Rabu, 22 Juli 2015

KAJIAN TEOLOGIS DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DI INDONESI

PENDAHULUAN
Dunia dan segala isinya merupakan hasil ciptaan Allah. Pengungkapan ini sangat jelas dicatat dalam Alkitab, melalui kesaksian yang menceritakan tentang penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, lalu kemudian Tuhan menciptakan manusia pertama yang ditempatkan di taman Eden (Kejadian 1-2). Penciptaan yang di lakukan oleh Tuhan dengan teramat baik mengandung maksud tersendiri bahwa melalui penciptaan, Allah menghendaki manusia dan alam menjalin suatu hubungan yang harmonis. Hubungan ini ingin memperlihatkan bahwa alam dan manusia sebagai hasil ciptaanNya ingin memberikan pengakuan terhadap eksistensi Allah di tengah-tengah ciptaanNya.
Sejarah perjalanan manusia di dunia telah menunjukan bahwa manusia dengan keunggulan akal dan nalarnya telah berhasil menempatkan dirinya sebagai pengatur dan penakluk alam. Sebagai mahluk yang bernalar maka manusia sering menggunakan nalar dan mengembangkannya untuk meningkatkan berbagai hal yang berhubungan dengan kesejahteraannya. Usaha ini dikenal dengan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dengan kemajuan ini maka manusia berhasil menciptakan mesin untuk dapat membantu produktivitas hasil dari sebuah pekerjaan. Berbagai hasil alam pun diolah dan dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Manusia melakukan eksploitasi alam, tanpa melihat keberadaan sumber daya alam yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan manusia, akhirnya terjadilah Pencemaran lingkungan. Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini bukan lagi menjadi  masalah yang asing bagi manusia. Berbagai masalah yang berhubungan dengan prilaku manusia dengan alam dapat kita temui dan rasakan  pada kehidupan kita sekarang ini..
Salah satu yang menjadi permasalahan yang sementara dihadapi oleh seluruh manusia yang tinggal di planet bumi ini ialah naiknya suhu panas atau cuaca panas sangat dominan dirasakan di berbagai tempat meskipun bukan musim panas. Naiknya suhu panas ini dinamakan pemanasan global (global warming). Pemanasan global sendiri merupakan suatu fenomena menghangatnya keadaan atmosfer bumi, yang berdampak juga pada tanah, air yang juga menjadi hangat. Pentingnya masalah ini membuat sekjen PBB Ban Kimon angkat bicara, menurutnya: 
Pemanasan global merupakan sesuatu yang tak terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak sangat mengerikan”. [1]
Indonesia sangat rentan untuk terkena dampak langsung dari pemanasan global. Perubahan suhu yang di akibatkan dari pemanasan global telah terjadi di Indonesia di manapeningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990, sementara pada tahun 1998 suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata[2]. Perubahan suhu yang terjadi ini akan membuka celah untuk terjadinya perubahan cuaca (anomali). Anomali cuaca akan mengakibatkan orang akan sangat sulit untuk memprediksikan cuaca yang terjadi, yang pasti peningkatan curah hujan juga akan terjadi secara signifikan.
            Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat berpeluang untuk kehilangan beberapa pulau akibat meningkatnya permukaan air laut. Tadinya Indonesia memiliki 17.504 pulau tapi kini tinggal 17.480 pulau oleh sebab naiknya air laut. Kehilangan aset 2.000 pulau akan luar biasa dampaknya yang berujung pada penyempitan wilayah.[3]  Maka di perlukan adanya usaha untuk mengurangi bahkan menghentikan berbagai tindakan-tindakan manusia yang membuka peluang untuk terjadinya pemanasan global yang lebih parah. Walaupun secara langsung Indonesia hanya menerima “imbas” dampak pemanasan global dari negara-negara maju.
Di sisi lain Indonesia cukup berperan dalam menciptakan pemanasan global. Hal ini di karenakan lewat prilaku manusia yang hanya mengejar keuntungan ekonomis, sehingga melakukan  pembakaran  hutan secara sengaja yang terjadi pada tahun 1997-1998, di mana 80 % kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut. Akibat kebakaran ini maka Indonesia menyumbang 0,8–2,57 Gigaton karbon yang di lepaskan ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13-14 % total emisi karbon dunia yang di hasilkan dari bahan bakar fosil per tahun.[4]
Maka dari hal inilah penulis merasa tertarik untuk melihat berbagai dampak yang terjadi di Indonesia sehubungan dengan munculnya realitas pemanasan global, serta melakukan suatu kajian berdasarkan pemahaman teologis yang Alkitabiah.




II.  ISI
Sebelum menjelaskan mengenai berbagai dampak yang terjadi sehubungan dengan realitas pemanasan global, maka akan lebih jelas lagi jika boleh memahami akan realitas pemanasan global itu sendiri.
A.    PEMANASAN GLOBAL
Pemanasan global merupakan suatu istilah yang diambil dari kalimat bahasa inggris yaitu ‘global warming’. Menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia karangan John M. Echols dan  Hassan Shadily, bahwa kata global mengandung arti 1. sedunia, 2. sejagat.[5] Sedangkan kata warming berasal dari kata warm yang mempunyai arti 1. Panas (iklim panas; cuaca panas), 2. Hangat,[6] dari pengertian di atas  dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa global warming adalah istilah yang menggambarkan suatu keadaan dimana menghangatnya dunia, akibat naiknya suhu di permukaan bumi. Di Indonesia sendiri fenomena ini di sebut dengan “pemanasan global”.
Maka dari hal ini dapat ditarik sebuah pengertian bahwa pemanasan global adalah fenomena dimana meningkatnya suhu di atmosfer bumi, Meningkatnya suhu yang ada di atmosfer bumi ternyata membawa pengaruh peningkatan suhu pada air  laut, dan daratan sebagai komponen alam yang ada di dalam bumi[7]. Meningkatnya panas di atmosfer bumi ini tidak hanya terjadi seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur.
Meningkatnya panas di atmosfer bumi ini tidak hanya terjadi seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur, sehingga dapat dikatakan pemanasan global adalah suatu  proses peningkatan suhu yang berkelanjutan yang diakibatkan oleh polusi udara, di mana meningkatnya gas-gas (gas rumah kaca) yang berfungsi sebagai pencemar yang di keluarkan pada umumnya oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, dan berbagai prilaku manusia yang tidak “bersahabat” dengan alam.[8]
a.    Efek Rumah Kaca[9]
Efek rumah kaca merupakan suatu mekanisme alami yang terjadi di bumi. mekanisme efek rumah kaca dapat di jelaskan demikian. Ketika radiasi matahari masuk ke permukaan bumi, ia berubah menjadi cahaya panas dan menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan memantulkan sebagian dari panas ini sebagai radiasi gelombang panjang ke luar angkasa, namun sayangnya tidak semua energi matahari ini yang terpantul ke luar angkasa tetapi terperangkap di atmosfer bumi akibat gas-gas rumah kaca (gas yang menyerap gelombang panas).[10] Gas rumah kaca mulai diperkenalkan berdasarkan salah satu hasil keputusan Protokol Kyoto[11]. Jenis gas yang paling banyak memberikan emisi adalah CO2, CH4 , dan N2O, gas-gas ini dihasilkan dari pembakaran bahan fosil di di sektor energi, transportasi, dan industri, dan perubahan tata guna lahan hutan.
Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengankelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer.[12]
Di bumi gas rumah kaca yang paling utama ialah uap air yang menyebabkan sekitar 36-70 % efek rumah kaca ; Karbon Dioksida (CO2) 9 – 26 % ; metana (CH4), 4-9 %; dan Ozon (CFC) 3-7 %.[13] Alasan mengapa gas-gas ini disebut sebagai gas rumah kaca karena proses pemanasan yang diakibatkan dari gas tersebut sama seperti yang terjadi di rumah-rumah kaca yang digunakan untuk perkebunan di negara-negara Sub Tropika seperti di Eropa dan Amerika Serikat, di mana biasanya para petani menggunakan rumah kaca saat musim dingin telah tiba. Tanaman-tanaman yang di tanam dalam rumah kaca tersebut akan tetap hidup dan tidak akan membeku oleh pengaruh musim dingin tiba, hal ini dikarenakan kaca akan menghalangi panas matahari yang masuk dan memantulkan kembali untuk keluar.
 Berdasarkan gambaran di atas dapat diibaratkan bahwa gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer bumi berfungsi sebagaimana rumah kaca yang di gunakan oleh para petani di atas untuk menahan panas yang di pancarkan oleh matahari. Efek rumah kaca sangat diperlukan agar suhu bumi menjadi cukup hangat untuk di huni oleh manusia, sehingga di dalamnya manusia dapat melakukan berbagai aktivitas, sehingga manusia tersebut dapat bertahan hidup. Tanpa Efek rumah kaca maka kehidupan manusia dan segala mahluk hidup yang ada di muka bumi akan terganggu karena suhu rata-rata bumi akan menjadi -200C. Menurut 2 orang pakar kimia yang berasal dari Amerika yaitu Ralp H. Petruci, dan William S. Harwood, dalam buku mereka yang berjudul General Chemistri Principles and Modern Application, di mana mereka mengatakan bahwa:
“Efek rumah kaca sangat penting untuk menetapkan suhu yang layak bagi kehidupan di bumi. Tanpa efek rumah kaca bumi secara permanen akan tertutup es, dan perbedaan suhu antara siang hari dan malam hari di bumi tidak terlalu jauh berbeda”[14].

Hal inilah yang dikatakan sebagai efek rumah kaca yang alami, di mana Gas-gas rumah kaca di atmosfer telah tercipta secara alami tanpa campur tangan manusia, atau dengan sendirimya gas-gas ini telah ada di atmosfer melalui peristiwa-peritiwa alam seperti letusan Gunung berapi yang memancarkan gas Karbondioksida ke Atmosfer
b.   Lapisan Ozon
Saat ini telah munculnya gas-gas baru yang tergolong sebagai gas rumah kaca, salah satunya adalah Chloro Fluoro Carbon (CFC)[15]. CFC menyerang lapisan ozon, akibatnya kandungan Ozon di angkasa menipis dan mengakibatkan lubang di kutub utara dan selatan, sehingga Ultraviolet (UV) mampu menerobos masuk ke atmosfer dan menyebabkan kanker kulit. Ozon sendiri merupakan lapisan dari atmosfer yang mengahalangi radiasi UV dari matahari, 70-80 % UV di saring oleh lapisan ozon.  maka, ketika lapisan ozon menjadi lebih tipis akan membawa pengaruh yang besar pada seluruh mahluk hidup (manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang ada di bumi ini. Para peneliti lingkungan hidup menemukan bahwa lapisan ozon telah berlubang sebesar benua Amerika. Menipisnya lapisan ozon di lapisan atas atmosfer (strotosfer) akan lebih memberikan peluang terjadinya meningkatnya suhu.



B.     DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA
Indonesia pun tidak luput dari dampak perubahan iklim. Kondisi sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis membuat Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Untuk melihat lebih jauh lagi dampak yang telah terjadi dan yang akan terjadi akibat perubahan Iklim di Indonesia, ada baiknya untuk penulis menjelaskan sedikit mengenai posisi geografis Indonesia.
Letak Indonesia terbentang dari 6 derajat Lintang Utara (LU) sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 9 sampi 141 derajat Bujur Timur (BT), Indonesia memiliki jumlah total pulau terbesar di dunia yaitu ± 17.500 pulau. Dari jumlah tersebut sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni, sedangkan sisanya pulau kosong yang menjadi habitat satwa liar.  Dari 6000 pulau itu ada kurang lebih 110 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia yang bertempat tinggal, 50 km dari garis pantai dan sangat rentan terhadap bahaya kenaikan permukaan air laut. Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia tidak mengherankan lagi apabila Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km (sekitar 14% dari garis pantai dunia). Sementara luas laut mencapai 5,8 juta km2, mendekati 70 % luas keseluruhan wilayah Indonesia.[16] Maka dengan posisi geografis yang seperti ini sehingga Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat sehingga dapat menimbulkan kerugian baik material maupun nyawa.
a.    Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Kenaikan temperatur yang terjadi akibat pemanasan global bukan lagi menjadi masalah yang asing saat ini, telah banyak bukti yang menunjukan bahwa telah terjadi kenaikan temperatur suhu di setiap negara secara signifikan dan hal ini termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri telah mengalami peningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990, sementara pada tahun 1998 suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata[17]. Dampak yang akan dihasilkan dari perubahan suhu ini ialah munculnya berbagai gejala alam yang cukup asing di masyarakat. Hal tersebut dapat penulis ungkapkan lewat bagian-bagian tulisan berikut.
Dampak lain yang terjadi akibat perubahan iklim ialah pola curah hujan yang tidak menentu. Anomali (perubahan) curah hujan dapat dikatakan demikian yaitu saat suhu laut menjadi meningkat akibat pemanasan global, maka sinar matahari yang tembus di atmosfer telah melebihi batas normal karena efek rumah kaca. Sebagaimana besar sinar matahari yang masuk langsung mengena pada air laut maka dengan sendirinya air akan mengalami penguapan yang besar sehingga uap air tersebut terkumpul di udara dan ketika uap air ini menjadi banyak maka dengan sendirinya akan terjadi hujan. Namun dapat dipastikan kenaikan intensitas curah hujan telah terjadi di berbagai negara, khususnya negara-negara yang dilintasi garis khatulistiwa atau negara-negara yang memiliki Iklim tropis dan sub tropis. Selain itu analisa ini dilengkapi dengan penelitian dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) yang menyebutkan bahwa pada beberapa tahun terakhir ini telah menunjukan fenomena peningkatan intensitas curah hujan tertinggi selama 30 tahun terakhir di Indonesia[18]. Hal ini menandakan perubahan iklim yang berdampak pada tingginya intensitas curah hujan bukan hanya melanda pada beberapa negara bahkan melanda Indonesia sendiri yang dikenal dengan daerah Tropis dengan tingkat hujan yang tinggi.
Curah hujan yang tinggi juga merupakan salah satu faktor penyebab utama banjir. Masalah banjir di Indonesia sudah bukanlah hal yang baru untuk dihadapi, karena peristiwa banjir sudah sering menjadi polemik umum dari pemerintah untuk ditanggulangi. Masalah banjir di Indonesia mengindikasikan adanya peningkatan baik intensitas dan frekuensinya. Akibatnya kerugian yang ditimbulkan hal ini semakin meningkat. secara nasional bencana banjir yang terjadi dari tahun 2001 - 2002 tercatat terdapat 92 bencana banjir dengan kerugian yang ditimbulkannya adalah 146 orang meninggal, 389.919 jiwa mengungsi dan mengenangi pemukiman warga seluas 54.482 ha.[19]
b.    Naiknya Permukaan Laut
Di Indonesia sendiri apabila terjadi kenaikan air laut ke darat setinggi  1 meter saja maka kota-kota yang terletak di pesisir pantai akan tenggelam[20]. Banyak  kota-kota tersebut yang merupakan kota-kota besar dan merupakan ‘urat nadi’ Indonesia, misalnya Jakarta, Batam, Banda Aceh, Padang, Bengkulu, Lampung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Samarinda, Banjarmasin dan Manado. Gangguan atau terputusnya  ‘urat nadi tersebut’ akan mengganggu kondisi ekonomi, HANKAM, sosial dan politik.
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki dampak serius apabila terjadi kenaikan air laut sampai pada ketinggian 5 – 7 Meter, maka 12 pulau kecil terdepan dari 92 pulau di wilayah Indonesia yang terancam hilang terendam pasangnya air laut itu teridentifikasi meliputi Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Sebatik, Pulau Maratua, Pulau Fani, Pulau Mapia, Pulau Enu, Pulau Asutubun, Pulau Dana, Pulau Raijua dan Pulau Mangudu[21]. Di samping itu kawasan pesisir merupakan kawasan yang penting bagi kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan-kawasan tersebut. Analisa terhadap kehilangan banyak pesisir pantai telah menjadi bagian yang penting, karena di dalamnya bergantung kehidupan banyak orang. Pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover (perhatian utama) pembangunan nasional. Karakterisitik wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah:
1.    Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat beraneka ragam karakteristiknya.
2.    Dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. [22]
3.    Terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.
4.    Mengandung potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity).
5.    Wilayah ini merupakan sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.[23]
          Apabila kenaikan air laut yang cukup tajam seperti sekarang, maka hal ini akan berpotensi menenggelamkan 50 meter daratan garis pantai kepulauan Indonesia. Apabila panjang garis pantai indonesia sekitar 81.000 Kilometer maka sekitar 405.00 hektar daratan Indonesia akan tenggelam[24]. selain itu ribuan pulau kecil yang berpenghuni maupun yang tidak akan berpenghuni akan lenyap dari peta Indonesia akibat di telan air laut. 14.000 desa dianalisa akan merasakan dampak tersebut pada tahun 2015. Selain itu ada ratusan ribu hektar tambak dan sawah di daerah pasang surut akan hilang, abrasi pantai dan Intruisi air laut pun mengganggu penduduk yang sebagian hidup di kawasan dataran rendah.[25]
          Contoh lainnya dapat ditemukan di kota Jakarta di mana setiap tahunnya kota Jakarta mengalami penurunan permukaan Tanah sampai 0,8 sentimeter / tahun akibat pengambilan air tanah dan pembangunan gedung bertingkat. Jika air laut sedang pasang maka gelombangnya bisa mencapai 1-2 meter menghantam sepanjang pantai Jakarta, dan tentu saja peristiwa ini mengganggu kegiatan masyarakat. Dapat dibayangkan apabila terjadi peningkatan permukaan air laut yang cukup signifikan maka Kota Jakarta akan tenggelam dan menjadi Kota Atlantis.[26]
          Bahkan lebih jauh lagi anlisis dari para ilmuwan menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan bagi negara kita jika tidak ada upaya pencegahan maka, kita akan kehilangan 2.000 pulau karena air laut akan naik pada ketinggian 90 cm. Tadinya kita memiliki 17.504 pulau tapi kini tinggal 17.480 pulau oleh sebab naiknya air laut. Kehilangan aset 2.000 pulau akan luar biasa dampaknya yang berujung pada penyempitan wilayah.[27]
          Kenaikan muka air laut juga akan mengakibatkan perubahan arus laut, dan hal ini akan berpengaruh pada tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah pesisir, salah satu tumbuhan yang terancam ialah rusaknya ekosistem mangrove. Pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.  Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.[28]Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter  polutan, dan zona budidaya pertanian pun akan terancam dengan sendirinya.
c.    Sektor Perikanan
            Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut sebesar 2-3oC. Dari memanasnya air laut tersebut menyebabkan Alga (sumber makanan terumbu karang) akan mati karena tidak mampu untuk beradaptasi dengan peningkatan suhu yang terjadi di air laut. Dengan semakin menipisnya sumber makanan dari terumbu karang akhirnya terumbu karang akan berubah warna menjadi putih dan mati (Coral bleaching).
          Saat ini jumlah terumbu karang yang ada di Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan. Padahal Indonesia sendiri terkenal dengan kekayaan bahari yang begitu indah, di mana saat ini terumbu karang di Indonesia terdapat 14.000 unit, dengan luas total 85.700 km2 atau Indonesia memiliki 14 % dari terumbu karang yang ada di seluruh dunia. Di samping itu peristiwa El Nino[29] akan lebih sering terjadi di Indonesia, sehingga akan semakin memicu peristiwa pemutihan karang. Di Indonesia sendiri peristiwa El Nino sudah sangat sering terjadi dengan dengan rentan waktu tidak normal, sehingga menyebabkan terumbu karang 30% terumbu karang di Indonesia menjadi putih[30].
          Pemutihan karang akan menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu, sunu, napoleon dan lain-lain) hal ini dikarenakan terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan tersebut telah rusak dan tidak layak lagi di huni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itu pun hanya terdapat di Indonesia bagian timur saja dan belum terhitung di wilayah Indonesia lainnya. Akibat lebih jauh lagi ialah terjadinya komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan-ikan yang tidak tergantung pada terumbu karang (contohnya ikan Belanak, Bandeng, Tenggiri dan Teri) akan sulit untuk berkembang, padahal ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang lebih rendah jika di bandingkan dengan ikan-ikan yang hidup di terumbu karang.
          Memanasnya air di laut akan mengakibatkan terganggunya kehidupan jenis ikan tertentu yang sangat sensitif dengan naiknya suhu. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke daerah lain yang lebih dingin dan sesuai dengan kebutuhan suhu ikan tersebut[31]. Akibatnya, nelayan lokal yang berharap dengan keuntungan ekonomi dengan menangkap ikan tersebut akan mengalami keterpurukan ekonomi, karena menurunnya hasil tangkapan ikan.

d.    Sektor Pertanian
Saat pemanasan global terjadi secara menyeluruh, maka tanaman juga akan berekasi menyerap Co2 karena banyaknya karbondioksida di udara merupakan materi mentah bagi tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis dan akan menjadi seimbang dengan gas yang dilepaskan saat materi dari tumbuhan yang mati akan membusuk. Efek dari perubahan Iklim yang cepat akan berdampak buruk atau baik tergantung pada jenis tumbuhan itu sendiri. Menurut Michael Allaby dalam bukunya Living In Green House. Ia menyebutkan bahwa Biasanya tumbuhan merespon perubahan temperatur secara lebih lambat daripada hewan dengan beberapa cara, salah satunya dengan tumbuhan mengkoloni tempat baru dan akan mati ditempatnya yang lama, atau mereka akan melakukan migrasi ke tempat Iklimnya yang lebih sesuai untuk pertumbuhannya. Migrasi ini biasanya dilakukan oleh angin, burung, atau hewan lain yang secara sengaja atau tidak sengaja membawa benih bijinya,  tumbuhan biasanya bermigrasi 1 km di dalam setahunnya. Jika temperatur semakin naik maka kemungkinan banyak tumbuhan tidak dapat bermigrasi lebih cepat dan tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi secara mendadak[32]. Tanaman pertanian sangat bergantung pada kemampuan manusia dalam mengolah tanah dan mengantisipasi perubahan Iklim, sehingga tanaman akan bermigrasi  cepat seperti yang diinginkan oleh para petani.
Pengaruh pemanasan global di Indonesia sudah sangat dirasakan saat ini khususnya dalam hal pertanian dan persediaan pangan, kita tidak bisa meramalkan kapan musim kemarau dan kapan musim hujan dan tentu saja hal ini berpengaruh pada pangan. Di daerah tropis seperti Indonesia kemungkinan gagal panen juga akan semakin besar. Saat musim tanam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai) maupun tanah tidak mampu menyimpan air sehingga terjadilah banjir. Selain itu pola curah hujan yang berubah, misalnya hujan yang biasanya turun dalam sebulan tetapi kenyataannya turun seminggu. Beberapa contoh yang terjadi di Indonesia antara lain yaitu,  di Pulau Jawa, Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat. DAS Citarum dengan luas wilayah 6.080 km2 dan dengan panjang sungai 269 km nyatanya tidak memberikan kontribusi baik untuk mengairi areal persawahan yang dimilik oleh para petani. Hal ini dikarenakan sepanjang DAS Citarum ada 11 juta jiwa bermukim dan 10.000 perusahaan yang memanfaatkan Citarum. Akibatnya terlihat produktifitas padi Tahun 2005 adalah 9.787.217 ton menjadi 9.418.572 ton pada Tahun 2006. Jadi ada penurunan sebesar 368.645 ton padi.  Hal serupa juga sama dengan DAS Brantas di Jawa Timur. Tahun 2006 produksi padi sebesar 9.346.947 ton menjadi 9.126.356 ton pada Tahun 2007. Ada penurunan sebesar 220.519 ton. Dan di Jawa Tengah juga sama dari 8.729.291 ton (2006) menjadi 8.378.854 ton (2007), penurunan sebesar 350.436 ton[33].
Tak menentunya iklim di Indonesia berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya Indonesia harus melakukan impor beras dari negara lain. Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup tahun 1998, di mana tercatat bahwa pada tahun 1991 Indonesia mengimpor sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang di impor menjadi lebih dari satu juta ton. Sedangkan dari data dari Badan Pusat Statistik, Produksi padi tahun 2001 menurun sebesar 3,5 % atau 2,9 juta ton dibanding tahun 2000[34].
e.    Kesehatan Manusia
Saat ini pemanasan global semakin dirasakan, di mana suhu bumi dirasa semakin menghangat. Banyak prediksi para Ilmuwan bahwa akan ada banyak orang yang akan meninggal karena gelombang panas, seperti yang terjadi pada musim panas di Eropa tahun 2003 di mana kurang lebih 35.000 orang meninggal dunia[35].
Selain itu iklim yang makin menghangat ini membuat wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah Tropis semakin meluas dan kemungkinan dapat berpindah ketempat daerah yang dingin atau sub tropis seperti Eropa dan Amerika. Wabah penyakit yang akan diakibatkan nyamuk ini adalah Malaria atau Demam berdarah. Saat ini 45 % penduduk dunia tinggal di daerah yang biasa terjadi wabah malaria, dan jika iklim dunia terus menghangat maka presenatase tersebut akan menjadi 60 %[36].
Malaria sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk pembawa parasit malaria yang disebut protozoan dari Plasmamodium. Ciri-cirinya, apabila terjangkiti oleh penyakit ini maka akan mengalami demam yang tinggi, koma dan dalam kasus yang fatal akan mengakibatkan kematian. Biasanya penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk betina yang 60 % adalah nyamuk anopheles, dan menyerang manusia pada malam hari, penyakit ini menjadi wabah yang menakutkan pada musim hujan saat mereka mulai bereproduksi dan membutuhkan darah merah yang kaya protein untuk memberi makan pada telur-telurnya.[37]
Di Indonesia sendiri penyakit malaria ini sering mewabah di Sumatera dan irian Jaya yang menjadi sangat rawan terhadap endemik malaria. Saat suhu rata-rata di Sumatera dan Irian Jaya naik di antara 25o – 27o C, suhu tersebut merupakan suhu ideal bagi pertumbuhan nyamuk malaria[38]. Indonesia sendiri bukanlah hal asing tentang penyakit malaria, karena penyakit mematikan ini hampir terjadi setiap tahun dan terjadi setiap musim hujan tiba, biasanya penderita penyakit demam berdarah ini adalah orang yang tinggal diperkampungan kumuh. Kasus demam berdarah di Indonesia telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terahkhir ini[39].
