DIakonia Sosial


Teologi Sosial berbasis Diakonia sosial
           

I. Pendahuluan
            Teologi sosial senantiasa berkaitan dengan keberpihakan pada kaum marginal. Lebih tajam teologi sosial menyoroti apa dampak dari kemiskinan dan bagimana kemiskinan itu bisa terjadi. Salah satu faktor yang melahirkan kemiskinan adalah struktur sosial. Sistim telah dicipta untuk melakukan “penindasan” oleh para penguasa adan pemilik modal. Sistim yang berjalan melalui peraturan dan perundangan nampaknya berjalan dalam koridor kebenaran, namun pada hakikatnya adalah terjadi “praktek perbudakan” bagi kaum lemah dan minoritas. Perbudakan oleh sisitim meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, baik sosial ekonomi, agama, politik, dan sebagainya.
 Pokok penting tentang Keluaran dari Mesir yang meletakkan dasar berdirinya umat Israel; oleh kuasa perbuatan TUHAN sehingga Israel lahir sebagai umat TUHAN. Pembebasan adalah untuk perayaan (beribadah), di mana beribadah selalu berjalan dalam proses pembebasan. Keluaran dari Mesir menjadi pokok pujian bagi bangsa Israel di dalam kebaktian yang pada umumnya dilakukan dan pada masaraya Paskah. Demikian juga dalam peranan pokok tersebut terdapat juga di dalam rumusan kepercayaan umat Israel yaitu Credo (Pengakuan Iman) di mana munculnya pernyataan ilahi, yaitu “AKUlah TUHAN, Allahmu yang telah membawa engkau ke luar dari Mesir” dan perbuatan Allah dalam kehidupan bangsa Israel yang telah melakukan pembebasan dari perbudakan (Ul 26:5-9).
            Gereja mewujudkan secara konkret perutusan pembebasan terhadap kemiskinan, dimana sikap netral gereja yang turut melanggengkan status quo kemiskinan. Oleh karena itu perlu kehadiran baru gereja ditengah sejarah yang merepresentasi jati dirinya sesuai semangat injili. Menurut Gutierrez, gereja harus memaklumkan pesan injili yang mendahulukan Kerajaan Allah untuk kaum miskin.[1]
   Demikian halnya kehadiran gereja yang memperlengkapi orang-orang kudus agar menjadi jemaat yang diakonial, demi terciptanya kesejahteraan dan kedamaian jemaat dan membangun Kerajaan Allah yang mensejahterakan jemaat di dunia. Sebagaimana jemaat missioner adalah kumpulan orang-orang yang telah dipanggil, dikumpulkan, dipelihara oleh Allah yang bertugas untuk meneruskan misi pekerjaan Kristus di dunia yaitu memberitakan injil keselamatan bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian kerajaan Allah telah dimulai dalam Yesus Kristus dan akan disempurnakan melalui kedatanganNya yang kemudian.
II. Dasar teologi teologi sosial
2.1 Pembebasan dari perbudakan di Mesir dan kelangsungan ibadah Israel
            Pembebasan dari Mesir bukan hanya memiliki makan politis, melainkan berorientasi pada makna teologis.
            Pembebasan itu berarti “melepaskan pergi” dan mengizinkannya keluar sebagai orang yang merdeka. Menjadi orang yang merdeka tidaklah berarti “menjadi tuannya sendiri” atau “menurut kesukaannya sendiri”. Keadaan umat Israel setelah mengalami pembebasan, mereka turut dalam kebebasan untuk mengabdi kepada TUHAN. Umat Israel berhak pergi “sebagai orang merdeka”, lepas dari kuasa-paksa orang Mesir tetapi kebebasan tersebut memiliki dasar, isi, dan tujuan : pelayanan dan pengabdian atau ibadat kepada TUHAN. Bekerja, melayani, mengabdi dan beribadat kepada TUHAN menunjukkan adanya status dan keadaan umat Israel yang normal. Kebebasan adalah hamba-hamba TUHAN dan ke dalam keadaan yang sah inilah mereka diangkat dan dipindahkan oleh perbuatan Allah keluar dari perbudakan.
            Umat TUHAN adalah persekutuan orang-orang yang mengabdi kepada Allah. “Mengabdi” berarti “melayani”, “hidup sebagai hamba” dan perkataan yang menyatakan “Lepaslah umat-Ku pergi, supaya mereka mengabdi kepada-Ku”, merupakan tujuan Allah menuntut pelepasan dan kebebasan umat-Nya. Oleh karena itu pengabdian yang dimaksudkan ialah pelayanan kepada TUHAN berupa kebaktian atau ibadah. Hidup sebagai abdi/hamba menlakukan perayaan kebaktian dan ibadah menjadi suatu peranan utama. Permintaan Musa dan pera tua-tua Israel yang sebelumnya memohon kepada Firaun untuk memberikan kesempatan kepada bangsa tersebut untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, sesuai dengan tuntutan TUHAN melalui Musa. Dalam hal inilah terlihat bahwa bangsa tersebut meminta permohonan agar mereka diberikan kebebasan untuk beragama. Namun Firaun menolak tuntutan tersebut dan penolakan ini menyatakan dia sebagai pemerintah yang lalim dan penguasa uang tak usah dan tak boleh ditaati lagi. Tuntutan atau permintaan orang Israel untuk bebas beragama, terpaksa menjadi tuntutan kemerdekaan penuh. Firaun terpaksa melepas mereka pergi beribadah dan berarti membebaskan mereka pergi dengan tidak kembali lagi.
            Oleh karena itulah umat harus mengadakan perayaan bagi TUHAN, dan perayaan itu dimulai pada malam keluaran setelah anak sulung bangsa Mesir mati.umat Israel hanya berbuat menurut perintah Allah, menyiapkan keberangkatan mereka dan kemudian pada hakekatnya mereka mengadakan “perayaan”, “kebaktian atau ibadah” yang dikehendaki Allah sebagai tanda kehidupan umat-Nya untuk seterusnya dan selamanya. Oleh karena itu suatu “peringatan” bagi bangsa Israel kepada perbuatan yang berkuasa dari Allah, dan suatu perjamuaan dalam suasana keberangkatan-keluarga dari “rumah perbudakan”, menuju “tempat perhentian” (UL 12:9); inilah inti kebaktian itu dan untuk itulah umat Israel digerakkan oleh pembebasannya.
