ESKATOLOGI DAN EKOLOGI
(Study Hubungan Eskatologi dan Ekologi Dalam
Bingkai Perjanjian Lama)
Pdt.
Remanto Tumanggor,M.Div
I. Pendahuluan
Eskatologi apokaliptik tidak mendasar secara Alkitabiah
untuk melihat hubungan eskatologi dan ekologi. Iman tidak lagi persuasif dalam
istilah teologis atau bisa dipertahakan secara ilmiah. Eskatologi dalam kosmik
dan istilah individu telah menjadi perkembangan akhir masa pasca pembuangan dalam
pemikiran Yudaime sebagai tanggapan kontekstual terhadap suatu hal tertentu
dalam situasi yang penuh kebuntuan. Namun hal itu hanya mewakili satu bagian
dari pemikiran terhadap gagasan pemikiran yang lain, yang tidak pernah diterima
secara universal dalam Yudaisme. Dengan demikian eskatologi apokalitip tidak
begitu esensial dari pesan Alkitabiah, dengan demikian tidak sesuai dengan
konteks kekinian. Harapan akan Kerajaan Allah tampaknya memang telah menentukan
iman dan proklamasi Yesus telah dimodifikasi dalam Perjanjian Baru saat-saat
ketika transformasi yang diharapkan dari alam semesta tidak terwujud. Oleh
sebab itu dibutuhkan rekonseptualisasi eskatologi sebagai visi Tuhan yang
konprehensif dalam kesejahteraan yang optimal. Visi Tuhan tentang kesejahteraan
yang optimal dan menyeluruh dalam segala aspek kehidupan akan mendorong umat
manusia bukan untuk mempertanyakan kebaikan Tuhan, tetapi panggilanNya. Artinya
bersama Tuhan manusia bergerak menuju kehidupan dan melawan kematian yang
konyol, menuju kontruksi dan melawan kehancuran alam semesta. Ini memotivasi
dan memberdayakan manusia untuk bergerak bersama Tuhan ke masa depan membukakan
pandangan baru, daripada menunggu Tuhan untuk bertindak. Atau sebaliknya
memotivasi kita untuk mengizinkan Tuhan menggungkapkan potensinya untuk
bergerak menuju visiNya. Visi bukanlah prediksi, tetapi memikat untuk bertindak
secara bertanggjawab dan penuh kasih kearah kesejahteraan yang optimal dan
konprehensif. Visi yang seperti itulah yang menjadi eskatologis dalam arti
akhir yang dramatis dalam dunia dan masuk dalam ciptaan baru. Visi Tuhan
menggerakkan proses berkelanjutan yang memiliki arah bukan akhir yang ambigu.
Namun harus dipahami bahwa segala seuatu dalam realitas alam semesta secara
keseluruhan memiliki awal dan berakhir. Semua kehidupan akan berakhir pada
kematian, dan kesimpulan itu tidak mungkin bisa dilepaskan.[1]
Visi Tuhan selalu didukung oleh penderitaan untuk
mentransformasi sebagai hal yang sulit diterima dalam manipestasi salib.
Menggunakan metapora antropormorfis, dapat dikatakan kefanaan dari segala
sesuatu yang ada dan terjadi adalah ditanggung oleh Tuhan dan manusia juga
harus menanggungnya sebab manusia memiliki realitas kefanaan. Tuhan adalah
sumber berkat dan realitas transenden yang dialami oleh manusia. Salib Kristus
yang diidentifikasi oleh Allah, telah menjadi paradigmatic yang signifikan
dalam kosmik. Tuhan tak henti-hentinya berkorban dari bagian ciptaanNya. Oleh
sebab itu krisis ekologi menjadi panggilan untuk membagikan “kasih pengorbanan”
untuk memikul salib Kristus demi keutuhan ciptaan Tuhan menuju masa depan.[2]
Krisis
ekologi merupakan satu
subjek yang fenomenal dan fundamental untuk dikaji dan disikapi. Namun
ironisnya topik krisis ekologi belum menjadi issu yang menarik untuk didiskusikan
sebagai hal urgen. Masih pelik issu krisis ekologi menjadi tajuk dialog, dan
mungkin hanya secuil menjadi pusat perhatian, bahkan para rohaniawan pun luput
perhatiannya memberikan paedagogi
tentang “krisis ekologi” sebagai ancaman global dalam homilinya. Nampaknya tema
krisis ekologi hanya sedikit saja terakomodasi dalam ruanglingkup akademisi
teolog, pemerhati lingkungan, dan masih jauh dari perhatian sentral yang
signifikan baik secara individual, komunal dan universal.
Keangkuhan manusia telah melahirkan
kejahatan dan merusak harmoni kehidupan bumi (Kej 6:5-12), sehingga Allah
mendatangkan Air Bah. Kisah terjadinya Air bah merupakan satu alternatif lain
dalam menyikapi krisis ekologis. E.F. Schumacher menyatakan bahwa masalah krisis
lingkungan sangat terpaut erat
dengan krisis kemanusiaan,
dengan moralitas sosial serta krisis orientasi manusia terhadap Allah.[3] Lebih tajam Fritjof Capra dalam kajiannnya
terhadap penyebab krisis
lingkungan
global tersebut, menyimpulkan bahwa krisis tersebut
merupakan akibat dari worldview(cara
pandang) dan keserakahan manusia
terhadap alam, baik keserakahan karena kemiskinan, kebodohan
atau ketamakan
untuk meraup properti (kekayaan) yang berlimpah. Demikian pula tidak difungsikannya
perangkat nilai transcendental
(nilai spiritual) dalam diri manusia untuk dijadikan sebagai acuan moral dalam hidup. Secara lebih khusus ia mengatakan bahwa bencana alam terjadi
akibat pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang minus pemahaman spiritual. Lebih lanjut Capra
mengutip R.D. Laing menyatakan,“… Kita telah menghancurkan dunia ini secara teori sebelum kita menghancurkannya
dalam praktik…”.[4] Hal yang menggembirakan
menurut
Capra adalah munculnya kesadaran Barat akan hal tersebut dengan berbagai gerakan ekologi, feminism, dan “small
is beautiful” dalam bidang perekonomian.[5] Apa yang salah terhadap sikap
manusia terhadap lingkungan? Dalam kajian para ahli tersebut betapa pentingnya
sikap kritis manusuia dalam merespon krisis Bumi yang Jika tidak disikapi secara
serius maka “bencana alam” hal yang tak terbendung lagi dampaknya pada generasi
yang akan datang
Hal yang menarik yang dikemukan diatas
adalah krisis lingkungan (Bumi) tidak terlepas krisis moral, krisis spirittual akibat
orientasi manusia
yang khilaf terhadap Allah. Pengenalan akan Allah sebagai
pencipta Bumi adalah bagaimana manusia mengasihi sesamanya, merawat alam
ciptaan Tuhan. Dalam Iman Kristen hidup manusia senantiasa berorietasi kepada
Allah sebagai sang Pencipta dan ciptaanNya. Eksistensi manusia adalah koheren
dengan alam, saling ketergantungan dan menopang. Meski manusia secara hirearki
rasional memiliki keunggulan dari ciptaan lain, namun hal tersebut bukan
berarti “tirani” dan legitimasi dominasi, apalagi untuk mengeksploitasi. Tanggungjawab
moral dan spiritual manusia adalah “mandat untuk menata Bumi”. Secara teologis,
eskatologi tidak dapat dipisahkan dengan tanggungjawab manusia terhadap ciptaan
lainnya (ekologi). Kajian ini akan mengulas bagaimana hubungan eskatologi dan ekologi
dalam bingkai Perjanjian Lama.
II. Defenisi: Terminologi dan Etimologi
2.1. Terminologi dan Esensi Eskatologi
Istilah eskatologi secara harfiah
diartikan sebagai ilmu yang berbicara tentang hal-hal yang terakhir. Secara
etimologi istilah eskatologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu eskhatos,[6] artinya ”akhir” atau ”terakhir”,
dan logos, artinya ”firman” atau ”ajaran”.[7] Akhir zaman (eskaton) dalam studi
Alkitab menunjuk pada gagasan-gagasan, baik dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru[8], mengenai periode sejarah atau
keberadaan yang terakhir. Pemahaman istilah “akhir” dapat berarti titik
penghabisan.[9] Secara ilmiah dan objektif, dalam
dunia akademik ajaran tentang akhir zaman disebut eskatologi.[10]Jadi eskatologi adalah cabang teologi
(kepercayaan tentang akhir zaman) yang membahas peristiwa-peristiwa terakhir dalam
sejarah dunia dan manusia.[11] Secara tradisional eskatologi berarti
hal-hal yang akan datang yang terkait dengan peristiwa kebangkitan dan
penghakiman yang dilakukan oleh Kristus pada masa yang akan datang dan
merupakan akhir dari pada zaman dunia.[12] Menurut Soedarmo salah satu makna
”hari Tuhan” menekankan tentang akhir zaman akan datang kemudian.[13]
Secara
eksplisit pengertian eskatologi hanya sedikit ditemukan dalam PL.[14]
Namun secara implisit hakikat eskatologi dalam PL yang menonjol dikenal dengan
istilah “Hari Tuhan” (yom Yahwe). Istilah yom
diartikan sebagai waktu yang lama sekali, suatu musim tertentu dimana peristiwa
luar biasa terjadi, seperti kemakmuran (berkat), kekayaan, dan bahkan suatau
peristiwa yang merugikan dan mendatangkan bencana. Jadi hakikat “hari Tuhan”
menekankan suatu hukuman dan rahmat atau sukacita dalam suatu moment tertentu.[15] Namun, pengertian hari Tuhan dalam
eskatologis tidak dipahami secara kronologis semata, namun hari Tuhan adalah
hari yang melampaui akal manusia, melampai segala ruang, dimensi segala
ciptaaNya.
Eskatologi pentateukh merupakan
sastra yang menyajikan visi yang koheren tentang hubungan antara Yahwe dan
Israel. Kejadian memberikan catatan yang paling luas dari Pentateukh tentang
janji Yahwe kepada leluhur Israel, janji yang sangat mendasar bagi Israel yang
sedang berlansung eskatologi. Eksposis Kejadian dari kisal Israel dengan
permulaan mitis dari kosmos menyajikan potensi yang besar tentang gagasan
eskatologi bahwa hubungan Yahwe dan Israel akan berhasil pada skala yang lebih
besar (Kosmis). Kejadian berisakan ayat ayat yang menarik, mengandung janji
berkat, pidato dan puisi yang luarbiasa yang mengisyaratkan kemenagan yang akan
datang dalam bahasa semi-Mesinis. Janji kepada bapa leluhur Israel telah
dibingkai dalam suatu kelompok eskatologi (Kej 3:15; 49:10; Bil 24:24; Ul
32:43)[16]
Selanjutnya, Jonathan
Luke Huddleston[17] mendefiniskan eskatologi sebagai
sebuah harapan untuk:1). Tindakan Tuhan dimasa depan, 2). Digambarkan dalam
ekspresi mitis dalam transpormasi komunitas dan dunia, 3)menyelesaikan konplik
yang luas seperti penindasan, dosa, atau kematian. Jadi kata arkhir yang
tersirat secara etimologis dalam eskatologi tidak harus berarti akhir dari
sejarah, tetapi akhir dari kisah Israel yang terbentang- Apa ayang disebut oleh
Kelly “penyempurnaa dari tujuan ilahi”[18] Dalam eksegesi PL eskatologi bukan
“akhir dunia” melainkan tindakan/aksi karya Allah, perubahan mendadak dalam
keadaan dan finalitas.[19] Klaus Koch berpendapat bahwa
eskatologi kenabian adalah eskatologi dalam sejarah bukan akhir sejarah:sejarah
manusia tidak terputus meskipun pada dasarnya membutuhkan arah yang baru, dalam
intervensi kreatif Yahwe. [20] Visi dalam nubutan kenabian tentang
hubungan Israel dengan Yahwe sebuah visi yang didominasi oleh eskatologi.
