Kamis, 25 April 2013

DOA BAPA KAMI

 

DOA BAPA KAMI
(Matius 6: 9-13)

  1. Pendahuluan.
Kitab Matius merupakan kitab yang berisikan laporan tentang kehidupan Yesus. Kitab ini ditulis untuk orang-orang yahudi dengan tujuan supaya mereka yakin bahwa Yesus adalah Mesias.
Kitab ini terdiri dari 28 pasal. Dan pembahasan khusus pada tulisan ini adalah pasal 6: 9-13 yang berisikan Doa Bapa Kami. Doa ini merupakan doa yang diajarkan secara langsung oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam perkembangan sejarah gereja, Doa Bapa Kami sering digunakan di dalam liturgi ibadah maupun sebagai bahan pengajaran/katekisasi.1
Para Bapa-Bapa gereja juga menaruh perhatian yang cukup serius mengenai doa ini. Tertulian mengungkapkan bahwa Doa Bapa Kami merupakan Brevarium Totius Evangelii (ringkasan seluruh injil).2 Selain itu Cyrill menganggap bahwa Doa Bapa Kami sebagai Mystagogical Catechical Lectures (bahan pengajaran/katekisasi sebelum seseorang dibaptis).3
Oleh sebab itu saya mencoba untuk membahas Doa Bapa Kami ini, agar mempunyai pemahaman yang baik dan benar tentang doa ini.
  1. Kritik Teks.
  1. Originalitas teks.
Doa Bapa Kami ditulis dalam dua bagian Injil yaitu Matius dan Lukas. Di mana masing-masing penulis mengkalimatkannya dengan kalimat yang sedikit berbeda.4 Hal ini menimbulkan permasalahan manakah di antara keduanya yang lebih original, atau kitab mana yang mengutip kitab yang satunya.
Berkaitan dengan masalah tersebut saya memperhatikannya dari konteks sosial yang berbeda. Dalam konteks Matius Doa Bapa Kami termasuk dalam rangkaian Khotbah di bukit, di mana sebagian besar isi dari khotbah ini adalah pengajaran pola hidup yang baik dan benar. Sedangkan dalam Lukas Doa Bapa Kami ditempatkan dalam konteks permohonan para murid untuk diajar bagaimana berdoa (Lukas 11:1). Jadi, kedua catatan Doa Bapa Kami yang ada di Matius dan Lukas sama-sama original dan tidak ada yang saling mengutip. Karena dengan pendengar dan lingkungan yang berbeda tentunya pembahasan pengajaran Doa Bapa Kami juga kemungkinan berbeda.
  1. Kaitan dengan doa orang Yahudi.
Permohonan-permohonan dalam Doa Bapa Kami dianggap memiliki kepararelan dengan doa-doa orang Yahudi pada masa itu, seperti doa Kaddish,5 dan Didache 8:2.6 Hal ini menimbulkan permasalahan apakah Tuhan Yesus menggunakan elemen-elemen dalam doa-doa orang Yahudi sebagai bahan pengajaran dalam Doa Bapa Kami. Cullman mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus memang mempergunakan materi doa orang Yahudi, tetapi dengan pemahaman baru yang lebih dalam.7 Contohnya berkaitan dengan pemanggilan Allah sebagai “Bapa/Abba”, untuk menunjukkan kedekatan antara Allah dengan umat-Nya. Kata “roti” secara literal berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari
B. Penggunaan kata “makanan” dalam terjemahan LAI.
Penggunaan kata makanan dalam terjemahan LAI, menimbulkan permasalahan karena kata yang digunakan dalam teks aslinya yaitu ς yang berarti roti. Namun secara literal kata “roti” dapat berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari.8 Sehingga dalam terjemahan Indonesia bisa diganti dengan kata “makanan”. Bapa-bapa gereja menafsirkan bahwa roti ini tidak hanya berbicara tentang masalah kebutuhan fisik tetapi “roti” dipandang juga sebagai firman Tuhan,9 dengan mengacu pada penambahan kata epiousios yang sulit untuk ditafsirkan. Kata epiousios sering ditafsirkan sebagai berikut:10 (1) sesuatu yang dibutuhkan untuk eksistensi, (2) sesuatu yang dibutuhkan untuk hari ini, (3) sesuatu yang dibutuhkan untuk bekal, (4) sesuatu yang dibuthkan untuk masa depan. Kata ini mungkin berasal dari epi ten ousan hemeran yang bisa diterjemahkan “untuk hari ini”, dengan demikian lebih ke arah orientasi kebutuhan sehari-hari, karena kata epiousion sejajar dengan semeron sehingga secara literal dapat diartikan “berikan kami roti untuk hari ini”.11
  1. Struktur Doa Bapa Kami.
Berikut ini struktur Doa Bapa Kami:
Pembukaan (Matius 6: 9ab)
Permohonan “Mu” (Matius 6:9c-10)
Dikuduskanlah nama-Mu
Datanglah kerajaan-Mu
Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga
Permohonan “Kami” (Matius 6: 11-13)
Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dan ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat
Doxologi.
  1. Latar Belakang dan Gramatika.
Doa Bapa Kami diajarkan Tuhan Yesus dalam nuansa kehidupan religius masyarakat Yahudi. Masyarakat Yahudi pada masa itu juga memiliki banyak model doa dan doa mereka biasanya dalam bentuk formula yang diajarkan oleh para Rabi.12 Namun demikian adalah Doa Bapa Kami adalah doa yang eksklusif, karena di dalamnya ada penyebutan kata Bapa yang jarang/bahkan tidak ada dalam doa-doa orang Yahudi pada masa itu.13 Sebab bagi orang Yahudi sebutan Allah sebagai Bapa memiliki makna yang sangat dalam karena menunjuk kepada Allah yang Maha Tinggi,14 sehingga sebutan ini jarang dipakai dalam doa-doa mereka.
  1. Pembukaan.
Doa ini diawali dengan perintah “karena itu berdoalah demikian”. Kata “demikian” dapat diartikan “dengan cara ini/berikut”,15 yang kemudian digabung dengan kata “berdoalah” dengan kasus “present imperatif” yang menyatakan suatu aktivitas yang terus menerus dibiasakan. Jadi perintah awal ini bisa diartikan sebagai berikut “biasakanlah berdoa dengan cara ini/berikut.”
  1. Pemahaman “tiga permohonan-Mu”.
  1. Permohonan “Mu” pertama (agiastheto to onoma sou).
Permohonan ini dimulai dengan kata agiastheto yang berasal dari kata kerja agiazo yang memiliki beberapa arti sebagai berikut:16 (a) bila berkaitan dengan benda maka berarti benda tersebut dipisahkan untuk tujuan ritual (Keluaran 29:27; Matius 23:17,19; I Timotius 4:5). (b) bila berkaitan dengan pribadi hal ini berarti menyucikan atau mempersembahkan (Keluaran 28:41; I Korintus 6:11). Bila kata ini diterapkan pada Allah maka berarti memperlakukan Allah secara kudus dan terhormat.17 Ketika Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya untuk menguduskan nama Allah, berarti mereka harus mengakui nama Allah yang kudus, dan memuliakan nama Allah.
  1. Permohonan “Mu” kedua (heltheto he basileia sou)
Kata basileia secara formal menunjukkan keadaan natur atau kondisi dari raja yang berkuasa. Allah adalah raja yang berkuasa atas ciptaan-Nya.18 Permohonan kedua ini didasari atas pemikiran pengharapan eskatologis PL tentang kerajaan Allah. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan kepada para muridnya tentang pengharapan penggenapannya sambil mengakui bahwa kerajaan tersebut telah datang dan berdoa untuk penyataannya di masa yang akan datang.
  1. Permohonan “Mu” ketiga (genetheto to thelema sou os en ourano kai epi ges)
Dalam permohonan ini Tuhan Yesus menekankan tentang kehendak Bapa. Kata thelema muncul sebanyak 62 kali dalam PB dan dipakai menunjuk pada:19 (1) kehendak Kristus yang ditinggikan (Kis 21:14; Efesus 5:17); (2) kehendak setan (I Timotius 2:26); (3) kehendak manusia. Di mana dalam teks ini kata “kehendak” mengacu pada kehendak Bapa yang di surga dan pada rencana ilahi yang disingkapkan dalam kehidupan, kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan para muridnya untuk sepenuhnya mengikatkan diri pada Allah selama mereka hidup karena kedaulatan Allah yang mengikat baik di bumi dan di surga.20
  1. Pemahaman tiga permohonan “Kami”.
  1. Permohonan “kami” pertama (ton arton hemon ton epiousion dos hemin semeron).
Kata epiousios yang berarti pada hari berikutnya/esok hari,21 memiliki dimensi eskatologis. Jadi permohonan ini juga bisa diartikan “berikanlah kami roti untuk esok hari”. Dengan demikian permohonan “roti” ini mengandung aspek untuk masa sekarang yaitu pemenuhan hidup sehari-hari, tetapi juga masa yang akan datang yaitu “roti eskatologi/perjamuan”.
  1. Permohonan “Kami” kedua (kai ophes hemin ta opheilemata hemon os kai hemeis aphekamen tois opheiletais hemon).
Permohonan ini memiliki hubungan dengan permohonan sebelumnya karena diawali dengan kata kai (dan). Namun demikian dalam permohonan ini ada masalah berkaitan dengan penggunaan kata aphekamen dalam kasus aorist yang berarti kami telah mengampuni. Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa pengampunan yang Allah berikan tergantung akan usaha kita mengampuni orang lain terlebih dahulu. Ada beberapa penafsiran berkaitan dengan hal ini. (1) Jeremias menafsirkan bahwa Matius sebenarnya menggunakan bentuk present perfect Aramaik yang dapat berarti sebagai bentuk present, sehingga klausa ini dapat diartikan “seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah”.22 (2) selain itu pengampunan ini menyangkut aspek eskatologis yang terimplikasi dalam kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.23 Sehingga dari sini penulis melihat bahwa orientasi dari permohonan ini adalah kebutuhan akan pengampunan dari Allah yang mencakup untuk kepentingan hari ini dan masa yang datang, sehingga hal ini menjadi dasar bagi kita untuk mengampuni orang lain.
  1. Permohonan “kami” ketiga (kai me eiseneghes hemas eis paipasmon alla rusai hemas apo tuo ponerou).
Dalam permohonan ini ada kalimat negatif yaitu me dan aorist subjuntif eisenegkes yang secara keseluruhan dapat diartikan sebagai bentuk larangan. Yaitu satu bentuk permohonan kepada Allah agar jangan membawa ke adalam pencobaan. Pencobaan (peipasmon) secara literal dipahami sebagai situasi yang sulit untuk menguji kesetiaan seseorang.24 Tetapi dalam kasus ini peipasmon tidak ada artikelnya sehingga apakah menunjuk kepada kesukaran biasa atau tidak.25 Dan menurut penulis peipasmon tidak hanya menunjuk pada kesukaran yang biasa saja untuk saat ini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Dalam teks dijelaskan peipasmon datang dari tou ponerou yang menggunakan bentuk netral sehingga berarti jahat, tetapi bisa juga dalam kasus maskulin berarti “yang jahat”. Dengan demikian permohonan yang Tuhan Yesus ajarkan ini dimaksudkan untuk memohon kebebasan dari pencobaan yang iblis lakukan kepada Bapa.
  1. Doksologi (oti sou estin he basileia kai dunamis kai he doxa eis tous aionas amen)
Bentuk doksologi ini semacam ini tidak ditemukan dalam teks-teks yang tua seperti BDZ.26 Matius menggunakan doksologi dengan mengacu bahwa doksologi adalah satu bentuk umum dari doa-doa Yahudi pada masa itu. Doksologi ini memiliki makna yang dalam berkaitan dengan permohonan kepada Allah sebagai pemelihara hidup, pengampun, dan juga sebagai pelindung.
  1. Kerangka Khotbah.
Doa Bapa Kami.
  1. Pengagungan Allah dalam hubungannya dengan manusia.
  1. Kebapaan Allah yang merupakan ekspresi kedekatan Allah dengan anak-anak-Nya.
  2. Pribadi Allah yang kudus sebagai dasar bagaimana kita sebagai anak-anak-Nya berperilaku dan bertindak dalam hidup ini.
  3. Kekuasaan Allah yang bersifat mutlak dan mulia di mana kita di dalamnya bisa turut mengambil bagian dalam kerajann-Nya.
  4. Kehendak Allah yang bersifat mengikat, di mana sebagai orang-orang percaya kita harus sepenuhnya menundukkan diri dan taat kepada-Nya.
  1. Permohonan kebutuhan yang penting dalam kehidupan manusia yang mencakup:
  1. kebutuhan pengampunan dosa dari Allah yang menjadi dasar bagi pengampunan orang lain.
  2. Kebutuhan hidup sehari-hari dan masa yang akan datang.


1 William White Jr, “The Lord’s Prayer” in Merryl C. Tenney, ed, The Zondervan Pictorial Encyclopedia of The Bible vol.3, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1978, hlm. 972.
2 Ulrich Luz, A Commentary Mathew 1-7, Minneapolis: Ausburg, 1989, hlm. 372.
3 Joachim Jeremias, The Lord’s Prayer, Philladelphia: Fortress Press, 1980, hlm. 1.
4 Ibid., hlm. 6.
5 Dalam permohonan doa Kaddish juga ditemukan permohonan sentral, yang juga diungkapkan Tuhan Yesus dalam Doa Bapa Kami, yaitu “Datanglah Kerajaan-Mu” dan juga penunjukkan Allah dengan “Bapa Kami yang di Surga”. Rudolf Schnackenburg, All Things Are Possible To Belivers, Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 1995, hlm. 68.
6 Dalam Didache 8:2 menambahkan bagian akhir teks dengan perkataan hoti sou estin he basileia kai (sebab kepunyaan-Mu lah kerajaan dan ………..). William White Jr. The Lord’s Prayer, hlm. 972.
7 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, Minneapolis: Fortress Press, 1995, hlm. 41.
8 Gerhard Kittel, ed, Theology Dictionary of The New Testament vol. 1, Grand Rapids Michigan: WM.B Eerdmans Publishing Company, 1978, hlm. 477.
9 D.A Carson, Matthew, hlm. 171.
10 William White Jr, The Lord’s Prayer, hlm. 975.
11 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, Dallas: Waco Books Publishers, 1993, hlm. 149-150.
12 Peter Wongso, Makna Kekinian Doa Bapa Kami, Malang: SAAT, 2000, hlm. 13.
13 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, hlm. 41.
14 G.T Manley “Allah” in Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1995, hlm. 35.
15 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Exegetical Key to The Greek New Testament, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1998, hlm. 13.
16 Blass, Debruner & Funk, A Greek Grammar of The New Testament and Other Early Christian Literature, Chicago: Chicago UP, 1961, hlm. 9.
17 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Lingustic and Exegetical Key to The Greek New Testament, hlm. 13.
18 Dalam keseluruhan PB ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah raja yang berkuasa dimana konsep ini berpusat pada ungkapan “Kerajaan Allah” atau “Kerajaan Surga”. Donald Gutrie, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 56.
19 M Limbeck dalam Θελεμα Horst Balz & Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of The New Testament vol. II, Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1981, hlm. 137.
20 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 148.
21 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Key New Testament, hlm. 13.
22 D.A Carson, Matthew, hlm. 174.
23 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 150.
24 Ibid., hlm. 151.
25 Ulrich Luz, A Commentary Matthew 1-7, hlm. 384.
26 Davies & Dale C Allison, The International Critical Commentary Matthew, Edinburg: T & T Clark, 1988, hlm. 615.

Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan

Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan

I. Pendahuluan.
Peristiwa pembantaian terhadap orang Kanaan merupakan salah satu masalah khusus yang terdapat dalam kitab Yosua. Dimana dalam kitab Yosua ini, bangsa Israel seolah-olah digambarkan seperti orang yang tak kenal belas kasihan. Yang dengan sadis membantai orang-orang Kanaan, baik tua maupun muda, baik laki-laki maupn perempuan. Tanpa meninggalkan seorang pun untuk dibiarkan hidup.
Sehingga permasalahan ini menimbulkan perdebatan khusus dalam bidang kemanusiaan. Bahkan menimbulkan perdebatan antara para ahli, yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa Allah dalam PL berbeda dengan Allah dalam PB. Oleh karena itu saya merasa tertarik dan mencoba untuk membahas masalah pembantaian terhadap orang Kanaan dalam tulisan ini.
II. Teks dan Konteks.
A. Teks.
Sebagai langkah awal untuk membahas permasalahan ini, maka saya merasa perlu untuk membahas teks Alkitab yang berkaitan dengan masalah pembantaian ini.
Ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan menuju ke tanah perjanjian yaitu Kanaan, di bawah kepemimpinan Musa. Allah memberikan suatu perintah kepada mereka dalam kitab Ulangan pasal 7:7-11, dan 20:16-18 tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap orang Kanaan. Seperti “menghalau, ... memukul, ... menumpas, jangan mengadakan perjanjian, jangan mengasihani, ...dsb.
Dan perintah ini merupakan perintah yang secara langsung diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel. Dimana dalam perintah ini disebutkan secara jelas siapa-siapa saja yang harus dibantai, yaitu tujuh bangsa1 yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada bangsa Israel.
Sehingga untuk lebih memahami masalah etis pembantaian ini, saya menggunakan pendekatan dari perspektif Allah dan perspektif sejarah. Yang dikaitkan dengan konteks budaya pada masa itu. Dan oleh karena itu, akan lebih dimengerti bila juga dibahas kondisi geografi dan kebudayaan orang Kanaan pada masa itu.
B. Konteks Sejarah.
1. Kondisi Geografis.
Kanaan merupakan suatu wilayah dari daerah pantai Siria-palestina, yang secara khusus disebut Fenisia.2 Daerah ini merupakan daratan yang subur, karena tanah setengah lingkaran yang sempit3 ini menerima cukup embun untuk bercocok tanam. Dan merupakan daratan yang menjadi jembatan antara benua Asia dan Afrika.4
Sehingga karena terletak di lokasi yang strategis, daerah ini memiliki banyak kelebihan dan keuntungan yang dapat dikembangkan dalam hal perdagangan, kesenian, dan kesusasteraan yang tidak lepas dari pengaruh bangsa lain yang ada di sekitar mereka.
2. Budaya Kanaan.
  1. Kesenian dan Kesusasteraan.
Kesenian dan kesusasteraan orang Kanaan diperkaya oleh kesenian dan kesusasteraan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka.5 Dimana kesusasteraan orang Kanaan ini berisikan syair kepahlawanan Baal-dewa mereka.6
  1. Agama.
Kehidupan agama orang Kanaan tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang menyembah ilah-ilah palsu. Dimana mereka mengembangkan agama pantheon7, yang dikepalai oleh El. Dan dalam kuil-kuil dewa orang Kanaan tersebut, terdapat perempuan-perempuan yang mempersembahkan dirinya untuk menjadi pelacur di dalam kuil tersebut. Dan ini merupakan bagian dari agama orang Kanaan yang tidak dapat dipisahkan.8 Dan seperti ciri-ciri agama penyembah berhala pada umumnya, yang mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi mereka -seperti binatang atau bahkan manusia. Ada kemungkinan orang Kanaan juga melakukan hal ini.9 Sehingga dalam artikelnya mengenai Kanaan, K.A.Kitchen mengatakan:10
“Setelah menyadari sikap agama Kanaan itu maka menjadi makin jelaslah, bahwa secara jasmani dan rohani kekasaran-kekasaran kebudayaan Kanaan yang sedang mengalami keruntuhan itu dan kemunculan Israel dengan tugasnya yang khusus dan khas itu, tak dapat berada bersama-sama.”




III. Pembahasan Teks.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa saya menggunakan 2 perspektif untuk membahas masalah ini, yaitu:
  1. Perspektif Allah.
1. Kedaulatan Allah.
Di dalam kedaulatan-Nya, Allah telah menciptakan dunia ini beserta segala isinya. Dan memelihara hasil ciptaan-Nya tersebut. Dan di dalam kedaulatan-Nya, Ia menjalankan pemerintahan-Nya, kehendak-Nya dan rencana-Nya di bumi ini. Dan ini berarti:
  1. Dunia beserta segala isinya adalah milik Allah. Dan Ia mempunyai hak penuh atas segala ciptaan-Nya. Dan bila dikaitkan dengan tanah Kanaan, yang merupakan ciptaan Allah. Berarti bahwa tanah Kanaan adalah milik Allah dan Allah mempunyai hak penuh atas tanah tersebut. Sehingga Ia dapat memberikan tanah itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.11 Dan berhak menentukan bagaimana semestinya tanah itu dipergunakan menurut wewenang moral-Nya.12
  2. Allah dapat memakai siapa dan apa saja untuk menyatakan kehendak-Nya dan menjalankan rencana-Nya di bumi ini. Sehingga dapat dipahami bahwa bangsa Israel dipakai oleh Allah dalam kedaulatan-Nya, untuk menyatakan kehendak-Nya kepada orang Kanaan.13 Yang berupa penghukuman kepada mereka, karena dosa yang mereka perbuat di hadapan Allah. Akan tetapi ini tidak berarti Allah pilih kasih, karena bangsa Israel pun tidak terlepas dari prinsip universal ini.
Dan sehubungan dengan kehendak Allah yang berupa perintah pemusnahan terhadap orang Kanaan. Denis Green berpendapat bahwa perintah tersebut mempunyai 2 segi, yaitu:14
    • Sebagai tugas pelayanan bagi umat Israel sebagai alat Tuhan untuk menghukum kejahatan orang-orang Kanaan tersebut. (Ulangan 9:4)
    • Dan, sebagai penjagaan terhadap kemurnian iman bangsa Israel.
2. Karakter Allah.
Allah kita selain adalah Allah yang berdaulat dan bijaksana, Ia juga adalah Allah yang kudus, benar, adil, dan kasih. Dan karakter yang ada dalam diri Allah ini adalah satu kesatuan dan tidak akan pernah berubah sampai selama-lamanya. Dan ini berarti setiap keputusan yang Dia buat pasti merupakan keputusan yang adil, benar, bijak, dan tidak akan bertentangan dengan diri-Nya sendiri.15 Sehingga bila dikaitkan dengan keputusan untuk memusnahkan orang Kanaan, maka keputusan itu pasti sesuai dengan karakter Allah tersebut. Dimana keputusan ini merupakan konsekwensi dari dosa yang telah diperbuat orang Kanaan. Mengenai hal ini David M. Howard, Jr berpendapat:16
“Mengenai dosa, pertama harus kita catat bahwa dari perspektif Allah semua manusia telah berdosa dan kurang kemuliaan di hadapan-Nya (Roma 3:23) karena itu patut menerima hukuman berat (Roma 6:23). Sampai tahap ini, bangsa Kanaan hanya menerima hukuman seperti yang harus ditanggung semua manusia, dan jika ada bangsa-bangsa tertentu yang dikasihani itu hanya karena anugrah Allah semata.”
Dan ini menunjukkan bahwa untuk menilai benar atau salah setiap keputusan yang dibuat Allah bukanlah suatu hal yang mudah. Karena tidak dapat dinilai berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etis manusia.
3. Janji Allah.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dari perspektif Allah ialah perjanjian Allah kepada Abraham –nenek moyang bangsa Israel. William Van Gemeren berpendapat bahwa perjanjian Allah kepada Abraham mengandung 4 janji, yaitu:17
  1. Keturunan.
  2. Tanah.
  3. Kehadiran Tuhan.
  4. Berkat bagi bangsa-bangsa.
Sehingga ini menunjukkan bahwa penaklukan tanah Kanaan itu merupakan penggenapan dari janji-janji Allah kepada Abraham. Karena Allah telah berjanji untuk memberikan tanah kepada mereka. Dan mengenai pembantaian terhadap orang Kanaan dari perspektif Allah ini, Walter Kaiser menggambarkannya demikian:18
Sama seperti seorang ahli bedah tidak ragu-ragu mengamputasi anggota badan yang membusuk, sekalipun harus mengerat sejumlah daging yang sehat, demikianlah Allah harus melakukan yang sama. Ini bukanlah berbuat kejahatan agar muncul yang baik, ini adalah menyingkirkan kanker yang bisa menginfeksi seluruh masyarakat dan akhirnya menghancurkan sisa yang masih baik itu.”

Sehingga dengan membantai orang Kanaan, kekudusan dan kemurnian bangsa Israel tetap terjaga. Dan bangsa Israel dapat menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Sebab orang Kanaan selain berdosa kepada Allah, mereka juga mencoba menjerat bangsa Israel untuk mengikuti kebiasaan agama mereka.19
  1. Perspektif Sejarah.
Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Isarel merupakan sebuah fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Walaupun ada beberapa ahli yang menganggap bahwa penaklukan tanah Kanaan tidak seperti yang digambarkan dalam Alkitab.20 Karena menurut mereka yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana bangsa Israel memasuki negeri itu secara perlahan-lahan. Dan gambaran dalam pembantaian orang Kanaan tersebut hanya merupakan khayalan penulis-penulis yang kemudian. Yang telah memutarbalikkan berbagai kejadian sejarah.
Dan untuk memahami masalah ini dari perspektif sejarah, maka kita perlu memperhatikan kembali kebudayaan pada masa itu. Dimana orang Kanaan pada masa itu mempunyai budaya perang yang berkembang di antara mereka. Karena hal itu menunjukkan kekuatan dewa-dewi yang mereka sembah. Dan inilah yang dijumpai bangsa Israel ketika memasuki tanah Kanaan.
Dan yang masih erat kaitannya dengan budaya perang tersebut, yaitu kebiasaan pada masa itu. Dimana “pengkhususan”21 semacam itu merupakan hal yang biasa terjadi dalam agama pada masa itu. Karena banyak bangsa di Timur Tengah kuno yang mempunyai kebiasaan untuk mempersembahkan manusia dan harta benda serta tawanan kepada dewa-dewa mereka.22
Sehingga kebiasaan itu dapat menolong kita untuk memahami mengapa bangsa Israel tidak menganggap pembantaian orang Kanaan itu salah.

IV. Kesimpulan.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian pendahuluan, bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan permasalahan yang serius karena menimbulkan etis. Maka dari apa yang telah dipaparkan dalam paper ini, saya berkesimpulan bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan sebuah tindakan yang berbentuk kasuistik. Sehingga tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan hal yang serupa di kemudian hari.
Karena pada akhirnya, setelah bangsa Israel menetap di Kanaan, tidak pernah lagi tindakan seperti itu dilanjutkan kembali. Sebab pemusnahan itu dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah kepada bangsa Israel dalam mengadakan perang suci, yang terdapat dalam Ulangan 20. Dimana dari pembatasan seperti itu -dan dari PB- kita dapat mengetahui bahwa prinsip pemusnahan tidak boleh dijalankan dalam perang manapun juga. Tetapi hanya pada saat itu dalam sejarah, pemusnahan menjadi cara Allah untuk mengajar umat-Nya.23
Namun bila dikaitkan dengan Perjanjian Baru. Maka seolah-olah ada sesuatu pertentangan yang muncul antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dimana dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus mengajarkan prinsip kasih dalam hidup orang percaya, terutama kepada musuh-musuh kita. Dan perang merupakan suatu problem yang cukup serius dalam perspektif Perjanjian Baru.24
Mengenai hal ini, Tremper Longman III berpendapat:25
“Tuhan dari Perjanjian Lama bukan seorang figur yang sembarangan dan gelap, dan Yesus bukan seluruhnya bunga, terang, dan kebaikan yang lemah lembut. Yahweh tidak pernah berubah-ubah atau dengan sembrono menghukum seseorang. Sebaliknya kesaksian dari Perjanjian Lama adalah konsisten bahwa Ia adalah ‘Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya’ (Kel. 34:6). Ia menghukum hanya setelah pemberontakan yang berulang-ulang dan peringatan yang terus menerus.”

Jadi, sesungguhnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak pernah bertentangan. Melainkan justru terdapat kesinambungan/kontinuitas26 dari dua perjanjian tersebut.
Dan untuk memahami kesinambungan/kontinuitas ini lebih baik lagi, maka harus dilihat dari prinsip penting yang merupakan pusat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Yaitu prinsip kasih.27 Dimana taurat Musa maupun ajaran Tuhan Yesus semuanya ditopang oleh kasih. Karena keduanya memerintah orang saleh untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati (band. Ul. 6:5 dan Mat. 22:37), dan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri (band. Im. 19:18 dan Mat. 22:39). Sehingga oleh karena itu, berperang dalam Perjanjian Lama demi kebenaran dan keadilan untuk membela Allah dan sesama manusia, merupakan ungkapan kasih dan tidak bertentangan dengan etika Yesus.
DAFTAR PUSTAKA
Cairns, I.J. Tafsiran Kitab Ulangan pasal 1-11. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997.