            Ada tiga hal yang menjadi pokok penting dimana Allah telah membebaskan, menyelamatkan, menebus umat-Nya, yaitu: Tiga tema teologi yang muncul dari peristiwa keluaran Israel dari Mesir:[2]
  1. TUHAN sendirilah yang membebaskan umatNya. Umat Israel diturutsertakan di dalam perbuatanNya, digerakkan, sehingga dengan sukarela berbuat menurut perintahNya: menaruh percaya kepadaNya, bersiap-siap untuk berangkat, mempersembahkan seekor domba dari miliknya sendiri. Namun bukanlah “sumbangannya” itu yang membebaskan umat tersebut; Israel tidak ditebus oleh ibadahnya, malahan tidak oleh darah domba Paska itu sekalipun. Allah dengan rela menerima segala persembahan itu, tetapi Ia sendiri menebus umatNya (Ibr 11:28-29)
  2. TUHAN membebaskan UmatNya dari perbudakan orang Mesir. Pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang dikehendakiNya, Ia berkenan membebaskan umatNya dari pebudakan-perbudakan lain, termasuk juga perbudakan “dosa”. Perbuatan Allah di Mesir menyatakan Dia sebagai Penebus dari perbudakan yang manapun juga. Namun pokok tentang Keluaran ini adalah berkenan dengan satu contoh perbudakan yang kongkrit. Arti perbuatan Allah untuk umat manusia, pada segala jaman dan tempat, justru terletak di dalam “keterbatasannya” kepada contoh yang satu ini.
  3. TUHAN dengan sungguh-sungguh membebaskan umatNya. Memang benar, bahwa perbuatanNya mencetuskan cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial di tengah-tengah umat Israel, cita-cita yang membuat umat itu menjadi suluh di antara bangsa-bangsa lainnya. Tetapi Allah tidak hanya mengajar umatNya untuk “menggantungkan cita-citanya kepada bintang”. Ia memberi kemerdekaan yang sesungguhnya suatu kemerdekaan yang terbatas sifatnya namun kongkrit dan riil, sehingga – pada tanggal 14 bulan Nisan/Abib tahun Keluaran itu – dapat dirasai dengan tubuh dan jiwa. Segala cita-cita menjadi layu dan kosong, kalau umat Israel tidak dibebaskan di sana dan pada waktu itu – dengan sesungguh-sungguhnya!

2.2, Ibadah dan persekutuan mempersatukan jemaat untuk memperoleh pembebasan.
            Bangsa Israel yang Allah persatukan dalam memasuki arak-arakan dan beribadah kepada TUHAN membawa mereka untuk semakin kuat untuk melakukan perlawanan. Persekutuan tersebut mengangkat umat Tuhan untuk menentang ketertindasan dan memperjuangkan perbuatan Allah yang telah memberikan kebebasan bagi mereka. Maka melalui ibadah yang dilakukan membawa mereka untuk memohon penyertaan dan bimbingan TUHAN dalam memperjuangkan kebebasan. Melalui ibadah yang dilakukan umat TUHAN, terlihat bahwa Allah mempersatukan mereka serta memberikan dukungan untuk membuka jalan kebebasan. Umat TUHAN dipersatukan dalam persekutuan agar mereka tidak berbaur atau terpecah belah dan dipengaruhi oleh kelompok yang menghambat perjuangan bangsa untuk mendapatkan pembebasan.
            Ibadah bangsa Israel juga mengajak umat TUHAN untuk menjalankan ketaatan terhadap TUHAN. Ketertindasan dan penekanan yang diperoleh dari pemerintahan yang dilakukan bangsa Mesir membuat bangsa Israel untuk meninggalkan dan anti terhadap perbuatan tersebut yaitu kekerasan dan ketidakadilan serta kehidupan sosial dari rakyat atau bangsa Israel yang tidak diperhatikan. Maka terlihatlah dari ibadah yang diperbuat bangsa Israel terhadap TUHAN yang menyatakan anti terhadap penindasan, ketidakadilan dan menekan hak kebebasan dari umat TUHAN.
            Persekutuan umat TUHAN yang menentang pemerintahan dan para penguasa diperjuangkan dan dinyatakan dalam kesatuan yang memperjuangkan pembaharuan dengan memperhatikan kehidupan masyarakat yang tertindas dan mengangkat hak mereka sehingga terwujud kesejahteraan bersama. Dalam persekutuan umat TUHAN berusaha untuk keluar dari pergumulan kehidupannya dan bersama-sama membangun kekuatan.
III. Diakonia Perjanjian Baru.
3.1. Diakonia dalam Kitab Injil
            Salah satu nats penting tentang diakonia dalam Injil ialah Matius 22:34-40, yang memuat jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi yang mau mencobabaiNya: “kasihilah tuhan, allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu! Itulah hukum terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah” Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! Pada hukum inilah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi”.
            Dari jawaban Yesus tersebut nampak bahwa kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kaih kepada sesama manusia. Kasih kepada Allah justru diwujudkan terhadap kasih kepada sesama manusia. Kasih itu bukan hanya sebatasa wacana namun tindakan kongkrit dalam perbuatan kasih dn keadilan.  Perbuatan kasih inilah dalam PL disebut diakoni (pelayanan), diakonein (melayani) dan diakonos (pelayanan).
            Istilah diakonia,merupakan istilah yang sering dipakai dalam PB sebagai sebutan yang biasanya disebut “jabatan”. Pemakaian kata ini sangat menyolok karena berlainan dengan jabatan-jabatan yang terdapat dalam agama yahudi dan agama-agama lain. Ada beberapa penekanan makna kata diakonoia:
    1. Esensi dari Jabatan diakonia bukan saja tidak memiliki corak kultus dan rohani, tetapi juga istilah tersebut sedikitpun tidak mengandung unsur kehormatan. Malahan sebaliknya dalam dunia Yunani ia diakonia mempunyai arti yang hina. Plato menyebutkan dan menganggap seorang diakonos sebagai seorang “pembujuk yang hina”
    2. Dalam PB diakonia digunakan untuk menyebutkan hidupa dan pekerjaan Yesus dan juga pekerjaan jemaat-Nya. Contoh yang paling jelas ialah jawaban Yesus atas permintaan ibu Yohanes an yakobus, supaya anak-anaknya diperbolehkan untuk duduk kelas disebelah kanan dan kiri-Nya dalam kerajaan Allah. Diakononia merupakan kesediaan untuk memberikan diri untuk orang lain, menjadi hamba untuk orang lain, rela berkorban, bukan untuk dilayani melainkan melayani, memberikan nyawa untuk tebusan orang lain (bnd 20-22-28)
    3. Diakonia juga meliputi tugas pastoral, menyembuhkan, memberi makan orang lapar, orang miskin (Mat 14:13-21). Dalam hal ini diakonia tidak hanya meliputi aspek rohani saja namun meliptuti kebutuhan jasmani (politik, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya). Keberpihakan terhadap orang miskin merupakan sikap oranmg yang bermurah hati(Luk 6:36; Luk 10:25-37)
3.2. Diakonia dalam Kisah Rasul dan surat para rasul[3]
Corak jemaat diakonal mula-mula yakni:
-          Dibabtis
-          Bertekun dalam pengajaran rasul-rasul
-          Bertekun dalam persekutuan
-          Selalu berkumpul untuk memecahkan roti
-          Selalu berkumpul untuk berdoa
-          Tetap bersatu
-          Segala kepunayaan mereka adalah kepunyaan bersama (komunitas)
-          Menjual harta miliknya
-          Berkumpul tiap hari di bait Allah (koinonia)
-          Membagimabgikan akepada semua orang sesu dengan keperluan masing-masing (aksi sosial dan solidaritas)
-          Memecahkan roti di rumah mading-masing secara bergilir
-          Makan bersama-sama
-          Dengan gembira dan dengan hati tulus sambil memuji Allah
-          Sehati dan sejiwa
-          Segala sesuatu adalah kepunyaan bersama
-          Dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberikan kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus
-          Hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah
-          Menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualann itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul, kemudian dibagi-bagikan kepada orang sesuai dengan keperluannya
3.3. Diaken dalam Perjanjian Baru
            Jemaat, kharisma dan jabatan
Pelayanan jemaat merupakan tanggungjwab semua anggota jemaat, oleh sebab itulah tuhan memberikan kharsima untuk melayani.  Oleh sebab itu tidak dipertentangkan anatara kharisma dan jabaran sebab semua adalah sama. Kaharisma-kharisma tertentu dapat dilembagakan dalam suatu jabatan.  Kharisma adalah pemberian roh Kudus kepada anggota jemaat untuk pelayanan sedangkan jabatan dapat disebut sebagai fungsi yang harus dipenuhi untuk kepentingan semua jemaat. Orang yang memiliki kharisma dpat memangku jabatan atau dipilih oleh gereja.  Dalam perjanjian baru disebut “jabatan-jabatan” kelompok yang menerima kaharisma yakni rasul-rasul, nabi-nabi, pengajar-pengajar (1 Kor 12:27). Dalam jemaat posisi mereka bukan berada di ast melainkan disamping anggora-anggota jemaat yang lain. Dalam surat Efesusu 4:11-12 ‘rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita Injil, gembala-gembala dan pengajar-pengajara” dibedakan dari angggota jemaat (orang-orang kudus). Tugas mereka adalah melatani (memelengkapai) jemaat untuk pembangunan tubuh Kristus. Dari fungsi jabatan tersebut, nampaknya jabatan tidak muncul adari manusia, melainkan dari Alllah, namun tidak dapat dikatakan bahwa jababatan diberikan atau ditetapkan Allah, sebab tidak semua pelayanan adalah jabatan. Banar allah Allah yang memberikan kharisma. Oleh sebab itu yang disebut jabatan adalah pelayanan yang mempersentasikan keselamtan Allah keada jemaat. Salah satu tugas jabatan ialah mengatur pelayananppelayanan kharismatik dalam jemaat, sehingga berfungsi dengan teratur (1 Kor 14)
            Tugas diakonia dari para rasul
-          Memberitakan firman tuhan dimana jemaat selanjutnyadibanagun (mat 16:18; Ef 2:20; Wah 21:14)
-          Sebelum menayapaikan firman para rasuk terlebuh dahulu memberikan pastora (Kis 4:34-35)
-          Membagi-bagikan hasil penjualan hak-milik anggota-anggota jemaat bagi orang sesuai dengan kebutuahan jemaat
-          Paulus Menggkoordinir dan menstimulir usaha pengumpulan bantuan untuk orang-orang percaya yang berkekurangan di Yerusalem
Namun tidak semua pelayanaan para rasul memuaskan, secara khusus dalam “diakonia” dalam perjamuan, dimana para janda kurang mendapat pehatian, oleh sebab itu banyak para janda[4] yang mengeluh. Dalam pembagian makanan mereka diberlakukan secara tidak adil, akibatnya ada indikasi perpecahan.
Oleh sebab itu ara rasul menyadari kelemahan mereka dan meminta kepada jemaat untuk membtasi pelayanan mereka sekitar pelayanan firmand dan doa, dan mengusulkan kepada jemaat untuk memilih dan mengangkat tujuh orang yang bertugas “melayani meja (perjamuan) dan persekutuan. Dalam perkembangan kemudian para ahli berebda pendapat tentang eksistensi ketujuh pelayan yang dipilih jemaat, apakah mereka termasuk diaken-diaken. Pekerjaan mereka mencakup lebih banyak bidang daripada hanya bidang diakonat saja. Berdasarlan data Kis 6, tentang ketujuh pelayana  meja itu nayata, bahwa dalam “jabatan” mereka memainkan motif-motif peranan diakonal yang sangat penting.
            Diaken dalam surat Filipi dan 1 timotius
Istilah yanag dipakai oleh Paulus adalah dalam surat Filipi “ara penilik jemaat adan para diaken (episkopoi dan diakonoia), demikian juga dapal 1 Tim 3:2,8. Episkopoai (peniik-penilik jemaat)ialah pemangku jabatan yang sma, yang ditempat lain disebut “prsbuteroi (tua-tua atau penatua-penatua). Dengan demikian bagaimana hubungan penatua-penatua dan diaken-diaken? Rasul paulusmenempatkan kata-kata “episkopoi dan “diakonoia: secara berdampingan ( I Tim 3:1-13) hal ini berarti jabatan-jabatan itu adalah jabatan-jabatan yang sama derajatnya dengan jabatab  penilijk jemaat, jabatan  yang melakuka pelayanan mereka dalam kerjasama yang erat.  Persyaratan mereka adalah sama esensinya (bnd I Tim 3:3-7). Kesimpulannya adalah diaken-diaken adalah pejabatan-pejabatn dengan satu tugas yang pada satu pihak berbeda dengan tugas penilik –penilik jemaat, tetapi pada pihak lain sederajat dengan tugas penilik-epnilik jemaat.  Menurut 1 tim 3 kriteria diaken-diaken adalah:
-          haruslah orang-orang yang terhormat
-          mereka tidak boleh bercabang lidah
-          Harus berani untuk mengatakan “ya” kalau ya dan mengatakan “tidak” , kalau tidak. Dengan kata lain mreka harus selalu jujur
-          Dilarang untuk menggmari anggur secara belebihan
-          Membebaskan anggota jemaat dari hal-hala yang memperbudah, khususnaya mammon, dan tidak boleh hidup dalam pebudakan
-          Tiadak serakah
-          Menjadi teladan
-          Harus mnemelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci
-          Tidak bercacata
-          Dipilih jemaat dengan seleksi yang teruji dari pengenalan akan hidupnya
-          Harus suami dari satu isteri
            Wanita-wanita dalam pelayanan jemaat
Dalam Perjanjian baru, dicatata tentang pekerjaan diakonal yang dilakukan oleh wanita-wanota.  Salah satu diantara mereka dalah tabita atau Dorkas (Kis 9:36-43). Ia banyak berbuat baik dan memberi sedekah. Dorkas telah menunjukan pekerjaan diakonal, dan telah memeproleh suatu tempat penting dalam jemaat di Yope. Kemudian Rasul Paulus juga menyebut Febe “diakonos” (kata inisama dengan Fil 1:1). Dari caatat Perjanjian baru ternyata para wanota-wanota juha melaksankan fungsi pemangku jabatan dalam jemaat. Dalam perjanjian batu semua bntuk pelayana jemaat, juga pelayanan diakonal dapat dipercayakan keada wanita-wanita.
            Janda-janda dalam I Timotius 5
Dalam surat Paulus pada Timotius, ditekankan pentingnya  memberi perhatia kepada  janda. Perhatian kepada janda,a dalah untk menghormati mereka yang dianggap samapaha dalam masyaraklat. Kemudia menghormati yang dimaksud dalah melayani kebutuhan hidu mereka (bnd Mat 15:3-5).  Penakanan yang perlu diperhatiakn dari maksud Rasul Paulus adalah.
-          Janda adalah seorang pribadi yang ditinggalak sendiri adan tidak memiliki seseorang yang dapat memliharanta, oleh sebab perlu untuk dihormati
-          Jaada yang benar adalah janda yang beriman
-          Usia mereka tidak kurang dari 60 tahun, mereka hanya satu kali bersuami,a dan yang telah melakukan pekerjaan yang baik
-          Rasul Paulus mengusulkan supaya janda muda kawain lagi, beroleh anak, memimpin rumah tangga mereka dengan baik
-          Petunjuk-petunjuk rasul Paulus tidak boleh ditafsirkan secara sempit, namun intinya adalah bagaimana gereja memberi pelayanan kepada semua anggota emaat, juga kepada wanitya-wanita (janda-janda)

            Ruanglingkup pelayanan diakonat
-          Perjanjian baru mencatat bahwa tugas pelayanan diakonat bukan hanya dilakukan oleh pihak-laki-laki saja,e malinkan juga kaum wanita
-          Diakonia meliptui semua orang (bnd. Mat 5:43-46, 1 Tess 5;15
-          Pelayanan diakonal bersifat kontoniu, tanpa syarat, semua bangsa (Mat 28;19)
-          Ibadah yang sejati erat berhubungan dengan “diakonia” (Yak 1:27). Ibdh yang murni adalah memelihara yatim piatu dan janda-janada. Jadi tugas para diaken adalah menjaga kemurnia ibdah dengan jalan menunjukkan kasi seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang ( 1 Tes 3:12, bnd 2 Pet 1:7)
IV. Sejarah Singkat dari diakonat gereja
4.1.Gereja lama
Dalam diakonat gereja lama, tujuh pelayan meja yang disebut dalam Kis 6:1-6 dianggap sebagai diaken. Pada abad pertama gereja tetap memilih tujuh orag pelayan, namun dalm perkembangang beikutnya posisi tujuh pelayan tersebut mengalami perkembangan. Diaken-diaken pada pada akhir abad ke tujuh tidak identik lagi dengan Kis 6. Diaken-diaken ini mempunyai fungsi yang laion; mereka menunaikan tugas mereka daam hubungan dengan pelayanan misteri-misterii yang suci dari gereja.
4.2.Zaman bapak-bapak gereja
Situasi diakonat pada zaman bapak-bapak rasuli:
-          Perkembangan kesaksian gereja adan ibadahnya
-          Safaat yang digunakan oleh anggota-anggota jhemaat dalam gereja “saudara”
-          Agama Kristen pada waktu itu “memenangkan” dunia oleh suatu iman atau percaya. Melakukan pelayanan kepada orang-orang asing, orang yang tertindasa, tepenjara, orang miskin.
-          Diaken-diaken membantu pelayanan “misteri-misteri suci”  jga bertugas untuk membagi-bagikan bantuan kepada jemaat. Diaken-diaken berpartisipasi dalam penegaka disiplin gereja, menerima orang yang bertobat.
-          Pada periode ini terjadi perkembangan dan perubahan fungsid an kedudukan diaken  dimana susunanya tiadak sama dengan susunan imamat dalam PL. Uskup (sebagai bapa) adalah pengajar tentang kesalehan, pemberi hukum dan pemimpin. Sesudah Allah, ia dalah bapa dari anggota-anggota Jemaat. Sebagai bapa ia harus dihormati. Diaken harus melayani uskup, sana seperti Kristus melayani Bapa di sorga. Dala hubungan ini mucullah diaken-diaken wanita.
4.3.Pada masa abad pertengahan
Pada masa ini diakonat gereja tidak banyak mendapat perhatian. Hal ini disebabkan pergeseran visi tentang hakekat pelayanan diakonat pada waktu itu. Secara kuantitas pada waktu itu gereja menjadi bertambah besar, dan gereja juga menggalakkan supaya jemaat memberikan persepuluhan, gereja memiliki dana yang banyak, namun dana-dana yang dikumpullkan gereja bisa hilang dari tangan uskup. Gereja mengbaikan pelayanan terhadap kaum miski, adan padar diaken-diaken disibukkan pada pelayanan administrasi gereja. Perang salib juga memiliki dampak negatif terhadap gereja, sehingga setelah perang salib juga gereja semakin mundur dari pelayanan. Disamping itu pengaruh sekularisasi semakin  kuat di kota-kota dan main lama maik besar. Oleh sebab itu pelayann diakonal sebagai pelayanan rohani, makin lama berobah menjadi pekerjaan sosial biasa. Pada akhir abad pertengahan muncullah pekerja-pekerja sosial yang makin lama  maki melerpaskan diri dari gereja. Sebenarnya gereja pada waktu itu kaya, namun kelemahan gereja dalah gereja tidak dapat menterjemahkan anugerah dan pemberian Allah, yang ia peroleh, dalam pelayanan kasih kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya.
4.4.Pada masa reformasi
a. Luher
Pemahamn Luhter bertolak dari “pembenaran hanya oleh iman” oleh sebab itu Luther memhamai tidak lagi selalu abergantung pad kaum rohaniawan. Luhter menekankan “imamat –am orang-orang percaya”. Luhter juga menekaka “kebebasan orang Kristen”. Oleh iman orang Kristen sudah bebas dan tidak takluk kepada siapapun. Oleh karya penyelamatan Kristus hubungan antara Allah dan manusia pulih kembali. Kristus mempebaharui-Nya, sehingga setiaop orang Kristen menjadi Kristus bagi sesamanya amanusia.  Artinya kita melayani sesama manusia kita karena kasih pada sesma manusia kita dan karea kasih Kristus di dalam kita. Itulah motivasi bagi diakonat gereja. Luhter juga menekankan “kasih kristiani kepada sesama manusia. Kasih itu lahir dari hubungan orang Kristen dengan Kristus. Menurut Luhter, seorang diaken mempunyai tugas yang lebih penting dari pada hanya membaca kitab-kitab Injil dan surat-surat prasa rasul dalam ibadah misa.  Namun Diaken harus membantu orang miskin. Luhter mengatakan, Lebih baik memberikan beberapa sen kepada orang-orang yang hidup dalam kekurangan daripada mebangun sebuah gedung gereja emas bagi sint Petrus. Luither menekanakan bahwa tugas diakonal adalah kewajiabn adari pemerintah, oelh sebab itu Luhter mempercayakan hal itu kepada pemerintah yang berkuasa yang mengikuti ajarannya. Jadi kelemahan diakonal Luher adalah, lambat laut pelayanan diakonal gereja semakin lama semaki kehilangan esensisnya sesuai dengan iman Kristen, karena lebih banyak diorganisir oleh pekerja sosial.
b. Bucer
Pemikiran Bucer tentang diakonat gereja erat hubungannya dengan pemahamannnya tentang gereja. Bagi gereja dalah suatu persekutuan yang terdiri adari orang-orang yang bersaudara di dalam Kristus.  Bucer mengatakan tentang diakonat gereja yang ditungakan dalam karyanya “tentang pelayanan pastora” (pemeliharaan jiwa) yang benar (1538), dan konsepnya tentang “pemerintahan Kristus” (1550), program yang ia susus adlah pembangunan Jemaat dengan suatu “rtuktur alkitabiah”.  Jemaata dalah sebagai tubub kharismatik, dimana tiap-tiap jemaat masing-masing memiliki tugas.  Diakonat gereja dianggap sebagai salah satu bagian dari pembangunan tubuh Kristus.Menuru Bucer, kemikinan dapat menjadi penghalang dalam pembangunan jemaat,a dapat membuat masyarakata menjai bobrok, oleh sebab itu diaken-diaken harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
c. Calvin
Beritik tolak istialah “jabatan gerejawi”  Calvin memahami bahwa diaken-diaken yang meguruh kas untuk orang-orang miskin dan diaken-diaken yang bertugas untuk mebagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan orang-orang sakit. Jadi menurut Calvina da dua macam diaken: Pertama. Diaken yang melayani gereja di bidang urusan soal-soal orang miskin (seperti Kis 6), kedua, diaken yang melayani kusus gereja di bidang pembagian bantuan kepada orang-orang miskin itu.

V. Aktualisasi teologi sosial berbasis diakonia sosial
5.1. Membangun Gereja yang Diakonal[5]
Dalam kenyataannya, gereja sebagai perpanjangan dari pekerjaan TUHAN tentang keselamatan, penebusan, pendamaian dan perdamaian, serta pembenaran karena Yesus telah naik ke sorga itu, masih bekerja sebagai diaken. “Segala sesuatu telah diletakkanNya dibawah kaki Kristus dan Dia telah diberikanNya kepada jemaat sebagai kepala dari segala yang ada (Ef.1:22)”. Diakonia adalah bagian dari Gereja dan diakonia merupakan bagian organik dari substansinya. Sehingga, iman dan ajaran Gerejalah yang menentukan apa itu diakonia. Tujuan Diakoni ialah memberi komunitas dengan Allah Bapa melalui Kristus Jeruselamat kita, di dalam Roh Kudus sebagai penghibur, untuk kehidupan manusia secara keseluruhan. Ini juga merupakan dasar dan tujuan pada persekutuan:   
a.       Bilamana kamu melakukan pekerjaan diakonal
b.      Bilamana kamu sedang ditolong dalam suatu cara diakonal, kamu harus memiliki suatu jaringan kerja untuk bisa bersandar dan mendukungmu yaitu jemaat
Semua kesaksian dan lukisan yang digunakan dalam Perjanjian Baru menggaris bawahi Gereja sebagai suatu persekutuan orang yang bergantung pada Allah melalui Yesus Kristus, sehingga saling berhubungan dan bergantung satu sama lain di dalam sikap dan tindakan. Bagaimanapun juga, Yesus Kristus berperan sebagai mediator dan diaken.
Allah meletakkan dasar komunitas baru dalam sejarah dan mengikat umatNya secara bersama dalam suatu persekutuan baru, melalui penyataanNya yaitu anugerahNya, berkat dan kesetianNya. Pekerjaan Allah ini diteruskan dalam Perjanjian Baru dan difokuskan pada gereja. Mereka yang mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan penebus mereka mewakili Gereja dan menjadi umatNya. Mereka yang percaya kepada Allah dan menjadi milik gereja “dipilih” dan “dipanggil” menjadi bangsaNya sendiri (bnd. Rom.1:6; 8:28; I Kor.1:24). Gereja diberikan suatu misi yang khusus terhadap dunia, mewartakan tindakan Allah yang mengagumkan karena mereka adalam imamat yang rajani (Titus 2:14; Why.1:6).
Gambaran tubuh Kristus nyata dan penting dalam konsep perjamuan Kudus dan baptisan, melaluinya kita diinkarnasikan dalam Yesus Kristus. Melalui baptisan dan perjamuan semua orang telah dipersatukan dengan Kristus melampaui batas-batas, kebangsaaan, politik, umur, atau jenis kelamin. Semua manusia dipersatukan dalam Yesus Kristus yang mempunyai suatu dampak diakonal.
  1. Unsur-Unsur Dasar Gereja sebagai Persekutuan Kudus: Koinonia, Leturgia, Diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya:
  1. Ada suatu kehidupan bersama di dalam koinonia yang mana seseorang diidentifikasikan dengan orang lain yaitu satu di dalam semua (I Kor. 12:26). Hubungan timbal balik individu mempererat koinonia, yang hampir tidak lagi menjadi superioritas dalam gereja
  2. Keakraban hubungan antara komunitas ini dan Kristus adalah dasar Baptisan, Firman Allah dan Perjamuan Kudus
Koinonia erat hubungannnya dengan diakonia dan liturgia. Paulus dalam suratnya yang kedua kpada jemaat Korintus menggabungkan koinonia, liturgia dan diakonia bersama-sama dalm satu unit sekaligus dalam unsur-unsur dasar di dalam persekutuan yang kudus. Melalui pengujian diakonia, kamu akan memuji Allah melalui ketaatanmu dalam mengakui Injil Kristus dan melalui kederwanaan dalam koinonia (persekutuan) dengan mereka dan semua yang lain (II Kor.9:12-22). Hubungan vertikal dengan ilahi dan kasih (liturgia) direalisasikan dalam hubungan sosial/kasih manusia. kasih yang vertikal menentukan isis dari pelayanan dan memberinya makna dan tujuan. Peulus dengan tegas mengingatkan Gereja agar mengarahjkan kehidupannya sebagai tubuh kristus yang merupakan tantangan besar bagi diakonia gereja. Semua pekerjaan diakonal bertanggung jawab untuk membangun, memperkuat dan membentuk suatu komunitas yang kudus.
Membangun dan menjadi peduli terhadapap sesama adalah tugas utama Gereja. tugas utama pekerjaan diakonial adalah membangun suatu persaudaraan Kristen yang mengembangkan kepedulian terhadap sesama manusia yang berada didalam dan luar gereja. Dia mempersiapkan umat Allah untuk pekerjaan pelayanan orang-orang Kristen (diakonia), untuk membangun tubuh Kristus (Ef. 4:12).[6]
Dari sini sangat jelas terlihat bahwa Gereja (tubuh Kristus) yang di dalamnya terdapat jemaat, harus berjalan paling depan demi terciptanya tubuh Kristus yang sempurna. Sempurna di sini dalam artian Gereja bergerak dari luar dan dari dalam. Jadi keduanya saling bergerak, tidak mati sebelah.
Ada tiga unsur dasar persekutuan yang kudus bagi orang-orang yang dibaptis, dipersatukan kedalam tubuh Kristus, yaitu: Koinonia dari Firman Allah, Koinonia dari Perjamuan Kudus, Koinonia dari diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya ada suatu kehidupan bersama, yaitu satu didalam semua dan semua didalam satu. Koinonia mengarah kepada persekutuan dengan Yesus Kristus dan dengan satu sama lain yaitu anggota dari persekutuan yang kudus (Kis. 2:42). Peribadahan dan pengabdian kepada Allah didasarkan kepada pemberian Allah melalui Yesus Kristus yang diberikan kepada kita sebagai anugerah. Itulah bagian sakramentalia dari liturgi.[7]
            5.2. Misi pembebasan adalah jati diri gereja[8]
            Gutierrez mengungkapkan jati diri gereja dengan menggunakan istilah seperti persekutuan yang mengikuti Yesus, sakramen sejarah, dan komunitas ekaristi. Sehingga perutusan pembebasan gereja terhadap kemiskinan berpangkal secara hakiki dalam jati dirinya.
            a. Persekutuan Orang-orang yang mengikuti Yesus
            Mengikut Yesus dalam suatu ziarah komunal berarti hadir di tengah-tengah dunia untuk memproklamasikan Kerajaan Allah bagi semua orang melalui kaum lemah dan papa. Dalam situasi kekuasan ‘kematian’ dimana suatu sistem sosial memarjinalisasi kaum miskin yang mempunyai tempat utama dalam kerajaan kehidupan, menjadi pengikut Yesus berarti memperjuangkan kehidupan yang telah dinyatakan (bdk. 1 Yoh 1:1-4). Oleh karena itu mengikut Yesus berarti mereka yang kehilangan hidup demi TUHAN dan Injil akan diselamatkan, dan berarti penziarah dalam horizon kebangkitan, kehidupan yang definitif.
            b. Sakramen
            Gutierrez menampilkan jati diri Gereja sebagai sakramen sejarah atau sakramen universal penyelamatan yang menitik beratkan relasi antara Gereja dan dunia. Oleh karena itu istilah sakramen dalam teologi memiliki dua arti yang berhubungan, yaitu:
1. Sakramen dimaksudkan mysterion yang sigunakan Paulus dalam arti kepenuhan dan manifestasi rencana penyelamatan Allah. Rencana itu adalah kasih Allah yang memanggil semua manusia dalam Roh Kudus bersatu denganNya dan mencapai kepenuhannya dalam anugerah putraNya, Yesus Kristus.
2. Sakramen adalah tanda dan sarana rahmat yang efektif. Dimana adanya pertemuan antara Allah yang menyelamatkan dan manusia yang diselamatkan. Pertemuan ini merupakan realitas intrahistoris sebab didasari rahmat penyelamatan Allah yang mengatasi sejarah. Bagi Giuterrez menyebutkan gereja sebagai sakramen berarti mendefenisikan kaitan gereja dengan rencana penyelamatan Allah yang terpenuhi dalam sejarah melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristus, gereja adalan tanda dan sarana persatuan mesra manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Sebagai sakramen penyelamatan, Gutierrez berpendapat bahwa pada satu sisi Gereja mesti mewartakan diri pada dunia dan gereja harus membiarkan diri dievangelisasi oleh dunia. Sebab Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif dalam dunia bukan hanya dalam gereja. Dinamika gereja dan dunia mengarah menuju pemenuhan di masa depan yang dijanjikan Tuhan. Gutierrez menyatakan bahwa sebagai sakramental, gereja harus menunjukkan dalam struktur internalnya sendiri kepenuhan penyelamatan yang dia wartakan.
            c. Komunitas Ekaristi
            Tugas utama dan pertama Gereja adalah Ekaristi, yakni merayakan dengan penuh kegembiraan anugerah karya penyelamatan Allah melalui wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam ekaristi terungkap komunitas persaudaraan yang ditebus oleh Yesus Kristus. Injil menampilkan Ekaristi dengan latarbelakang Paskah Yahudi yang merupakan  perayaan pengenangan pembebasan dari Mesir dan Perjanjian Sinai. Paskah Kristiani memuat dan menyatakan kepenuhan arti Paskah Yahudi. Pembebasan dari dosa dan jalan menuju persatuan dengan Allah yang dirayakan dalam Paskah Kristiani adalah dasar dan tujuan pembebasan politis, pembebasan dari perbudakan dan eksploitasi dari Mesir (Paskah Yahudi). Ekaristi yang dirayakan Gereja sesungguhnya tidak terpisahkan dari perjuangan membangun masyarakat yang adil dan bersaudara.
            Dasar Biblis yang mendukung pernyataan bahwa Ekaristi berkaitan dengan perjuangan membangun persaudaraan antara manusia dalam suatu masyarakat yang adil-manusiawi. Pertama, ekaristi diinstitusikan dalam suatu perjamuaan yang dalam budaya Yahudi merupakan tanda persaudaraan. Kedua, penggunaan roti dan anggur menunjuk pada peristiwa pennciptaan dimana Allah memberikan barang-barang di dunia kepada semua orang agar membangun dunia manusia ynag bersaudara. Ketiga, Injil Yohanes mengganti kisah institusi Ekaristi dalam sinoptik dengan kisah pembasuhan kaki yang memperlihatkan bahwa inti Ekaristi adalah perbuatan pelayanan, kasih dan persaudaraan (Yoh 13:1-20). Keempat, Paulus menekankan etika solidaritas yang harus ada dalam merayakan Ekaristi (I Kor 11:17-34). Gereja membentuk diri sebagai komunitas Ekaristi sejauh menjadi tanda dan sarana persaudaraan manusia di tengah sejarah dalam melaksanakan perutusan pembebasan bagi kaum miskin dan hina.

            5.3.  Pilihan Mendahulukan Kaum Miskin [9]
            Jati diri Gereja dalam terminologi persekutuan yang mengikuti Yesus, sakramen sejarah, komunitas Ekaristi mengandung makna sama, yakni perutusan menyatakan karya pembebasan bagi semua orang dengan pilihan mendahulukan kaum miskin (prefential option for the poor). “Pilihan” (Option) berarti putusan dan komitmen yang bebas. Pilihan/opsi adalah sebuah solidaritas sukarela, mendalam, terus menerus dalam dunia kaum miskin. “Yang Mendahulukan” (prefential) menunjuk siapa yang seharusnya menjadi yang pertama. Kaum miskin merupakan kelompok yang diutamakan. Mendahulukan kaum miskin tidak berarti menyingkirkan golongan lain, tetapi mengundang semua orang terlibat dalam gerak bersama kaum miskin untuk membangun masyarakat yang adil-bersaudara. Melalui kaum miskin Gereja menyapa semua orang.
            Maksud dari kaum miskin secara real yang meliputi seluruh dimensi kehidupan  yang bersifat ekonomis, politis maupun kultural. Gutierrez menyatakan bahwa kemiskinan merupakan ‘kematian’, dimana dia menegaskan bahwa kaum miskin adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, harapan-harapan, gaya hidup tertentu. Kemiskinan adalah kondisi manusia yang global dan kompleks. Maka pilihan Allah mendahulukan orang lemah, hina, rendah dapat dipahami dalam perspektif kebebasan mutlak dan kasih cuma-cuma dari-Nya. Pilihan gereja dalam mendahulukan kaum miskin berpangkal dari Allah sendiri. Sebagai pengikut Kristus, gereja terlebih dahilu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (Mat 6:33). Sehingga Gutierrez berkata, kasih karunia Allah menuntut Gereja membangun keadilan autentik untuk semua dengan memberikan tempat istimewa kepada anggota-anggota masyarakat yang tidak penting yaitu mereka yang hak-hak asasinya diabaikan baik dalam teori (hukum) maupun dalam praktek.
            Allah solider dengan kaum miskin dan hina dengan mengundang semua orang terlibat dalam gerak yang sama untuk menciptakan komunitas manusia yang adil dan bersaudara. Prefensi Gereja terhadap kaum miskin, Gutierrez tidak meniadakan sifat universalitas Gereja di tengah-tengah sejarah. Gereja menjadi tanda Kerajaan dalam perjuangan menegakkan hak kaum miskin dan mempertobatkan kaum kaya dari keserakahan dan penindasan. Proklamasi Injil tidak cukup dengan kata-kata, tetapi nyata terungkap dalam solidaritas perjuangan kaum tak punya dan marjinal. Mengikuti Kristus yang miskin nyata dalam gaya hidup yang miskin. Sehingga Gereja Kristus berarti Gereja kaum miskin.

            5.4.  Menuju Gereja Kaum Miskin[10]
            Gereja kaum miskin adalah gereja yang sebagai tanda Kerajaan Allah dengan mendahulukan kaum miskin dalam seluruh praksis gerejani. Gereja kaum miskin memperjuangkan dalam mewujudkan keadilan sosial dan pembentukan tatanan sosial baru, dengan terbuka terhadap kehadiran Allah kehidupan, berdasarkan solidaritas Kristus dan bertolak dari proklamasi Kerajaan Allah yang mendahulukan kaum lemah dan tersingkir dalam sejarah. Sebagai gereja kaum miskin mampu mewujudkan dalam realitas sosial dengan meninggalkan status quo, melepaskan diri dari keterikatan dengan kelas sosial penindas dan mengambil posisi membela kaum miskin.

            5.5.  Kaum Miskin Yang Berevangelisasi[11]
            Solidaritas Gereja dengan kaum miskin berpangkal pada hidup Kristus yang miskin bersama kaum miskin untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Kemiskinan gereja adalah jalan menghayati warta Injil, yaitu proklamasi Kerajaan kehidupan, keadilan, dan pendamaian bagi kaum hina dan tertindas. Karena itu masuk dalam dunia kaum miskin berarti solidaritas dalam rangka melaksanakan perutusan evangelisasi Gereja. Evangelisasi bersifat membebaskan karena menyatakan pembebasan total dalam Kristus yang mencakup baik transpormasi historis dan politis konkret maupun mengantar sejarah menuju kepenuhannya dalam Kristus. Kaum miskin memppunyai kemampuan evangelisasi, sebab:
1. Mereka menentang Gereja secara tetap menuju pertobatan dari jalan lama yang mendukung status quo;
2. Banyak orang miskin yang menghayati nilai evangelis dalam kehidupannya seperti solidaritas, pelayanan, kesederhanaan dan keterbukaan pada Allah.

VI. Kesimpulan
            Pembebasan terhadap kaum tertindas dan yang mengalami ketertekanan akibat dari pihak yang berkuasa dan pemerintah, dapat diperjuangkan dengan memberikan kekuatan terhadap mereka melalui persekutuan bersama untuk mengangkat hak dan memotivasi umat dalam ibadah. Umat Tuhan yang telah mengalami ketidakadilan sosial dan mengalami marginalisasi di tengah-tengah kehidupannya, Allah menunjukkan kekuatan bagi bangsa Israel demikian juga bagi orang-orang yang terbelakang dengan memberikan jalan untuk mendapatkan kebebasan dan mengeluarkan mereka dari perbudakan apabila datang bersekutu dengan TUHAN.
            Gereja yang “bebas” adalah gereja yang senantiasa menghidupi “kebebasan” dengan memperjuangkan segala bentuk “perbudakan”. Perbudakan dari “dosa struktural” yang membuat masyarakat miskin. Secara historis teologis “diakonia” merupakan corak  jemaat mula-mula. Secara eklesiologis “jabatan diaken”


[1] Gustavo Gutierrez, Teologi Gustavo Gutierrez, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm 113
[2] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama, 119
[3] J.L.  Ch. Abineno, Diaken, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1997, hlm. 1-50
[4] Jaanda yang merasa dirugikan adalah para janda yang bebahsa Yunani, artinya wanita-wanota yahudi yang berasal dari diaspora dan pada masa tuanya kembali ke Yerusalem, dimana Mesia yang menurut keercayaan yahudi dinantikan. Disitulah mereka hidup dan mau menantikan , jika mereka meninggal dunia. Disamping itu ada juga janda-janda Yahudi yang berbhasa Aram, adan perebedaan bahsa ini  ternayata memiliki pengaruh dalam interaksi sosial mereka
[5] Serepina Sitanggang (ed). Membangun Gereja Yang Diakonal. Percetakan HKBP Pematangsiatar. 2004, hlm.140-149
[6] Alf. B. Offestad, Membanguun gereja yang Diakonia, Percetakan HKBP: Pematangsiantar, 2004, hlm76-80.
[7] Ibid, hlm 146-147.
[8]  Gustavo Gutierrez, Op. Cit,  hlm. 114-120
[9] Ibid, hlm 120-125
[10] Ibid, hlm 126-128
[11] Ibid, hlm. 129-130