BAHAN SERMON KHOTBAH EPISTEL
MARKUS 10:2-16
KEKUDUSAN PERNIKAHAN
Pengantar[1]
Pernikahan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang dipilih secara bebas
dan sadar. Dalam perjanjian itu laki-laki dan perempuan memulai persekutuan
hidup dan kasih yang intim yang dikehendaki Allah. Lembaga perkawinan merupakan
tuntutan dari inti perjanjian cinta kasih keduanya. Perkawinan merupakan
hubungan ikatan janji baik secara horizontal maupun secara vertikal, yaitu
hubungan perjanjian antara sesama manusia (pria dan wanita) dan antara manusia
dengan Tuhan Allah.
Perkawinan (pernikahan) adalah
peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan dan merupakan persekutuan hidup yang tidak
bisa dilakukan sebagai uji coba (eksperimen), karena pernikahan itu merupakan
penyerahan tubuh dan jiwa kepada pasangannya, sehingga keduanya tidak dapat
membatalkan penyerahan itu dan tidak dapat mengundurkan diri dari hubungan itu,
hal ini merupakan syarat mutlak bahwa perkawinan adalah perkara yang teguh yang
didasarkan dari ungkapan Yesus Kristus. Ápa yang dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia” (Mark. 10: 9). Ajaran kristen juga menolak adanya
pernikahan (perkawinan) antara dua orang yang berjenis kelamin sama (homo seks
dan lesbian). Sebab dalam Alkitab telah dengan jelas disebutkan bahwa
perkawinan hanya terjadi bagi satu orang laki-laki dan satu orang perempuan,
(bnd. Kej 2: 22-23). Dalam teks ini
Yesus memberikan sikap etis dan teologis tentang perceraian.
Penjelasan Teks
Ay: 10:2.
Jawaban teologis: Pertanyaan
yang diajukan orang-orang Farisi berkaitan dengan salah satu pokok perdebatan
saat itu. Para ahli Taurat yang mengikuti pandangan Hillel beranggapan bahwa
seorang suami boleh menceraikan istrinya untuk hampir semua alasan. Para
penganut Shammai, dalam pada itu, bersikukuh bahwa perceraian hanya
diperbolehkan apabila terjadi perzinahan. Kata mencobai (peirazo;kata kerja) dalam Istilah Yunani dapat juga diartikan
sebagai "menguji." Tujuan sebenarnya orang Farisi mengajukan
pertanyaan kepada Yesus adalah untuk menguji Dia, artinya ada upaya atau
motivasi yang terselebung untuk menjatuhkan Yesus lewat pertanyaan yang problematis
dan dilematis
Ay 4. Lalu Yesus menjawab perihal
pertanyaan Farise tentang perceraian dengan sikap Musa tentang masalah Memberi
izin. Peraturan yang ditetapkan Musa ini terdapat dalam Ul 24:1*. Perlu
diperhatikan bahwa orang-orang Farisi itu tidak menyebutkan syarat yang
diberikan Musa dalam mengizinkan perceraian.
Ay 5. Yesus kembali menegaskan bahwa;
pada dasarnya izin tentang perceraikan bukan berati menyetujui adanya
perceraian melainkan“Karena ketegaran hatimulah. Peraturan yang ditetapkan Musa
itu sesungguhnya bukan perintah, tetapi sebuah kelonggaran yang disebabkan oleh
kondisi rohani manusia yang sangat tidak memuaskan. Ketetapan tersebut
merupakan usaha untuk mengatur dan mengendalikan
perceraian bukan mendorong perceraian. Jika demikian apakah
sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan
istrinya….(Markus 10:2-12; Matius 19:7, bnd. Ul. 24:1-5).. Yesus
menjawab pertanyaan ini dengan “karena ketegaran hatimulah, Musa mengijinkan
kamu menceraikan istrimu”, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Jadi apa
yang menurut mereka adalah perintah itu dinyatakan Yesus sebagai yang
diijinkan, dan itupun terpaksa. Karena kekerasan hati manusia dan bukan karena
kehendak Allah yang mutlak, itulah dosa dan itu berada di bawah peradilan Allah
Ay 6-8:Pernyataan
yang dimulai dengan Allah menjadikan mereka (Mrk 10:6) dan diakhiri dengan sehingga keduanya
itu menjadi satu daging (Mrk 10:8) dikutip langsung kata demi kata dari Kej
1:27; 2:24. Keadaan yang ada pada awal dunia merupakan petunjuk tentang
cita-cita Allah. Allah memaksudkan pernikahan sebagai suatu persatuan seumur
hidup di dalam segala hal.