Para nabi menatap ke depan, kepada
saatnya Allah Israel yang berulang-ulang memperdulikan umat-Nya dalam sejarah
mereka. Allah akan mengindahkan mereka untuk menghukum orang fasik, melepaskan
orang-orang benar dan untuk menyucikan bumi dari seluruh kejahatan. Istilah
Hari Tuhan dengan ungkapan lain “pada hari itu” mengartikan kepedulian Allah,
dan lebih menekankan sifat kejadian itu daripada waktunya. Justru hari Tuhan
berarti kepedulian Allah yang sudah terjadi dalam (Ams 5:18; Yl l:l5) maupun
kepedulian terakhir pada akhir zaman (Yoe1 3:14, 18; Zef 3:11, 16; Za 14:9).
Pada hari yang terakhir Allah akan datang untuk mendirikan kerajaan-Nya. (Yes
2:2-4, Hos 3:15)[21]. Berkaitan dengan “Hari Tuhan” salah
satu aspek yang ditekankan adalah pengharapaan eskatologi yakni menunjuk pada peristiwa-peristiwa
yang terjadi di akhir zaman ketika Mesias datang kembali untuk mendirikan
Kerajaan Allah dibumi.[22] Konsep kerjaan Allah dalam PL
memiliki makna yang luas dan teologis yang meliputi: Allah sebagai hakim yang
adil, pengharapan Mesianis, kedatangan Kristus, dan kedatangan Kristus
keduakali yang memeritah sebagai raja.[23] Salah satu Ide kerajaan Allah dalam
PL menyatakan Allah yang hidup dan kekal, yang sudah menyatakan diri bagi
manusia dan sudah memilih Israel untuk melaksanakan rencanaNya.[24]
Meskipun
demikian eskatologi tidak selalu menyoroti mengenai hari kiamat atau akhir
dunia. Keadaan akhir dunia hanya salah satu aspek dari beberapa aspek yang
dibicarakan dalam eskatologi. Namun fokus dalam tulisan ini perspektif teologi iman
Kristen dalam eskatologi. Dengan demikian berbicara tentang akhir zaman
(eskaton) adalah apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan
iman, hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan ciptaan lainnya
(kosmos). Dalam tulisan ini penulis berpretensi (berkeinginan) untuk membahas
bagaimana iman Kristen terhadap eskatologi, dan apa makna eskatologi itu dalam
iman kekristenan dalam kaitannya dengan ekologi dalam bingkai Perjanjian Lama.
.
2.2. Etimologi dan Esensi Ekologi
Secara etimologis ekologis berasal
dari bahasa Yunani, oikos, yang berarti
rumah tangga dan kata logos yang
berarti ilmu. Secara terminologi ekologi berarti ilmu yang mengkaji tentang
proses interrelasi dan interdependensi antarorganisme dalam satu wadah lingkungan tertentu secara
keseluruhan. Secara
sederhana ekologi
bisa diartikan sebagai kajian tentang hubungan hidupan atau organisme dengan lingkungannya; kajian tentang
ekosistem; kajian tentang lingkungan hidup.[25] Ekologi ( ecology) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani; oikos dan logos. Oikos berarti tempat
tinggal sedangkan logos artinya ilmu. Ekologi yang merupakan cabang dari biologi ini adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara organisme-organisme dan hubungan antara organisme-organisme itu dengan lingkungannya.[26] Secara terminologi oikos tidak
dipahami hanya sekedar tempat
tinggal manusia. Oikos juga dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan
seluruh interaksi saling
pengaruh yang
terjalin di dalamnya diantara
makhluk hidup dengan
makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem (habitat). Dengan demikian, oikos bermakna rumah
bagi semua makhluk
hidup yang sekaligus menggambarkan
interaksi keadaan seluruhnya yang
berlangsung di dalamnya.[27] Selanjutnya
Normam Habel[28] mengatakan:
Ekologi adalah revolusi yang dalam dan dinamis yang tidak bisa diabaikan.
Ekologi mendefinisikan kembali identitas manusia sebagai makluk bumi, habitat
yang membentuk manusia dan hubungan dengan ciptaan lainNya. Itu berarti
dibutuhkan kosmologi baru dalam refleksi teologis, penafsiran atas Alkitab dan
perfektif misi terhadap ciptaan Allah
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Ekologi adalah study tentang keseimbangan
hal-hal hidup dengan alam. Ekologi berarti keterhubungan, ketergangtungan
bersama, keterkaitan dan menyangkut interkoneksi dari seluruh Bumi. Jadi ekolog
secara ilmiah menjelaskan tentang eksistensi tumbuhan, hewan dan manusia saling
berhubungan dan saling bergantung satu dengan yang lainnya.[29]
Dalam ekologi, ditunjukkan bahwa bumi
mengalami proses dinamis yang melibatkan manusia dan makhluk-makhluk hidup
dalam interaksi yang saling mempengaruhi sehingga terwujud suatu keseimbangan.
Lingkungan tempat berlangsungnya proses dinamis itu disebut ekosistem yaitu
aturan atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dan saling bergantung. Secara ringkas
dapat dikatakan semua ekosistem meliputi interaksi antara lingkungan biotik
(alam hidup: tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia) dan lingkungan abiotik (alam tak
hidup: tanah, air, udara, batu dll). Dan apabila keseimbangan dan keharmonisan
tatanan itu terganggu melalui kerusakan atau pencemaran, maka manusia dan
makhluk hidup lainnya akan terancam. [30]
3.3. Problematis eskatologi dan
Ekologi
Dimensi
kekinian dan keakanan dari eskatologi seringkali dipahami secara terpisah dan ekstrim, sehingga
mengakibatkan pengabaian terhadap salah satu dimensi lainnya dalam
tugas dan panggilannya. Pendekatan berorientasi
kekinian (present oriented), hanya berfokus pada tugas masa kini dan
cenderung mengabaikan dimensi keakanan dari Kerajaan Allah, demikian juga
sebaliknya, pendekatan yang berorientasi pada dimensi keakanan (future oriented) umumnya telah
mengabaikan dimensi kekinian. Fokus pengajaran ini selalu terpatok
pada peristiwa-peristiwa yang akan datang, sehingga
praktek kekinian dari keberadaan
Kerajaan Allah seringkali terabaikan dan
menganggapnya kurang penting. Dimensi kekinian terasa bukan primary,
sehingga meningkatkan tendensitas pada pengabaian aspek-aspek sosial, budaya,
termasuk lingkungan hidup.
Krisis
lingkungan hidup sebagai tema dan permasalahan yang telah menjadi diskusi
masyarakat international. Krisis global ini memberikan dampak-dampak secara
signifikan bagi kehidupan umat manusia, misalnya perubahan iklim, pencemaran
air bersih, bahkan dalam bentuk bencana- bencana alam. Bentuk-bentuk
krisis lingkungan seringkali dilihat dalam kacamata eskatologis sebagai
tanda-tanda akhir zaman serta sebagai akibat dosa. Kecenderungan melihat hanya
sebagai tanda-tanda zaman dalam sikap pesimistis, sehingga menjadi pasif
terhadap krisis yang ada, dan perhatian hanya difokuskan kepada hal-hal akhir
zaman.[31]
Ada hal yang dilematis memang ketika dicermati sebuah
pernyataan yang dikuti oleh Imanuel Geovasky dari
seorang teolog
besar Jürgen Moltmann
berkata “Nature is not our property,
neither are we only the part of nature”
(Alam bukan milik kita, dan kita juga bukan hanya bagian dari alam). Di kala manusia
jaman modern
(post- modern?)
sekarang dihinggapi
pola pikir bahwa alam
ini adalah sesuatu
yang
menjadi barang miliknya (property), sehingga
manusia merasa berhak untuk
menguasai
dan
memanfaatkan
segala yang
ada
di alam ini. Pemahaman yang melekat adalah semua yang
ada
di alam diciptakan
demi
keberlangsungan
hidup manusia,
sang makhluk yang (merasa diri) ada pada puncak tangga kehidupan. Sikap
superioritas
manusia pun sering didengung-dengungkan
dalam ungkapan-ungkapan yang
mengagungkan kelebihan manusia
di atas makhluk yang
lain.[32] Artinya alam bukanlah harta milik kita yang
bisa
seenaknya dikuasai dan dimanfaatkan
semaunya oleh manusia. Namun
pada saat yang
bersamaan mengingatkan
adanya
dilema di balik itu, yakni kita, manusia
memang bukan
hanya sekedar
bagian dari alam
ini.
III. Hubungan Eskatologi dan Ekologi Dalam Bingkai Perjanjian Lama
Pada abad ke-20, pemahaman eskatologi
mulai bergeser. Secara sederhana, pergeseran kencerungan umum pemikiran
eskatologi dapat dibagi sebagai berikut: (i) Dari eskatologi sebagai bagian
akhir dogmatis menjadi bagian penting pada keseluruhan teologi. Pandangan ini
sebenarnya menegaskan bahwa teologi dogmatik mendasarkan diri pada sejarah
keselamatan. Dan, sejarah keselamatan itu pasti bersinggungan dengan
eskatologi. (ii). Dari eskatologi masa depan ke eskatologi sekarang. Makluk
hidup masa depan sudah hidup saat ini. Oleh karenanya, keadaan akhir setiap makluk
hidup dibentuk hari demi hari. (iii) Dari eskatologi esensi ke eskatologi
keberadaan. Ketika eskatologi mulai bergeser pada eskatologi sekarang ini, maka
dampaknya, orang kristiani diajak untuk menyadari keberadaan saat ini. (iv).
Dari ‘eschata’ sebagai tempat atau keadaan ke ‘eschaton’: pribadi. Dalam hal
ini eskatologi dihubungkan kepada Kristus sebagai kehadiran real eskatologis
yang aktual dalam sejarah Gereja dan dunia. (v). Dari individual ke eskatologi
universal. Eskatologi mulai bergeser kepada masa depan seluruh makhluk hidup
dan seluruh ciptaan Tuhan sendiri. Maka, eskatologi tak hanya menyentuh aspek
individual. Belakangan, perspektif eskatologi sebagai sebuah proses teologi
dipengaruhi filsafat Whitehead. Filsafat Whitehead yang menekankan visi
kesatuan semesta mempengaruhi paham eskatologi kristiani. Pertama, manusia,
khususnya, tubuhnya merupakan bagian integral semesta. Kehidupan makhluk hidup
bukan sekadar penerusan melalui kelahiran. Masa depan individu tak bisa
dipisahkan dari semua makhluk dan semesta. Kedua , iman kristiani menyampaikan
bahwa makhluk hidup mempunyai peran ganda: memenuhi muka bumi dan saling
membagikan hidup abadi Allah sendiri. Hidup dalam cinta berarti hidup dalam
solidaritas dalam membangun keadilan. Manusia dituntut untuk bersolider dengan
semua ciptaan. Ketiga , eskatologi dibuat nyata hadir dalam hidup ini melalui
usaha mendirikan Kerajaan Allah dalam komunitas-komunitas yang penuh dengan
persaudaraan, cinta kasih dan bekerja untuk keadilan. Solidaritas dengan sesama
makhluk ciptaan tak hanya berhenti pada kematian phisik, tetapi saling berbagi sampai
di surga, Kerajaan Allah nantinya. Paham eskatologi Kristiani sendiri selalu
berhubungan dengan soteriologi dan kristologi.[33]
3.1. Esensi Teologis Eskatologi dan
Ekologi Dalam Perpektif Teologi Perjanjian Lama
Perspektif
Alkitab tentang eskatologi dan ekologi
harus dimulai dalam
pandangan Alkitab tentang Tuhan. Dalam pengertian ini, dunia yang Alkitabiah adalah dalam perfektif yang teosentris dari pada
anthroposentris atau biosentris. Secara
signifikan, Kejadian 1 adalah titik awal untuk melihat perpektif teosentris.
Tuhan dalam Alkitab adalah
Tuhan yang ada sebelum adanya ciptaanNya. Dalam Kej 2:4 kita menemukan Tuhan
yang mengendalikan karyaNya, “menciptakan” (“membuat” Ibr “asah”) bumi dan
langit. Tuhan digambarkan bisa dekat dengan ciptaaNya namun Allah eksistensi
Allah mengatasi dari seluruh ciptaanNya dan Allah menyuruh Adam untuk
memelihara taman eden (Kej 1:26-28). Penciptaan Allah pada hari keenam dan ciptaan
lainnya diciptakan masing-masing unsur terwujud dalam menemukan makna untuk
mengisi fungsi dan peran dalam tatanan kebajikan. Cahaya mengahalau kegelapan
supaya ada hari terang. Cakrawala membuat perairan terpisah, lahan kering yanag
kemudian menyediakan maka untuk semua mahluk yang hidup. Laut menjadi ekosistem
bagi ikan dan ekosistem lainnya. Siklus siang dan malam diatur Tuhan sedemikian
rupa.[34] Kisah
pernciptaan mengambarkan bahwa Tuhan membangun ciptaannya sebagai “persektuan
kosmik”, dimana Allh menciptakan Adam dan Hawa sebagai milikNya dan memiliki
tanggungjwab sebaai gambar Allah untuk membawa berkat bagi seluruh dunia. Namun
harapan itu hancur karena ketidaktaaan Adam dan Hawa dan diusir dari taman
Eden.[35]
Penciptaan Allah terhadap manusia berbeda dengan ciptaan lainnya.
Penciptaan terhadap manusia lebih bersifat pribadi, Tuhan dan manusia memiliki
percakapan intensif. Kejadian 1:28 mencatat bahwa penciptaan umat manusia harus
dipahami sebagai bagian dari integral ciptaan dan keberadaan manusia yang tak
terpisahkan. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi." Ayat ini bukan justifikasi untuk supaya
mempunya banyak keturunan atau juga membatasi kelahiran. Konteks ayat tersebut
bukanlah bersifat perintah atau anjuran untuk berkembangbiak tanpa batas,
melainkan menekan tumbuh dengan jumlah yang masuk akal.[36]
Gagasan “berkuasalah atas bumi” banyak juga digunakan untuk
melegitimasi praktek-praktek prokreasi yang secara alami sangat menarik bagi
umat manusia. Ide-ide “kekuasaan” telah diambil untuk melegitimasi
“superioritas” kemanusiaan atas ciptaan lainnya. Demi untuk kepentingan
ekonomi, manusia mengabaikan kepedulian terhadap lingkungan. Dampak teknologi
idusri, produk limbah idustri telah berdampak negative terhadap krisis lingkungan,
sumber daya alam semakin menusut akibat eksploitasi manusia.[37]
Meskipun dunia, atau situasi semakin sulit , terjadinya krisis
ekologi, namun jemaat Kristen tetap memiliki pengharapan eskatologis. Dalam konteks
sistim monarki Israel, Nabi Amos menuarakan pesan harapan: “"Sesungguhnya, waktu akan datang,"
demikianlah firman TUHAN, "bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan
pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan
segala bukit akan kebanjiran (Am 9:13). Harapan yang disampaikan oleh Nabi
adalah kehidupan masa depan, pengharapan eskatologis. Harapan itu adalah sumber
kekuatan iman dalam konteks umat pada zaman Amos, dan konteks masa kini. Harapan
eskatologis (surgawi) tidak dapat dipisahkan dengan sikap dan tanggungjawab
manusia pada masa kini.[38]
Secara teologis doktrin eskatologi dan ekologi berpusat pada theosentris, maka
ekologi adalah bagian integral dari eskatologi. Iman adalah dasar untuk hidup
dalam “eskaton” dalam relasi dengan “oikos”. Dalam hal inilah dipahami bahwa
iman tak terpisahkan dalam dimensi tanggungjawab moral.
Oleh sebab itu selurup
ciptaan Tuhan diciptakan dalam sistim kosmologis yang benar-benar seimbang dan
manusia memiliki peran penting menjaga dan memeliharanya. Tujuan manusia bukan
untuk menguasai “mengeksploitasi” namun melayani dengan tujuan yang agung dan
mulia. Maka Kej 2 bukan dipaham dalam perpesktif antroposenstrik, namun
Kejadian 2 mendukung sikap dan ras hormat yang sehat terhadap lingkungan.
Memang mandat ekologis semakin ditegaskan dalam Kej 1:15 dimana “ Allah
menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan baik untuk dimakan
buahnya..” Istilah yang dipakai bukan lagi kata “manaklukkan dan menundukkan”
melainkan kata “mengusahakan dan memelihara”. Kata kerja memelihara (Ibr shamar[39]:
menyimpan) harta yang dipercayakan kepada manusia. Meski Tuhan menyerahkan
taman eden kepada Adam, namun itu bukan tamanya melainkan taman milikTuhan.[40] Dalam
pemahaman inilah orang Kristen memahami tanggungjawabanya untuk memelihara bumi
dan keutuahan ciptaanNya. [41]
Kesaksian yang lebih lanjut tentang nilai dan keajaiban alam
tertulis dalam Mazmur 19, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya” Mazmur 8, “Jika aku melihat langit-Mu,
buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia,
sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau
mengindahkannya? (ay 4-5) Mazmur 104 “ Nyanyian pujian penciptaan yang
menakjupkan dimana keindahan alam dirayakan, Tuhan menciptakan demi kebutuhan
manusia, dan jua ciptaan lainnya. Namun semua akhirnya untuk pelayanan bagi
manusia (ay 14). Jadi semua Tuhan ciptakan bukan untuk memenuhi keserakahan
(eksploitatif) manusia namun manusia harus memposiskan fungsinya bukan
posisinya. Tujuan agung Allah bagi Allah adalah semua harus mencerminkan
kemuliaaNya dalam keharmonisan dan keindahan yang tidak tercela. Manusia sejak
awal menjadi pusat dan segala sesuatau berfungsi dalam keharmonisan antara alam
dengan manusia. Oleh sebab itu nabi Yesaya memeberitakan tentang “langit dan
bumi yang baru” ( Lih Yesaya 65:17) yang intinya menekankan keharmonisan
terhadap alam ciptaan Tuhan.
Ini adalah elemen kosmis
dalam penebusan yang menggabungkan tema penciptaan dalam Kejadian dan penebusan
dari Keluaran. Demikanlah halnya dalam Perjanjian Baru, Paulus mengutif dari
teologi Yesaya dalam suratnya kepada orang Roma (Rom 8:19-25).[42]
Dalam perspektif inilah dipahami bahwa dalam iman Kristen eskatologi memiliki hubugan
yang tak terpisahkan dengan ekologi. Sebab tujuan Tuhan bagi dunia adalah
“harapan” yang mengungkapkan terciptanya tatatan alam yang berkelanjutan dalam
dimensi ekologi.
Manusia ciptaan Tuhan
memiliki mandat Budaya[43] Narasi penciptaan dari Kejadian 1:
1-2: 4a, menceritakan bagaimana manusia diciptakan menurut gambar Allah di
dalam memerintahkan untuk menjalankan kekuasaan atas bumi dan semua kehidupan
binatang di atasnya dan bagaimana Tuhan memberi mereka apa yang sering disebut
"mandat budaya" untuk "berbuah dan berkembang biak, dan isi bumi
dan menundukkannya, dan berkuasa ”(1:28). Para ahli ekologi telah mengkritisi
bahwa penafsiran yang salah terhadap kata “menundukkan” telah mendorong sikap
ekspolitasi manusia.
Ketika pembuangan terjadi
dalam umat Israel, para nabi mendorong umatnya dengan jaminan bahwa itu tidak
akan bertahan selamanya. Pemulihan akan datang, dan dalam beberapa untaian
kenabian dorongan restorasi ini dikaitkan dengan harapan putra Daud, yang akan
"memerintah sebagai raja dan berurusan dengan bijaksana" dan
"melaksanakan keadilan dan kebenaran di negeri ini. Di hari-harinya Yehuda akan diselamatkan, dan Israel
akan diam dengan aman; dan ini adalah nama dimana dia akan disebut:
"Yahweh adalah kebenaran kita" (Yer 23: 5-6; lih. 33: 14-16).[44]
Secara
tradisional negatif perpsektif Kristen terhadap dunia selama ini dikendalikan
oleh tiga ide dasar: Pertama,
Kejadian 1:28 yang mencatat mandat Ilahi dengan menekan “berkuasalah…”
Perkataan tersebut dianggap sebagai legalitas Ilahi dan mendorong manusia untuk
melakukan eksploitasi terhadap ciptaan lainnya. Kedua, Kekristenan dianggap hanya berfokus pada hal eskatolgis
(akhirat, surge dan spiritual), dan memahami lingkungan (bumi) hanya temapt
sementara saja. Ketiga, dan
sehubungan dengan tersebutm kekristenan adalah dilihat sebagai hal yang
menekankan Jiwa atau Roh dan mengabaikan hal fisik. Sikap yang ekstrim ini
Nampak dapat praktek dalam sikap hidup gereja mula-mula. Meski konsep tersebut
nampaknya Alkitabiah namun sikap ekstrim tersebut telah menimbulkan dampak yang
negatif. Meski penekanan eskatologi adalah bagian yang benar dalam kekristenan,
namun harus dilihat secara bersama bahwa inti nubuatan kenabian yang
terkonsentrasi pada hal spiritual harus selalu berhubungan dengan kehendak
Tuhan, dan itulah tugas imamat dimana fungsi esensial mereka adalah
menghubungkan hal spiritual dengan hal materi. Peran para Imam dalam PL dan
Nabi senantiasa menekanka hubungan Tuhan dan manusia. Fungsi utama manusia
adalah mengatasi transendensi Tuhan melalui pandangan yang benar terhadap alam.
Tanpa peran seperti itu maka eksistensi agama Kristen secara alami akan menjadi
perusak lingkungan. Bagi orang Kristen, Kritus adalah model panutan yang
memenuhi nubuatan Perjian Lama. Dan memberikan dasar bagi sikap dan tindakan
orang-orang Kristen. Dalam hidup Kristus dan pelayananNya, Dia diakui sebagai
tokoh sentral yang berfungsi sebagai Nabi dan Raja yang benar, dan dalam
kematianNya dan kebangkitanNya, Ia diakui sebagai Imam Besar. Dalam hal
tersebutlah Kristus telah menhgikuti dan memenuhi aktifitas para tokoh-tokoh
sebelumnya, yakni Musa dan Samuel yang menyatukan tiga jabatan dalam satu
oknum. Demikianhalnya Kristus yang menyatukan ketiga jabatan itu dalam
pelayanNya. Eksistensi Kristus tidak hanya untuk kemanusiaan, tetapi juga untuk
ciptaan yang lebih luas. Sebagai Nabi, Ia berbicara tentang penciptaan (Kol
1:16), dalam hal ini dapat dipahami bahwa Kristus memenuhi fungsi funmental
dari seorang nabi. Sebagai seorang Imam, Kristus telah mengorbankan diriNya
bukan hanya untuk kemanusiaan, namun mencakup dosa kemanusiaan yang
mempengaruhi seluruh ciptaan yang kemudian perlu ditebus.[45] Sebagai
Raja, secara alami Kristus adalah penguasa atas seluruh ciptaan dalam “ruang
dan waktu” secara kontiniu. Jika eksistensi Orang Kristen dilihat sebagai anak
Allah yang diadopsi[46] Maka orang
Kristen juga harus mengamalkan dan melakukan tiga fungsi yang sama sebagai
Imam, Raja, dan Nabi. Eksistensi dan perpektif tersebut adalah solusi dalam
masalah ekologi sebagaimana yang dilakukan oleh Kristus. Jadi gagasan untuk
“berkuasa” atas ciptaan harus secara alami menekankan hal materi pada masa
kekinian, dan itu juga harus seimbang pada dimensi eskatologi yang berkaitan
masa akan datang, dan disisi lain orientasi hal spiritual juga harus menyeimbangkan
perhatian pada hal materi. Perpesktif demikianlah telah menggabungkan gagasan
yang mengarah pada keseimbangan teologi. [47]
3.2. Hakikat Janji Allah Dasar Relasi Eskatologi dan Tanggungjawab
Ekologis
Selain
mencipta dan mewahyukan diriNya, Allah yang kasih itu mewujudkan dengan
berbagai macam cara satu-satunya rahasia kehendakNya yaitu keselamatan manusia
dan seluruh ciptaan. Dalam PL janji Allah dan harapan Israel disajikan dalam
beberapa kisah penting yang memberikan gambaran perwujudan rahasia kehendak
Allah yang tidak lain adalah keselamatan manusia dan seluruh ciptaan. Hal ini
dapat dilihat dari janji Allah dalam pemanggilan Abraham (Kej 12:1-3), Kisah
Keluaran, janji berupa kerajaan (2 Sam 7:8-16), janji pembebasan dari
pembuangan (Yes 9:1-6).[48] Umumnya perjanjian adalah “ikatan” karena adanya kedua belah
pihak yang bersepakat untuk melakukan suatu perjanjian dengan masing-masing
memiliki tugasnya untuk menjaga hubungan perjanjian itu. Namun, perjanjian
Allah tidak selalu dalam definisi kata tersebut. Janji-Nya adalah atas dan
berdasarkan diri-Nya sendiri. John Frame, menjelaskan demikian ” Allah mengikatkan diriNya terhadap
kita, Menjadi Allah kita dan menjadikan kita umatNya, dan membebaskan kita
melalui kasih karuniaNya dan memerintahkan kita dengan hukumNya, Da Ia
memerintah tidak hanya dari atas, tetapi juga dengan kita dan di dalam kita”.[49] Karena Allah berjanji atas diri-Nya
sendiri untuk menjadi Allah, ini adalah komitmen-Nya, sehingga semua keberadaan
dalam dunia dan segala sesuatunya memiliki hubungan dengan janjiNya. Bahkan
lebih tegas lagi, berangkat dari pengertian perjanjian Allah, John Frame
menegaskan bahwa penciptaan itu sendiri adalah sebuah perjanjian Allah. Karena
Roh Allah sendiri ada dengan ciptaan dari permulaan (Kej. 1:2). Ini mengindikasikan
komitmen untuk menjadi present di dalam dan bersama dengan dunia ciptaanNya.[50] Hakikat Perjanjian Allah adalah
kekal, berdasarkan atas diri-Nya sendiri, karena itulah penciptaan dan
penebusan komunitas orang-orang pilihan-Nya sebagai perjanjian kekal Allah,
yang telah dilakukan-Nya sejak semula.
