yang harus ditaati! Maka benarlah kata-kata Marcion seperti yang penulis kutip di atas, “In evangelio est Dei regnum Christus ipse” (dalam injil, kerajaan Allah adalah Kristus sendiri).
Konsep kerajaan Allah tidak pernah berbicara tentang sebuah teritorial atau daerah dengan sebuah sistem politik dan struktur birokratis di dalamnya. Kesimpulan penulis dari pembahasan ini ialah bahwa kerajaan Allah yang dimulai dengan deklarasi kerajaan imam Sinai berfokus pada Pribadi Agung yang dinobatkan sebagai Raja, Yesus Kristus. Di dalam Dia, seluruh perjalanan sejarah dunia mencapai klimaksnya. Di dalam Dia, surga dan bumi yang dulunya terpisah karena dosa dan pemberontakan manusia, disatukan kembali. Di dalam Dia, Allah berkenan menerima manusia kembali untuk menjadi umat-Nya yang kudus. Di dalam Dia, umat baru itu: sebuah imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, dipanggil untuk meninggalkan apa pun juga, untuk taat dan menyaksikan kebesaran kemuliaan-Nya kepada segala makhluk dan seluruh isi semesta ini.

IV. PENAMPAKAN KERAJAAN ALLAH  DALAM ASPEK KEKINIAN DAN MASA YANG AKAN DATANG
Di dalam Injil dapat dilihat bahwa Yesus datang untuk menyampaikan berita bahwa kerajaan Allah sudah dekat (Matius 4:17, Markus 1:2-3, 14-15, Lukas 4:14-21, 43). Gordon Fee dalam tulisannya “The Kingdom of God”, mengatakan bahwa: “kesaksian universal dari tradisi Injil Sinoptik adalah bahwa tema yang benar-benar utama dalam misi dan pesan Yesus adalah ‘kabar baik kerajaan Allah’.[59]” Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selama ini adalah apa yang dimaksud Yesus dengan “Kerajaan Allah” itu. Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus melalui aspek-aspek :
a)      Soteriologis, kerajaan Allah menyatakan mengenai Allah yang menyelamatkan berpangkal dari keadaan dosa, sesuatu yang negatif, dan Allah datang untuk mengatasinya. Namun keselamatan yang dimaksud Yesus bukan hanya keselamatan yang bersifat rohani tetapi juga jasmani, untuk semua orang tanpa membedakan, dan dengan mendahulukan mereka yang paling menderita/jauh dari keselamatan.
b)      Kristologis, kerajaan Allah berhubungan erat dengan seorang pribadi yang bernama Yesus (Luk 11:20)
c)      Eskatologis, kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus sudah dimulai tetapi belum penuh
d)     Teologis, kerajaan Allah dimaklumkan dengan gambaran tentang Allah yang baru. Allah adalah abba (bapa tercinta).
e)      Religio-politis, basilea uteum, kata yang dipakai untuk kerajaan Allah yang diberitakan Yesus sama dengan kata yang dipakai imperium Romawi untuk menyebut kerajaan Romawi.
Yang menarik perhatian adalah gambaran kerajaan Allah dari aspek eskatologis. Pertanyaan mengenai apa makna kerajaan Allah itu melahirkan pertanyaan selanjutnya, yaitu apakah kerajaan Allah itu sudah hadir saat ini, ataukah itu merupakan sesuatu yang ada di masa depan, yang masih harus dinantikan. Berpikir bahwa kerajaan Allah itu sudah hadir saat ini menimbulkan masalah ketika bertemu dengan teks-teks Perjanjian Baru yang berbicara mengenai kedatangan akhir zaman, yang masih akan terjadi (Mat 24:36, Mrk 13:32), dan juga ketika bertemu dengan kenyataan bahwa manusia masih saja bergumul dalam penderitaan dan dosa-dosanya, yang seharusnya sudah tidak ada lagi karena kerajaan Allah sudah hadir. Akan tetapi, berpikir bahwa kerajaan Allah belum hadir dan merupakan suatu pengharapan yang akan terjadi di masa depan, menimbulkan masalah juga ketika bertemu dengan teks-teks Perjanjian Baru yang menyatakan sukacita kedatangan atau hadirnya kerajaan Allah dalam kehidupan pelayanan Yesus. Oleh karena itu, ungkapan “akhir zaman belum tiba tetapi zaman akhir sudah tiba” memberikan jawaban bagi pergumulan teologis. Kerajaan Allah dikatakan oleh Fee juga, merupakan “both a future event and a present reality”, suatu peristiwa yang akan terjadi di masa depan dan juga suatu realita masa kini [60] .
Kerajaan Allah telah dinyatakan (inaugurated) dalam Yesus Kristus, namun pemenuhan/penggenapan sempurnanya merupakan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa kerajaan Allah tidak bisa didentikkan dengan suatu keadaan di masa kini, seperti misalnya suatu teokrasi, atau bahkan gereja, karena pemenuhan/penggenapannya bukanlah pada masa sekarang ini. Namun dengan pengertian ini juga, ada alasan untuk bersukacita dalam keselamatan yang diberikan oleh Allah bagi manusia, dan juga bersukacita dalam pengharapan akan penggenapan janji Allah akan kerajaan-Nya, yaitu ketika “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Wahyu 21:4). Dengan pengertian ini justru membuat sukacita menjadi penuh, karena menyadari bahwa kita hidup dalam “time between times”, di belakang dan di masa kini adalah pernyataan kerajaan Allah dan di masa depan adalah pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah.
Dengan memperoleh pengertian mengenai “kapan” kerajaan Allah hadir di dunia ini, membawa kita pada pemahaman berharga yang sangat membantu kita  dalam pergumulan untuk memahami kerajaan Allah yang diberitakan Yesus. Memahami bahwa akhir zaman belum tiba tetapi zaman akhir sudah tiba, memberikan pengertian kepada kita mengenai pentingnya sikap aktif untuk berpartisipasi dalam karya kerajaan Allah di dunia ini. Artinya setiap orang yang percaya pada kebenaran eskatologis kerajaan Allah ini akan menjadi orang yang terus memperjuangkan perubahan menuju pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah itu.
Dari sini kita memahami bahwa kerajaan Allah bukanlah tentang apa yang Allah lakukan/kerjakan sementara manusia menanti dengan pasif, dan bukan juga tentang apa yang harus manusia kerjakan/perjuangkan sementara Allah menyaksikannya dari jauh. Kerajaan Allah, seperti yang dikatakan Bruce Chilton dan J.I.H. McDonald dalam Jesus and Ethics, adalah performative[61].Itu adalah performance Allah di mana kita dengan aktif turut serta berpartisipasi.
Dalam sukacita kerajaan Allah yang sudah hadir di tengah dunia, dan dalam pengharapan akan pemenuhan kerajaan Allah yang akan datang, kita dipanggil untuk turut aktif berpartisipasi/mengambil bagian dalam karya kerajaan Allah itu. Memahami panggilan ini membawa kita kepada pemahaman baru mengenai aspek-aspek lain dari kerajaan Allah yang diberitakan Yesus yang disebutkan di depan tadi. Dalam aspek soteriologis misalnya, kita dapat bersukacita karena keselamatan sudah datang, namun kita juga tidak bisa berpuas diri dan berpangku tangan saja, melainkan dipanggil untuk turut berpartisipasi memberitakan tentang Yesus Kristus yang membawa berita kerajaan Allah yang menyelamatkan itu. Berita itu harus disampaikan kepada semua orang, dengan memulai dari mereka yang terjauh dari keselamatan, yaitu mereka yang paling menderita. Namun berita itu juga bukan sekedar berita rohani/spiritual, tetapi juga berita keselamatan jasmani, karena itu kita tidak bisa menutup mata terhadap penderitaan jasmani yang dialami oleh sesama manusia di sekitar saya. Membawa kerajaan Allah kepada mereka melalui tindakan nyata juga merupakan wujud partisipasi saya dalam kerajaan Allah yang sudah hadir dan akan datang itu.

