DOA BAPA KAMI
DOA BAPA KAMI
(Matius 6: 9-13)
- Pendahuluan.
Kitab
Matius merupakan kitab yang berisikan laporan tentang kehidupan Yesus.
Kitab ini ditulis untuk orang-orang yahudi dengan tujuan supaya mereka
yakin bahwa Yesus adalah Mesias.
Kitab
ini terdiri dari 28 pasal. Dan pembahasan khusus pada tulisan ini
adalah pasal 6: 9-13 yang berisikan Doa Bapa Kami. Doa ini merupakan
doa yang diajarkan secara langsung oleh Tuhan Yesus kepada
murid-murid-Nya. Dalam perkembangan sejarah gereja, Doa Bapa Kami
sering digunakan di dalam liturgi ibadah maupun sebagai bahan
pengajaran/katekisasi.1
Para
Bapa-Bapa gereja juga menaruh perhatian yang cukup serius mengenai doa
ini. Tertulian mengungkapkan bahwa Doa Bapa Kami merupakan Brevarium Totius Evangelii (ringkasan seluruh injil).2 Selain itu Cyrill menganggap bahwa Doa Bapa Kami sebagai Mystagogical Catechical Lectures (bahan pengajaran/katekisasi sebelum seseorang dibaptis).3
Oleh sebab itu saya mencoba untuk membahas Doa Bapa Kami ini, agar mempunyai pemahaman yang baik dan benar tentang doa ini.
- Kritik Teks.
- Originalitas teks.
Doa
Bapa Kami ditulis dalam dua bagian Injil yaitu Matius dan Lukas. Di
mana masing-masing penulis mengkalimatkannya dengan kalimat yang sedikit
berbeda.4
Hal ini menimbulkan permasalahan manakah di antara keduanya yang lebih
original, atau kitab mana yang mengutip kitab yang satunya.
Berkaitan
dengan masalah tersebut saya memperhatikannya dari konteks sosial yang
berbeda. Dalam konteks Matius Doa Bapa Kami termasuk dalam rangkaian
Khotbah di bukit, di mana sebagian besar isi dari khotbah ini adalah
pengajaran pola hidup yang baik dan benar. Sedangkan dalam Lukas Doa
Bapa Kami ditempatkan dalam konteks permohonan para murid untuk diajar
bagaimana berdoa (Lukas 11:1). Jadi, kedua catatan Doa Bapa Kami yang
ada di Matius dan Lukas sama-sama original dan tidak ada yang saling
mengutip. Karena dengan pendengar dan lingkungan yang berbeda tentunya
pembahasan pengajaran Doa Bapa Kami juga kemungkinan berbeda.
- Kaitan dengan doa orang Yahudi.
Permohonan-permohonan
dalam Doa Bapa Kami dianggap memiliki kepararelan dengan doa-doa orang
Yahudi pada masa itu, seperti doa Kaddish,5 dan Didache 8:2.6
Hal ini menimbulkan permasalahan apakah Tuhan Yesus menggunakan
elemen-elemen dalam doa-doa orang Yahudi sebagai bahan pengajaran dalam
Doa Bapa Kami. Cullman mengungkapkan bahwa Tuhan Yesus memang
mempergunakan materi doa orang Yahudi, tetapi dengan pemahaman baru yang
lebih dalam.7
Contohnya berkaitan dengan pemanggilan Allah sebagai “Bapa/Abba”, untuk
menunjukkan kedekatan antara Allah dengan umat-Nya. Kata “roti” secara
literal berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari
B. Penggunaan kata “makanan” dalam terjemahan LAI.
Penggunaan kata makanan dalam terjemahan LAI, menimbulkan permasalahan karena kata yang digunakan dalam teks aslinya yaitu ς yang berarti roti. Namun secara literal kata “roti” dapat berarti makanan yang dibutuhkan sehari-hari.8
Sehingga dalam terjemahan Indonesia bisa diganti dengan kata “makanan”.
Bapa-bapa gereja menafsirkan bahwa roti ini tidak hanya berbicara
tentang masalah kebutuhan fisik tetapi “roti” dipandang juga sebagai
firman Tuhan,9 dengan mengacu pada penambahan kata epiousios yang sulit untuk ditafsirkan. Kata epiousios sering ditafsirkan sebagai berikut:10
(1) sesuatu yang dibutuhkan untuk eksistensi, (2) sesuatu yang
dibutuhkan untuk hari ini, (3) sesuatu yang dibutuhkan untuk bekal, (4)
sesuatu yang dibuthkan untuk masa depan. Kata ini mungkin berasal dari epi ten ousan hemeran yang bisa diterjemahkan “untuk hari ini”, dengan demikian lebih ke arah orientasi kebutuhan sehari-hari, karena kata epiousion sejajar dengan semeron sehingga secara literal dapat diartikan “berikan kami roti untuk hari ini”.11
- Struktur Doa Bapa Kami.
Berikut ini struktur Doa Bapa Kami:
Pembukaan (Matius 6: 9ab)
Permohonan “Mu” (Matius 6:9c-10)
Dikuduskanlah nama-Mu
Datanglah kerajaan-Mu
Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga
Permohonan “Kami” (Matius 6: 11-13)
Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dan ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat
Doxologi.
- Latar Belakang dan Gramatika.
Doa
Bapa Kami diajarkan Tuhan Yesus dalam nuansa kehidupan religius
masyarakat Yahudi. Masyarakat Yahudi pada masa itu juga memiliki banyak
model doa dan doa mereka biasanya dalam bentuk formula yang diajarkan
oleh para Rabi.12
Namun demikian adalah Doa Bapa Kami adalah doa yang eksklusif, karena
di dalamnya ada penyebutan kata Bapa yang jarang/bahkan tidak ada dalam
doa-doa orang Yahudi pada masa itu.13
Sebab bagi orang Yahudi sebutan Allah sebagai Bapa memiliki makna yang
sangat dalam karena menunjuk kepada Allah yang Maha Tinggi,14 sehingga sebutan ini jarang dipakai dalam doa-doa mereka.
- Pembukaan.
Doa ini diawali dengan perintah “karena itu berdoalah demikian”. Kata “demikian” dapat diartikan “dengan cara ini/berikut”,15
yang kemudian digabung dengan kata “berdoalah” dengan kasus “present
imperatif” yang menyatakan suatu aktivitas yang terus menerus
dibiasakan. Jadi perintah awal ini bisa diartikan sebagai berikut
“biasakanlah berdoa dengan cara ini/berikut.”
- Pemahaman “tiga permohonan-Mu”.
- Permohonan “Mu” pertama (agiastheto to onoma sou).
Permohonan ini dimulai dengan kata agiastheto yang berasal dari kata kerja agiazo yang memiliki beberapa arti sebagai berikut:16
(a) bila berkaitan dengan benda maka berarti benda tersebut dipisahkan
untuk tujuan ritual (Keluaran 29:27; Matius 23:17,19; I Timotius 4:5).
(b) bila berkaitan dengan pribadi hal ini berarti menyucikan atau
mempersembahkan (Keluaran 28:41; I Korintus 6:11). Bila kata ini
diterapkan pada Allah maka berarti memperlakukan Allah secara kudus dan
terhormat.17
Ketika Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya untuk menguduskan nama
Allah, berarti mereka harus mengakui nama Allah yang kudus, dan
memuliakan nama Allah.
- Permohonan “Mu” kedua (heltheto he basileia sou)
Kata basileia
secara formal menunjukkan keadaan natur atau kondisi dari raja yang
berkuasa. Allah adalah raja yang berkuasa atas ciptaan-Nya.18
Permohonan kedua ini didasari atas pemikiran pengharapan eskatologis PL
tentang kerajaan Allah. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan kepada para
muridnya tentang pengharapan penggenapannya sambil mengakui bahwa
kerajaan tersebut telah datang dan berdoa untuk penyataannya di masa
yang akan datang.
- Permohonan “Mu” ketiga (genetheto to thelema sou os en ourano kai epi ges)
Dalam permohonan ini Tuhan Yesus menekankan tentang kehendak Bapa. Kata thelema muncul sebanyak 62 kali dalam PB dan dipakai menunjuk pada:19
(1) kehendak Kristus yang ditinggikan (Kis 21:14; Efesus 5:17); (2)
kehendak setan (I Timotius 2:26); (3) kehendak manusia. Di mana dalam
teks ini kata “kehendak” mengacu pada kehendak Bapa yang di surga dan
pada rencana ilahi yang disingkapkan dalam kehidupan, kematian dan
kebangkitan Tuhan Yesus. Jadi Tuhan Yesus mengajarkan para muridnya
untuk sepenuhnya mengikatkan diri pada Allah selama mereka hidup karena
kedaulatan Allah yang mengikat baik di bumi dan di surga.20
- Pemahaman tiga permohonan “Kami”.
- Permohonan “kami” pertama (ton arton hemon ton epiousion dos hemin semeron).
Kata epiousios yang berarti pada hari berikutnya/esok hari,21
memiliki dimensi eskatologis. Jadi permohonan ini juga bisa diartikan
“berikanlah kami roti untuk esok hari”. Dengan demikian permohonan
“roti” ini mengandung aspek untuk masa sekarang yaitu pemenuhan hidup
sehari-hari, tetapi juga masa yang akan datang yaitu “roti
eskatologi/perjamuan”.
- Permohonan “Kami” kedua (kai ophes hemin ta opheilemata hemon os kai hemeis aphekamen tois opheiletais hemon).
Permohonan ini memiliki hubungan dengan permohonan sebelumnya karena diawali dengan kata kai (dan). Namun demikian dalam permohonan ini ada masalah berkaitan dengan penggunaan kata aphekamen
dalam kasus aorist yang berarti kami telah mengampuni. Hal ini
menimbulkan pemahaman bahwa pengampunan yang Allah berikan tergantung
akan usaha kita mengampuni orang lain terlebih dahulu. Ada beberapa
penafsiran berkaitan dengan hal ini. (1) Jeremias menafsirkan bahwa
Matius sebenarnya menggunakan bentuk present perfect Aramaik yang dapat
berarti sebagai bentuk present, sehingga klausa ini dapat diartikan
“seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah”.22
(2) selain itu pengampunan ini menyangkut aspek eskatologis yang
terimplikasi dalam kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.23
Sehingga dari sini penulis melihat bahwa orientasi dari permohonan ini
adalah kebutuhan akan pengampunan dari Allah yang mencakup untuk
kepentingan hari ini dan masa yang datang, sehingga hal ini menjadi
dasar bagi kita untuk mengampuni orang lain.
- Permohonan “kami” ketiga (kai me eiseneghes hemas eis paipasmon alla rusai hemas apo tuo ponerou).
Dalam permohonan ini ada kalimat negatif yaitu me dan aorist subjuntif eisenegkes
yang secara keseluruhan dapat diartikan sebagai bentuk larangan. Yaitu
satu bentuk permohonan kepada Allah agar jangan membawa ke adalam
pencobaan. Pencobaan (peipasmon) secara literal dipahami sebagai situasi yang sulit untuk menguji kesetiaan seseorang.24 Tetapi dalam kasus ini peipasmon tidak ada artikelnya sehingga apakah menunjuk kepada kesukaran biasa atau tidak.25 Dan menurut penulis peipasmon
tidak hanya menunjuk pada kesukaran yang biasa saja untuk saat ini,
tetapi juga untuk masa yang akan datang. Dalam teks dijelaskan peipasmon datang dari tou ponerou
yang menggunakan bentuk netral sehingga berarti jahat, tetapi bisa juga
dalam kasus maskulin berarti “yang jahat”. Dengan demikian permohonan
yang Tuhan Yesus ajarkan ini dimaksudkan untuk memohon kebebasan dari
pencobaan yang iblis lakukan kepada Bapa.
- Doksologi (oti sou estin he basileia kai dunamis kai he doxa eis tous aionas amen)
Bentuk doksologi ini semacam ini tidak ditemukan dalam teks-teks yang tua seperti BDZ.26
Matius menggunakan doksologi dengan mengacu bahwa doksologi adalah satu
bentuk umum dari doa-doa Yahudi pada masa itu. Doksologi ini memiliki
makna yang dalam berkaitan dengan permohonan kepada Allah sebagai
pemelihara hidup, pengampun, dan juga sebagai pelindung.
- Kerangka Khotbah.
Doa Bapa Kami.
- Pengagungan Allah dalam hubungannya dengan manusia.
- Kebapaan Allah yang merupakan ekspresi kedekatan Allah dengan anak-anak-Nya.
- Pribadi Allah yang kudus sebagai dasar bagaimana kita sebagai anak-anak-Nya berperilaku dan bertindak dalam hidup ini.
- Kekuasaan Allah yang bersifat mutlak dan mulia di mana kita di dalamnya bisa turut mengambil bagian dalam kerajann-Nya.
- Kehendak Allah yang bersifat mengikat, di mana sebagai orang-orang percaya kita harus sepenuhnya menundukkan diri dan taat kepada-Nya.
- Permohonan kebutuhan yang penting dalam kehidupan manusia yang mencakup:
- kebutuhan pengampunan dosa dari Allah yang menjadi dasar bagi pengampunan orang lain.
- Kebutuhan hidup sehari-hari dan masa yang akan datang.
1 William White Jr, “The Lord’s Prayer” in Merryl C. Tenney, ed, The Zondervan Pictorial Encyclopedia of The Bible vol.3, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1978, hlm. 972.
2 Ulrich Luz, A Commentary Mathew 1-7, Minneapolis: Ausburg, 1989, hlm. 372.
3 Joachim Jeremias, The Lord’s Prayer, Philladelphia: Fortress Press, 1980, hlm. 1.
4 Ibid., hlm. 6.
5
Dalam permohonan doa Kaddish juga ditemukan permohonan sentral,
yang juga diungkapkan Tuhan Yesus dalam Doa Bapa Kami, yaitu “Datanglah
Kerajaan-Mu” dan juga penunjukkan Allah dengan “Bapa Kami yang di
Surga”. Rudolf Schnackenburg, All Things Are Possible To Belivers, Louisville Kentucky: Westminster John Knox Press, 1995, hlm. 68.
6 Dalam Didache 8:2 menambahkan bagian akhir teks dengan perkataan hoti sou estin he basileia kai (sebab kepunyaan-Mu lah kerajaan dan ………..). William White Jr. The Lord’s Prayer, hlm. 972.
7 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, Minneapolis: Fortress Press, 1995, hlm. 41.
8 Gerhard Kittel, ed, Theology Dictionary of The New Testament vol. 1, Grand Rapids Michigan: WM.B Eerdmans Publishing Company, 1978, hlm. 477.
9 D.A Carson, Matthew, hlm. 171.
10 William White Jr, The Lord’s Prayer, hlm. 975.
11 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, Dallas: Waco Books Publishers, 1993, hlm. 149-150.
12 Peter Wongso, Makna Kekinian Doa Bapa Kami, Malang: SAAT, 2000, hlm. 13.
13 Oscar Cullman, Prayer in The New Testament, hlm. 41.
14 G.T Manley “Allah” in Ensiklopedi Alkitab Masa Kini A-L, Jakarta: YKBK, 1995, hlm. 35.
15 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Exegetical Key to The Greek New Testament, Grand Rapids Michigan: Zondervan Publishing House, 1998, hlm. 13.
16 Blass, Debruner & Funk, A Greek Grammar of The New Testament and Other Early Christian Literature, Chicago: Chicago UP, 1961, hlm. 9.
17 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Lingustic and Exegetical Key to The Greek New Testament, hlm. 13.
18
Dalam keseluruhan PB ditemukan keyakinan bahwa Allah adalah raja
yang berkuasa dimana konsep ini berpusat pada ungkapan “Kerajaan Allah”
atau “Kerajaan Surga”. Donald Gutrie, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 56.
19 M Limbeck dalam Θελεμα Horst Balz & Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of The New Testament vol. II, Grand Rapids Michigan: Eerdmans, 1981, hlm. 137.
20 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 148.
21 Cleon L Rogers Jr & Cleon Rogers III, The New Linguistic and Key New Testament, hlm. 13.
22 D.A Carson, Matthew, hlm. 174.
23 Donald Hagner, Word Biblical Commentary Matthew 1-13, hlm. 150.
24 Ibid., hlm. 151.
25 Ulrich Luz, A Commentary Matthew 1-7, hlm. 384.
26 Davies & Dale C Allison, The International Critical Commentary Matthew, Edinburg: T & T Clark, 1988, hlm. 615.
Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan
Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan
I. Pendahuluan.
Peristiwa pembantaian terhadap orang Kanaan merupakan salah satu
masalah khusus yang terdapat dalam kitab Yosua. Dimana dalam kitab
Yosua ini, bangsa Israel seolah-olah digambarkan seperti orang yang tak
kenal belas kasihan. Yang dengan sadis membantai orang-orang Kanaan,
baik tua maupun muda, baik laki-laki maupn perempuan. Tanpa
meninggalkan seorang pun untuk dibiarkan hidup.