Ay 11.
Laki-laki, di dalam kasus ini hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu,
bukan karena bercerai tetapi karena menikah lagi. Sekalipun dia telah melakukan
seluruh prosedur perceraian, di hadapan Allah dia masih terikat kepada istrinya
yang pertama. Perkecualian berupa perzinaan ditambahkan oleh Matius dalam Mat
19:9.
Ay 13.
Rangkaian peristiwa yang tercatat dalam ayat ini mungkin terjadi di dalam rumah
(bdg. Mrk 10:10). Orang
Membawa
anak-anak. Mereka “terus membawa” (teks Yunani) anak-anak. Sikap
para murid tampaknya dilandasi
pemahaman bahwa waktu Tuhan terlalu berharga untuk dibuang-buang bagi
anak-anak.
Ay
14. Kecerdasan
emosional: Injil Markus unik di dalam melukiskan emosi-emosi Kristus. Sikap
Yesus kepada muridnya “biarkan anak-anak itu“. Dipergunakan dengan arti
"izinkan." Larangan Yesus secara harfiah berarti, “Berhentilah
melarang mereka“. Alasan yang dikemukakan Yesus untuk bertindak demikian ialah
bahwa kerajaan Allah dimiliki oleh orang-orang semacam itu. Jelas bahwa yang
dipikirkan oleh-Nya adalah kerajaan rohani saat ini.
Ay
16. Ia memberkati mereka merupakan kata kerja majemuk
yang melukiskan semangat Kristus yang muncul dari dalam hati-Nya ketika
mengucapkan kata-kata berkat ini (bdg Kej 14:19,20; 27:26-29; 48:15-20).
Refleksi:
1.
Dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru terdapat larangan berzinah dan larangan bercerai.
Perceraian adalah dosa yang melawan hukum Tuhan dan merupakan bentuk
pengingkaran atas kasih-Nya. Sebab kasih Allah pada anak-anaknya haruslah
menjadi pola kesatuan dalam perkawinan. Perceraian juga pelanggaran perjanjian
suatu tindakan penghianatan. Dengan demikian tidak ada satu halpun jadi alasan
perceraian. Artinya perceraian itu salah dan tidak dikehendaki oleh Tuhan,sifatnya
mutlak(= unconditional)
2.
Paulus menggambarkan hubungan dalam
perkawinan itu sebagaimana hubungan antara Kristus dengan jemaat (Efesus 5:
22), sehingga tujuan perkawinan adalah suci, sebagaimana kasih Kristus terhadap
jemaatNya. Perkawinan merupakan suatu hubungan rohani yang mulia dan tertinggi,
dimana perkawinan itu mengangkat kehidupan seseorang yang membujang kepada
kehidupan bersama orang lain, yaitu suatu hubungan yang saling melengkapi dan
saling menyempurnakan. Dengan demikian tujuan pernikahan kristen tidak hanya
sebatas mendapatkan kebahagiaan, tetapi pernikahan juga lebih dari itu, bahwa
melalui pernikahan setiap keluarga mempunyai panggilan sesuai dengan
maksud-maksud Allah
3.
Akhir-akhir ini banyak rumah tangga
kristen yang tidak harmonis dan ironisnya sampai pada perceraian. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi terjadinya perceraian: masalah ekonomi, kehidupan
sosial, dari keluarga, perselingkuhan (WIL(wanita idaman lain & PIL(pria
idaman lain), tidak memiliki keturunan,dll. Melihat masalah yang terjadi pada
saat ini, bagaimana peranan gereja memperlengkapi jemaatnya tentang arti dan
hakikat pernikahan? Sebab pernikahan merupakan wujud dan bukti penyerahan diri
kepada sesama dan Tuhan secara totalitas, kontiniu, yang membutuhkan
komitmen,konsekwensi dan konsistensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar