Selasa, 28 September 2021

ESKATOLOGI DAN EKOLOGI

 

ESKATOLOGI DAN EKOLOGI

(Study Hubungan Eskatologi dan Ekologi Dalam Bingkai Perjanjian Lama)

Pdt. Remanto Tumanggor,M.Div   

 

 

I. Pendahuluan

 

Eskatologi apokaliptik tidak mendasar secara Alkitabiah untuk melihat hubungan eskatologi dan ekologi. Iman tidak lagi persuasif dalam istilah teologis atau bisa dipertahakan secara ilmiah. Eskatologi dalam kosmik dan istilah individu telah menjadi perkembangan akhir masa pasca pembuangan dalam pemikiran Yudaime sebagai tanggapan kontekstual terhadap suatu hal tertentu dalam situasi yang penuh kebuntuan. Namun hal itu hanya mewakili satu bagian dari pemikiran terhadap gagasan pemikiran yang lain, yang tidak pernah diterima secara universal dalam Yudaisme. Dengan demikian eskatologi apokalitip tidak begitu esensial dari pesan Alkitabiah, dengan demikian tidak sesuai dengan konteks kekinian. Harapan akan Kerajaan Allah tampaknya memang telah menentukan iman dan proklamasi Yesus telah dimodifikasi dalam Perjanjian Baru saat-saat ketika transformasi yang diharapkan dari alam semesta tidak terwujud. Oleh sebab itu dibutuhkan rekonseptualisasi eskatologi sebagai visi Tuhan yang konprehensif dalam kesejahteraan yang optimal. Visi Tuhan tentang kesejahteraan yang optimal dan menyeluruh dalam segala aspek kehidupan akan mendorong umat manusia bukan untuk mempertanyakan kebaikan Tuhan, tetapi panggilanNya. Artinya bersama Tuhan manusia bergerak menuju kehidupan dan melawan kematian yang konyol, menuju kontruksi dan melawan kehancuran alam semesta. Ini memotivasi dan memberdayakan manusia untuk bergerak bersama Tuhan ke masa depan membukakan pandangan baru, daripada menunggu Tuhan untuk bertindak. Atau sebaliknya memotivasi kita untuk mengizinkan Tuhan menggungkapkan potensinya untuk bergerak menuju visiNya. Visi bukanlah prediksi, tetapi memikat untuk bertindak secara bertanggjawab dan penuh kasih kearah kesejahteraan yang optimal dan konprehensif. Visi yang seperti itulah yang menjadi eskatologis dalam arti akhir yang dramatis dalam dunia dan masuk dalam ciptaan baru. Visi Tuhan menggerakkan proses berkelanjutan yang memiliki arah bukan akhir yang ambigu. Namun harus dipahami bahwa segala seuatu dalam realitas alam semesta secara keseluruhan memiliki awal dan berakhir. Semua kehidupan akan berakhir pada kematian, dan kesimpulan itu tidak mungkin bisa dilepaskan.[1]

Visi Tuhan selalu didukung oleh penderitaan untuk mentransformasi sebagai hal yang sulit diterima dalam manipestasi salib. Menggunakan metapora antropormorfis, dapat dikatakan kefanaan dari segala sesuatu yang ada dan terjadi adalah ditanggung oleh Tuhan dan manusia juga harus menanggungnya sebab manusia memiliki realitas kefanaan. Tuhan adalah sumber berkat dan realitas transenden yang dialami oleh manusia. Salib Kristus yang diidentifikasi oleh Allah, telah menjadi paradigmatic yang signifikan dalam kosmik. Tuhan tak henti-hentinya berkorban dari bagian ciptaanNya. Oleh sebab itu krisis ekologi menjadi panggilan untuk membagikan “kasih pengorbanan” untuk memikul salib Kristus demi keutuhan ciptaan Tuhan menuju masa depan.[2]

Krisis ekologi merupakan satu subjek yang fenomenal dan fundamental untuk dikaji dan disikapi. Namun ironisnya topik krisis ekologi belum menjadi issu yang menarik untuk didiskusikan sebagai hal urgen. Masih pelik issu krisis ekologi menjadi tajuk dialog, dan mungkin hanya secuil menjadi pusat perhatian, bahkan para rohaniawan pun luput perhatiannya memberikan paedagogi tentang “krisis ekologi” sebagai ancaman global dalam homilinya. Nampaknya tema krisis ekologi hanya sedikit saja terakomodasi dalam ruanglingkup akademisi teolog, pemerhati lingkungan, dan masih jauh dari perhatian sentral yang signifikan baik secara individual, komunal dan universal.

Keangkuhan manusia telah melahirkan kejahatan dan merusak harmoni kehidupan bumi (Kej 6:5-12), sehingga Allah mendatangkan Air Bah. Kisah terjadinya Air bah merupakan satu alternatif lain dalam menyikapi krisis ekologis. E.F. Schumacher menyatakan bahwa masalah krisis lingkungan sangat terpaut erat dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi manusia terhadap Allah.[3] Lebih tajam Fritjof Capra dalam kajiannnya terhadap penyebab krisis lingkungan global tersebut, menyimpulkan bahwa krisis tersebut merupakan akibat dari worldview(cara pandang) dan keserakahan manusia terhadap alam, baik keserakahan karena kemiskinan, kebodohan atau ketamakan untuk meraup properti (kekayaan) yang berlimpah. Demikian pula tidak difungsikannya perangkat nilai transcendental (nilai spiritual) dalam diri manusia untuk dijadikan sebagai acuan moral dalam hidup. Secara lebih khusus ia mengatakan bahwa bencana alam terjadi akibat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang minus pemahaman spiritual. Lebih lanjut Capra mengutip R.D. Laing menyatakan,“… Kita telah menghancurkan dunia  ini secara teori sebelum kita menghancurkannya dalam praktik…”.[4] Hal yang menggembirakan menurut Capra adalah munculnya kesadaran Barat akan hal tersebut dengan berbagai gerakan ekologi, feminism, dan small is beautiful dalam bidang perekonomian.[5] Apa yang salah terhadap sikap manusia terhadap lingkungan? Dalam kajian para ahli tersebut betapa pentingnya sikap kritis manusuia dalam merespon krisis Bumi yang Jika tidak disikapi secara serius maka “bencana alam” hal yang tak terbendung lagi dampaknya pada generasi yang akan datang

Hal yang menarik yang dikemukan diatas adalah krisis lingkungan (Bumi) tidak terlepas krisis moral, krisis spirittual akibat orientasi manusia yang khilaf terhadap Allah. Pengenalan akan Allah sebagai pencipta Bumi adalah bagaimana manusia mengasihi sesamanya, merawat alam ciptaan Tuhan. Dalam Iman Kristen hidup manusia senantiasa berorietasi kepada Allah sebagai sang Pencipta dan ciptaanNya. Eksistensi manusia adalah koheren dengan alam, saling ketergantungan dan menopang. Meski manusia secara hirearki rasional memiliki keunggulan dari ciptaan lain, namun hal tersebut bukan berarti “tirani” dan legitimasi dominasi, apalagi untuk mengeksploitasi. Tanggungjawab moral dan spiritual manusia adalah “mandat untuk menata Bumi”. Secara teologis, eskatologi tidak dapat dipisahkan dengan tanggungjawab manusia terhadap ciptaan lainnya (ekologi). Kajian ini akan mengulas bagaimana hubungan eskatologi dan ekologi dalam bingkai Perjanjian Lama.

II. Defenisi: Terminologi dan Etimologi

2.1. Terminologi dan Esensi Eskatologi

Istilah eskatologi secara harfiah diartikan sebagai ilmu yang berbicara tentang hal-hal yang terakhir. Secara etimologi istilah eskatologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu eskhatos,[6] artinya ”akhir” atau ”terakhir”, dan logos, artinya ”firman” atau ”ajaran”.[7] Akhir zaman (eskaton) dalam studi Alkitab menunjuk pada gagasan-gagasan, baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru[8], mengenai periode sejarah atau keberadaan yang terakhir. Pemahaman istilah “akhir” dapat berarti titik penghabisan.[9] Secara ilmiah dan objektif, dalam dunia akademik ajaran tentang akhir zaman disebut eskatologi.[10]Jadi eskatologi adalah cabang teologi (kepercayaan tentang akhir zaman) yang membahas peristiwa-peristiwa terakhir dalam sejarah dunia dan manusia.[11] Secara tradisional eskatologi berarti hal-hal yang akan datang yang terkait dengan peristiwa kebangkitan dan penghakiman yang dilakukan oleh Kristus pada masa yang akan datang dan merupakan akhir dari pada zaman dunia.[12] Menurut Soedarmo salah satu makna ”hari Tuhan” menekankan tentang akhir zaman akan datang kemudian.[13]

Secara eksplisit pengertian eskatologi hanya sedikit ditemukan dalam PL.[14] Namun secara implisit hakikat eskatologi dalam PL yang menonjol dikenal dengan istilah “Hari Tuhan” (yom Yahwe). Istilah yom diartikan sebagai waktu yang lama sekali, suatu musim tertentu dimana peristiwa luar biasa terjadi, seperti kemakmuran (berkat), kekayaan, dan bahkan suatau peristiwa yang merugikan dan mendatangkan bencana. Jadi hakikat “hari Tuhan” menekankan suatu hukuman dan rahmat atau sukacita dalam suatu moment tertentu.[15] Namun, pengertian hari Tuhan dalam eskatologis tidak dipahami secara kronologis semata, namun hari Tuhan adalah hari yang melampaui akal manusia, melampai segala ruang, dimensi segala ciptaaNya.

Eskatologi pentateukh merupakan sastra yang menyajikan visi yang koheren tentang hubungan antara Yahwe dan Israel. Kejadian memberikan catatan yang paling luas dari Pentateukh tentang janji Yahwe kepada leluhur Israel, janji yang sangat mendasar bagi Israel yang sedang berlansung eskatologi. Eksposis Kejadian dari kisal Israel dengan permulaan mitis dari kosmos menyajikan potensi yang besar tentang gagasan eskatologi bahwa hubungan Yahwe dan Israel akan berhasil pada skala yang lebih besar (Kosmis). Kejadian berisakan ayat ayat yang menarik, mengandung janji berkat, pidato dan puisi yang luarbiasa yang mengisyaratkan kemenagan yang akan datang dalam bahasa semi-Mesinis. Janji kepada bapa leluhur Israel telah dibingkai dalam suatu kelompok eskatologi (Kej 3:15; 49:10; Bil 24:24; Ul 32:43)[16]

Selanjutnya, Jonathan Luke Huddleston[17] mendefiniskan eskatologi sebagai sebuah harapan untuk:1). Tindakan Tuhan dimasa depan, 2). Digambarkan dalam ekspresi mitis dalam transpormasi komunitas dan dunia, 3)menyelesaikan konplik yang luas seperti penindasan, dosa, atau kematian. Jadi kata arkhir yang tersirat secara etimologis dalam eskatologi tidak harus berarti akhir dari sejarah, tetapi akhir dari kisah Israel yang terbentang- Apa ayang disebut oleh Kelly “penyempurnaa dari tujuan ilahi”[18] Dalam eksegesi PL eskatologi bukan “akhir dunia” melainkan tindakan/aksi karya Allah, perubahan mendadak dalam keadaan dan finalitas.[19] Klaus Koch berpendapat bahwa eskatologi kenabian adalah eskatologi dalam sejarah bukan akhir sejarah:sejarah manusia tidak terputus meskipun pada dasarnya membutuhkan arah yang baru, dalam intervensi kreatif Yahwe. [20] Visi dalam nubutan kenabian tentang hubungan Israel dengan Yahwe sebuah visi yang didominasi oleh eskatologi.

Para nabi menatap ke depan, kepada saatnya Allah Israel yang berulang-ulang memperdulikan umat-Nya dalam sejarah mereka. Allah akan mengindahkan mereka untuk menghukum orang fasik, melepaskan orang-orang benar dan untuk menyucikan bumi dari seluruh kejahatan. Istilah Hari Tuhan dengan ungkapan lain “pada hari itu” mengartikan kepedulian Allah, dan lebih menekankan sifat kejadian itu daripada waktunya. Justru hari Tuhan berarti kepedulian Allah yang sudah terjadi dalam (Ams 5:18; Yl l:l5) maupun kepedulian terakhir pada akhir zaman (Yoe1 3:14, 18; Zef 3:11, 16; Za 14:9). Pada hari yang terakhir Allah akan datang untuk mendirikan kerajaan-Nya. (Yes 2:2-4, Hos 3:15)[21]. Berkaitan dengan “Hari Tuhan” salah satu aspek yang ditekankan adalah pengharapaan eskatologi yakni menunjuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhir zaman ketika Mesias datang kembali untuk mendirikan Kerajaan Allah dibumi.[22] Konsep kerjaan Allah dalam PL memiliki makna yang luas dan teologis yang meliputi: Allah sebagai hakim yang adil, pengharapan Mesianis, kedatangan Kristus, dan kedatangan Kristus keduakali yang memeritah sebagai raja.[23] Salah satu Ide kerajaan Allah dalam PL menyatakan Allah yang hidup dan kekal, yang sudah menyatakan diri bagi manusia dan sudah memilih Israel untuk melaksanakan rencanaNya.[24]

Meskipun demikian eskatologi tidak selalu menyoroti mengenai hari kiamat atau akhir dunia. Keadaan akhir dunia hanya salah satu aspek dari beberapa aspek yang dibicarakan dalam eskatologi. Namun fokus dalam tulisan ini perspektif teologi iman Kristen dalam eskatologi. Dengan demikian berbicara tentang akhir zaman (eskaton) adalah apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan iman, hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan ciptaan lainnya (kosmos). Dalam tulisan ini penulis berpretensi (berkeinginan) untuk membahas bagaimana iman Kristen terhadap eskatologi, dan apa makna eskatologi itu dalam iman kekristenan dalam kaitannya dengan ekologi dalam bingkai Perjanjian Lama.

.

2.2. Etimologi dan Esensi Ekologi

 

Secara etimologis ekologis berasal dari bahasa Yunani, oikos, yang berarti rumah tangga dan kata logos yang berarti ilmu. Secara terminologi ekologi berarti ilmu yang mengkaji tentang proses interrelasi dan interdependensi antarorganisme dalam satu wadah lingkungan tertentu secara keseluruhan. Secara sederhana ekologi bisa diartikan sebagai kajian tentang hubungan hidupan atau organisme dengan lingkungannya; kajian tentang ekosistem; kajian tentang lingkungan hidup.[25] Ekologi ( ecology) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani; oikos dan logos. Oikos berarti tempat tinggal sedangkan logos artinya ilmu. Ekologi yang merupakan cabang dari biologi ini adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme dan hubungan antara organisme-organisme itu dengan lingkungannya.[26] Secara terminologi oikos tidak dipahami hanya sekedar tempat tinggal manusia. Oikos juga dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya diantara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem (habitat). Dengan demikian, oikos bermakna rumah bagi semua makhluk hidup yang sekaligus menggambarkan interaksi keadaan seluruhnya yang berlangsung di dalamnya.[27] Selanjutnya Normam Habel[28] mengatakan: Ekologi adalah revolusi yang dalam dan dinamis yang tidak bisa diabaikan. Ekologi mendefinisikan kembali identitas manusia sebagai makluk bumi, habitat yang membentuk manusia dan hubungan dengan ciptaan lainNya. Itu berarti dibutuhkan kosmologi baru dalam refleksi teologis, penafsiran atas Alkitab dan perfektif misi terhadap ciptaan Allah

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ekologi adalah study tentang keseimbangan hal-hal hidup dengan alam. Ekologi berarti keterhubungan, ketergangtungan bersama, keterkaitan dan menyangkut interkoneksi dari seluruh Bumi. Jadi ekolog secara ilmiah menjelaskan tentang eksistensi tumbuhan, hewan dan manusia saling berhubungan dan saling bergantung satu dengan yang lainnya.[29]

Dalam ekologi, ditunjukkan bahwa bumi mengalami proses dinamis yang melibatkan manusia dan makhluk-makhluk hidup dalam interaksi yang saling mempengaruhi sehingga terwujud suatu keseimbangan. Lingkungan tempat berlangsungnya proses dinamis itu disebut ekosistem yaitu aturan atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dan saling bergantung. Secara ringkas dapat dikatakan semua ekosistem meliputi interaksi antara lingkungan biotik (alam hidup: tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia) dan lingkungan abiotik (alam tak hidup: tanah, air, udara, batu dll). Dan apabila keseimbangan dan keharmonisan tatanan itu terganggu melalui kerusakan atau pencemaran, maka manusia dan makhluk hidup lainnya akan terancam. [30]

3.3. Problematis eskatologi dan Ekologi

 

Dimensi kekinian dan keakanan dari eskatologi seringkali dipahami secara terpisah dan ekstrim, sehingga mengakibatkan pengabaian terhadap salah satu dimensi lainnya dalam tugas dan panggilannya. Pendekatan berorientasi kekinian (present oriented), hanya berfokus pada tugas masa kini dan cenderung mengabaikan dimensi keakanan dari Kerajaan Allah, demikian juga sebaliknya, pendekatan yang berorientasi pada dimensi keakanan (future oriented) umumnya telah mengabaikan dimensi kekinian. Fokus pengajaran ini selalu terpatok pada peristiwa-peristiwa yang akan datang, sehingga praktek kekinian dari keberadaan Kerajaan Allah seringkali terabaikan dan menganggapnya kurang penting. Dimensi kekinian terasa bukan primary, sehingga meningkatkan tendensitas pada pengabaian aspek-aspek sosial, budaya, termasuk lingkungan hidup.

Krisis lingkungan hidup sebagai tema dan permasalahan yang telah menjadi diskusi masyarakat international. Krisis global ini memberikan dampak-dampak secara signifikan bagi kehidupan umat manusia, misalnya perubahan iklim, pencemaran air bersih, bahkan dalam bentuk bencana- bencana alam. Bentuk-bentuk krisis lingkungan seringkali dilihat dalam kacamata eskatologis sebagai tanda-tanda akhir zaman serta sebagai akibat dosa. Kecenderungan melihat hanya sebagai tanda-tanda zaman dalam sikap pesimistis, sehingga menjadi pasif terhadap krisis yang ada, dan perhatian hanya difokuskan kepada hal-hal akhir zaman.[31]

Ada hal yang dilematis memang ketika dicermati sebuah pernyataan yang dikuti oleh Imanuel Geovasky dari seorang teolog besar Jürgen Moltmann berkata Nature is not our property, neither are we only the part of nature” (Alam bukan milik kita, dan kita juga bukan hanya bagian dari alam). Di kala manusia jaman modern (post- modern?) sekarang dihinggapi pola pikir bahwa  alam  ini  adalah sesuatu yang menjadi barang miliknya (property), sehingga manusia merasa berhak untuk menguasai dan memanfaatkan segala yang ada di alam ini. Pemahaman yang melekat adalah semua yang ada di alam diciptakan demi keberlangsungan hidup manusia, sang makhluk yang (merasa diri) ada pada puncak tangga kehidupan. Sikap superioritas manusia pun sering didengung-dengungkan dalam ungkapan-ungkapan yang mengagungkan kelebihan manusia di atas makhluk yang lain.[32] Artinya alam bukanlah harta milik kita yang bisa seenaknya dikuasai dan dimanfaatkan semaunya oleh manusia. Namun pada saat yang bersamaan mengingatkan adanya dilema di balik itu, yakni kita, manusia memang bukan hanya sekedar bagian dari alam ini.

 

III. Hubungan Eskatologi dan Ekologi Dalam Bingkai Perjanjian Lama

Pada abad ke-20, pemahaman eskatologi mulai bergeser. Secara sederhana, pergeseran kencerungan umum pemikiran eskatologi dapat dibagi sebagai berikut: (i) Dari eskatologi sebagai bagian akhir dogmatis menjadi bagian penting pada keseluruhan teologi. Pandangan ini sebenarnya menegaskan bahwa teologi dogmatik mendasarkan diri pada sejarah keselamatan. Dan, sejarah keselamatan itu pasti bersinggungan dengan eskatologi. (ii). Dari eskatologi masa depan ke eskatologi sekarang. Makluk hidup masa depan sudah hidup saat ini. Oleh karenanya, keadaan akhir setiap makluk hidup dibentuk hari demi hari. (iii) Dari eskatologi esensi ke eskatologi keberadaan. Ketika eskatologi mulai bergeser pada eskatologi sekarang ini, maka dampaknya, orang kristiani diajak untuk menyadari keberadaan saat ini. (iv). Dari ‘eschata’ sebagai tempat atau keadaan ke ‘eschaton’: pribadi. Dalam hal ini eskatologi dihubungkan kepada Kristus sebagai kehadiran real eskatologis yang aktual dalam sejarah Gereja dan dunia. (v). Dari individual ke eskatologi universal. Eskatologi mulai bergeser kepada masa depan seluruh makhluk hidup dan seluruh ciptaan Tuhan sendiri. Maka, eskatologi tak hanya menyentuh aspek individual. Belakangan, perspektif eskatologi sebagai sebuah proses teologi dipengaruhi filsafat Whitehead. Filsafat Whitehead yang menekankan visi kesatuan semesta mempengaruhi paham eskatologi kristiani. Pertama, manusia, khususnya, tubuhnya merupakan bagian integral semesta. Kehidupan makhluk hidup bukan sekadar penerusan melalui kelahiran. Masa depan individu tak bisa dipisahkan dari semua makhluk dan semesta. Kedua , iman kristiani menyampaikan bahwa makhluk hidup mempunyai peran ganda: memenuhi muka bumi dan saling membagikan hidup abadi Allah sendiri. Hidup dalam cinta berarti hidup dalam solidaritas dalam membangun keadilan. Manusia dituntut untuk bersolider dengan semua ciptaan. Ketiga , eskatologi dibuat nyata hadir dalam hidup ini melalui usaha mendirikan Kerajaan Allah dalam komunitas-komunitas yang penuh dengan persaudaraan, cinta kasih dan bekerja untuk keadilan. Solidaritas dengan sesama makhluk ciptaan tak hanya berhenti pada kematian phisik, tetapi saling berbagi sampai di surga, Kerajaan Allah nantinya. Paham eskatologi Kristiani sendiri selalu berhubungan dengan soteriologi dan kristologi.[33]

3.1. Esensi Teologis Eskatologi dan Ekologi Dalam Perpektif Teologi Perjanjian Lama

Perspektif Alkitab tentang eskatologi dan ekologi harus dimulai dalam pandangan Alkitab tentang Tuhan. Dalam pengertian ini, dunia yang Alkitabiah adalah dalam perfektif yang teosentris dari pada anthroposentris atau biosentris. Secara signifikan, Kejadian 1 adalah titik awal untuk melihat perpektif teosentris. Tuhan dalam Alkitab adalah Tuhan yang ada sebelum adanya ciptaanNya. Dalam Kej 2:4 kita menemukan Tuhan yang mengendalikan karyaNya, “menciptakan” (“membuat” Ibr “asah”) bumi dan langit. Tuhan digambarkan bisa dekat dengan ciptaaNya namun Allah eksistensi Allah mengatasi dari seluruh ciptaanNya dan Allah menyuruh Adam untuk memelihara taman eden (Kej 1:26-28). Penciptaan Allah pada hari keenam dan ciptaan lainnya diciptakan masing-masing unsur terwujud dalam menemukan makna untuk mengisi fungsi dan peran dalam tatanan kebajikan. Cahaya mengahalau kegelapan supaya ada hari terang. Cakrawala membuat perairan terpisah, lahan kering yanag kemudian menyediakan maka untuk semua mahluk yang hidup. Laut menjadi ekosistem bagi ikan dan ekosistem lainnya. Siklus siang dan malam diatur Tuhan sedemikian rupa.[34] Kisah pernciptaan mengambarkan bahwa Tuhan membangun ciptaannya sebagai “persektuan kosmik”, dimana Allh menciptakan Adam dan Hawa sebagai milikNya dan memiliki tanggungjwab sebaai gambar Allah untuk membawa berkat bagi seluruh dunia. Namun harapan itu hancur karena ketidaktaaan Adam dan Hawa dan diusir dari taman Eden.[35]

Penciptaan Allah terhadap manusia berbeda dengan ciptaan lainnya. Penciptaan terhadap manusia lebih bersifat pribadi, Tuhan dan manusia memiliki percakapan intensif. Kejadian 1:28 mencatat bahwa penciptaan umat manusia harus dipahami sebagai bagian dari integral ciptaan dan keberadaan manusia yang tak terpisahkan. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Ayat ini bukan justifikasi untuk supaya mempunya banyak keturunan atau juga membatasi kelahiran. Konteks ayat tersebut bukanlah bersifat perintah atau anjuran untuk berkembangbiak tanpa batas, melainkan menekan tumbuh dengan jumlah yang masuk akal.[36]

Gagasan “berkuasalah atas bumi” banyak juga digunakan untuk melegitimasi praktek-praktek prokreasi yang secara alami sangat menarik bagi umat manusia. Ide-ide “kekuasaan” telah diambil untuk melegitimasi “superioritas” kemanusiaan atas ciptaan lainnya. Demi untuk kepentingan ekonomi, manusia mengabaikan kepedulian terhadap lingkungan. Dampak teknologi idusri, produk limbah idustri telah berdampak negative terhadap krisis lingkungan, sumber daya alam semakin menusut akibat eksploitasi manusia.[37]

Meskipun dunia, atau situasi semakin sulit , terjadinya krisis ekologi, namun jemaat Kristen tetap memiliki pengharapan eskatologis. Dalam konteks sistim monarki Israel, Nabi Amos menuarakan pesan harapan: “"Sesungguhnya, waktu akan datang," demikianlah firman TUHAN, "bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran (Am 9:13). Harapan yang disampaikan oleh Nabi adalah kehidupan masa depan, pengharapan eskatologis. Harapan itu adalah sumber kekuatan iman dalam konteks umat pada zaman Amos, dan konteks masa kini. Harapan eskatologis (surgawi) tidak dapat dipisahkan dengan sikap dan tanggungjawab manusia pada masa kini.[38] Secara teologis doktrin eskatologi dan ekologi berpusat pada theosentris, maka ekologi adalah bagian integral dari eskatologi. Iman adalah dasar untuk hidup dalam “eskaton” dalam relasi dengan “oikos”. Dalam hal inilah dipahami bahwa iman tak terpisahkan dalam dimensi tanggungjawab moral.

 Oleh sebab itu selurup ciptaan Tuhan diciptakan dalam sistim kosmologis yang benar-benar seimbang dan manusia memiliki peran penting menjaga dan memeliharanya. Tujuan manusia bukan untuk menguasai “mengeksploitasi” namun melayani dengan tujuan yang agung dan mulia. Maka Kej 2 bukan dipaham dalam perpesktif antroposenstrik, namun Kejadian 2 mendukung sikap dan ras hormat yang sehat terhadap lingkungan. Memang mandat ekologis semakin ditegaskan dalam Kej 1:15 dimana “ Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan baik untuk dimakan buahnya..” Istilah yang dipakai bukan lagi kata “manaklukkan dan menundukkan” melainkan kata “mengusahakan dan memelihara”. Kata kerja memelihara (Ibr shamar[39]: menyimpan) harta yang dipercayakan kepada manusia. Meski Tuhan menyerahkan taman eden kepada Adam, namun itu bukan tamanya melainkan taman milikTuhan.[40] Dalam pemahaman inilah orang Kristen memahami tanggungjawabanya untuk memelihara bumi dan keutuahan ciptaanNya. [41]

Kesaksian yang lebih lanjut tentang nilai dan keajaiban alam tertulis dalam Mazmur 19, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” Mazmur 8, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? (ay 4-5) Mazmur 104 “ Nyanyian pujian penciptaan yang menakjupkan dimana keindahan alam dirayakan, Tuhan menciptakan demi kebutuhan manusia, dan jua ciptaan lainnya. Namun semua akhirnya untuk pelayanan bagi manusia (ay 14). Jadi semua Tuhan ciptakan bukan untuk memenuhi keserakahan (eksploitatif) manusia namun manusia harus memposiskan fungsinya bukan posisinya. Tujuan agung Allah bagi Allah adalah semua harus mencerminkan kemuliaaNya dalam keharmonisan dan keindahan yang tidak tercela. Manusia sejak awal menjadi pusat dan segala sesuatau berfungsi dalam keharmonisan antara alam dengan manusia. Oleh sebab itu nabi Yesaya memeberitakan tentang “langit dan bumi yang baru” ( Lih Yesaya 65:17) yang intinya menekankan keharmonisan terhadap alam ciptaan Tuhan.

 Ini adalah elemen kosmis dalam penebusan yang menggabungkan tema penciptaan dalam Kejadian dan penebusan dari Keluaran. Demikanlah halnya dalam Perjanjian Baru, Paulus mengutif dari teologi Yesaya dalam suratnya kepada orang Roma (Rom 8:19-25).[42] Dalam perspektif inilah dipahami bahwa dalam iman Kristen eskatologi memiliki hubugan yang tak terpisahkan dengan ekologi. Sebab tujuan Tuhan bagi dunia adalah “harapan” yang mengungkapkan terciptanya tatatan alam yang berkelanjutan dalam dimensi ekologi.

Manusia ciptaan Tuhan memiliki mandat Budaya[43] Narasi penciptaan dari Kejadian 1: 1-2: 4a, menceritakan bagaimana manusia diciptakan menurut gambar Allah di dalam memerintahkan untuk menjalankan kekuasaan atas bumi dan semua kehidupan binatang di atasnya dan bagaimana Tuhan memberi mereka apa yang sering disebut "mandat budaya" untuk "berbuah dan berkembang biak, dan isi bumi dan menundukkannya, dan berkuasa ”(1:28). Para ahli ekologi telah mengkritisi bahwa penafsiran yang salah terhadap kata “menundukkan” telah mendorong sikap ekspolitasi manusia.

Ketika pembuangan terjadi dalam umat Israel, para nabi mendorong umatnya dengan jaminan bahwa itu tidak akan bertahan selamanya. Pemulihan akan datang, dan dalam beberapa untaian kenabian dorongan restorasi ini dikaitkan dengan harapan putra Daud, yang akan "memerintah sebagai raja dan berurusan dengan bijaksana" dan "melaksanakan keadilan dan kebenaran di negeri ini. Di hari-harinya Yehuda akan diselamatkan, dan Israel akan diam dengan aman; dan ini adalah nama dimana dia akan disebut: "Yahweh adalah kebenaran kita" (Yer 23: 5-6; lih. 33: 14-16).[44]

Secara tradisional negatif perpsektif Kristen terhadap dunia selama ini dikendalikan oleh tiga ide dasar: Pertama, Kejadian 1:28 yang mencatat mandat Ilahi dengan menekan “berkuasalah…” Perkataan tersebut dianggap sebagai legalitas Ilahi dan mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi terhadap ciptaan lainnya. Kedua, Kekristenan dianggap hanya berfokus pada hal eskatolgis (akhirat, surge dan spiritual), dan memahami lingkungan (bumi) hanya temapt sementara saja. Ketiga, dan sehubungan dengan tersebutm kekristenan adalah dilihat sebagai hal yang menekankan Jiwa atau Roh dan mengabaikan hal fisik. Sikap yang ekstrim ini Nampak dapat praktek dalam sikap hidup gereja mula-mula. Meski konsep tersebut nampaknya Alkitabiah namun sikap ekstrim tersebut telah menimbulkan dampak yang negatif. Meski penekanan eskatologi adalah bagian yang benar dalam kekristenan, namun harus dilihat secara bersama bahwa inti nubuatan kenabian yang terkonsentrasi pada hal spiritual harus selalu berhubungan dengan kehendak Tuhan, dan itulah tugas imamat dimana fungsi esensial mereka adalah menghubungkan hal spiritual dengan hal materi. Peran para Imam dalam PL dan Nabi senantiasa menekanka hubungan Tuhan dan manusia. Fungsi utama manusia adalah mengatasi transendensi Tuhan melalui pandangan yang benar terhadap alam. Tanpa peran seperti itu maka eksistensi agama Kristen secara alami akan menjadi perusak lingkungan. Bagi orang Kristen, Kritus adalah model panutan yang memenuhi nubuatan Perjian Lama. Dan memberikan dasar bagi sikap dan tindakan orang-orang Kristen. Dalam hidup Kristus dan pelayananNya, Dia diakui sebagai tokoh sentral yang berfungsi sebagai Nabi dan Raja yang benar, dan dalam kematianNya dan kebangkitanNya, Ia diakui sebagai Imam Besar. Dalam hal tersebutlah Kristus telah menhgikuti dan memenuhi aktifitas para tokoh-tokoh sebelumnya, yakni Musa dan Samuel yang menyatukan tiga jabatan dalam satu oknum. Demikianhalnya Kristus yang menyatukan ketiga jabatan itu dalam pelayanNya. Eksistensi Kristus tidak hanya untuk kemanusiaan, tetapi juga untuk ciptaan yang lebih luas. Sebagai Nabi, Ia berbicara tentang penciptaan (Kol 1:16), dalam hal ini dapat dipahami bahwa Kristus memenuhi fungsi funmental dari seorang nabi. Sebagai seorang Imam, Kristus telah mengorbankan diriNya bukan hanya untuk kemanusiaan, namun mencakup dosa kemanusiaan yang mempengaruhi seluruh ciptaan yang kemudian perlu ditebus.[45] Sebagai Raja, secara alami Kristus adalah penguasa atas seluruh ciptaan dalam “ruang dan waktu” secara kontiniu. Jika eksistensi Orang Kristen dilihat sebagai anak Allah yang diadopsi[46] Maka orang Kristen juga harus mengamalkan dan melakukan tiga fungsi yang sama sebagai Imam, Raja, dan Nabi. Eksistensi dan perpektif tersebut adalah solusi dalam masalah ekologi sebagaimana yang dilakukan oleh Kristus. Jadi gagasan untuk “berkuasa” atas ciptaan harus secara alami menekankan hal materi pada masa kekinian, dan itu juga harus seimbang pada dimensi eskatologi yang berkaitan masa akan datang, dan disisi lain orientasi hal spiritual juga harus menyeimbangkan perhatian pada hal materi. Perpesktif demikianlah telah menggabungkan gagasan yang mengarah pada keseimbangan teologi. [47]

3.2. Hakikat Janji Allah Dasar Relasi Eskatologi dan Tanggungjawab Ekologis

 

Selain mencipta dan mewahyukan diriNya, Allah yang kasih itu mewujudkan dengan berbagai macam cara satu-satunya rahasia kehendakNya yaitu keselamatan manusia dan seluruh ciptaan. Dalam PL janji Allah dan harapan Israel disajikan dalam beberapa kisah penting yang memberikan gambaran perwujudan rahasia kehendak Allah yang tidak lain adalah keselamatan manusia dan seluruh ciptaan. Hal ini dapat dilihat dari janji Allah dalam pemanggilan Abraham (Kej 12:1-3), Kisah Keluaran, janji berupa kerajaan (2 Sam 7:8-16), janji pembebasan dari pembuangan (Yes 9:1-6).[48] Umumnya perjanjian adalah “ikatan” karena adanya kedua belah pihak yang bersepakat untuk melakukan suatu perjanjian dengan masing-masing memiliki tugasnya untuk menjaga hubungan perjanjian itu. Namun, perjanjian Allah tidak selalu dalam definisi kata tersebut. Janji-Nya adalah atas dan berdasarkan diri-Nya sendiri. John Frame, menjelaskan demikian Allah mengikatkan diriNya terhadap kita, Menjadi Allah kita dan menjadikan kita umatNya, dan membebaskan kita melalui kasih karuniaNya dan memerintahkan kita dengan hukumNya, Da Ia memerintah tidak hanya dari atas, tetapi juga dengan kita dan di dalam kita”.[49] Karena Allah berjanji atas diri-Nya sendiri untuk menjadi Allah, ini adalah komitmen-Nya, sehingga semua keberadaan dalam dunia dan segala sesuatunya memiliki hubungan dengan janjiNya. Bahkan lebih tegas lagi, berangkat dari pengertian perjanjian Allah, John Frame menegaskan bahwa penciptaan itu sendiri adalah sebuah perjanjian Allah. Karena Roh Allah sendiri ada dengan ciptaan dari permulaan (Kej. 1:2). Ini mengindikasikan komitmen untuk menjadi present di dalam dan bersama dengan dunia ciptaanNya.[50] Hakikat Perjanjian Allah adalah kekal, berdasarkan atas diri-Nya sendiri, karena itulah penciptaan dan penebusan komunitas orang-orang pilihan-Nya sebagai perjanjian kekal Allah, yang telah dilakukan-Nya sejak semula.

Selain itu Pemilihan Allah merupakan Penggenapan Perjanjian Penebusan. Pemilihan adalah tindakan ketetapan Allah sejak semula sebelum segala sesuatunya ada. Pemilihan didasarkan atas inisiatif dan kesukaanAllah sendiri. Louis Berkhof mendefinisikan pemilihan sebagai, “tindakan kekal Allah dimana Ia dalam kesukaan kedaulatan-Nya dan tanpamemperhitungkan jasa atau kebaikan manusia memilih sejumlah orang untuk menjadi penerima dari anugerah khusus dan keselamatan kekal atau singkatnya adalah tujuan kekal Allah untuk menyelamatkan sebagian umat manusia dalam dan melalui Yesus Kristus.”[51] Berkhof menjelaskan bahwa tujuan dari pemilihan ini adalah untuk keselamatan orang-orang yang telah ditentukan untuk selamat, yang sasaran akhirnya adalah kemuliaan Allah.[52] Pemilihan dilakukan Allah tanpa melibatkan syarat-syarat dari manusia yang berdosa, karena memang kejatuhan manusia dalam dosa menjadikannya tidak mampu untukmelakukan apapun yang membawanya pada kebenaran. Dalam kedaulatan Allah, Ia menetapkan pemilihan itu tanpa syarat, dan tidak seorang pun dapat menolak anugerah pemilihan-Nya.

Teologi penciptaan merupakan doktrin yang urgen dan integral untuk memahami tujuan Allah. Oleh sebab itu adalah beberapa hal fakta signifikan pencitaan dalam tanggungjawab ekologis yakni: Pertama, Allah adalah pemilik atas dunia (Maz 24:1), Tuhan adalah “tuan” atas tanah, jadi manusia hanya “menyewa” bumi. Sebagai “penyewa”, manusia adalah pelayan Tuhan, konsekuensinya adalah tanggungjawab manusia dan akuntabilitasnya. Kedua, Sebab Tuhan adalah pencipta, maka alam memiliki nilai intriksik (korelasi). Alam tidak dilihat dalam perpektif antroprosetrik. Ketiga, Tuhan sebagai pencipta telah menyediakan segala hal yang diperlukan dari ciptaanya untuk segala mahluk dengan cara yang efektif. Diantara ketentuan Allah adalah pengaturan energi bumi yang mengitari matahari, proses biosfer, ekosistem, proses kesubuuran bilogis dan ekologi, sistim pemurnian air dari biosfer, sirkulasi air daan udara, kemampuan manusia untuk beradaptasi dan belajar dari kreasi.Namun keserakan, dan sikap eksplitasi, konsumerisme, dan factor lainnya telah membahayakan tatatan ciptaan yang berlimpah dari Allah untuk ciptaanNya. [53]

Keempat, Janji penciptaan Allah untuk mengamankan keteraturan alam dan bukti kesetiaanNya. Allah berjanji untuk mememlihara tatatan seluruh ciptaanNya (Kej 8:22; Yer 33:20-21). Sementara manusia berkontribusi untuk merusak ciptaaNya. Allah mememelihara atmosfir bumi pada tatatan yang kondusif untuk kehidupan, disaat matahari bersinar disaring oleh lapisan ozon. Namun akibat ulah manusia lapisan ozon semakin menipis disebabkan oleh sebagian besar diakibatkan oleh bahan kimia yanag dikenal sebagai Cloroflurocarbons (CFC) yang sebahagian besar di pergunakan oleh Negara-negera maju. Diperkirakan penurunan lapisan ozon sekitar sepuluh persen menjadi pemicu meningkatkan empat puluh persen penyakit kanker kulit, dan juga berdampak buruk pada tanaman.[54]

 

3.3. Mandat Eskatologis dan Ekologis dalam Membangun Relasi yang Harmoni

           

Hal menarik dalam hubungan eskatologi dan ekologis adalah memahami esensi eskatologi dan ekologi dalam iman Kristen. Sehubungan dengan itu ada beberapa hal point penting dalam makna eskatologi dan ekologi dalam membangun relasi yang harmoni, yakni:

Pertama, Mandat mengembalan ciptaan: Kejadian 1:28 menegaskan berkat Allah kepada manusia dimana Allah memberi kemampuan untuk berkomunikasi dengan mahlk ciptaan lainnya. Berkat itu terungkaa dalam kata kerja “menaklukkan” (Ibr: Kabbsy) dan “berkuasa” (Ibr: raddah). Dalam Konteks berkat kata kabbsy diartikan “mengolah” atau mengusahakan dan memelihara (bnd. Kej 2:15). Kata kerja raddah diartikan sebagai “mengurus dengan baik”. Sebab secara etimologis kata kerja raddah bukan Yl 4:13, melainkan kata dalam basha Akkad, redu(m) yang artinya “mendampingi”, sehingga dalam konteks berkat (Kej 1:28a), kata raddah harus dipahami sebagai perintah untuk menggembalakan mahluk ciptaan lainnya. Jadi makna kata kerja kabbasy dan raddah menegaskan tanggungjawab manusia sebagai gambar Allah adalah wakil Allah untuk mengurus ciptaan lainnya di bumi. Kuasa yang diberikan Allah kepada manusia harus dipahami bukan untuk bertindak semenamena, melainkan upaya untuk mengolah tanah guna memperoleh makanan. Makna kata kabbsy adalah hak yang diberikan kepada manusia untuk mengolah bumi dan bukan pemilinya. Selanjutnya makna kata raddah adalah hak yang diberikan kepada man usia untuk menjaga dan memlihara bumi. Manusa tidak diberi kuasa untuk mengubah dan menghancurkan alam, melaikan diberi kuasa untuk “menemani” dan “menggembalakan” mahluk ciptaan lainnya. Dalam pemahan tersebutlah manusia disebut sebagai wakil Allah untuk mengatur kehidupan yang harmoni dan suasana damai. Dengan demikian Kej 1:28 bukanlah hak untuk mengeksploitasi alam tanpa batas, melainkan kepedulian manusia terhadap kelestarian ekologis. Selurup ciptaan Allah adalah suatu komunitas yang memiliki hubungan timbal balik satu dengan yang lainnya dan semua bagian itu masing-masing mengikuti tujuan yang telah ditentukan oleh Allah.[55] Jadi dalam pengaharapan eskatologis, manusia harus memahami bahwa Allahlah pemilik seluruh ciptaanNya (ekologi) dan manusi hendaknya memperlakukan alam ciptaanNya sebagaimana Allah menata ciptaanNya dengan amat baik.

Kedua, mandat glorify and worship” memulikan dan menyembah Allah. “Mereka akan menjadi umat-Ku, dan aku akan menjadi Allah mereka (bnd. Kel 6:6-7; Yeh 1:19-20). Proklamasi perjanjian Allah sebagai dasar pembentukan komunitas eskatologis. Bahwa Allah akan menjadi Allah Israel baru, komunitas eskatologis. Persekutuan tidak terbatas pada komunitas orang percaya, tetapi persekutuan juga berbicara relasi vertikal dengan Allah, sebagai Pribadi teragung yang selayaknya mendapat pujian hormat dan kemuliaan dari komunitas tebusan-Nya. Sebagai komunitas yang didirikan Allah, maka komunitas eskatologis memiliki mandat yaitu penyembahan (worship) kepada Allah. Bloesch, menjelaskan bahwa komunitas eskatologis bukan hanya sebatas produk anugerah tetapi juga a celebrant of grace (sebuah perayaan anugerah)”. Amanat eksistensi gereja adalah penyembahan kepada Allah dalam kuasa anugerah-Nya. Bahkan ibadah penyembahan komunitas menjadi “ komunitas yang menjaga dan memelihara”.[56] Dalam hal inilah dipahami ibadah yang memiliki pengahapan eskatolgis memiliki implikasi dalam tanggungjwab ekologis.

Kedua, mandatrelasi horizontal” hidup saling mengasihi sesama manusia. Relasi komunitas eskatologis dengan sesama terikat dalam gambaran dan keserupaan sebagai ciptaan Allah, Yesus Kristus adalah kepala dari komunitas eskatologis, dan komunitas disebut sebagai tubuh Yesus Kristus. Prinsip hubungan komunitas eskatologis dengan sesama manusia adalah ke-Raja-an Kristus Yesus. Komunitas eskatologis memperoleh anuherah(gratiae) untuk memahami ke-Raja-an ini, tetapi nonkomunitas eskatologis tidak mendapatkan gratiae untuk mengetahui Raja diatas segala raja. Anugerah Allah membukakan selubung yang menutupi mata dan kepala untuk memiliki anugerah melihat yang sejati, tanpa anugerah selubung itu akan tetap membungkus kepala dan menutupi mata, sehingga dibutakan untuk melihat dan menjumpai takhta Sang Raja abadi. Mandat mengasihi sesama, karena setiap orang memiliki gambar dan rupa Allah sebagai ciptaan-Nya; tetapi juga sesungguhnya setiap orang memiliki Raja alam semesta yang sama, karena hanya satu pribadi saja yang menerima kuasa di bumi dan di surga (regnum potentiae), yaitu Yesus Kristus Sang Raja. [57]

Ketiga, mandat penatalayan” untuk memelihara dan mengelola dunia. Dalam hubungan dengan dunia, teologi reformed sangat menjaga keseimbangan dan tidak menitiberatkan pada salah satu sehingga mengabaikan dan mengorbankan yang lain. Memisahkan diri dari dunia adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan, karena komunitas eskatologis memiliki kewajiban menjadi ragi bagi masyarakat dan seluruh ciptaan.[58] Mandat budaya yang diterima manusia adalah kewajiban umat manusia untuk mengembangkan bahan mentah dunia yang terdapat di alam dan dalam manusia sendiri, untuk memperlihatkan potensi besar yang terkandung dalam dunia ciptaan, yang telah ditanamkan Sang Pencipta dan membuatnya berguna bagi manusia sesuai dengan maksud Allah. Tanggjawab kekristenan adalah pengembangan maandat budaya (kultural).[59] Budaya tidak sebatas pada adat istiadat, tetapi lebih luas dari hal itu, yaitu peradaban (civilization) umat manusia. Penebusan komunitas eskatologis dalam karya Roh Kudus telah menjadikannya sebagai ciptaan baru, sebagai komunitas yang beradab yang di bawah terang Roh Kudus hidup untuk memperadabkan peradaban manusia.

 Mandat “cultural” secara teologis adalah, bagaimana manusia secara kreatif menggunakan apa yang telah Tuhan karuniakan dan menggunakannya untuk kemuliaanNya. Konsep budaya adalah prinsip penting dan tujuan awal Allah bagi manusia (bnd. Kej 2:15). Kata “mengusahakan” artinya “membajak” atau mengolah tanah” dalam bahasa Latin disebut “cultura” (Kultur, budaya). Disinilah peran manusia dalam ciptaan Tuhan untuk “mengusahakan” (peran nabi), “memelihara” (peran Imam), menaklukkan (peran raja). Setiap orang Kristen terpanggilan menjadi Nabi, Imam dan Raja. Jadi tugas mandat “memelihara dan mengelola bumi adalah bagaimana kita membawa “budaya” seluruh ciptaan untuk memuliakan Allah.[60]

Dengan demikian adal beberapa hal yang penting untuk membangun relasional yakni:

Pertama, Menghidupkan relasi vertikal dengan Pencipta. Hakikat perjanjian-Nya Allah telah menetapkan relasi antara Allah dan umat-Nya, bahwa Ia akan menjadi Allah, dan bangsa-Nya akan menjadi umat-Nya. Umat perjanjian yang ditebus dalam karya salib dan disucikan oleh Roh Kudus. Aspek relasi vertikal mempertunjukkan keagungan Allah Sang Pencipta dan Sang Penebus, yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan apapun (Rm.8). Relasi vertikal ini tidak dapat begitu saja berdiri, hanya antara individu dan Allah; tetapi individu terikat dengan individu lainnya sebagai satu anggota tubuh dan Kristus sebagai Kepala. Persekutuan organis yang menempatkan relasi dan tanggung jawab individu sekaligus relasi dan tanggung jawab komunitas. Fokus pada komunitas merupakan karakteristik dari penyembahan (worship) reformed. Menegaskan bahwa worship tidak hanya sebatas tanggung jawab pribadi tetapi sebagai kesatuan umat.[61] Karena penyembahan komunitas dilihat sebagai satu keutuhan yang dapat menjadi tanda bagi dunia.[62]

Kedua, Membangun relasi horizontal dengan sesama dan ciptaan. Eksistesi umat yang telah dibusan Kristus menerima pemulihan dan menjadi ciptaan baru, orang percaya ditempatkan dalam komunitas eskatologis, sebagai bagian dari komunitas tubuh Kristus. Di dalam pengalaman komunitas ini, orang percaya diberi kesempatan untuk mampu hidup berbagi, saling mengasihi dan saling membangun, yang kemudian bersama anggota komunitas lainnya bergerak keluar menjadi garam dan terang bagi ciptaan lainnya. Penyelamatan tidak bermaksud untuk menjadikan eksklusif, isolatif dan egois, tetapi untuk mampu hidup bersama. John de Witt, dengan keras mengatakansebagai “it is a very prostitution of biblical”.[63]

Manusia adalah mahluk relasional, sebab manusia tidak bisa hidup secara personal saja. Sejak manusia diciptakan relasi dengan sesama dan ciptaan adalah relasi esensial. Adam memiliki sesamanya, yaitu hawa untuk dikasihi dan menjadi penolong; lalu mereka diberi tanggung jawab horizontal untuk memelihara dan mengelola karya ciptaan Allah lainnya. Maka, kewajiban gereja sebagai komunitas eskatologis untuk mengajarkan tentang martabat manusia sebagai ciptaan dan tanggung jawab kepada dunia ini. Artinya tidak diperkenankan untuk menyurutkan bagian kemanusiaan dan tanggung jawab sebagai penatalayan atas dunia ciptaan Allah.[64]

 

IV. Perspektif Baru membangun teologi Eskatologi dan Ekologi

 

4.1. Konsep teologis Flesh sebagai dasar Relasi Eskatologi dan Ekologi

 

Konsep imago mundi adalah istilah yang dicetuskan Jϋrgen Moltmann. Istilah tersebut menjelaskan bahwa manusia adalah gambar dari dunia yang berdiri sebelum Allah sebagai representasi dari seluruh ciptaan.[65] Namun konsep ini masih bersifat antroposentris karena masih menekankan keunggulan dari manusia dari ciptaan lainnya. Kemudian, Denis Edwards, David S. Cunningham, Wendy Farley, Merleau-Ponty, dan Richard Kearney memperkenalkan konsep baru membangun relasi baru dalam istilah flesh. Hakikat Istilah tersebut bertitik tolak dari peristiwa inkarnasi atau peristiwa Yesus dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya, bukan hanya pada permulaan kehidupan Yesus dalam dunia.[66] Selanjutnya Ponty menjelaskan bahwa flesh bukan materi, pikiran, maupun substansi. Ia merupakan the spatio-temporal individual and the idea, a sort of incarnate principle that brings a style of Being wherever there is a fragment of Being.[67] Flesh adalah “elemen”[68] dari suatu eksistensi yang melekat di dalam tubuh. Selanjutnya Cunningham mengatakan bahwa istilah tersebut mencakup seluruh makhluk hidup.[69] Lebih dalam Edwards menjelaskan bahwa istilah flesh melibatkan seluruh sejarah evolusi kehidupan di planet bumi ini,[70] suatu istilah yang mencakup semua hubungan ekologis. Relasi fles itu diibaratkan seperti metafora hubungan perkawinan (Kej 2:24), dimana seorang Pria dan wanita menyatu dalam hubungan intim satu dengan yang lain, kesatuan dalam daging berarti melebihi sisi fisik sebagai medium yang didalamnya meliputi kesatuan seluruh emosi, kerinduan, kegembiraan yang terekspresi sebagai sukacita kepada Allah yang hidup (bnd Maz 84).[71] Dengan demikian inkarasi Kristus dalam eksistesinya adalah medium untuk membangun hubungan eskatologi dan ekologi yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Teologi Flesh melihat bagaimana perwujudan dan budaya membentuk cara kita berpikir tentang kebenaran, moralitas dan Tuhan.[72] Teologi Fles memahami eksistensi manusia dalam dua esensi, material dan immaterial. Material adalah terdiri dari tubuh/raga, sedangkan immaterial terdiri dari berbagai:Roh, Jiwa, Hati Nurani, pikiran, batin.[73] Sebagaiman ikatan dan kesatuan antar tubuh dan roh, demikian juga manusia memahami hubungannya dengan alam. Cara manusia berpikir sangat menetukan bagaimana cara manusia bersikap dan meiliki moral yang bertangungjawab. Mengubah perilaku manusia terhadap pandangan terhadap alam akan mebangun sikap dan tinakan yang baik pula. Iman akan membatu manusia untuk membangun sikap hidup terhadap alam, dan menjauhkan sikap mengeksploitasi dan menguasai sebagai keinginan daging yang merusak hubungan.

Secara teologis istilah flesh menggambarkan kehadiran nyata Allah dalam dunia, karena dalam peristiwa inkarnasi, Sang Firman telah menjadi flesh (Bnd.Yoh 1:1-2). Allah yang berinkarnasi dalam dunia adalah sungguh-sungguh Allah yang kodrati.[74] Kearney menjelaskan peristiwa inkarnasi Allah adalah bentuk kehendak Allah untuk menyatakan diri-Nya. Allah, Sang Pencinta masuk dalam dunia karena Ia jatuh cinta kepada ciptaan yang dicintai-Nya. Kehendak yang ilahi tersebut menjelma dan merangkul semua ciptaan serta mempersatukan mereka dalam satu persekutuan. Allah adalah Allah yang penuh cinta, yang melibatkan diri-Nya dalam seluruh aktivitas dan sejarah manusia.[75] Allah yang menyejarah itu adalah Allah yang dinubuatkan dalam pengharapan eskatologi PL. Itulah pengharapan Mesianis yang digenapi dalam Inkarnasi Allah di dalam Kristus.

 

Inkarnasi Yesus adalah perwujudan sebagai gambar sempurna Allah mengambil bentuk yang konkret dalam flesh. Yesus memilih jalan untuk menjadi flesh agar ciptaan-Nya memasuki suatu relasi dan kehidupan yang baru. Ia tinggal dalam kita, bahkan dalam sisi gelap dari kehidupan kita. Peristiwa inkarnasi memulihkan semua luka, ketidakberdayaan, dan menyatukan Allah divinitas  yang melampaui “ada” dengan ciptaan. Peristiwa inkarnasi menunjukkan perhatian Allah dalam membangun hubungan yang berkesinambungan kepada semua flesh, tanpa terkecuali. Keilahian yang ada dalam flesh menghadirkan Allah atau dalam istilah Ponty a God, yang berada di bawah kita daripada Allah yang melampaui kita.[76] Harus dipahami, ketika Allah menjadi flesh, Ia tidak dapat dikategori dalam konsep melampaui atau di bawah ciptaan, justru Ia menyatu dalam ciptaan dan seluruh ciptaan ada di dalam Dia. Ia menjadi rahim dari seluruh ciptaan dan Roh Kudus mengelilingi persekutuan tersebut dan mengikatnya dalam cinta solidaritas, cinta yang membebaskan, saling mendukung, dan saling menghargai, sehingga semua anggota persekutuan tersebut diberi ruang untuk menunjukkan keaslian diri dan bertransformasi dari setiap penderitaan yang mereka alami. Peristiwa inkarnasi merangkul semua ciptaan dalam rangkulan yang transformatif dan mengikutsertakan semua ciptaan untuk berelasi dengan Allah. Dalam tulisan Joas Adiprasetya, relasi Allah dan ciptaan dijelaskan dalam istilah reality-perichoresis, yakni seluruh ciptaan berpartisipasi dalam ketritunggalan Allah melalui Yesus.[77] Dari uraian diatas maka ada beberapa pokok penting dalam konsep fles untuk membangun hubungan ekatologi dan ekologi, yakni:

Pertama: Istilah flesh mengungkapkan cinta dan partisipasi Allah dalam dunia yang merupakan hakikat dari Allah sendiri. Allah sebagai pengharapan eskatologis adalah Allah memelihara seluruh ciptaanNya.

Kedua: Istilah flesh menjadi jembatan dari relasi antara keberadaan Allah yang tidak terlihat dan keberadaan ciptaan yang terlihat. Pengaharapan eskatologi (masak akhir, masa akan datang) yang bersifat futuris harus disikapi dalam iman dalam tanggungjawab ekologis sebagai dimensi eskatologis yang presentris. Disinilah dijembatani pengharapan eskatologis yang tidak terlihat dalam kasat mata dengan dimensi ekologi yang terlihat.

Ketiga: Istilah flesh mengungkapkan hasrat/kerinduan Allah untuk “menjelma” dalam ciptaan-Nya dan istilah flesh mengungkapkan persekutuan antar ciptaan yang dilingkupi oleh Roh Allah, serta menjadi bukti Allah ada untuk kita, Allah tinggal di dalam kita, dan Allah ada di atas kita. Iman Kristen tradisional dan teologi tradisional menjelaskan bahwa keselamatan bagi seluruh ciptaan(ekologis) dalam peristiwa sabda menjadi flesh adalah hasil dari peran tunggal Allah. Setelah Yesus hadir dalam drama keselamatan tersebut, fokus dari iman dan teologi terarah kepadanya. Yesus adalah mediator antara Allah dan kemanusiaan. Drama keselamatan pada akhirnya diperankan oleh Allah dan Yesus.[78]

4.2. Perpektif Baru Konsep Imago Dei dasar hubungan eskatologi dan ekologi

Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurutgambar Allah. Analogi gambar Allah memiliki esensi dan makna dalam eksistensi manusia. Dalam hal ini ada beberapa hal yanag perlu dimaknai tentang arti manusia sebagai gambar Allah dari sudut antropologi teologis:

1.      Hakikat Manusia diciptakan menurut gambar Allah, artinya manusia itu mahluk sosial yang berasal dari Allah. Di dalam kejadian 1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, kata menjadikan dalam ayat tersebut berasal dari bahasa Ibrani asah artinya menjadikan” atau “membuat dengan memakai bahan. Kata  tersebut  berbicara  mengenai  tubuh  manusia  yang diciptakan  oleh  Allah  dengan menggunakan bahan yaitu debu tanah, ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah (Kej. 2:7a) dan kata  barayang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan,[79]  kata tersebut mengacu kepada jiwa manusia yang diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7b). Kata berikut ialah yatsar yang berarti “membentuk, bukan bertumbuh dan bertambah-tambah (Kej. 2:7). Cerita Kitab Kejadian tentang penciptaan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup dari segenap karya ciptaan Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk. Manusia adalah gambar Allah sangat jelas dalam ungkapan Yesus di Perjanjian Baru (2 Kor 4:4, Kol 1:15; bnd Ibr 1:3) dan akan menjadi baru dalam Kristus (Rm 8:29). Pandangan Ireneus tentang gambar (Ibr tselem) yang berarti akal manusia dan moral sedangkan rupa (demut) diartikan sebagai sama dengan aslinya. Tetapi gambar Allah telah rusak akibat dosa dan akan dipulihkan Allah melalui Yesus Kristus yang adalah gambar Allah yang sempurna. Sebagai seorang Kristen harus mempercayai bahwa di dalam penciptaan manusia ada keterlibatan Allah.[80]

2.      Manusia pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling spesial, sebab Allah menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk manusia itu dengan memakai tangan Allah sendiri (Kej.2:7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Tidak sama halnya dengan penciptaan makhluk lainnya, Allah menciptakan makhluk lainnya hanya dengan berfirman tanpa Allah membentuk langsung.

3.      Manusia adalah Gambar Allah artinya menyatakan tentang Kepribadian. Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia mengambil  bagian  dari  penggambaran  Allah.  Rupa  menitikberatkan  kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil  penguasa.  Dengan  demikian,  kekuasaan  manusia mencerminkan kekuasaan  Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia. Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab di  hadapan Allah, yang  pantas mencerminkan  Penciptanya dalam pekerjaan yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka. Tubuh  manusia  dianggap  sebagai sarana  yang  tepat  untuk  kehidupan  rohani.  Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mzr. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju akhir hidupnya.[81]

4.      Manusia adalah Gambar Allah  menekankan tentang fungsi dan Tanggung Jawab.[82] Manusia sebagai gambar Allah mengisyaratkan bahwa manusia adalah refresentasi dari Allah di duni ini. Von Rad, menyatakan bahwa dalam kontek Timur Dekat kuno, tselem- gambar” dapat dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran seorang penguasa. Raja yang memiliki kekuasaan di luar daerahnya, dapat diwakili oleh patung dirinya sebagai representasi kehadirannya di daerah itu. Berdasarkan analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara negatif menyangkal manusia sama dengan Allah.  Gambar Allah bukanlah  serupa dengan Allah.  Sehebat apapun manusia, ia tetap bukan Allah dan hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari debu tanah (Kej. 2:7) dan kembali kepada debu (Kej. 3:7). Manusia harus menyadari bahwa ia adalah mahluk yang diciptakan Allah, bukan sama dengana penciptaNya.  Meski manusia disebut gambar Allah, manusia bukan untuk dipuji dan disembah, melainkan manusia diperintahkan Allah untuk memelihara seluruh ciptaanNya dalam tanggungjawab sebagai gambar Allah. Oleh sebab itu, Gambar Allah bersifat fungsional, dimana manusia ditempatkan di bumi untuk menunjukkan kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan berkuasa atas bumi (Kej. 28). Manusia memiliki relasi yang istimewa dengan Allah, penguasa bumi sebenarnya, berkenaan dengan kewajibannya mewakili Yang Mahakuasa untuk menguasai alam.  Menguasai alam memiliki pemahaman hidup harmoni dengan alam sebelum Kejatuhan dan belum ada unsur keserakahan manusia untuk menguras alam (Kej. 1-2). Menguasai alam juga berarti mempelajari hukum-hukumnya, menyelidikinya, mengeksporasinya.  Ini  bukanlah  pekerjaan  yang  ringan,  sehingga  diperlukan keseriuasan dan kekuatan manusia. Manusia menjalankan kekuasaannya tetapi terbatas pada  yang  didapat  dari  Penciptanya  dan  semua  usaha  harus  mendatangkan kesejahteraan bagi semua orang bukan hanya segelintir orang saja.  Tanggungjawab manusia untuk menjaga dan memelihara ciptaan Tuhan adalah misi untuk membangun kehidupan yang harmoni bukan hanya untuk mengeksploitasi. Manusia adalah gambar Allah, hal itu dinyatakan dalam Kejadian 1:26-27, Allah menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, yang berarti mereka berkuasa dalam arti memelihara ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki- laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Manusia yang fana tidak memiliki kekuatan tanpa campur tangan Allah. Manusia mengatur kehidupannya sesuai kehendak Allah.

5.      Gambar  Allah  menyatakan  manusia  merepresetasikan  sifat  Allah .  Manusia menggambarkan Allah sesuai dengan sifat manusia dalam setiap pembicaraan tentang kehendak Allah atas kehidupan manusia, Allah menjadi manusia dalam Yesus Kristus semakin memperjelas bahwa Allah solider dengan kehidupan manusia yang makin sarat dengan kekerasan sehingga Allah memulihkan kembali kemanusiaan manusia yang telah hilang, dengan mengembalikan fungsi agama sebagai wadah membentuk etika dan moral manusia yang disertai dengan kerjasama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Gambar Allah pada diri manusia adalah sifat yang dimiliki oleh manusia, cerminan sifat Allah yang tritunggal itu dalam diri manusia yakni ingatan, akal budi dan kasih.

Sebaga Imogo Dei, manusia harus memahami bagaimana mengimani Allah sekaligus menghormati-Nya yang hidup dalam alam ciptaan yang kaya raya baik di atas bumi maupun yang ada di bawah bumi. Pandangan manusia tentang alam, tentang bumi dan segala isinya perlu dibedah kembali dan diubah. Demikian pula relasi dengan bumi harus diubah. Dari cara pandang bahwa bumi hanya sebatas sumber kekayaan (pola mekanistik pasca-masa pencerahan) kepada pandangan bumi pertiwi - ibundaku – jejaring rekan-rekan ciptaan.[83]

Secara historis, sejak abad ke-15, tanah tidak lagi dilihat sebagai ibu pertiwi yang harus dihormati, melainkan sebagai sumber kekayaan yang dapat diolah demi kepentingan manusia laki-laki, terutama golongan yang berpengetahuan dan bermodal.[84] Tanah di pandang perlu ditundukkan, diatur dan dieksploitasi sesuai kebutuhan peradaban. Hierarki tubuh atas tanah menegaskan bahwa manusia, sekarang, menjadi pusat wacana bagi ekosistem. Tubuh yang seharusnya hidup dalam harmoni dengan alam berubah menjadi perkakas bagi ego.[85]  Kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan bencana adalah bukti bahwa tubuh hanya dipahami sebagai perkakas bagi ego.

Dalam kekristenan, persoalan istilah dapat ditemukan dalam penafsiran terhadap konsep imago Dei. Konsep imago Dei dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditafsirkan secara berbeda. Dalam Perjanjian Lama, konsep imago Dei didasarkan pada teks Kejadian 1:26-28. Melalui teks tersebut, penafsir tradisional menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan, karena hanya manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Penafsiran yang antroposentris itu merupakan doktrin Kristen yang diajarkan dan dipahami oleh umat Kristen.

Dalam Perjanjian Baru, imago Dei atau frase gambar Allah justru dikenakan pada Yesus. Yesus menjadi yang sulung dari segala ciptaan (Kol. 1:15), sehingga imago Dei tidak menunjuk pada manusia, melainkan pada Yesus. Yesus memang merupakan manifestasi dari Allah Bapa, namun tidak ada ciptaan yang tidak diciptakan serupa dengan Allah. Dua cara pandang tersebut membawa implikasi yang berbeda terhadap hubungan antara Allah, manusia, dan ciptaan. Disatu sisi, konsep imago Dei menjadi legitimasi dari dominasi manusia yang tidak terbatas terhadap ciptaan lain, tanah dan binatang (Kej. 1:26-28). Dominasi tersebut menghadirkan penderitaan. Pada sisi yang lain, konsep imago dei justru menempatkan semua ciptaan pada tingkatan yang sama, karena semua ciptaan memiliki jejak Allah dalam dirinya.[86]

Istilah teologis imago Dei diterapkan secara unik kepada manusia, yang menujukkan hubungan simbolis antara Tuhan dan manusia (Bnd. Kej 1:27). Teks tersebut bukan berarti menegaskan bahwa Tuhan ada dalam wujud manusia, melainkan sebaliknya, bahwa manusia ada dal;am citra Allah dalam sifat mora, spiritual dan intelektual. Jadi manusia mencermionkan keilahian Tuhan dalam kemampuan mereka untuk mengaktualisasikan kualitas unik yang telah mereka miliki dan yang membedakan dengan mahluk lain. Jadi makna Imado dei itu adalh aktualisasi Tuhan sendiri melalui manusia dan pemeliharaan Tuhan atas manusia. Implikasi moral dari doktrin Ima Dei adalah jika manusia ingin mencintai Tuhan, maka manusia harus mencintai manusia lain.[87] Dalam narasi teologi penciptaan pada awalnya “rumah kita di alam semesta”. Narasi Kej 1 menekankan dua hal “pencipta dan ciptaan”, meskipun puncak penciptaan adalah manusia namun manusia tidak terpisahkan dari ciptaan lainnya (Kej 1:11, 20,24). Ini berarti bahwa narasi penciptaan menegaskan keragaman besar diantara mahluk hidup. Meski manusia diciptakan dari jenis berbeda dari ciptaan lainnya, namun bukan menunjukkan tirani dan eksploitasi. Dalam Kej 2:4-25, menunjukkan bahwa manusia harus mengikuti teladan Allah dan penataan bumi (Kej 2:8,15).[88]

Persoalan istilah dalam konsep imago Dei harus dituntaskan. Jürgen Habermas mengusulkan proses menafsirkan ulang istilah adalah salah satu solusi menyelesaikan persoalan tersebut. Sehubungan dengan itu, Habermas mengatakan bahwa menafsirkan ulang (membahasakan) berarti menyadarkan, membahasakan penderitaan di dalam sebuah masyarakat merupakan awal dari pembebasan umat manusia dari perpektif yang salah[89] Konsep imago Dei dengan penafsiran yang salah telah menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu konsep yang baru untuk menggambarkan relasi antara Allah dan ciptaan serta relasi antar ciptaan.

Sebagaimana halnya “Tubuh dan tanah” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam proses kehidupan. Keduanya melambangkan keterhubungan yang lekat. Keterhubungan dan ketidakmampuan untuk terpisah menjadi penanda bahwa tidak ada hierarki antara tanah dan tubuh. Tanah melahirkan segala makanan melalui tumbuhan dan mengandung air untuk tubuh, demikian juga, tubuh-tubuh bangkai yang memberikan gizi kesuburan pada tanah setelah kematian. [90] Hubungan yang seharusnya setara antara tubuh dan tanah lenyap ketika manusia membangun hierarki tubuh atas tanah. Konsep tersebut bersandar pada asumsi Aristoteles mengenai aturan alam yang memberi tempat khusus bagi manusia dalam ciptaan[91]

Persoalan hierarki antara tubuh dan tanah adalah persoalan bahasa (istilaha). Perubahan sikap terhadap ciptaan lain, tanah dan binatang, hanya dapat terjadi jika persoalan bahasa terselesaikan. Persoalan konsep yang salah akan berdampak pada penderitaan. Menurut Wittgenstein, ketika bahasa menjadi terlalu dominan, ia menjadi tameng perlindungan bagi manusia untuk menyembunyikan diri dari kewajiban bertanggung jawab sebagai subjek.[92] Hubugan eskatologi dan ekologi dpat diibaratakan seperti “Tubuh dan tanah, dua yang tidak dapat dipisahkan lam iman Kristen.

 

4.3. Model Ekoloteologi Dalam Relasi Eskatologis

 

Yang dijadikan patokan untuk membaca sikap tradisi Yahudi terhadap alam adalah Kitab Kejadian pasal 1 ayat 28. Ayat tersebut dilihat sangat antroposentris oleh para pakar. Ayat tersebut sebagai berikut, “Allah memberkati mereka (Adam dan Hawa); lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah Posisi Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari ciptaanNya inilah yang dipandang oleh beberapa teolog sebagai akar dari krisis ekologi. Beberapa teolog yang dimaksud adalah Emil Brunner, Lynn White dan Harvey Cox. White dan Cox adalah pemikir besar dalam dunia eko-teologi, ilmu yang dikembangkan untuk melihat hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, yang memandang pemisahan antara Pencipta dan ciptaanNya sebagai akar krisis ekologi. Untuk menjawab model penafsiran Brunner, White, dan Cox terhadap kisah penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2, berkembang berbagai model tafsiran eko-teologi yang lain. Beberapa model eko-teologi yang akan dibahas di sini adalah model imago dei, model organis, panenteisme, teologi kenosis, dan teologi Roh Kudus. Kelima model ini berisi usaha untuk menjelaskan bahwa Alkitab dan ajaran gereja sesungguhnya memuat pesan penting  bagi manusia untuk melindungi lingkungan hidup[93].

Secara  garis  besar,  akar  masalah  ekologis  disebabkan  manusia melupakan dimensi teosentris ketika berelasi dengan alam dan penekanan antroposentris yang terlalu agresif. Manusia sebagai pusat merupakan hasil antroposentrisme, sehingga menganggap  dirinya terpisah dari alam. Dengan bersifat eksklusif, mengsubordinat, dan dominatif, manusia bergerak dari distingsi menuju ke distansi dan kemudian dualisme. Pembedaan antara manusia dan yang bukan manusia menjadi jarak antara manusia dan yang bukan manusia. Gerak ini selanjutnya menuju pemisahan antara manusia dengan yang nonmanusia. Pemisahan yang bersifat subjek objek dan disokong oleh keserakahan ini telah menghasilkan eksploitasi.[94]

John Stott, seorang eko-teolog, menjelaskan bahwa keberadaan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau imago dei adalah dasar sikap perlindungan manusia terhadap lingkungan hidup. Manusia sebagai imago dei memiliki tiga makna yaitu hubungan, komunitas, dan tugas khusus.[95] Pertama, manusia sebagai imago dei memiliki hubungan yang intim dengan Allah yang berdampak pada sikap membawa damai kepada ciptaan Allah yang lain. Kedua, Allah sejak penciptaan memandang seluruh ciptaanNya sebagai bagian dari sebuah komunitas yang saling menopang satu dengan yang lainnya. Ketiga, manusia sebagai imago dei diberikan kuasa untuk ‘menaklukkan(Ibrani: Kabbas) dan berkuasa’ (Ibrani: Raddah) yang ditafsirkan oleh Stott sebagai tangggung jawab untuk “mengolah/mengusahakan, menjaga/merawat taman Allah, dan memberi nama kepada ciptaan Allah yang lain. Model ekoteologi imago dei yang dikembangkan oleh Stott ini jelas menekankan pada manusia sebagai yang lebih istimewa dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain walaupun juga menaruh perhatian kepada tanggung jawab manusia untuk memelihara ciptaan Allah yang lain.[96]

Model yang kedua adalah model ekoteologi organis.[97] Di dalam model organis, Allah tidak dilihat sebagai Allah yang di atas manusia tetapi sebaliknya Allah dilihat sebagai bagian dari kehidupan ciptaan. Pemahaman organis menunjuk kepada ciri khas organisme yang saling terhubung, membutuhkan, dan menopang satu dengan yang lain. Hubungan  antara Allah selaku Pencipta dengan ciptaanNya bukanlah hubungan atas-bawah melainkan hubungan saling membutuhkan.

Model ketiga adalah Ekoteologi panenteisme. Dalam panteisme Allah tidak dibedakan dari ciptaan, sedangkan dalam penenteisme Allah berbeda dengan ciptaan walaupun tetap memiliki hubungan dekat dengan ciptaanNya.[98] McDaniel memahami kisah penciptaan sebagai sebuah “simfoni yang tak pernah selesai: yang dimainkan oleh orkes dengan banyak pemain yang kreatif yang dikoordinasikan oleh Allah sebagai pemimpin orkes simponi yang terus menerus merayu mereka kepada kreativitas yang baru dan menghasilkan suatu kerukunan di dalam perbedaan-perbedaan”.[99] Model ini mengakui bahwa ciptaan mewakili keindahan Penciptanya dan seluruh ciptaan dipanggil untuk hidup harmonis bersama dengan Penciptanya.

Model keempat adalah ekoteologi kenosis. Model ini menekankan Allah telah berinkarnasi dan menjadi bagian dari dunia di dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatu dengan dunia. Oleh karena itu, Allah dan dunia adalah kesatuan. Artinya ciptaan harus melihat dunia sebagai bagian dari tubuh Allah, walaupun Allah tidak bisa dibatasi hanya dalam dunia saja tetapi Allah dapat diidentifikasi lewat ciptaanNya.[100] Model kelima adalah model ekoteologi parekletos: menekankan peran dari Roh Kudus.[101] Roh Kudus berfungsi di dalam dunia sebagai yang menyertai ciptaan dan merangkul ciptaan menuju sebuah  kesinambungan. Roh Kudus menderita bersama ciptaan yang menderita dan memberi kekuatan kepada ciptaan. Menurut Edwards, Roh Kudus memainkan peran penting karena di dalam roh, segala makhluk adalah bagian dari kita, dan kita bagian dari mereka, bersama-sama dihidupkan oleh satu Roh yang merangkum semua”. Roh menyatukan ciptaan dengan penciptaNya dalam persekutuan yang saling memelihara.

Dari kelima model ekoteologi ditas memiliki dua ciri yang relatif sama yaitu: pertama, manusia bukan pusat dari ciptaan. Manusia sebagai imago dei Allah bukan menekankan hirarki keistimewaan manusia, melainkan menekankan fungsi manusia menjalankan peran memuliakan Allah lewat hidup yang harmonis dengan ciptaan lain sebagai satu keutuhan ciptaan. Manusia bertanggungjawab kepada Allah dalam memelihara ciptaanNya. Kedua, keutuhan antara Pencipta dan ciptaan. Dalam perpectif ekoteologi penafsiran narasi penciptaan (Kej 1 & 2),inkarnasi Yesus Kristus, dan peran Roh Kudus, masing-masing menekankan Allah sebagai Pencipta tidak terpisah dari ciptaanNya. Allah hadir di tengah-tengah ciptaanNya lewat inkarnasi Yesus dan menyatu dengan ciptaanNya. Allah menuntun ciptaanNya lewat Roh Kudus dan bergumul bersama dengan mereka. Allah menderita bersama ciptaanNya dan menguatkan seluruh ciptaanNya untuk menuju kepada pemulihan.[102] Konsep manusia sebagai imago Dei ini hendaknya tidaklah diterjemahkan dalam paradigma antroposentris, tetapi dalam paradigma kosmosentris. Dasar biblis yang digunakan penulis dalam memahami manusia sebagai imago Deiini ialah kitab Kejadian 1: 26-29. Term imago mengandung nuansa relasi. Term ini berasal dari perundangan di Timur Tengah yang mengindikasikan hegemoni penguasa alam semesta.[103] Dalam Kitab Kejadian, term ini kemudian tidak hanya menggambarkan relasi manusia dengan Tuhan tetapi juga relasi manusia dengan alam. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah mempunyai pengertian yang amat luas, yang tidak hanya dimengerti secara individualistis tetapi juga secara sosial dan kosmis.[104] Revitalisasi ekoloteologi hendaknya meyakini dan menerima ciptaan sebagai bagian dari karya Allah tanpa membatasi karya Allah hanya di dalam ciptaanNya saja. Allah lebih besar dari ciptaanNya, tetapi lewat ciptaanNya kita dapat melihat gambar Allah.

Visi ekologis dalam pandangan tradisi Yudaisme sejatinya tidaklah bersifat antroposentris semata. Secara historis penafsiran orang Yahudi mengenai ayat tersebut mengalami pengembangan dan penyusutan. Ini bisa dilihat bahwa krisis ekologis yang dimaksudkan dalam perbincangan sekarang adalah fenomena khas yang muncul pada era di mana modernitas menjadi kesadaran kolektif. Sehingga, antroposentrisisme juga turut berkembang dan menyusut.[105] Dan, teknologi serta sains yang menjadi penyangga industrialisasi merupakan kegiatan ilmiah yang secara umum jauh dari sinaran agama, untuk tidak mengatakan bahwa sains dan teknologi pada titik tertentu sangat bertentangan dengan pandangan keagamaan.

Sikap dominatif manusia terhadap alam ditunjukkan dengan sikap yang menguasai alam. The Historical Roots of Our Ecological Crisis, karya Lynn White, memperlihatkan asal mula sikap dominatif manusia terhadap alam. White berpendapat bahwa Allah yang dijelaskan di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama adalah Allah yang terpisah dari ciptaan-Nya, maka alam dipahami sebagai yang terpisah pula dari Allah.[106] Pemikiran tersebut diadopsi manusia sebagai “citra Allah” untuk menegaskan dirinya yang terpisah dari alam. Keterpisahan antara manusia dengan alam mencetuskan paradigma dualisme. Efek yang ditimbulkan ialah sikap kesewenang- wenangan manusia dalam mengeksploitasi alam yang terpisah dari Allah.

Dengan berkembangnya akal manusia dan perhatian terhadap antroposentrisme yang tinggi, manusia berusaha untuk melawan dominasi alam. Manusia dapat berpikir secara baik sehingga mampu belajar bertahan dan mengatasi alam. Namun, relasi manusia dengan alam ditandai dengan sikap manusia memosisikan diri sebagai subjek dan alam hanya objek. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi alam secara pragmatis demi kebutuhan manusia. Ketika manusia menempatkan diri sebagai pusat, ia akhirnya memberikan prioritas tertinggi pada kepentingannya sendiri.[107]

4.3. Refleksi Membangun Perpektif relasi baru eskatologi dan ekologis dalam Jemaat Kristen

Theos dan logos dalam istilah Yunani artinya Tuhan dan bahasa- kata-ilmu. Tradisi Latin menyebutkan fides querens intelectum, sebuah aktifitas iman yang mencari pengertian. Maka, teologi bisa diartikan sebagai usaha orang yang percaya kepada Tuhan untuk mencari dan menemukan penjelasan-penjelasan yang memungkinkan tentang Tuhan. Mengapa mencari penjelasan, karena pemahaman tentang Tuhannya sebagai sesuatu yang misterius. Kerap menakutkan dan menakjubkan, tremendum et fascinosum. Hal yang mengagumkan sekaligus menakutkan, dalam pandangan tradisional mengarahkan pikiran pada Takut Akan Tuhan yang termanifestasi dalam kagum dan takut lalu hormat kepadaNya dalam alam ciptaan.

Atas pandangan “takut” dan kagum itu, manusia beriman mencoba melakukan refleksi mendalam dan ilmiah yang dinamakan kegiatan berteologi. Maka, dalam berteologi pertama-tama adalah upaya penghayatan dan pemahaman manusia beriman tentang Tuhan dan karya-Nya dalam hubungan dengan manusia sejauh Allah sendiri menyatakannya. Artinya, kegiatan berteologi adalah kegiatan bersama orang-orang yang beriman kepada Allah, Tuhan Pencipta dan itu dilakukan secara kontekstual.[108] Dan kegiatan tersebut adalah sebuah pengalaman iman secara berkesinambungan tanpa henti dalam beragam konteks penghayatan yang hidup akan iman kristiani.[109]

Cara pandang manusia yang bersifat antroposentris telah mengakibatkan krisis ekologis. Dalam hal inilah gereja perlu menegaskan pemahaman teologinya tentang ekologi secara Alkkitabiah. Secara filosofis, ekologi adalah suatu ilmu interdisipliner yang mempelajari harmoni perkembangan bumi (kosmos) bagi kebersamaan setiap pengkosmos.[110] Disini ekologi memerlukan penilaian teologis "karena bagi ekologi penting sekali pemahaman waktu, tradisi dan masa depan”[111] dalam mencari harmoni nilai-nilai dan makna moral, walau "membatasi diri pada kosmis di dalam waktu dan sejarah" serta" bersifat aktual dan bersikap.[112] Urgen sikap kritis berkaitan dengan antroposentris agresif. Sebab, ihwal ekologis bukan lagi perkara manusia dengan alam, tapi relasi dengan yang Ilahi, dan sesama manusia pun ikut terseret dalam permasalahan ini. Keterpusatan alam semesta pada diri manusia telah merusak hubungan manusia dengan alam dan Allah. Perkembangan akal, karenanya, harus diarahkan lagi pada usaha memanusiakan manusia yang sesuai dengan kemuliaan Allah. Perkembangan akal seharusnya tidak mencoret kesatuan relasi dengan alam, sesama manusia, dan Allah. Alam merupakan salah satu bagian dari penciptaan Allah. Sallie McFague pernah memberikan metafor organik bahwa alam semesta adalah tubuh Allah. Allah, melalui Roh Kudus, menghidupi dunia ini.[113] Metafor ini dapat mendorong manusia untuk tidak melihat dirinya terlepas dari alam semesta, agar manusia tidak berdiri sebagai tuan dan alam seakan-akan dipandang sebagai pembantu. Ketika manusia menempatkan diri sebagai pusat, ia akhirnya memberikan prioritas tertinggi pada kepentingannya sendiri. [114] Oleh sebab itu gereja hendaknya melakukan revitalisasi ekoteologi kristiani yang alkitabiah. Revitalisasi ekoteologi adalah mengembalikan esensi. Memahami teologi penciptaan dalam perspektif yang benar adalah dasar utama dalam membangun ekoteologi Kristiani dalam menyikapi krisis ekologis.

Salah satu paradigma yang digulati kemudian adalah melihat Kebaikan dalam Semua Ciptaan (Kej 1). Karena Allah itu baik, maka yang diciptakan itu baik adanya. Namun, kejahatan muncul dari penyalahgunaan Kebebasan (Kej. 3), maka perlu adanya mereview kembali paradigma, yaitu Hubungan Ciptaan Dengan Kemanusiaan Menjadi Hubungan Seluruh Makhluk Ciptaan Dengan Sang Pencipta, Perukunan Kembali Semua Makhluk Ciptaan Dengan Sang Pencipta, Etika Lingkungan Hidup: Nilai (Keadilan, Setia Kawan, Hormat, Tanggung Jawab), Sikap Dan Tindakan. Dan di sisi lain perlu mengoreksi Pandangan Antroposentrisme menuju Creation-Centered Theology, Watak Dan Keutamaan Dalam Hidup Moral, Tobat, Kerja Sama

Pandangan manusia tentang alam, tentang bumi dan segala isinya perlu dibedah kembali dan diubah.[115] Thomas Bery, teolog ekologi mencermati, pertama bahwa sikap menghancurkan bumi sama dengan menghancurkan dasar imajinasi religius yang mengakibatkan semacam kelaparan jiwa, sebab hampir semua gambaran religius pokok justeru berasal dari lingkungan hidup.

Kedua, sedangkan sikap membangkitkan rasa kagum dan hormat akan bumi yang melahirkan kita, melahirkan pula kehidupan yang tak berkesudahan.[116]  Sebuah masa depan yang tanpa akhir, sebab tetap nyaman dan aman bagi semua. Kapanpun. Untuk itu, menurut Bery, perlu mengakui saling keterjalinan antara seluruh sistem kehidupan-ekologi. Sadar akan kehadiran misteri Ilahi selalu & di mana-mana dalam bumi ini.[117] Tuhan, sang Ilahi ada di langit dan bumi bahkan di bawah bumi. Maka, dimana manusia berpijak hendaknya sadar untuk  Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri adalah tanah yang kudus. Sebagaimana Tuhan perintahkan pada Musa dalam kisah kejadian.

Ketiga, alam sama dengan wahyu ilahi perdana, maka memahami bumi sama dengan memahami Allah. Hal ini bertentangan dengan apa yang dinamakan autisme rohaniketika orang beragama lepas dari keterikatan dengan alam di atas mana ia berpijak dan melangkah. Bahkan melakukan pembenaran agamis atas perilaku perusakan alam atas nama kesejahteraan adalah tindakan melawan dan menistai Allah yang sedang disembah dalam ritus-ritus agama. Sebab, tegas Berry, Alam adalah Tubuh Allah dan itu adalah wahyu pertama sebelum Kitab Suci sebagai wahyu kedua ditulis.

Keempat, Paham Yesus Kristus kosmik:[118] bahwa bumi sebagai jaringan subyek. Kristus sebagai komunio” di antara realitas kosmik, sosial, personal. Inkarnasinya ke dunia sama penting dengan penebusan. Secara kosmologis, Kasih Allah yang menggerakkan matahari dan bintang- bintang, terpancar dari setiap atom, molekul, wajah dan kembang. Maka dapat disimpulkan, bahwa Allah dalam paham kristiani adalah Allah yang menjelma menyatu dengan alam ciptaan untuk memberdayakannya agar bangkit dari kerapuhan dan mencapai kembali keselamatan. Sebuah narasi penebusan, atau gerakan pembebasan bumi dari jerat kehancuran.   

Menurut Agustinus sebagai yang dikutip oleh Robinson mengatakan eksistesi manusia sebagai emago Dei menekankan bahwa manusia melalui manusia batiniahnya mampu berpartisipasi dalam kebijaksanaan, untuk berparstisipasi dalam kehidupan menjaga keutuhan alam ciptaan sebagai gambar Allah yang sejati. Semua alam diciptakan Tuhan dengan baik adanya. Namun manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah secara pribadi. Hubungan dasar ini membedakan kemanusiaan dari semua mahluk lain. Hakikat manusia yang pada awalnya baik bisa berubah menjadi buruk dan jahat karena manusia mengikuti nafsunya dan jatuh kedalam dosa. Namun Kristus telah telah menjadi mediator dan rekonsilitor untuk memberikan anugerah keselamatan.[119] Respon atas keselamatan inilah manusia memiliki tanggungjawab moral dalam pengaharapan eskatologinya menjaga keutuhan seluruh ciptaan. Sebab keselamatan Kristus adalah untuk seluruh ciptaan Allah yang awalnya diciptakan baik adanya.

                               

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arndt. William F. & F. Wilburgingrich,

1957    A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature, The University of Chicago Press, Chicago

Adrianus. Sunarko,

2008    Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran Teologis ,dalam “Menyapa Bumi, menyembah Hyang Ilahi, tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup”, Kanisius: Yogyakarta

Adiprasetya, Joas

2013       An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious Participations (Eugene, Oregon: Wipf & Stock)

 

Billington. Antony & Hudson. Neil

Refleksions on Fruitfulness in Te Bible, https://www.licc.org.uk, Diakses 06 Desember 2018

 

Bruce. F.F

1983    The Bible And the environment” Morris Inch & Ronald Youngbood, eds, Living and active word of Gog, Essay in Honor of Samuel J. Schultz Winoma Lake, In Eisenbrauns

 

Berkhof. Louis

1994    Teologi Sistematika I: Doktrin Allah(Jakarta: LRII)

 

Bloesch. Donald G. 

1997    The Church (Downers Grove: InterVarsity Press)

 

Browning. W.R.F.,

2001    Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

Bavink. J.H.

1987    Sejarah Kerajaan Allah 2: Perjanjian Baru, BPK Jakarta, Gunung Mulia

Baker. Anton

1995  Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos Sebagai Rumah tangga Manusia., Yogyakarta: KanisiuS

 

Banawiratma. J. B. dan Muller. J. 

2003    Berteologi Lintas Ilmu, Yogyakarta: Kanisius

Bagus. Lorens

2005    Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia

Butarbutar. Robinson,dkk (ed)

2014    Spritualitas Ekologis, Pengucapan Syukur Ulang Tahun ke 50. Pdt. Viktor Tinambunan, Insitut Darma Mahardika

Claire. Marie & Barth-Frommel,

2011  Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis (Jakarta: Gunung Mulia)

Celia and David Clough Deane-Drummond,

2009       Creaturely Theology: On God, Humans and Other Animals (London: SCM Press)

 

Childs. Brevard

1979    Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress)

 

Capra. Frithjof

1982    The Tao of Physic; An Explorationof the parallels Between Modern Physic and Eastern Mysticism (London: Flamingo)

Croall. Stephen & Rankin. William

1991    Ecology for Beginners. Cambridge: Icon Books

 

Djadi. Jeremia

2009    Diktat Angelologi, Antropologi, dan Hamartologi (Makassar: STT Jaffray Makassar)

Dyrness. William

2001    Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas)

 

Douglas, J.D.

2007    Ensiklopedia Alkitab Masa kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih)

Drummond. Celia Diane

2006    “Teologi & Ekologi”,  Jakarta, BPK Gunung Mulia

 

Frans De Sales Sani. Lake,

1998            Berteologi Kontekstual dalam Tradisi Dawan-Atone Pah Meto, Timor, Tesis Program Magister Teologi, STFT Widya Sasana Malang

Frame. John

2002    The Doctrine of God: A Theology of Lordship (New Jersey: P & R Publishing Company, 2002)

Henry. Carl F. H.

1964    Aspects of Christian Social Ethics(Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans)

 

Huddleston. Jonathan Luke

2001    The Beginning of the End: The Eschatology of Genesis, Dissertation of Doctor of Philosophy in the Graduate Program of Religion in the Graduate School of Duke University

Harun, Martin.

2015    Ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus. Jakarta: Obor

Huyssteen. J. Wentzel Vrede van (ed).

2003    Encyclopedia of Science and Religion. New York: Macmillan Reference USA

Kleden. Paul Budi

2006    Membongkar Derita, Teodice: Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Penerbit Ledalero)

Kuyper. Abraham

2005    Ceramah-ceramah Calvinisme (Surabaya: Momentum)

 

Karman. Yonky

2007    Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

 

Kelly. Brian E.

1966    Retribution and Eschatology in Cronicles, Journal For the study of the Old Testament, Suplement series, Sheffield, England: Acamdemic Press

 

Kittel. Gerhard.

1976    Theological Dictionary of the New Test          ament, Vol V1, Grand Rapids Michigan

Koch. Klaus

1983    The Prophets (Philadelphia: Fortress)

 

Kittel, Gerhard

1985    Eschatos” dalam Theological Dictionary ofthe New Testament, Vol. 11, (William B. Eerdmans Publising company, Grand Rapids)

Keraf. A.Sony

2014       Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai sebuah Tanda Kehidupan,Yogyakarta: Kanisius

Ladd. George Eldon

1991    Injil Kerjaan, Malang: Gandung Mas

Kearney. Richard

2001    The God Who May Be: A Hermeneutics of Religion, Indiana Series in the Philosophy of Religion (Bloomington: Indiana University Press)

­­­________

 

2010  Anatheism: Returning to God after God, Insurrections (New York: Columbia University Press)

McFague. Sallie

2013  Blessed are the Consumers: Climate Change and the Practice of Restraint. Fortress Press. Kindle Edition.

Martin. Harun,

2015 Ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus. Jakarta: Obor

Meeter. H. Henry

2008    Pandangan-pandangan Dasar Calvinisme (Surabaya: Momentum)

 

Napel. Henk ten

1991    Etika Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

_______

 

1999    Kamus Teologi Inggris-Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

Nash. James A.

2003    “Ecology, Ethics of” dalam J. Wentzel Vrede van Huyssteen (ed.). Encyclopedia of Science and Religion. New York: Macmillan Reference USA.

Odum. Eugene P.

1983    Basic Ecology. USA: Sounders College Publishing;

Pasang. Haskarlianus.

2011    Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Perkantas

Rienecker. Fritz          

1980    A Linguistic Key to the Greek New Testament, (Zendervan Publising House:Grand Rapids)           

Rice. Howard L and Huffstutler. James C.

2001     Reformed Worship (Louisville: Geneva Press)

Reventlow. Henning Graf

1997    The Eschatologization of the Prophetic Books,” in Eschatology in the Bible and in the Jewish and Christian Tradition, ed. Reventlow (Sheffield: Sheffield Academic Press)

Robert Davidson,

1979    Commentary Genesis 1-11, (London, Cambridge University Press)

Robinson. Dominic

1988    Understanding the “Imago Dei” The Thounght of Barth, Von Balthasar and Moltmann, London: TJ International Ltd, Padstow, Conrwall

Schumacher. E. F.

1978    A Guide for  The Perplexed (New York: Harper Colophon Books)

Soedarmo R.,

2006    Iktiar Dogmatika, (Jakarta:BPK Gunung Mulia)

Slobodkin. Lawrence B

2003    A Citizen’s Guide to Ecology. New York: Oxford University Press; Holmes Rolston

Stanislaus. Surip

2012    Harmoni Kehidupan, Asal usul Alam Semesta, (Yokyakarta: Kanisius)

 

Song. Choan-Seng

1996    Jesus, The Crucified People (Minneapolis: Fortress Press)

Steven Bouma-Prediger,

1995    The Greening of Theology: The Ecological Models of Rosemary Radford Ruether, Joseph Sittler, and Juergen Moltmann, American Academy of Religion Academy Series (Atlanta, Ga.: Scholars Press)

Samosir. Leo

2010    Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, Jakarta: Obor

Segu. Yosef Irianto

2016    Cinta Ekologis dalam pendekata estetika Kristen, Melintas      

 

Sunarko. A.&.Kristiyanto. A.Eddy

2008    Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius.

Sunarko. Adrianus

 2008   Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius

Thomas. Bery.

1988       The Dream of the Earth, (San Francisco, Sierra Club Books)

 

Tucker. Evelyn Mary. & John. Grim A.

2003      Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius

Vischer. Lukas

2003    Worship as Christian Witness to Society dalam Christian Worship in Reformed Churches Past and Present, ed. Lukas Vischer (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company)

White. Lynn Jr.

1964    “The Historical Roots of Our Ecological Crisis.” Science Magazine

Wilson. William

1980    Old Testament Word Studies; The International Standard Bible Encyclopaedia, vol II, Penj. Jamer Orr, (MWM. Eermans Publishing Co. Ltd Grand Rapids-Michigan)

 

Witt. John R de

1981    What is the Reformed Faith(Pennsylvania: The Banner of Truth Trust)

 

 

Sumber Artikel, Journal & Internet:

Armeding. Carl E.

Bibical Perpective on the ecology Crises, Journal of the Amrican Scientific Affliation, 25.1 (March 1973), 8

 

Candraningrum. Dewi

"Tiga Tubuh Tanah," Jurnal Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan 19, no. 1 (2014):

Dewitt. Calvin

 A Scientist’s Theological Reflektion on Creation, Tranformation, Vol 10, Juni 1993, 12-13

Davies. Eryl

2018    Reformen Theology and Ecological Ethic, artikel, 38, sumber, https://theologicalstudies.org.uk, diakses, 28 Oktober 2018

 

Elch. Edward

2002    How Theology Shapes Ministry: Jay Adams’s of the Flesh and an Alternative, The Jurnal of Biblical Conseling, Spring

Geovasky. Imanuel

 Kristologi Yang Bersahabat Terhadap Alam Ciptaan, Lih. Sac.ukdw.ac.id/Journal-theo/index.php/gema/article/view, diaseses 10 Nopermber 2018

John. Prior,

Spiritulitas Keadilan,Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” dalam Workshop Vivat International, Kuwu-Ruteng, 25 September 2012.

Lake. Sani

Memulihkan Keutuhan Ciptaan Refleksi Teologis Ekologi dalam Dimensi, Pembebasan JURNAL SEPAKAT Vol. 2, No. 2, Juni 2016, 214

 

Ludji. Irene

dalam sebuah artikel: Spiritualitas Lingkungan Hidup: Respon Iman Kristen Terhadap Krisis Ekolog, Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan, Lih.http//www.scribd.com,doc.teologi, diakses, 20-09-2018.

Lusi. Astrid Bonik

Menjadi Pelaku Cinta: Suatu Refleksi terhadap Tragedi Lumpur Lapindo, WASKITA, Studi Agama dan Masyarkat.

 

Kadarmanto. Mulyo

            Gereja Sebagai Komunitas Eskatologis, Jurnal STULOS 13/2 (September 2014195-228 

 

Nurnberger, Klaus B.

2017    Eschatology as a manifestation of human uniqueness: Human Vision, biblical revelation and divine agency, Article: HTS Teologiese Studies, Oasis, 2017,13, https://doi.org/10.4102/hts.v73i3.4341

 

Ross. Mark “imago Dei”

dalam https://www.ligonier.org.learn/articles, diakses, 01 Nopember 2018.

 

Sunarko. Andrianus

 Kepada Allah Kita Berharap, dalam http://books.google.co.id, diakses 01 Nopember 2018

Tanto. Thomas J. (Penyad.), “

Imago Dei, Imaginasi dan Tanggung Jawab Ekologis”, dalam Musafir Vol. 24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001, 20. Tulisan ini disadur dari David J. Bryant, “Imago Dei”, Imaginasi and ecological Rsponsibility

Gereja & Lingkungan Hidup , http://suplemengki.com/?p=156, 03 Februari 2008,dikunjungi: 1 Nopember 2018

 

Eryl Davies, Reformen Theology and Ecological Ethic, artikel, 41 sumber. https://theologicalstudies.org.uk, diakses, 28 Oktober 2018.

https://www.pbs.org/faithandreason/theologis/imago-body.html. Diakses 01 Nopember 2018

 

https://www.jawaban,com,read/article, Mandat Budaya, diakses 01 Nopember 2018