Balita, Anak-anak dan usia lanjut  sangat rentan terhadap terkena penyakit tropis tersebut. Hal ini terbukti berdasarkan data World Health Organitation (WHO) 2008 menyebutkan bahwa tingginya angka kematian yang di sebabkan oleh malaria sebesar 1-3 juta per tahun di mana 80 % di antaranya adalah balita dan Anak-anak. Dalam kasus malaria di Jawa dan Bali telah mengalami kenaikan. Dari 18 kasus/100.000 penduduk pada tahun 1998, telah mengalami kenaikan menjadi 48 kasus/100.000 penduduk di tahun 2000, atau naik hampir 3 kali lipat dalam kurun waktu 3 tahun. Sementara di luar Jawa dan Bali terjadi peningkatan kasus sebesar 60% dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu 16.290 kasus/100.000 penduduk[40].
Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, di perkirakan ada 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu diantaranya meninggal dunia. Jika pemerintah tidak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, maka kasus malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus pada tahun 1989, akan menjadi 3.246 kasus pada tahun 2070.[41] Angka dari prediksi tersebut masih akan bertambah karena mengingat perubahan iklim tekah terjadi dan sewaktu-waktu akan terjadinya curah hujan yang tinggi sehingga peluang untuk muncul nya nyamuk yang membawa penyakit tersebut akan semakin tinggi.
f.     Sosial Ekonomi
Pada tahun 2000 di Indonesia telah terjadi 33 peristiwa bencana alam, mulai dari banjir, kebakaran hutan, dan bencana angin topan. Dari semua bencana yang terjadi ini telah menelan kerugian materi sebesar $150 milyar dan 690 nyawa hilang[42]. Kerugian yang akan dialami di Indonesia jika terjadi kenaikan air laut setinggi 60 Cm adalah sebesar $11.307 juta per tahunnya. Kerugian itu sendiri dari menyusutnya lahan persawahan, terendamnya perkebunan, gagalnya hasil panen di tambak ikan, dan rusaknya hutan bakau.
Khusus di sektor pertanian di perkirakan akan mengalami kerugian sebesar 23 milyar per tahun akibat perubahan iklim. Sementara sektor pariwisata akan mengalami kerugian sebesar 4 milyar rupiah per tahun.[43] Di sektor kehutanan Indonesia, akan mengalami kerugian akibat kebakaran hutan sebesar 5,96 trilyun rupiah atau 70% dari Pendapatan Domestik Bruto sektor kehutanan. Hal tersebut terdiri dari atas hilangnya persediaan air, penyerapan karbon, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kebakaran hutan tahun 1997 Indonesia telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari 1,2 trilyun rupiah termasuk 2,5 juta hari kerja yang hilang. Sementara total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan menurut Bappenas pada tahun 1997-1998 di perkirakan mencapai US$ 9,3 milyar[44].
C.      ANALISIS TEOLOGIS
Dengan demikian kiranya menjadi jelas bagi kita, bahwa saat ini dampak pemansan global sudah semakin dirasakan oleh seluruh mahluk hidup yang ada. Harus di akui bahwa manusia juga sebagai “aktor” utama dalam menciptakan masalah ini. Dengan keunggulan akal yang ada maka manusia melakukan eksploitasi pada alam, sehingga pada akhirnya seluruh mahluk juga yang merasakan imbasnya. Melalui permasalahan di atas, maka muncul satu pertanyaan teologis, yaitu apakah Allah menghendaki keadaan ini terjadi di dunia yang telah Ia ciptakan dengan sempurna atau teramat baik.
Alkitab sebagai sumber utama tolok ukur untuk orang Kristen atau lebih tepat dikatakan sebagai firman Allah yang tertulis, sebenarnya tidak memberikan ruang bagi manusia untuk melakukan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab, dan hal ini sangat jelas terlihat dalam Kejadian 1 : 26-28 di mana Allah memberikan suatu mandat khusus pada manusia sebagai gambar Allah (imago dei) untuk “berkuasa” pada ciptaanNya. Harus dipahami bahwa kata berkuasa harus dipahami sebagai bentuk tindakan manusia dalam pengelolaan alam secara bertanggung jawab. Manusia juga harus sadar bahwa dalam proses penciptaan, Allah terlebih dahulu menciptakan Alam, sehingga manusia tidak mempunyai alasan untuk melakukan eksploitasi yang merugikan pada alam (Kejadian 2 : 15). Hal ini haruslah dipahami bersama, bahwa segala yang ada di muka bumi ini adalah milik dari sang pencipta, dan manusia hanyalah pengembann tugas atau pelayan (Mazmur 24 : 1, 115 : 16).
Dengan demikian, sangat jelas bagi kita bahwa apa yang ada pada kita, termasuk alam itu adalah ciptaan Allah dan di titipkan pada manusia untuk di kelola secara bertanggung jawab, untuk itulah manusia harus menghilangkan pemikiran yang egois, apalagi memanfaatkan alam hanya untuk kepentingan manusia itu sendiri. alam juga memiliki “hak” untuk di jaga dan di lestarikan oleh manusia, dan manusialah sebagai mahluk yang memiliki kelebihan dalam hal nalar, wajib untuk menjaga kelestarian tersebut.
Maksud inilah yang hendak dikedepankan oleh Allah pada manusia dalam berhubungan dengan alam, agar seluruh ciptaannya dapat hidup harmonis dengan penuh kedamaian, sambil menantikan pengharapan baru yaitu keselamatan yang akan didatangkan oleh Allah melalui anakNya Yesus Kristus, segala mahluk ciptaannya menanti-nantikan pengharapan itu, karena dalam pengharapan itu terdapat sukacita iman (Roma 8 : 19-25)
III.             PENUTUP : KESIMPULAN DAN SARAN

-          KESIMPULAN
Di akhir karya ilmiah ini, maka akan penulis sajikan beberapa kesimpulan penting sehubungan dengan topik yang telah penulis angkat ;
1.      Pemanasan global adalah fenomena meningkatnya suhu rata-rata yang ada dipermukaan bumi.
2.      Pemanasan global terjadi akibat akumulasi gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer, dan gas ini dihasilkan dari aktivitas manusia di muka bumi, sehingga mengakibatkan perubahan iklim yang juga berdampak pada perubahan keadaan alam yang ada, bahkan di segala sektor kehidupan manusia.
3.      Indonesia sebagai negara kepulauan yang ada sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. salah satu dampak yang paling nyata ialah akan hilangya beberpa pulau terluar dari wilayah Indonesia, baik yang berpenghuni maupun tidak
4.      Allah tidak menghendaki akan adanya sikap manusia yang melakukan ekspoloitasi secara tidak bertanggung jawab pada alam. Allah menghendaki agar manusia mampu menjaga keharmonisan dengan sesama ciptaanNya yang lainnya
-          SARAN
1.        Perlunya penanaman pohon kembali, untuk menghisap Co2 yang berlebihan di udara.
2.        Agar dikembangkan suatu sikap/pola hidup manusia yang bersahabat dengan alam, begitu juga dengan perusahaan industri yang ada.
Sumber; http://www.awardspace.com/web-hosting-notice/error-404,by: Gerald Akerina
DAFTAR PUSTAKA
Armeil Meiviana y, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia,Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup, 2006