Craigie, Peter C. The Problem of War in The Old Testament. Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986.
Djoeng, Budiono. Diktat Kitab-Kitab Sejarah. Surabaya: Unpublissed, 2005.

Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2001.

Green, Denis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 1984.

Hill, Andrew & Walton, John. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,
2001.

Howard, David M. Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2002.

Kaiser, Walter. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.

Kaiser, Walter. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama. Malang; SAAT,
2001.

LaSor, W.S. dkk. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004.

Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama. Malang: SAAT, 2000.

Packer, J.I. dkk. Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1. Malang:
Gandum Mas, 2003.
Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: YKBK, 2002.
1 Dafar penduduk asli Kanaan tidak selalu meliputi tujuh bangsa:
Kej. 15:19-21 mencatat 10 bangsa;
Kej. 10:15-18 mencatat 5 bangsa;
Kej. 3:8, 17 mencatat 6 bangsa;
Ul. 20:17 mencatat 6 bangsa;
Yos. 3:10 mencatat 7 bangsa; dsb.
Maksud pengarang kitab ini barangkali adalah menonjolkan jumlah “tujuh” sebagai jumlah bulat, dalam arti “segenap kekuatan bangsa-bangsa kafir”, yang harus mengalah di hadapan kuasa Tuhan. I. J. Cairns, Tafsiran kitab Ulangan 1-11, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 143.
2 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, (Jakarta: YKBK, 2002), hlm. 501.
3 Kanaan merupakan ujung bagian selatan dari wilayah yang dikenal sebagai tanah sabit yang subur. J.I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1, (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm. 352.
4 Andrew E. Hill, John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 75.
5 Bible Almanac 1, hlm. 353.
6 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
7 Yaitu agama yang merupakan perkembangan dari bentuk politeistik, dimana mereka mengakui banyak dewa-dewi dan setan-setan. Dan menerima berhala-berhala tersebut dalam sebuah kuil. Bible Almanac 1, hlm. 177. Band. Dgn. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
8 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
9 Walaupun pada millenium ke-2 sM, pengorbanan manusia secara arkeologis belum dapat dipastikan. Akan tetapi bukti bahwa agama orang Kanaan memiliki sifat kebinatangan dan jasmani dalam tabiat manusia jelas dari naskah-naskah Ugarit dan naskah-naskah Mesir yang berasal dari bangsa Semit. Ibid., hlm. 503.
10 Ibid., hlm. 503.
11 Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2000), hlm. 167.
12 Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 57.
13 Band. Dgn, Walter C. Kaiser, Jr, Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, (Malang: SAAT, 2001), hlm. 119.
14 Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), hlm.76-78.
15 Budiono Djoeng, Diktat Kitab-Kitab Sejarah, (Surabaya: Unpublissed, 2005), hlm. 15.
16 Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama, (Malang:Gandum Mas, 2002), hlm. 98.
17 Diktat Kitab-Kitab Sejarah, hlm. 8.
18 Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, hlm. 119.
19 W.S. LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 292.
20 Bible Almanac 1, hlm. 254.
21 Kata Ibrani yang digunakan ialah Khérém, yang diterjemahkan “dikhususkan bagi Tuhan untuk dimusnahkan” (Yosua 6:17).
22 Pengantar Perjanjian Lama 1, hlm. 291.
23 William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 164-165.
24 Peter C. Craigie, The Problem Of War In The Old Testament, (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986), hlm. 11-12.
25 Memahami Perjanjian Lama, (Malang:SAAT, 2000), hlm. 65.
26 Kesinambungan atau kontinuitas yang dimaksud bukan dalam arti “menggantikan” atau “memperbaharui untuk meniadakan yang lama”, tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Kalvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory, Veritas Vol. 4 No. 1, (Malang:SAAT, April 2003), hlm. 47.
27 Bible Almanac 1, hlm. 608.