V. KESIMPULAN DAN REFLEKSI MASA KINI
Dari pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa istilah kerajaan Allah pertama-tama harus dilihat kembali dalam konteks dari mana istilah itu berasal yakni Yudaisme yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari Perjanjian Lama sebagai sumber utama tradisi Yudaisme. Kedua, dalam pemahaman Yudaisme, kerajaan Allah tidak pernah secara khusus berbicara dan mengacu dengan “dunia lain” yang tidak punya kait-mengait dengan dunia kita saat ini. Bertitik tolak dari  Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:10, “datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Dengan demikian, kerajaan Allah juga berbicara tentang masa kini dan sekarang, bukan hanya esok dan masa akan datang.
Oleh sebab itu kerjaan Allah langsung menghubungkan dengan hal kehendak Allah. Ketika Yohanes Pembabtis memproklamirkan kerjaan itu, maka penekanannya dalah perwujudan tindakan Allah yang berdaulat ditengah-tengah uman manusia. Maka pemahaman kerajaan Allah bukan berorientasi pada ruang lingkup, tempat allah, namun pemahaman Kerajaan sebagai suatu yang bersifat dinamis.[62]
Sejalan dengan pembahasan sebelumnya, kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap aspek itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa kerajaan Allah pertama-tama dan terutama berbicara tentang citacita eskatologis bahwa Kristus adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan menyembah-Nya (Fil. 2:10-11; Kol. 1:15-18).


[1] Jürgen Moltmann, Jesus Christ For Today’s World, Fortress, Minneapolis: 1994, hlm. 7.
[2] Hans Küng, On Being a Christian, Doubleday, New York: 1975, hlm. 214
[3] Jon Sobrino, Christology at the Crossroads, Orbis, Maryknoll: 1984, hlm. 41. Lih. juga Gustavo Gutiérrez, The Truth Shall Make You Free: Confrontation , Orbis, Maryknoll: 1991, hlm. 117
[4] Choan-Seng Song, Jesus and the Reign of God, Fortress, Minneapolis: 1993, hlm. 4
[5] Ibid.
[6] Walter Rauschenbusch, A Theology for the Social Gospel, Abingdon, Nashville: 1945, hlm. 131. Nampaknya salah satu kekeliruan Agustinus yang menyamakan kerajaan Allah dengan gereja, “Then it must be out of His present kingdom, the Church, that they are gathered. . . . Therefore the Church even now is the kingdom of God, and the kingdom of Heaven. . . .” (The City of God [trans.; New York: The Modern Library, 1950] 725, 726)
[7] David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity, Eerdmans, Grand Rapids: 1995, hlm. 35.
[8] N. T. Wright, The Challenge of Jesus: Rediscovering Who Jesus Was and Is , InterVarsity, Downers Grove: 1999, hlm. 34. Walter Rauschenbusch, misalnya, melihat kerajaan Allah sebagai konsep yang harus dibedakan dari Gereja (lih. A Theology, hlm.  132-138). Agustinus di pihak lain justru mengasosiasikan kerajaan Allah dengan Gereja. Pandangan yang sama dengan Agustinus, yang menyamakan kerajaan Allah dengan Gereja dapat pula dilihat dari pandangan tokoh-tokoh Dispensasionalisme seperti John Walvoord yang menyatakan, “Concerning this, Jesus said, ‘The Kingdom of Heaven is like a mustard seed. . . . The church, like a mustard seed, had a small beginning.
[9] Untuk Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asalusul Kekristenan (terj.; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) 165.
[10] Ibid. 164.