Arifin Arif, Hutan Mangrove : Fungsi dan Manfaatnya Yogyakarta : Kanisius, 2003
Dadang Rusbiantoro. Global Warming  For Beginnner : Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Yogyakarta : O2, 2008

Gatut Susanta dan Hari Suthajo. Pemanasan Global : Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Jakarta : penebar plus, 2007

Handol John & Leo Nababan, Tragedi Bumi yang terluka: Menuntut Tanggungjawab Moral & Rohani Umat Beragama. Jakarta: Gradasari Aksara, 2006. hlm.
Murdiyarso Daniel, Protokol Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Jakarta : Kompas, 2003.

Ratag, Mesak (kepala bagian permodelan iklim. ed.). Perubahan Iklim: Basis Ilmiah dan Dampaknya. Jakarta : Lembaga Penerangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2002

Supardi Imam, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: PT. Alumni : Bandung, 2003)
KAMUS
Ayu Rini. Ensiklopedi Fenomena Alam. Yogyakarta : Pinus Book Publisher, 2008

Pusat Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1990

SITUS-SITUS INTERNET

http://handy.hagemman.com/index.ph
Http:www.Iptek.net.id
DOKUMEN-DOKUMEN

Antispasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknik Penata Ruang. Dirjen Penata Ruang: Departemen Penata Ruang dan Prasarana wilayah Jakarta, Oktober 2002

Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2007


[1] Anonim, www.kompas.com, dikunjungi 19 November 2007.
[2] Meiviana Armeily, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia(Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup, 2006). hlm. 20
[3]http://handy.hagemman.com/index.php/2007/12/01/dampak-pemanasan-global-bagi-Indonesia
[4] Armeily, Op.Cit  hlm. 21
[5] John M. Echols & Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm.271
[6] Ibid. hlm. 636
[7] Ibid
[8] Imam Supardi, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: PT. Alumni : Bandung, 2003) hlm. 4
[9] Efek Rumah kaca pertama kali di temukan oleh Joseph Fourier pada tahun 1984, dimana Efek Rumah kaca berdasarkan sebuah proses di mana atomosfer memanaskan sebuah planet, seperti Mars, Venus, dan saturnus, Gatut Susanta & Hari Suthajo, Op. Cit, hlm. 30

[11] Protokol Kyoto merupakan amandemen kebijakan  terhadap konvensi rangka panjang kerja PBB tentang perubahan Iklim, dari protokol ini maka dihasilkan ada 6 (enam) gas rumah kaca yang ada di atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2), Dinitrooksida (N2O), Metana (CH4), Sulfur-heksaflourida (SF6), Hidroflourkarbon (HFCs). Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Jakarta : Kompas, 2003. hlm. 4
[12] Ratag, Op.Cit, hlm. 7
[13] Ayu Rini, Ensiklopedi Fenomena Alam, (Yogyakarta : Pinus Book Publisher, 2008, hlm. 109
[14] Rusbiantoro,Op.Cit, hlm. 32
[15] John Handol & Leo Nababan, Tragedi Bumi yang terluka: Menuntut Tanggungjawab Moral & Rohani Umat Beragama. Jakarta: Gradasari Aksara, 2006. hlm. 49
[16] Harian Media Indonesia, Edisi Rabu, 16 Oktober 2002.
[17] Armeily, Op.Cit, hlm. 20
[18] Sutopo P. Nugroho, Http:www.Iptek.net.id. dikunjungi 28/04/2008
[19] Ibid
[20] Susanta dan Suthajo. Op.Cit.hlm 30
[21] Ibid
[22] Harian Media Indonesia, Edisi 16 Oktober 2002.
[23] Antispasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penata Ruang, (Jakarta : Dirjen Penata Ruang Departemen Penata Ruang dan Prasarana Wilayah, Oktober 2002) hlm.  2
[24] Susanta dan Suthajo. Op.Cit. hlm 39
[25] Ibid
[26] Armeily, Op.Cit, hlm.21
[27]http://handy.hagemman.com/index.php/2007/12/01/dampak-pemanasan-global-bagi-indonesia
[28] Arifin Arif, Hutan Mangrove : Fungsi dan Manfaatnya (Yogyakarta : Kanisius, 2003) hlm.12
[29] El Nino adalah sebuah fenomena alami di mana naiknya suhu permukaan air alut  di sebelah timur dan tengah di kawasan tropis samudera pasifik. El nino muncul setiap 2-13 tahun sekali, pada akhir tahun  dan berdampak pada menurunnya curah hujan sehingga menyebabkan terjadinya kemarau yang panjang. Terutama di di kawasan Indonesia, Malasyia, Australia dan sekitarnya. El Nino sangat berpotensi menyebabkan badai di lautan. Beberapa Ilmuwan berpendapat bahwa perubahan Iklim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap terjadinya El Nino. Kondisi atmosfer yang panas akan menyebabkan kehadiran El Nino lebih sering daripada biasanya. Rusbiantoro, Op.cit. hlm. 26 dan Armeily, Op.Cit. hlm. 7
[30] Meiviana Armeily, Ibid. hlm. 24
[31] Ibid. hlm. 25
[32] Rusbiantoro, Op.Cit. hlm. 32
[34] Harian kompas, 19 Oktober 2001. Meiviana Armeily. Op.Cit. h. 27

[35] Anonim, http://www.epa.gov/climatechange/science/recentac.htm.

[36] Rusbiantoro, Op.Cit. hlm. 32
[37] Departemen Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta.www.depkes.go.id. Dikunjungi  30 April 2008
[38] Ibid.
[39] Harian Kompas, 12 Desember 2007.
[40] Ibid, 18 Januari 2002
[41] Armeily, Op.Cit. hlm. 30
[42] Harian Kompas, 7 Maret 2001
[43] Armeily, Op.Cit., hlm. 31
[44] Ibid