Bahan sermon jamita
Partangiangan
Markus 9:30-37
1. Dalam
konteks Markus 9, yang dipermasalahkan oleh murid-murid adalah soal siapa yang
terhebat di antara mereka. Ironisnya, hal itu terjadi setelah Yesus memberitahukan
untuk kedua kalinya bahwa Ia akan menuju salib. Setelah peristiwa itu, Yesus
mengajar mereka bahwa yang ingin menjadi pemimpin harus menjadi hamba, dan
Yesus merangkul seorang anak kecil sebagai model. Dalam Lukas 22:26, Yesus
kembali menekankan bahwa yang memimpin hendaklah menjadi pelayan. Selama
pelayanan-Nya di dunia, Yesus dengan keras menegur para ahli Taurat dan orang
Farisi, yang pada saat menjabat sebagai pemimpin jemaat “suka duduk di tempat
terhormat” (Matius 23:6-7).
2. Kristus yang bisa menghindar. Dalam Markus 9:30 dikatakan bahwa ketika melewati
Galilea bersama para muridNya, Tuhan Yesus tidak mau diketahui orang , karena
Ia mau mengajar murid-muridNya tentang kematian dan kebangkitanNya. Hal itu
menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sangat mementingkan tujuan utamaNya datang ke
dalam dunia ini, serta rencana mempersiapkan para saksi mata, jauh-jauh hari
sebelum Ia meninggalkan dunia ini. Tuhan Yesus tidak mengutamakan popularitas.
Pada dasarnya Tuhan Yesus tidak suka menonjolkan diri; Ia dapat
“menyembunyikan diri” selama tigapuluh tahun, sebelum memulai tugas besarNya.
Segala sesuatu dilakukanNya sesuai rencana bapaNya, sehingga tatkala ibuNya
berkata tentang pesta kawin di Kana yang kehabisan anggur, maka jawab Tuhan
Yesus:”Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Yesus
juga pernah menyingkir seorang diri ke gunung ketika orang banyak akan
memaksaNya menjadi raja mereka (Yohanes 6:15). Jika dihubungkan dengan masalah
pertengkaran, maka seni menghindar termasuk pelajaran yang sangat penting. Dari
pada menimbulkan rasa tidak puas dari orang banyak, lebih baik menghindar saja.
Kita diajari Kristus agar pandai-pandai membaca situasi, menimbang dan memahami
kecenderungan orang. Dalam hidup ini banyak pertengkaran dan salah paham terjadi
gara-gara kita tidak pandai membawa diri, menempatkan diri dan menghindarkan
diri. Ikut mencampuri urusan orang lain juga potensial menghadirkan
pertengkaran. Kita sudah dilengkapi Allah sejak bayi dengan kepekaan dan
hikmat. Dalam Yakobus 3:17 dikatakan: “Tetapi hikmat yang dari atas adalah
pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan
dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.”
3. Pertengkaran bisa muncul di mana saja! Dalam pergaulan dengan masyarakat luas,
ketika kita merasa tersinggung karena dihina atau hak kita
diinjak-injak. Di tempat kerja kita, dengan teman sejawat, dengan
karyawan , bahkan dengan majikan kita sendiri kita bisa bertengkar hebat yang
biasanya berakhir dengan putus hubungan kerja! Pertengkaran dalam rumah
tangga sepertinya yang paling banyak terjadi. Kedengarannya agak aneh,
tapi nyata. Aneh sebab orang yang serumah dengan kita itu sebetulnya
adalah merupakan sesama terdekat, tapi justeru dengan mereka yang
seharusnya kita sayang , kita malah bertengkar dan berkelahi!
4.
Tidak
mengerti tapi segan bertanya,
menunjukkan bahwa mereka bukanlah murid yang baik. Cuek, malas, tidak bergairah dan
kurang serius! Itu yang kita baca tentang sikap para murid terhadap
penegasan Tuhan Yesus yang paling penting, untuk mereka pahami dan yakini
(Markus 9:32). Kematian Kristus yang akan disusul dengan kebangkitanNya harus
selalu melekat dalam ingatan dan hati mereka. Dengan demikian pengabdian
mereka menjadi berbobot, dan segala jerih lelah mereka terasa ringan. Sikap
para murid yang perlu ditegur dan diperbaiki itu menjadi cermin untuk
kesalahan kita selama ini, sebab kita juga sering sok mengerti padahal tidak
atau salah pemahaman terhadap ajaran Tuhan. Konsep yang kliru tentunya menghasilkan
kiprah yang salah pula. Pada saat kita mulai membaca satu bagian Alkitab yang
sudah terkenal, sering kita merasa sudah paham padahal jika dibaca dengan
cermat maka kita akan menemukan banyak hal baru yang sangat penting untuk hidup
kita.
5.
Bertanya juga meskipun sudah tahu. Itu yang
dilakukan Tuhan Yesus terhadap murid-muridNya ( Markus 9:33 ). Pastilah dengan
nada sedih sebab Ia mengetahui apa yang sesungguhnya telah terjadi, bahwa
mereka bukan memperbincangkan hal biasa tetapi mereka tadi telah bertengkar.
Dan yang mereka lakukan adalah pertengkaran yang tidak baik! Lho, apa ada
pertengkaran yang baik? Jangan heran, kadang terjadi pertengkaran yang
baik di antara orang-orang yang tulus hati. Saya mempunyai sebuah cerita unik
dari negeri Cina, seperti ini: Ada dua orang bertetangga yang mengadakan
transaksi jual beli sebidang tanah. Setelah dilakukan pembayaran, maka sang
pembeli langsung menggarap tanahnya dengan cangkul. Dia terkejut menemukan satu
peti-besi berisi uang mas dan perhiasan. Cepat-cepat dia memanggil tetangga
yang menjadi mantan pemilik tanah itu untuk menyerahkan peti yang menurut dia
bukan menjadi haknya, sebab dia hanya membeli sebidang tanah. Tetapi di luar
dugaan tetangganya tidak mau menerima peti itu sebab dia merasa sudah menjual
tanah berikut cacing, batu, rumput dan apa pun yang ada di atas atau di
dalamnya! Saat pertengkaran itu memuncak, tetangga yang lain telah menghadirkan
Bapak Kepala Desa. Nasehatnya sangat adil dan melegakan, sehingga mendapat
tepuk tangan tanda setuju dari penduduk desa yang menyaksikan! Apakah nasehat
yang menjadi solusi yang sangat pas dan jitu itu? Kepala Desa mengusulkan
supaya mereka berdua berbesanan saja, lalu harta benda itu dipakai untuk biaya
pesta pernikahan, dan sisanya digunakan sebagai modal kerja bagi keluarga yang
baru! Saya yakin pertengkaran seperti itu akan membuat Tuhan tersenyum geli,
haru dan bangga! Jika sudah mengetahui tetapi masih bertanya juga, adalah
karena Tuhan Yesus mau memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk berterus
terang, tapi mereka bungkam seribu bahasa mungkin karena merasa bersalah
atau malu sebab mereka telah mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara
mereka.
6. Mengapa
mempertengkarkan yang terbesar? Tujuannya sudah jelas, yaitu ingin dihormati,
ingin menguasai yang lain dan diangkat sebagai wakil mereka. Jika sampai telah
terjadi pertengkaran di antara mereka berarti banyak yang merasa berhak dan
yang menginginkan pengakuan dan kedudukan itu. Berarti mereka telah melupakan
pelajaran Tuhan Yesus melalui lisan maupun peneladanan. Dalam Markus 9:35 Tuhan
Yesus berkata:” Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia
menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Dengan demikian Tuhan Yesus tidak melarang orang ingin
menjadi yang terdahulu. Boleh dan tidak salah bahkan sangat dianjurkan, asal
prosedur dan proses yang ditempuhnya harus menurut petunjuk Tuhan, yaitu
bersedia menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan dari semuanya. Dengan lain
kata seorang pemimpin adalah seorang yang rendah hati dan bersedia melayani. Di
dalam Kerajaan Tuhan kebesaran seseorang diukur dari seberapa besar
kesediaannya melayani. Maka jika para murid bertengkar ingin menjadi yang
terbesar, semestinya mereka berebut untuk menjadi pelayan mereka dan semua orang.
Lalu Tuhan Yesus menegaskan ajaranNya dengan menghadirkan seorang anak dan
menghimbau mereka (dan kita) untuk bisa menyambutnya, sebab akan diakui sebagai
menyambut Tuhan. Seorang anak kecil di sini mewakili orang-orang yang tidak
memiliki kekuatan untuk membalas budi. Kebesaran dan pelayanan kita harus bisa
tertuju kepada kelompok orang yang terkecil, yang tak bisa membalas karena
keterbatasannya. Yang sangat miskin, tertindas dan bahkan tidak mengetahui
kalau kitalah yang sudah mengulurkan tangan kepada mereka! Dengan demikian kita
sudah menjadi alat yang kecil tapi hidup, di dalam tangan Tuhan yang maha besar
untuk menolong sesama kita. Tak jarang yang kita tolong adalah seorang
hamba Tuhan yang sedang tertekan dan menderita seperti yang dialami oleh nabi
Yeremia pada zaman dulu (Yeremia 11:18-20).
7.
Pandangan Yesus berbeda dari pandangan dunia yang menganggap bahwa
kebesaran ditentukan oleh seberapa banyak orang yang melayani kita. Dunia
memang mencari kebesaran dalam bentuk kuasa, popularitas, dan kekayaan. Ambisi
dunia adalah menerima perhatian dan penghargaan. Lalu salahkah berambisi
menjadi orang besar? Bukan demikian. Yesus ingin meluruskan pandangan bahwa
kebesaran adalah menjadi orang pertama, sementara orang lain menjadi nomor dua,
tiga, dan seterusnya. Kebesaran sejati bukan menempatkan diri di atas orang
lain supaya kita dimuliakan. Kebesaran adalah menempatkan diri kita untuk
melayani dan menjadi berkat bagi sesama. Misalnya seorang dokter. Ia dianggap
besar bukan karena ia seorang spesialis yang bekerja di rumah sakit mahal. Atau karena ia sering menjadi
pembicara di seminar-seminar kesehatan. Ia dianggap besar bila ia juga
menyediakan waktunya untuk menangani orang miskin.
8. Hasrat menjadi yang terbesar dapat
mengancam keefektifan kita sebagai murid Tuhan. Hasrat untuk dimuliakan
seharusnya tidak dimiliki seorang pengikut Yesus. Apa solusinya? Milikilah hati
seorang hamba. Bersiaplah mengutamakan orang lain dan merendahkan diri sendiri.
Ingatlah bahwa Yesus rela dianggap tak berarti dan memikul salib bagi kita.
“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil,
ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10)
9. Jadilah
sebagai orang Kristen yang Rendah hati, bukan mengutamakan keinginan diri
sendiri (egos) tetapi hendaknya masing-masing melayani satu dengan yang lain
dengan rasa tanggungjawab meneladani model pelayanan Tuhan Jesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar