Selasa, 15 Januari 2013

TINJAUAN YURIDIS DARI ATURAN DAN PERATURAN



TINJAUAN YURIDI
ATURAN DAN PERATURAN HKBP
 Oleh Dr Lintong O.Siahaan,SH.,MH

Penulis mencoba mengemukakan ide-ide atau gagasan-gagasan untuk membaharui Aturan dan Peraturan 2002 tersebut, baik dengan gagasan-gagasan yang baru samasekali, yang belum pernah ada di dalam Aturan dan Peraturan 2002, maupun dengan gagasan-gagasan untuk memodifikasi gagasan-gagassan yang sudah ada. Gagasan-gagasan tersebut, antara lain: Perlu adanya suatu lembaga baru yang indipenden, yang bertugas menangani sengketa atau konflik di HKBP, baik konflik intern, maupun konflik ektern. Badan / lembaga tersebut dikenal dalam istilah hukum ketatanegaraan sebagai Lembaga Yudikatif. Menurut penulis, Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislalatif sudah ada, akan tetapi Lembaga Yudikatif belum ada; Selain itu, perlu penegasan kembali lembaga-lembaga otonom dalam system Tata Pemerintahan (governance) di HKBP. Di dalam Tata Pemerintahan (governance) di HKBP, menurut penulis, hanya ada 2 (dua) lembaga otonom, yaitu: HKBP Umum (Hatopan) ditingkat Pusat, dan Jemaat (Huria) di tingkat Daerah. Distrik dan Resort bukanlah badan-badan otonom, akan tetapi merupakan organ pusat di daerah untuk menjalankan tugas-tugas medebewin dan dekonsentrasi, bukan desentralisasi (konsep terlampir); Disamping itu masih ada hal-hal lain yang perlu ditampung dalam rangka penyempurnaan Aturan dan Peraturan tersebut, yang secara lengkapnya nanti akan diuraikan dalam tulisan ini.
                Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini, adalah Metode Penelitian Normatif, dengan menekankan pada penelitian kepustakaan dan studi komparatif, yang diperkaya dengan pengalaman-pengalaman empiris dari penulis, baik sebagai praktisi, maupun sebagai peserta dalam diskusi-diskusi formal dan non formal, yang kesemuanya dihimpun secara acak.
                Harapan penulis, semoga karya ini berhasil memancing idée-idee atau gagasan-gagasan baru yang lain-lainnya, untuk memperkaya rumusan-rumusan Aturan dan Peraturan HKBP yang akan datang.

Amandemen (Revisi) Aturan dan Peraturan.
                Mengapa Perlu Amandemen..? Hukum selalu ketinggalan jaman dibandingkan dengan perkembangan masyarakat. Hari ini undang-undang diundangkan, besok dia sudah ketinggalan jaman (Sudikno Mertokusumo, hlm. 10). Konstitusi Amerika Serikat sudah beberapa kali mengalami perubahan, demikian juga konstitusi Prancis, dan konstitusi berbagai Negara-negara lain di dunia. Undang Undang Dasar 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali (Jimly Asshiddiqie, hlm. iii). Bahkan, akhir-akhir ini sudah ada suara-suara yang mempersoalkan agar segera disusul dengan amandemen yang kelima. Revisi ( Amandemen) tersebut berlangsung tanpa mengubah Negara, baik bentuk, dasar, dan filosofisnya. Yang berubah tersebut hanyalah pasal-pasalnya, untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan jaman / masyarakat.
                Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002 hingga sekarang sudah berumur 6 (enam) tahun. Pada tahun 2010 nanti, di mana direncanakan akan diadakan Sinode Khusus untuk amandemen, menjadi 8 (delapan) tahun. Dilihat dari usianya tersebut, Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002, sudah pantas untuk direvisi melalui amandemen. Apalagi sejak semula, menurut penulis, Aturan dan Peraturan tersebut sangat jauh dari sempurna. Perkembangan, dinamika, dan kemajuan masyarakat dalam proses waktu yang berjalan, perlu ditampung dalam Aturan dan Peraturan yang baru nanti. Bahkan, Roscoe Paund mengatakan : Law as a tool for social engineering , yang berarti hukum harus bisa merekayasa masyarakat ke masa depan (Lili Rasyidi, hlm. 126). Atas dasar itu, Aturan dan Peraturan HKBP yang akan datang pun, harus bisa melihat perkembangan masyarakat ke depan. Oleh karena itu, Aturan dan Peraturan HKBP, harus dibuat sedemikan rupa hingga mampu menampung dinamika dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian usia dari Aturan dan Peraturan HKBP dapat diharapkan berlangsung lebih lama.
Aturan dan Peraturan Hasil Maksimal Dari Suatu Pertarungan Besar.
Setiap Undang-undang atau Aturan dan Peraturan, menurut penulis, adalah merupakan hasil maksimal dari suatu pertarungan besar, yang mempertaruhkan 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Idiologi; 2. Nilai; dan 3. Kepentingan. Semua pihak yang terkait di dalam pencapaian keputusan tentang Aturan dan Peraturan tersebut, terlibat di dalam pertarungan ketiga hal itu. Dalam kontek kenegaraan pertarungan mengenai Idiologi adalah: Apakah Idiologi Komunis atau Liberal; Negara Theokrasi yang berdasarkan Agama, atau Negara Sekuler; Nasionalisme, Negara Kesatuan, dan/atau Negara Federal, dan sebagainya. Di dalam kontek organisasi Gereja, yang dipertaruhkan adalah: Apakah Gereja dengan aliran Lutheranianisme, Kalfinisme, Pantekosta, Kharismatik, dan sebagainya. Di HKBP masalah tersebut tidak begitu dipersoalkan, karena HKBP sudah sejak dulu mempunyai Konfesi HKBP, yang sudah diakui. Yang masih dipersoalkan (masih tari-menarik) akhir-akhir ini, adalah masalah kekbaktian tradisional dan kebaktian alternatif.
Masalah Nilai, yang dipertaruhkan adalah: Nilai-nilai kekristenan, dihadapkan dengan nilai-nilai budaya, adat, atau habatahon. HKBP di mana unsur (label) Batak (B) ada di dalamnya, apakah merupakan Gereja Suku, atau Gereja yang bersifat umum? Apa bedanya Gereja HKBP dengan Gereja-gereja lain yang tidak mencantumkan label kesukuan? Di mana unsur keterbukaan (inklusifisme) di HKBP dalam label kesukuan tersebut? Apa arti Habatahon (B) dalam pelayanan dan kehidupan iman kristiani? Hal itu semua merupakan suatu perdebatan yang hingga kini belum tuntas.
Selain itu, juga dipertaruhkan masalah nilai-nilai kenegaraan dan toleransi, dalam kontek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di tengah-tengah bangsa dan Negara, yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masalah pertarungan kepentingan yang paling mengemuka, menurut penulis, adalah kepentingan Pendeta (Hapanditaon), dan kepentingan Non Pendeta. Siapa yang paling dominan di antara keduanya untuk mengendalikan /memimpin HKBP dalam tugas pelayanan Gereja, baik pelayanan di bidang kerohanian, maupun di bidang kemasyarakatan? Perimbangan antara kedua hal tersebut, masih merupakan perdebatan, yang hingga kini belum tuntas.
Selain itu, walaupun dalam skala kecil, juga masih ada pertarungan kepentingan parmargaon (kelompok keluarga Batak), kepentingan daerah asal (Huria, Resort, dan Distrik) yang diwakilinya, dan sebagainya.
Ketiga hal tersebut  di atas diperdebatkan dalam Sinode Godang, dan menghasilkan Aturan dan Peraturan HKBP 2002. Dapat dibayangkan peserta Sinode Godang yang berjumlah hampir 1300 orang masing-masing dengan hak suaranya, baik secara individu, maupun mewakili kelompok masing-masing (Huria, Resort, dan Distrik), mempunyai konsep-konsep yang berbeda-beda di kepala masing-masing, dan dipertemukan dalam suatu persdebatan besar, yang akhirnya menghasilkan suatu keputusan berupa Aturan dan Peraturan. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, MH, yang mengatakan :

Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan jelas dan tuntas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap lengkapnya, dan jelas sejelas jelasnya (Sudikno Mertokusumo, hlm. 8).

Oleh karena itu, sering kita jumpai dalam suatu penjelasan pasal-pasal undang-undang kata-kata “cukup jelas”, pada hal sebenarnya sangat tidak jelas. Hal itu dilakukan untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, yang tidak habis-habisnya dan memakan waktu yang sangat lama, pada hal undang-undang harus segera diundangkan.
Segi Ketatanegaraan (Constitution) Dari Aturan dan Peraturan.
                Lembaga Konstitutif di segi ketatanegaraan HKBP adalah Sinode Agung (Sinode Godang). Sinode Agung adalah rapat tertinggi, yang menetapkan semua kebijakan dasar berkenan dengan tri-tugas panggilan Gereja (A/P 2002, Ps. 1 butir 21). Sinode Agung juga menetapkan Aturan dan Peraturan, rencana induk, rencana strategis, sikap umum HKBP, dan memilih Ephorus, Sekretaris Jenderal, kepala departemen, dan preases (A/P 2002, Ps. 26 butir 4.1).
Negara sebagai pusat kekuasaan harus dibatasi, dan pembatasan (kontrol yuridis) itu dilakukan melalui suatu konstitusi modern. C.F. Strong dan James Bryce, mengatakan bahwa suatu konstitusi harus mengatur tentang kekuasaan lembaga-lembaga di dalam pemerintahan Negara, serta mengatur hak-hak dari rakyat yang diperintah, dan hubungan / keseimbangan antara keduanya (C.F.Strong, hlm. 13). Kemudian pengertian tersebut dipertegas lagi oleh K.C Where dalam Modern Constitution, yang mengatakan : “…A constitution is used to describes the whole system of the government of a country, the collections of rules which establish and regulate or govern the government…” (K.C Wheare, hlm 1). Apakah konstitusi HKBP sudah menganut pengertian Modern Constitution tersebut..?
HKBP yang beranggotakan kurang lebih 6 (enan) juta jiwa, adalah organisasi Gereja yang terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Sedemikian besarnya HKBP, sehingga menurut penulis, sudah dapat dikategorikan ibarat Negara di dalam Negara. Oleh karena itu, untuk mengelola HKBP sudah harus menerapkan prinsip-prinsip mengelola Negara. Ciri –ciri mengelola Negara pada masa kini, menurut penulis, harus menerapkan 3 (tiga) prinsip, yaitu : 1. Demokrasi; 2. Otonomi; dan 3. Check and balances. Montesqieu membagi kekuasaan Negara ke dalam 3 (tiga) kekuasaan, yaitu : “…Eksekutif; Legislatif; dan Yudikatif…” (John Locke, hlm XXXII), yang kemudian dikenal dengan ajaran Trias Politica. Selanjutnya John Locke juga membagi kekuasaan Negara itu ke dalam 3 (tiga) kekuasaan, yaitu : “…Eksekutif; Legislatif; dan Federatif…” (John Locke, hlm XXXII). Kekuasaan Federatif dari John Locke tersebut, adalah ditujukan untuk membatasi kekuasaan pemerintah pusat (system sentralistik), dan dibagi ke pemerintah daerah (local). Berkembangnya system otonomi sekarang ini dalam semua lini pemerintahan dan organisasi, adalah diilhami oleh ajaran John Locke tersebut.
Diantara kekuasaan-kekuasaan yang ada tersebut, tidak boleh ada yang menonjol melebihi kekuasaan yang lain. Mereka harus saling mengotrol secara berimbang, yang disebut dengan system “…Checks and Balances…” (Jimly Asshiddiqie, hlm. 30). Lord Acton mengatakan : “…Power tents to corrupts. Absolut power tents to corrupt absolutely…”, oleh karena itu harus ada sistem kontrol yang indipenden (J.S. Mc Chelland, hlm. 77 dan 244). Bagir Manan mengatakan: “…Sejarah telah memberikan contoh dan bukti yang berlimpah bahwa kekuasaan tanpa batas lebih banyak melahirkan keswenang-wenangan, dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan warganegara atau penduduk negara yang bersangkutan…” (Bagir Manan, hlm. 1). Bahkan akhir-akhir ini, muncul berbagai komisi, seperti : Komosi Yudisial (KY) untuk Lembaga Peradilan; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Hampir di semua lini pemerintahan dan organisasi, ada hal-hal yang sama dengan komisi-komisi tersebut dalam bentuk lain, seperti : di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); Kejaksaan, Organisasi Advokat; Organisasi Kedokteran; Lembaga keuangan, dan sebagainya. Bagaimana dengan organisasi HKBP yang cukup besar itu? Bahkan, orang, maupun organisasi HKBP sudah ada di belahan Dunia.
Penerapan Checks and Balances di HKBP.
Di dalam Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002 maupun yang sebelumya, menurut penulis, sudah ada yang mirip-mirip dengan Kekuasaan Eksekutif maupun Kekuasaan Legislatif. Yang belum ada adalah kekuasaan yang mirip-mirip dengan Kekuasaan Yudikatif.  Kekuasaan yang mirip dengan Kekuasaan Eksekutif tersebut, adalah : Ephorus bersama-sama dengan Sekreteris Jenderal, Kepala Departemen Koinonia, Kepala Departemen Marturia, Kepala Departemen Diakonia, beserta aparat-aparat yang ada dibawahnya termasuk Preases (Distrik) dan Resort. Sedangkan yang mirip-mirip dengan Kekuasaan Legislatif tersebut, adalah: Majelis Pekerja Sinode (MPS), Badan Audit, dan Rapat Pendeta.
Di HKBP menurut penulis, sudah harus ada badan/lembaga yang indipenden untuk menangani penyelesaian sengketa atau konflik. Pimpinan Gereja (Eksekutif) harus disterilkan dari hal-hal yang menangani konflik. Sebab, setiap kali Pimpinan Gereja (Eksekutif) menangani konflik, atau membuat suatu keputusan tentang konflik atau sengketa, secara otomatis timbul pro dan kontra. Dan, yang paling parah pro dan kontra tersebut, sering menjurus ke arah konflik horizontal, yang berlangsung secara physik. Menurut pengalaman, peristiwa yang seperti itu sulit didamaikan, bahkan ada yang berlangsung terus hingga sekarang. Nah, hal-hal yang seperti itu sebaiknya diserahkan kepada suatu badan yang indipenden, yang dalam tulisan ini kita sebut dengan kekuasaan yang mirip-mirip dengan Kekuaaan Yudikatif. Putusan dari badan tersebut harus dipatuhi, sekalipun dirasakan tidak menyenangkan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak pimpinan Gereja (Ephorus). Badan Kekuasaan Yudikatif tersebut, disamping bertugas menyelesaikan sengketa/konflik, juga berkewajiban memberikan nasehat kepada pimpinan Gereja (eksekutif) baik diminta maupun tidak diminta, terutama terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil, yang menyangkut orang banyak dan yang diperkirakan mempunyai potensi koflik. Selain itu, juga menangani pelanggaran-pelanggaran kode etik profesi pendeta, dan sebagai tim advokasi terhadap Gereja dan anggota HKBP yang mempunyai masalah hukum dengan orang lain, maupun dengan pemerintah atau penguasa.
Tata Pemerintahan (Governance) di HKBP.
                Semua aturan-aturan tentang Tata Pemerintahan (Governance) di HKBP, harus disesuaikan dengan aturan-aturan tentang Ketatanegaraan (Constitution) di atas. Oleh karena itu, segala perubahan-perubahan (hal-hal baru) yang ada di dalam Ketatanegaraan (constitution ) tersebut, harus dijabarkan/disesuaikan ke dalam perumusan Tata Pemerintahan (Governance) yang baru. Dengan demikian, Aturan dan Peraturan yang tidak terkait dengan perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu masih tetap dipertahankan, dan tidak perlu mengalami perubahan.
Menurut penulis, perubahan yang sangat menonjol (signyficant) yang perlu dilakukan, adalah di bidang otonomi. Sistem pemerintahan yang otonom di HKBP hanya ada 2 (dua), pemerintahan di tingkat Pusat, yaitu HKBP Umum (Hatopan), dan pemerintahan di tingkat daerah, yaitu Jemaat (Huria). Distrik dan Resort bukanlah badan-badan otonom. Dengan demikian, organ tata pemerintahan (governance) di Distrik harus dirampingkan, tidak perlu mempunyai Sinode Distrik dan Majelis Pekerja Sinode Distrik (MPSD). Sinode Godang adalah Sinode Distrik juga, dan MPS Pusat adalah MPS Distrik juga. Distrik adalah organ pusat (perwakilan) di daerah, yang menjalankan tugas medebewin dan dekonsentrasi (bukan desentralisasi). Distrik tidak berwenang membuat kebijakan-kebijakan baru. Distrik hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sudah dirumuskan dalam Sinode Godang, Malelis Pekerja Sinode (MPS), dan segala keputusan Ephorus dalam rangka wewenang diskresi, di wilayah Distrik yang bersangkutan. Demikian juga dengan Resort harus dirampingkan, misalnya tidak perlu ada Rapat Resort. Sama dengan Distrik, Resort juga adalah organ pusat (perwakialan) di daerah yang menjalankan tugas medebewin dan dekonsentrasi (bukan desentralisasi) di wilayah Resort yang bersangkutan.
Jadi, menurut penulis yang betul-betul mempunyai Tata Pemerintahan (Governance) yang otonom di HKBP hanya ada 2 (dua), yaitu : HKBP Umum (Hatopan) di tingkat Pusat, dan Jemaat (Huria) di tingkat daerah. Wewenang otonom tersebut terlihat dari adanya Majelis Pekerja Sinode (MPS), yang merupakan Lembaga Legislatif, yang merumuskan secara demokratis segala kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh Ephorus sebagai pimpinan Lembaga Eksekutif di dalam tugas pelayanan HKBP secara keseluruhan. Di tingkat daerah (Jemaat atau Huria), adanya Rapat Jemaat (Huria), sebagai Lembaga Legislatif Daerah yang akan merumuskan segala kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh Pimpinan (Uluan) Gereja, sebagai pimpinan Lembaga Eksekutif di daerah untuk melayani Jemaat (Huria). Bahkan, menurut penulis, lembaga demokrasi yang benar-benar murni demokrasi di HKBP adalah Rapat Jemaat (Huria), karena langsung dihadiri oleh jemaat dengan hak suaranya. Sedangkan, Majelis Pekerja Sinode (MPS) di Pusat hanya dihadiri oleh perwakilan-perwakilan yang ditunjuk. Sayangnya anggota jemaat (huria) tidak memanfaatkan Rapat Jemaat (Huria) tersebut secara maksimal untuk menyampaikan aspirasinya. (Penulis adalah jemaat HKBP jalan Jambu, Admistrative Court Justice pada puslitbang Mahkamah Agung RI)
Dr. Lintong O. Siahaan, SH
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
Mobile : 062812-9393-950
Office : 0621-3523 491
Home : 0621-75903 104
Fax : 0621-75903 102
Email: forma1737@yahoo.com

AGAMA DAN FENOMENA KONFLIK

AGAMA DAN FENOMENA KONFLIK 

Pdt Dr Einar M Sitompul

Fenomena Konflik
Menjelang dan sesudah memasuki abad 21 fenomena yang mencolok di masyarakat baik lokal, regional dan internasional ialah fenomena konflik. Berbagai konflik terjadi sehingga muncul negara-negara lain (eks Uni Sovyet dan Eropa Timur) yang berlangsung dalam negeri beberapa negara dan konflik antarnegara. Masyarakat kita baru beberapa tahun meninggalkan tahun-tahun konflik berdarah seperti yang terjadi di Maluku, Poso dan Kalimantan. Dalam skala kecil tetapi cukup sporadis masyarakat masih menyaksikan konflik internal umat beragama di lembaga/organisasi Kristen. Konflik itu ada yang mencuat dan diekspos tetapi banyak yang berlangsung “diam-diam” yang berujung pada pemisahan diri dan membentuk kelompok (gereja) lain. Begitu sering konflik muncul di masyarakat sehingga banyak orang berpendapat bahwa konflik sekarang ini merupakan akibat globalisasi sebab globalisasi telah menjadi ajang persaingan antarkorporasi untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya melalui investasi dan eksploitasi. Diperkirakan konflik masih akan berlangsung terus dalam berbagai bentuk baik antara kelompok yang berbeda agama maupun di internal umat beragama (atau yang satu gereja) karena masuknya investasi ke daerah-daerah.
Namun konflik sebenarnya bukan hal baru, ia telah hadir bersamaan dengan lahirnya umat manusia di planet bumi. Konflik itu seusia dengan umur umat manusia. Menurut kesaksian Alkitab konflik pertama di masyarakat muncul di dalam keluarga Adam dan Hawa (Kej. 3 dan 4) Konflik, suka atau tidak, sadar atau tidak, bagian dari kehidupan seseorang, baik di keluarga, di kelompok, masyarakat dan di dalam kehidupan persekutuan keagamaan.
Pertikaian di internal kelompok keagamaan bukan berarti agama (agama) mengajarkan permusuhan. Semua agama mengklaim diri sebagai pembawa damai, kasih dan persaudaraan. Apabila pertikaian atau konflik muncul ke permukaan yang mesti diingat ialah sifat manusia yang egois, suka menang sendiri, suka merendahkan orang lain, anggap diri paling baik, yang mendorong merebaknya konflik internal dan konflik itu mau tidak mau akan merusak ketentraman batin anggota dan bahkan mengganggu ketertiban masyarakat. Agama atau ajaran agama diperalat untuk memperkuat diri/kelompok dan untuk melemahkan lawan. Negara saja yang memiliki perangkat kekuasaan, budaya paksa, tidak luput dari pertikaian apalagi kelompok keagamaan yang sering dianggap pencinta damai rawan konflik sebab banyak orang selalu berusaha memanfaatkan agama untuk mencari posisi yang dirasa akan menaikkan citranya sehingga mereka akan diperhitungkan. Bukankah siapa saja akan sulit menilai siapa salah dan benar dalam konflik keagamaan bertambah sulit pula menghukum orang-orang yang bertikai di dalam kelompok keagamaan atau gereja. Semua mampu mengajukan argumen/alasan teologis-religius yang akan sulit ditengahi.
Pemersatu
Agama-agama khususnya kekristenan, para penganutnya datang dari berbagai suku, kelompok dan kebudayaan yang bersatu dalam satu wadah yang kita sebut gereja. Gereja telah berjasa memberi nilai tambah terhadap masyarakat. Yang tadinya hidup dalam kelompok suku, dapat bersatu dalam gereja. Gereja menanamkan rasa persekutuan (persatuan) berdasarkan nilai-nilai keagamaan seperti kasih, solidaritas, kesediaan berkorban untuk orang lain, tanggung jawab membangun masyarakat sebagai wujud sifat misioner gereja dan kritis menilai setiap perkembangan dalam masyarakat. Pada saat manusia ditimpa kemalangan dan bencana, agama mampu menghibur, menguatkan dan membangkitkan pengharapan. Di saat masyarakat bingung menghadapi perubahan, bingung melihat berbagai perkembangan baru, gereja membantu masyarakat memiliki orientasi yang jelas. Banyak persoalan keluarga dengan bantuan agama/gereja dapat diatasi. Bahkan sering orang percaya bahwa karir mereka mencapai sukses adalah berkat doa melalui para pendeta atau pelayan-pelayan gereja. Gereja mampu menciptakan perasaan solid di dalam diri para anggotanya.
Agama mempunyai peran besar dalam pengembangan masyarakat. Peran atau peranan mengandung pengertian suatu tingkat yang diharapkan dapat dimiliki oleh organisasi/kelompok yang mempunyai kedudukan/posisi yang penting di masyarakat. Peran bergandengan erat dengan tanggung jawab sebab tanggung jawab berarti suatu keadaan yang wajib ditanggung oleh organisasi/kelompok dan kalau terjadi apa-apa ia dapat dituntut/dimintai tanggung jawab. Karena itu gereja tidak boleh melarikan diri dari kewajiban mewujudkan persatuan internal. Justru karena agama/gereja mempunyai peranan besar di masyarakat maka ia rawan untuk menjadi faktor pemecah keutuhan. Sering sekali di dalam komunitas, kelompok yang mendengung-dengungkan pemurnian ajaran atau mengklaim diri paling benar atau mengamalkan kebenaran yang paling sering memicu perpecahan. Tidak jarang pula alasan kebenaran menimbulkan pemisahan diri atau membangkitkan kebingungan di antara anggota komunitas.
Ada pula yang tragis: suami-isteri bertikai karena ajaran keagamaan padahal mereka satu agama! Ekstremitas cenderung menciptakan kerapuhan kelompok. Yang seharusnya potensi diarahkan untuk membangun etika umat dan mentalitas yang baik agar warga gereja menjalankan peranan sebagai garam dan terang dunia, dihabiskan untuk mengatasi konflik dan polemik internal. Komunitas yang selalu dirundung konflik internal tidak akan menciptakan insan religius yang tangguh dan dewasa; yang dihasilkan hanya insan-insan religius seremonial. Soal tingkah laku, mereka tidak berbeda dari orang-orang kebanyakan.
Tantangan
Menjelang akhir abad 20, persisnya 1998, gereja-gereja sedunia dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Sedunia di Harare (Zimbabwe) telah menggumuli pertanyaan: “Bagaimana kita menghayati iman kita dalam konteks globalisasi?” Pertanyaan ini direspons oleh Sidang Raya 2006 di Porto Allegre (Brazil) setelah melewati studi beberapa tahun, Sidang Raya mengesahkan sebuah dokumen yang disebut Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (disingkat: AGAPE. Versi Bahasa Indonesia berjudul Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi,Jakarta: PMK-HKBP, 2008) Tidak lama setelah globalisasi melanda dunia, yang terjadi ialah kemiskinan semakin parah dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah sangat mengancam kehidupan seluruh ciptaan Allah.