[11] Kegagalan fatal dari banyak kalangan Injili sekarang ini dalam menjelaskan definisi kerajaan Allah adalah kecenderungan sempit untuk menyamakan kerajaan Allah sebagai suatu lokasi tempat tinggal orang-orang percaya setelah mati (surga) untuk hidup kekal. Ini banyak ditemui dalam metode-metode penginjilan masa kini. Ayat-ayat tentang kerajaan Allah dikutip secara sembrono untuk mendukung teologi “hidup kekal” ini. Dikutif dari; http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[12] “The Reign of Forceful Grace” dalam Jacob Neusner dan Bruce Chilton, Jewish- Christian Debates: Kingdom, Messiah, Fortress, Minneapolis: 1998, hlm. 135
[13]N. T. Wright,  Jesus and the Victory of God, Fortress, Minneapolis: 1996, hlm. 221.
[14] Lih. ambiguitas yang muncul dari kata Inggris Kingdom dalam buku C. H. Dodd, The Parables of the Kingdom, Charles Scribner’s, New York: 1961, hlm. 21.
[15]James Dunn cenderung memakai terminologi Kingdom of God karena memang kata Yunani dari istilah ini, basileia, secara literal berarti Kingdom. Secara filosofis, John Meier sebenarnya lebih setuju dengan istilah reign, rule, kingship atau kingly power dari pada kingdom. Ia menggunakan istilah kingdom hanya demi alasan praktis. Alasan utama yang ia kemukakan saat memakai frasa ini adalah karena frasa ini sudah sangat umum digunakan dalam banyak buku dan artikel. Selain itu, penggunaan istilah lain akan membingungkan bagi “pendatang
baru” yang ingin berdiskusi dengan topik ini. Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerajaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[16] C. H. Dodd, Op.Cit, hlm. 21. Reign dapat diterjemahkan “pemerintahan”, sovereignty dapat diterjemahkan “kedaulatan” tetapi dua kata berikutnya kingship dan kingly rule sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] “Kingdom of God” dalam Jewish Encyclopaedia (ed. Cyrus Adler, et al.; London: Funk & Wagnals, 1901) 7.502-503 
[20] Lih. juga definisi serupa yang diberikan oleh Sanders, “We should all agree that ‘kingdom’ is a concept with a known core of meaning: the reign of God, the ‘sphere’ (whether geographical, temporal or spiritual) where God exercises his power” Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[21]Nampaknya, Chilton agak sedikit keliru saat ia memetakan kerajaan Allah dengan hanya memakai kitab Mazmur sebagai dasarnya, di mana ia mengatakan, “In Psalms we must reckon with a much more nuanced application of a language of kingship to God than the modern fixation on eschatology would allow” . Meier mengatakan bahwa memang banyak pakar yang mengikuti pola Sigmund Mowinckel, yang menamakan Mazmur 47, 93, 96, 97, 98 dan 99 sebagai “royal enthroment psalms.” Namun, dapat disetujui pandangan  Meier yang kemudian menyatakan bahwa, “Yet, the theme of God’s kingship over Israel is by no means restricted to the Book of Psalms” . Martin Selman turut mencatat bahwa kebiasaan hanya melihat enthronment Psalms mengakibatkan timbulnya pemisahan antara konsep kerajaan Allah (kingdom of God) dengan Kingship of YHWH “. . . it is usually tacitly assumed that there is no real distinction between statements that Yahweh is King and that he has a kingdom. As a result, little attention has been given to those passages which contain specific mention of Yahwe’s kingdom. This failure to reckon with a separate concept is particularly evident in the case of the Psalms, where discussion has tended to be limited to the cultic implications of the so called ‘Enthronement Psalms” Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[22] Sehubungan dengan catatan kaki 21, penulis setuju dengan Meier yang menyatakan bahwa secara mengejutkan banyak mazmur-mazmur yang mengetengahkan locus atau tema bahwa YHWH adalah Raja, ternyata meminjam ide ini dan ide-ide lain seputar peristiwa kovenan Allah dengan Israel dalam Pentateukh (A Marginal Jew 2:245). Penulis mencatat beberapa di antaranya: Mazmur 68:9, 18, 25, 35-36; 89:10-11 (kata “Rahab” dalam ayat ini menunjuk kepada bangsa Mesir; bdk. Yes. 27:1; 30:7; 51:9); 93:4; 95:8-11; 99:6-9. Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[23]Bdk. dengan penolakan Gideon untuk memerintah Israel saat orang Israel memintanya untuk memerintah mereka (Hak. 8:23). Menariknya, Tuhan sepertinya sudah mengantisipasi hal ini melalui peraturan yang ditulis dalam Ulangan 17:14-20. Merupakan hal yang keliru untuk menyatakan bahwa kebiasaan untuk mengangkat seorang raja-manusia adalah kebiasaan bangsa-bangsa kafir tanpa melihat motif dan filosofi di balik pengangkatan raja tersebut. Dale Patrick menyatakan bahwa, “There was a rather general understanding in the ancient Near that the authority of a ruler was circumscribed by divine and natural law.” Contoh yang ia kemukakan adalah meskipun ada hukum-hukum yang memakai nama penguasa, namun perlu dicatat bahwa Code Hammurabi, hukum tertinggi Babilonia modern, dinyatakan sebagai sebuah pewahyuan dari dewa Shamash, raja langit dan bumi (“The Kingdom of God in the Old Testament” dalam The Kingdom of God in 20th-Century Interpretation [ed. Wendell Willis; Peabody: Hendrickson, 1987] 74-75). Nel memaparkan bahwa acuan dewa (ilah) sebagai raja merupakan hal yang lumrah dalam negara-negara tetangga Israel seperti Mesir, Mesopotamia dan Siria. Sebagai contoh, Marduk disebut sebagai raja di kisah penciptaan Babilonia; Amun-Re disebut sebagai “king of gods” dan “king of heavens” (“$lm” dalam NIDOTTE 2.960). Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerajaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[24]Ibid.  “The Kingdom of God” 74.
[25] Dalam hal ini, penulis kurang setuju dengan analisa Selman untuk mengatasi kesulitan ini yang sekadar menyimpulkan bahwa, “The kingdom of God is frequently thought to be manifest through human beings” tanpa memberikan argumentasi yang jelas terhadap kesimpulan ini (“The Kingdom of God” 183).
[26] Untuk melihat perbebatan seputar terminologi kerajaan imam lihat John I. Durham, Exodus (WBC; Waco: Word, 1987) 263. Penulis menemukan konsep yang sama dengan yang dianut oleh teolog Yahudi terkenal Jacob Neusner yang dalam membandingkan konsep kerajaan Allah Kristen dengan Yahudi mengatakan, “Christianity’s kingdom of God concerns personal obedience in the private life; the Torah’s kingdom of Heaven speaks to the formation of a kingdom of priests and a holy people, a light to the nations, a community that embodies the Torah and realizes God’s will not in some one place but in every circumtances subject to God’s plan and will” (“A Judaic Response to Forceful Grace” dalam Jewish-Christian Debates 155
[27] Ibid. Kegagalan terbesar dalam melihat konsep ini adalah terjadi karena kebanyakan ahli memisahkan makna kerajaan imam dari dua konteks ini.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Pernyataan ini jangan sampai disalahpahami bahwa kerajaan Allah baru berdiri seiring dengan deklarasi Israel sebagai “warga” pertama dari kerajaan ini. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pernyataan Selman, “The Old Testament never speaks of a beginning of Yahweh’s kingship, but only of Israel coming to acknowledge that kingship for herself as she entered into covenant with her God” (“The Kingdom of God” 182) .
[32] Duane L. Christensen yang melalui komentarnya terhadap ay. 14 menyatakan bahwa, “The law of he king acknowledges that a time will come when the people of Israel will desire a king. . . .” (Deuteronomy 1:1-21:9 [WBC; Nashville: Thomas Nelson, 2001) 383.
[33] Christensen membahasakannya dengan lebih baik, “This is not a command but a concession. . . .” (ibid. 384).