Sehingga permasalahan ini menimbulkan perdebatan khusus dalam bidang
kemanusiaan. Bahkan menimbulkan perdebatan antara para ahli, yang
kemudian menimbulkan pendapat bahwa Allah dalam PL berbeda dengan Allah
dalam PB. Oleh karena itu saya merasa tertarik dan mencoba untuk
membahas masalah pembantaian terhadap orang Kanaan dalam tulisan ini.
II. Teks dan Konteks.
A. Teks.
Sebagai langkah awal untuk membahas permasalahan ini, maka saya merasa
perlu untuk membahas teks Alkitab yang berkaitan dengan masalah
pembantaian ini.
Ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan menuju ke tanah
perjanjian yaitu Kanaan, di bawah kepemimpinan Musa. Allah memberikan
suatu perintah kepada mereka dalam kitab Ulangan pasal 7:7-11, dan
20:16-18 tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap orang Kanaan.
Seperti “menghalau, ... memukul, ... menumpas, jangan mengadakan
perjanjian, jangan mengasihani, ...dsb.
Dan perintah ini merupakan perintah yang secara langsung diberikan oleh
Allah kepada bangsa Israel. Dimana dalam perintah ini disebutkan
secara jelas siapa-siapa saja yang harus dibantai, yaitu tujuh bangsa1 yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada bangsa Israel.
Sehingga untuk lebih memahami masalah etis pembantaian ini, saya menggunakan pendekatan dari perspektif Allah dan perspektif sejarah.
Yang dikaitkan dengan konteks budaya pada masa itu. Dan oleh karena
itu, akan lebih dimengerti bila juga dibahas kondisi geografi dan
kebudayaan orang Kanaan pada masa itu.
B. Konteks Sejarah.
1. Kondisi Geografis.
Kanaan merupakan suatu wilayah dari daerah pantai Siria-palestina, yang secara khusus disebut Fenisia.2 Daerah ini merupakan daratan yang subur, karena tanah setengah lingkaran yang sempit3 ini menerima cukup embun untuk bercocok tanam. Dan merupakan daratan yang menjadi jembatan antara benua Asia dan Afrika.4
Sehingga karena terletak di lokasi yang strategis, daerah ini memiliki
banyak kelebihan dan keuntungan yang dapat dikembangkan dalam hal
perdagangan, kesenian, dan kesusasteraan yang tidak lepas dari pengaruh
bangsa lain yang ada di sekitar mereka.
2. Budaya Kanaan.
- Kesenian dan Kesusasteraan.
Kesenian dan kesusasteraan orang Kanaan diperkaya oleh kesenian dan
kesusasteraan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka.5 Dimana kesusasteraan orang Kanaan ini berisikan syair kepahlawanan Baal-dewa mereka.6
- Agama.
Kehidupan agama orang Kanaan tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa
lain yang menyembah ilah-ilah palsu. Dimana mereka mengembangkan agama pantheon7,
yang dikepalai oleh El. Dan dalam kuil-kuil dewa orang Kanaan
tersebut, terdapat perempuan-perempuan yang mempersembahkan dirinya
untuk menjadi pelacur di dalam kuil tersebut. Dan ini merupakan bagian
dari agama orang Kanaan yang tidak dapat dipisahkan.8
Dan seperti ciri-ciri agama penyembah berhala pada umumnya, yang
mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi mereka -seperti binatang atau
bahkan manusia. Ada kemungkinan orang Kanaan juga melakukan hal ini.9 Sehingga dalam artikelnya mengenai Kanaan, K.A.Kitchen mengatakan:10
“Setelah
menyadari sikap agama Kanaan itu maka menjadi makin jelaslah, bahwa
secara jasmani dan rohani kekasaran-kekasaran kebudayaan Kanaan yang
sedang mengalami keruntuhan itu dan kemunculan Israel dengan tugasnya
yang khusus dan khas itu, tak dapat berada bersama-sama.”
III. Pembahasan Teks.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa saya menggunakan 2 perspektif untuk membahas masalah ini, yaitu:
- Perspektif Allah.
1. Kedaulatan Allah.
Di dalam kedaulatan-Nya, Allah telah menciptakan dunia ini beserta
segala isinya. Dan memelihara hasil ciptaan-Nya tersebut. Dan di dalam
kedaulatan-Nya, Ia menjalankan pemerintahan-Nya, kehendak-Nya dan
rencana-Nya di bumi ini. Dan ini berarti:
- Dunia beserta segala isinya adalah milik Allah. Dan Ia mempunyai hak penuh atas segala ciptaan-Nya. Dan bila dikaitkan dengan tanah Kanaan, yang merupakan ciptaan Allah. Berarti bahwa tanah Kanaan adalah milik Allah dan Allah mempunyai hak penuh atas tanah tersebut. Sehingga Ia dapat memberikan tanah itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.11 Dan berhak menentukan bagaimana semestinya tanah itu dipergunakan menurut wewenang moral-Nya.12
- Allah dapat memakai siapa dan apa saja untuk menyatakan kehendak-Nya dan menjalankan rencana-Nya di bumi ini. Sehingga dapat dipahami bahwa bangsa Israel dipakai oleh Allah dalam kedaulatan-Nya, untuk menyatakan kehendak-Nya kepada orang Kanaan.13 Yang berupa penghukuman kepada mereka, karena dosa yang mereka perbuat di hadapan Allah. Akan tetapi ini tidak berarti Allah pilih kasih, karena bangsa Israel pun tidak terlepas dari prinsip universal ini.
Dan sehubungan dengan kehendak Allah yang berupa perintah pemusnahan
terhadap orang Kanaan. Denis Green berpendapat bahwa perintah tersebut
mempunyai 2 segi, yaitu:14
- Sebagai tugas pelayanan bagi umat Israel sebagai alat Tuhan untuk menghukum kejahatan orang-orang Kanaan tersebut. (Ulangan 9:4)
- Dan, sebagai penjagaan terhadap kemurnian iman bangsa Israel.
2. Karakter Allah.
Allah kita selain adalah Allah yang berdaulat dan bijaksana, Ia juga
adalah Allah yang kudus, benar, adil, dan kasih. Dan karakter yang ada
dalam diri Allah ini adalah satu kesatuan dan tidak akan pernah berubah
sampai selama-lamanya. Dan ini berarti setiap keputusan yang Dia buat
pasti merupakan keputusan yang adil, benar, bijak, dan tidak akan
bertentangan dengan diri-Nya sendiri.15
Sehingga bila dikaitkan dengan keputusan untuk memusnahkan orang
Kanaan, maka keputusan itu pasti sesuai dengan karakter Allah tersebut.
Dimana keputusan ini merupakan konsekwensi dari dosa yang telah
diperbuat orang Kanaan. Mengenai hal ini David M. Howard, Jr
berpendapat:16
“Mengenai dosa, pertama harus kita catat bahwa dari perspektif Allah
semua manusia telah berdosa dan kurang kemuliaan di hadapan-Nya (Roma
3:23) karena itu patut menerima hukuman berat (Roma 6:23). Sampai tahap
ini, bangsa Kanaan hanya menerima hukuman seperti yang harus ditanggung
semua manusia, dan jika ada bangsa-bangsa tertentu yang dikasihani itu
hanya karena anugrah Allah semata.”
Dan ini menunjukkan bahwa untuk menilai benar atau salah setiap
keputusan yang dibuat Allah bukanlah suatu hal yang mudah. Karena tidak
dapat dinilai berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etis manusia.
3. Janji Allah.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dari perspektif Allah ialah
perjanjian Allah kepada Abraham –nenek moyang bangsa Israel. William
Van Gemeren berpendapat bahwa perjanjian Allah kepada Abraham mengandung
4 janji, yaitu:17
- Keturunan.
- Tanah.
- Kehadiran Tuhan.
- Berkat bagi bangsa-bangsa.
Sehingga ini menunjukkan bahwa penaklukan tanah Kanaan itu merupakan penggenapan
dari janji-janji Allah kepada Abraham. Karena Allah telah berjanji
untuk memberikan tanah kepada mereka. Dan mengenai pembantaian terhadap
orang Kanaan dari perspektif Allah ini, Walter Kaiser menggambarkannya
demikian:18
“Sama
seperti seorang ahli bedah tidak ragu-ragu mengamputasi anggota badan
yang membusuk, sekalipun harus mengerat sejumlah daging yang sehat,
demikianlah Allah harus melakukan yang sama. Ini bukanlah berbuat
kejahatan agar muncul yang baik, ini adalah menyingkirkan kanker yang
bisa menginfeksi seluruh masyarakat dan akhirnya menghancurkan sisa yang
masih baik itu.”
Sehingga dengan membantai orang Kanaan, kekudusan dan kemurnian bangsa Israel tetap terjaga. Dan bangsa Israel dapat menjadi berkat
bagi bangsa-bangsa lain. Sebab orang Kanaan selain berdosa kepada
Allah, mereka juga mencoba menjerat bangsa Israel untuk mengikuti
kebiasaan agama mereka.19
- Perspektif Sejarah.
Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Isarel merupakan sebuah fakta
sejarah yang benar-benar terjadi. Walaupun ada beberapa ahli yang
menganggap bahwa penaklukan tanah Kanaan tidak seperti yang digambarkan
dalam Alkitab.20
Karena menurut mereka yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana bangsa
Israel memasuki negeri itu secara perlahan-lahan. Dan gambaran dalam
pembantaian orang Kanaan tersebut hanya merupakan khayalan
penulis-penulis yang kemudian. Yang telah memutarbalikkan berbagai
kejadian sejarah.
Dan untuk memahami masalah ini dari perspektif sejarah, maka kita perlu
memperhatikan kembali kebudayaan pada masa itu. Dimana orang Kanaan
pada masa itu mempunyai budaya perang yang berkembang di antara
mereka. Karena hal itu menunjukkan kekuatan dewa-dewi yang mereka
sembah. Dan inilah yang dijumpai bangsa Israel ketika memasuki tanah
Kanaan.
Dan yang masih erat kaitannya dengan budaya perang tersebut, yaitu kebiasaan pada masa itu. Dimana “pengkhususan”21
semacam itu merupakan hal yang biasa terjadi dalam agama pada masa itu.
Karena banyak bangsa di Timur Tengah kuno yang mempunyai kebiasaan
untuk mempersembahkan manusia dan harta benda serta tawanan kepada
dewa-dewa mereka.22
Sehingga kebiasaan itu dapat menolong kita untuk memahami mengapa
bangsa Israel tidak menganggap pembantaian orang Kanaan itu salah.
IV. Kesimpulan.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian pendahuluan,
bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan permasalahan yang
serius karena menimbulkan etis. Maka dari apa yang telah dipaparkan
dalam paper ini, saya berkesimpulan bahwa pembantaian terhadap orang
Kanaan ini merupakan sebuah tindakan yang berbentuk kasuistik. Sehingga tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan hal yang serupa di kemudian hari.
Karena pada akhirnya, setelah bangsa Israel menetap di Kanaan, tidak
pernah lagi tindakan seperti itu dilanjutkan kembali. Sebab pemusnahan
itu dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah kepada bangsa
Israel dalam mengadakan perang suci, yang terdapat dalam Ulangan 20.
Dimana dari pembatasan seperti itu -dan dari PB- kita dapat mengetahui
bahwa prinsip pemusnahan tidak boleh dijalankan dalam perang manapun
juga. Tetapi hanya pada saat itu dalam sejarah, pemusnahan menjadi cara
Allah untuk mengajar umat-Nya.23
Namun bila dikaitkan dengan Perjanjian Baru. Maka seolah-olah ada
sesuatu pertentangan yang muncul antara Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Dimana dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus mengajarkan prinsip
kasih dalam hidup orang percaya, terutama kepada musuh-musuh kita. Dan
perang merupakan suatu problem yang cukup serius dalam perspektif
Perjanjian Baru.24
Mengenai hal ini, Tremper Longman III berpendapat:25
“Tuhan
dari Perjanjian Lama bukan seorang figur yang sembarangan dan gelap,
dan Yesus bukan seluruhnya bunga, terang, dan kebaikan yang lemah
lembut. Yahweh tidak pernah berubah-ubah atau dengan sembrono menghukum
seseorang. Sebaliknya kesaksian dari Perjanjian Lama adalah konsisten
bahwa Ia adalah ‘Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah
kasih-Nya dan setia-Nya’ (Kel. 34:6). Ia menghukum hanya setelah
pemberontakan yang berulang-ulang dan peringatan yang terus menerus.”
Jadi,
sesungguhnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak pernah
bertentangan. Melainkan justru terdapat kesinambungan/kontinuitas26 dari dua perjanjian tersebut.
Dan untuk memahami kesinambungan/kontinuitas ini lebih baik lagi, maka
harus dilihat dari prinsip penting yang merupakan pusat dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Yaitu prinsip kasih.27
Dimana taurat Musa maupun ajaran Tuhan Yesus semuanya ditopang oleh
kasih. Karena keduanya memerintah orang saleh untuk mengasihi Tuhan
dengan segenap hati (band. Ul. 6:5 dan Mat. 22:37), dan mengasihi sesama
seperti dirinya sendiri (band. Im. 19:18 dan Mat. 22:39). Sehingga
oleh karena itu, berperang dalam Perjanjian Lama demi kebenaran dan
keadilan untuk membela Allah dan sesama manusia, merupakan ungkapan
kasih dan tidak bertentangan dengan etika Yesus.
DAFTAR PUSTAKA
Cairns, I.J. Tafsiran Kitab Ulangan pasal 1-11. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997.
Craigie, Peter C. The Problem of War in The Old Testament. Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986.
Djoeng, Budiono. Diktat Kitab-Kitab Sejarah. Surabaya: Unpublissed, 2005.
Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2001.
Green, Denis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 1984.
Hill, Andrew & Walton, John. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,
2001.
Howard, David M. Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2002.
Kaiser, Walter. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.
Kaiser, Walter. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama. Malang; SAAT,
2001.
LaSor, W.S. dkk. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004.
Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama. Malang: SAAT, 2000.
Packer, J.I. dkk. Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1. Malang:
Gandum Mas, 2003.
Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: YKBK, 2002.
1 Dafar penduduk asli Kanaan tidak selalu meliputi tujuh bangsa:
Kej. 15:19-21 mencatat 10 bangsa;
Kej. 10:15-18 mencatat 5 bangsa;
Kej. 3:8, 17 mencatat 6 bangsa;
Ul. 20:17 mencatat 6 bangsa;
Yos. 3:10 mencatat 7 bangsa; dsb.
Maksud pengarang kitab ini barangkali adalah menonjolkan jumlah
“tujuh” sebagai jumlah bulat, dalam arti “segenap kekuatan
bangsa-bangsa kafir”, yang harus mengalah di hadapan kuasa Tuhan. I. J.
Cairns, Tafsiran kitab Ulangan 1-11, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 143.
2 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, (Jakarta: YKBK, 2002), hlm. 501.
3 Kanaan merupakan ujung bagian selatan dari wilayah yang dikenal sebagai tanah sabit yang subur. J.I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1, (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm. 352.
4 Andrew E. Hill, John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 75.
5 Bible Almanac 1, hlm. 353.
6 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
7
Yaitu agama yang merupakan perkembangan dari bentuk politeistik,
dimana mereka mengakui banyak dewa-dewi dan setan-setan. Dan menerima
berhala-berhala tersebut dalam sebuah kuil. Bible Almanac 1, hlm. 177. Band. Dgn. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
8 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, hlm. 503.
9
Walaupun pada millenium ke-2 sM, pengorbanan manusia secara
arkeologis belum dapat dipastikan. Akan tetapi bukti bahwa agama orang
Kanaan memiliki sifat kebinatangan dan jasmani dalam tabiat manusia
jelas dari naskah-naskah Ugarit dan naskah-naskah Mesir yang berasal
dari bangsa Semit. Ibid., hlm. 503.
10 Ibid., hlm. 503.
11 Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2000), hlm. 167.
12 Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 57.
13 Band. Dgn, Walter C. Kaiser, Jr, Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, (Malang: SAAT, 2001), hlm. 119.
14 Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), hlm.76-78.
15 Budiono Djoeng, Diktat Kitab-Kitab Sejarah, (Surabaya: Unpublissed, 2005), hlm. 15.
16 Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama, (Malang:Gandum Mas, 2002), hlm. 98.
17 Diktat Kitab-Kitab Sejarah, hlm. 8.
18 Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, hlm. 119.
19 W.S. LaSor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 292.
20 Bible Almanac 1, hlm. 254.
21 Kata Ibrani yang digunakan ialah Khérém, yang diterjemahkan “dikhususkan bagi Tuhan untuk dimusnahkan” (Yosua 6:17).
22 Pengantar Perjanjian Lama 1, hlm. 291.
23 William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 164-165.
24 Peter C. Craigie, The Problem Of War In The Old Testament, (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986), hlm. 11-12.
25 Memahami Perjanjian Lama, (Malang:SAAT, 2000), hlm. 65.
26
Kesinambungan atau kontinuitas yang dimaksud bukan dalam arti
“menggantikan” atau “memperbaharui untuk meniadakan yang lama”, tetapi
kontinuitas dalam pengertian melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Kalvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory, Veritas Vol. 4 No. 1, (Malang:SAAT, April 2003), hlm. 47.
27 Bible Almanac 1, hlm. 608.