Berhadapan dengan kenyataan mengenaskan itu, kita diajak mengembangkan ekonomi kehidupan sebagai karakter utama rumah tangga kehidupan Allah dengan ciri-ciri: rahmat ekonomi Allah yang ramah (oikonomia tou theou) membawa dan melestarikan kelimpahan bagi semua. Ekonomi Allah yang ramah dan menuntut kita agar mengelola kelimpahan hidup dengan cara yang adil, partisipatif dan bersifat melestarikan. Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi kehidupan yang mengedepankan semangat saing berbagi, solidaritas yang mengglobal, martabat manusia, cinta kasih dan pemelihraan keutuhan ciptaan. Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi untuk keseluruhan ekumene – keseluruhan komunitas bumi. Keadilan Allah dan keberpihakan-Nya pada kaum miskin adalah tanda dari ekonomi Allah (Globalisasi Alternatif, hal. 3-6).
Situasi globalisasi yang barusan kita singgung, mengindikasikan tantangan bagi komunitas keagamaan semakin berat. Perekonomian dunia yang disemangati oleh neoliberalisme akan semakin mendorong kompetisi bebas. Yang kuat akan memperoleh paling banyak dan yang lemah akan semakin terjepit. Maka dalam keadaan yang semakin rumit di era globalisasi dewasa ni, peranan agama semakin diperlukan. Sebab agama merupakan sumber nilai, kekuatan dan inspirasi yang tidak pernah kering. Masalahnya, komunitas agama/gereja tidak bebas godaan untuk diperalat oleh kepentingan kelompok. Cobaan yang pernah dialami Yesus di padang gurun ketika Ia dicobai iblis terus muncul dalam bentuk iming-iming uang, kedudukan atau kuasa dan spekulasi (lihat, Matius 4: 1-11).
Secara teologis persatuan adalah anugerah Allah, juga adalah kehendak-Nya seperti doa Tuhan Yesus. Namun persatuan itu tidak untuk gereja, bukan pula untuk kepentingan sosial-politik, melainkan “agar dunia tahu” (percaya) bahwa Yesus adalah utusan Allah (Yohanes 17: 21) Kita wajib memelihara persatuan dan apabila memungkinkan sehingga persatuan itu menjadi lebih luas. Persatuan akan terpelihara apabila dijaga, diusahakan dan dikembangkan agar semua unsur mendukung dan merasa wajib melakukannya. Persatuan yang diharapkan akan tercapai kalau ada kualitas atau sifat yang mendukung. Persatuan yang harmonis ialah persatuan yang memberi ruang dan atmosfir yang sejuk sehingga semua orang akan berpartisipasi. Untuk itu para pelayan gereja mesti terus menerus membina komunitasnya agar sadar akan tujuan kehadiran gereja, sadar akan situasi masyarakat yang majemuk dan sadar akan dampak negatif globalisasi yang sudah amat merisaukan.
Gereja berperan besar dan turut menentukan bagi kelangsungan kehidupan seluruh penghuni alam terutama umat manusia. Apabila hubungan antar manusia/kelompok didominasi oleh kenikmatan dan egoisme maka yang lemah akan menjadi mangsa bagi yang kuat dan itu akan berlangsung terus sampai akhirnya semua akan binasa. Masyarakat memerlukan komunitas yang peduli pada penderitaan orang miskin, tertindas dan termarginal. Etos kompetitif tidak akan mau menoleh melihat penderitaan orang lain. Gereja yang utuh (bersatu) akan dapat menguatkan yang lemah, turut melestarikan lingkungan, mampu menjalin sinergi dengan kelompok lain untuk kemanusiaan. Gereja diharapkan terus memelihara persatuan yang harmonis dan bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti bersedia menanggung semua kewajiban demi memelihara persatuan gereja. Hanya dengan persatuan maka gereja/orang Kristen dapat memberi andil konstruktif bagi masyarakat, dapat menjadi bagian solution maker. Perpecahan internal akan menimbulkan apatisme dan kesukaran dan pada gilirannya gereja akan ditinggalkan umatnya.