[34] Durham mengutip pandangan Mowinckel dalam mengomentari Ul. 15:1, yang mengatakan, ”. . . and the phrase ‘horses and chariots’ is the standing OT phrase characterizing human military forces as against God’s . . . .” (Exodus 205)
[35] Duane L. Christensen, Op.Cit, hlm. 384.
[36] Ibid. hlm. 384-385.
[37] Konteks bagian ini, di mana dua anak Samuel yang diharapkan menjadi pemimpin yang tangguh bagi mereka ternyata gagal dalam moralitas (8:1-5) padahal di pihak lain Filistin terus merongrong ekstistensi bangsa ini sejak masa hakim-hakim, tentu menjadi dasar kuat untuk mendukung asumsi ini. Lih. juga penafsiran P. Kyle McCarter Jr. terhadap perikop ini dalam bukunya 1 Samuel (AB; New York: Doubleday, 1980) 159-160. Lih. juga analisis Gerhard Von Rad yang menyatakan bahwa, “In Israel the monarchy arose under Philistine pressure”(“%l,m, and tWkl.m : in OT” dalam TDNT 1.565). Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[38] Ini semangat yang ada dalam kitab-kitab Deuteronomic history yang kebanyakan adalah hasil refleksi umat pasca pembuangan (lih. 1Taw. 17:14).
[39] Bdk. dengan Mzm. 2:6-9.
[40] N. T. Wright, Op. Cit, The Challenge of Jesus, hlm.  35.
[41] Wright secara baik membandingkan kata “bertobat” yang diucapkan Yesus dengan yang pernah diteriakkan Josephus saat menjadi komandan pasukan Roma untuk meredakan beberapa gerakan pemberontak di Galilea, “metano_sein kai pistos emoi genesesthai”—repent and believe in me. Kata-kata ini tentu tidak dimaksudkan agar para pemberontak mengakui dosa-dosa yang berkaitan dengan perilaku moral-etis, seperti yang selama ini selalu dipahami kalangan Kristen. Ia menyatakan maksud ungkapan ini sebagai berikut, “So when he confronted the rebel leader, he says that he told him to give up his own agenda and to trust him, Josephus, instead” (The Challenge of Jesus 43-44).
[42] Wright, Jesus 204.
[43] N. T. Wright, Op. Cit, The Challenge of Jesus 37.
[44] Tentu mereka akan sangat marah ketika melihat Yesus justru memperuntukkan kerajaan Allah itu bagi mereka yang tertindas, kaum berdosa dan kalangan marginal.
[45] Wright menyimpulkan, “The kingdom of God, he said, is at hand. In other words, God was now unveiling his age-old plan, bringing his sovereignty to bear on Israel and the world as he had always intended bringing justice and mercy to Israel and the world” .ibid.
[46] Bertil E. Gärtner dengan sangat baik mencatat tiga hal berkaitan dengan tindakan Yesus yang merepresentasikan tindakan YHWH kepada Israel: pertama, pengampunan Yesus atas dosa; kedua, Yesus menyatakan diri-Nya lebih besar dari Musa; ketiga, Yesus berkuasa atas Setan; keempat, Yesus memiliki otoritas sebagai hakim; kelima, Yesus sendiri adalah manifestasi dari kehadiran kerajaan Allah (“The Person of Jesus and the Kingdom of God,” Theology Today 40/2 [April 1970] 32-34). Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar,  24 Maret 2010
[47] Bdk. Lukas 22:20 (lih. “Cawan ini adalah perjanjian baru. . . .”; bdk. Yer. 31:31). Bdk. dengan penafsiran istilah “perjanjian baru” dari penulis Ibrani (8:8-12; 10:16-17). Lih. Yesaya 42: 6 yang ada dalam konteks bahwa sang Mesias yang akan membawa perjanjian baru itu. Lih. juga Yohanes 13:34.
[48] Pandangan menarik dikatakan oleh Sanders yang mengemukakan bahwa jumlah dua belas dari murid Yesus bukan tanpa makna. Itu adalah simbol restorasi Israel yang mewakili dua belas suku, umat baru yang taat (lih. Jesus and Judaism 118-119).
[49] Mat. 28:20. Perintah ini khususnya banyak terdapat dalam Injil Yohanes (14:15, 23-24, 15:10).
[50] Contoh yang paling konkret di mana Ia mempersonalisasi kerajaan Allah di dalam diri-Nya tampak dari ucapan dalam Matius 11:29, ”. . . pikullah kuk. . . .” Ajakan Yesus ini mirip dengan definisi kerajaan Allah yang dipahami oleh tradisi rabinik, the yoke of Torah (lih. Neusner, “Living under the Yoke of the Kingdom of Heaven” dalam Jewish-Christian Debates 101). Wright meyatakan bahwa ayat ini mengontraskan the yoke of the law dengan the yoke of the kingdom (Jesus 302). Wright memberikan penguatan terhadap asumsi penulis bahwa ayat ini menunjuk kepada maksud Yesus mempersonalisasi kerajaan Allah dalam diri-Nya dengan menyatakan, “Instead of being under Torah itself, the summons was now to be under Jesus” (Ibid.).
[51] Matius 21:12-13; Markus 11:12-19; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16. Literatur PL sering mengaitkan kekudusan dengan Bait Allah, misalnya: 1Tawarikh 29:3; 2:6; Yesaya 6:1-3.
[52] Dalam Mat. 13:16-17; 36-43; 48-49 dan lih. bagian paralelnya.
[53] Lukas 19:41-44. Lihat juga perumpamaan dalam 18:12-14; tiga perumpamaan dalam 15:1-32. Lih. 1Petrus 2:9, “. . . imamat yang rajani . . . supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. . . .” Bdk. dengan referensi PL yang dipakai Petrus untuk mengembangkan idenya yakni Yesaya 43:20-21, “. . . umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku.”
[54] Hal ini juga tertuang dalam keyakinan kaum esenit di Qumran, bahwa mereka adalah anak terang (children of light). Sayangnya, mereka menganut konsep sempit dengan memaknai kesucian asketis. Akhirnya, terang mereka tidak dinikmati semua orang tapi untuk eksistensi diri mereka sendiri.
[55] Matius 5:13-16 (perhatikan konteks bagian ini yang berbicara tentang kerajaan Allah [4:23])
[56] Lukas 2:32; Markus 4:21-25 dan Lukas 8:16 adalah perumpamaan yang ada dalam konteks kerajaan Allah. Dalam kaitan dengan konteks pelita dan terang ini, Wright memberikan komentar yang indah yang mengaitkan perumpamaan ini langsung dengan Yesus, “The best explanation of this is in terms of a combination of themes: the coming of YHWH to his people, the coming of the kingdom, and of course the coming of Jesus himself. . . .” (Jesus 239-240 ). Lih. juga Yohanes 1:4-9; 8:12. Bdk. dengan ungkapan Perjanjian Lama yang mengasosiasikan pelita/terang dengan YHWH (lih. 2Sam. 22:29; Ayb. 29:3; Mzm. 27:1 dan Mi. 7:8).
[57] Dalam bagian ini terkandung tiga pokok kerajaan imam: Mesias yang menjadi representasi YHWH sebagai inisiator, umat yang kudus, dan umat kepunyaan (kesayangan) Allah.
[58] N. T. Wright, Op. Cit, Jesus,  228
[59] Gordon Fee, “The Kingdom of God” dalam Murray Dempster et al (ed.), Called and Empowered: PentecostalPerspectives on Global Mission. Peabody, Massachussets: Hendrickson, 1992, hlm. 8
[60] Fee, “The Kingdom of God”, hlm. 11
[61] Bruce Chilton and J.I.H McDonald, Jesus and the Ethics of the Kingdom, Grand Rapids, Michigan: Eerdmans: 1987, hlm.19-20

[62] Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, hlm, 23-24