Selain itu Pemilihan Allah merupakan Penggenapan
Perjanjian Penebusan. Pemilihan adalah tindakan ketetapan Allah
sejak semula sebelum segala sesuatunya ada. Pemilihan didasarkan atas inisiatif
dan kesukaanAllah sendiri. Louis Berkhof
mendefinisikan pemilihan sebagai, “tindakan kekal Allah dimana
Ia dalam kesukaan kedaulatan-Nya dan tanpamemperhitungkan jasa atau kebaikan
manusia memilih sejumlah orang untuk menjadi penerima dari anugerah khusus dan keselamatan
kekal atau singkatnya adalah tujuan kekal Allah untuk menyelamatkan sebagian
umat manusia dalam dan melalui Yesus Kristus.”[51] Berkhof menjelaskan bahwa tujuan dari pemilihan ini adalah untuk
keselamatan orang-orang yang telah ditentukan untuk selamat, yang sasaran
akhirnya adalah kemuliaan Allah.[52] Pemilihan dilakukan Allah tanpa melibatkan syarat-syarat dari manusia
yang berdosa, karena memang kejatuhan
manusia dalam dosa menjadikannya tidak mampu untukmelakukan apapun yang
membawanya pada kebenaran. Dalam kedaulatan Allah, Ia menetapkan pemilihan itu
tanpa syarat, dan tidak seorang pun dapat menolak anugerah pemilihan-Nya.
Teologi penciptaan merupakan doktrin
yang urgen dan integral untuk memahami tujuan Allah. Oleh sebab itu adalah
beberapa hal fakta signifikan pencitaan dalam tanggungjawab ekologis yakni: Pertama, Allah adalah pemilik atas dunia
(Maz 24:1), Tuhan adalah “tuan” atas tanah, jadi manusia hanya “menyewa” bumi.
Sebagai “penyewa”, manusia adalah pelayan Tuhan, konsekuensinya adalah tanggungjawab
manusia dan akuntabilitasnya. Kedua,
Sebab Tuhan adalah pencipta, maka alam memiliki nilai intriksik (korelasi).
Alam tidak dilihat dalam perpektif antroprosetrik. Ketiga, Tuhan sebagai pencipta telah menyediakan segala hal yang
diperlukan dari ciptaanya untuk segala mahluk dengan cara yang efektif.
Diantara ketentuan Allah adalah pengaturan energi bumi yang mengitari matahari,
proses biosfer, ekosistem, proses kesubuuran bilogis dan ekologi, sistim
pemurnian air dari biosfer, sirkulasi air daan udara, kemampuan manusia untuk
beradaptasi dan belajar dari kreasi.Namun keserakan, dan sikap eksplitasi,
konsumerisme, dan factor lainnya telah membahayakan tatatan ciptaan yang
berlimpah dari Allah untuk ciptaanNya. [53]
Keempat,
Janji penciptaan Allah untuk mengamankan keteraturan alam dan bukti
kesetiaanNya. Allah berjanji untuk mememlihara tatatan seluruh ciptaanNya (Kej
8:22; Yer 33:20-21). Sementara manusia berkontribusi untuk merusak ciptaaNya.
Allah mememelihara atmosfir bumi pada tatatan yang kondusif untuk kehidupan,
disaat matahari bersinar disaring oleh lapisan ozon. Namun akibat ulah manusia
lapisan ozon semakin menipis disebabkan oleh sebagian besar diakibatkan oleh
bahan kimia yanag dikenal sebagai Cloroflurocarbons (CFC) yang sebahagian besar
di pergunakan oleh Negara-negera maju. Diperkirakan penurunan lapisan ozon
sekitar sepuluh persen menjadi pemicu meningkatkan empat puluh persen penyakit
kanker kulit, dan juga berdampak buruk pada tanaman.[54]
3.3. Mandat Eskatologis dan Ekologis dalam Membangun Relasi yang Harmoni
Hal menarik dalam hubungan eskatologi dan ekologis
adalah memahami esensi eskatologi dan ekologi dalam iman Kristen. Sehubungan
dengan itu ada beberapa hal point penting dalam makna eskatologi dan ekologi
dalam membangun relasi yang harmoni, yakni:
Pertama, Mandat
mengembalan ciptaan: Kejadian 1:28 menegaskan berkat Allah kepada manusia
dimana Allah memberi kemampuan untuk berkomunikasi dengan mahlk ciptaan
lainnya. Berkat itu terungkaa dalam kata kerja “menaklukkan” (Ibr: Kabbsy) dan
“berkuasa” (Ibr: raddah). Dalam Konteks berkat kata kabbsy diartikan “mengolah” atau mengusahakan dan memelihara (bnd.
Kej 2:15). Kata kerja raddah
diartikan sebagai “mengurus dengan baik”. Sebab secara etimologis kata kerja raddah bukan Yl 4:13, melainkan kata
dalam basha Akkad, redu(m) yang artinya “mendampingi”, sehingga dalam konteks
berkat (Kej 1:28a), kata raddah harus dipahami sebagai perintah untuk
menggembalakan mahluk ciptaan lainnya. Jadi makna kata kerja kabbasy dan raddah
menegaskan tanggungjawab manusia sebagai gambar Allah adalah wakil Allah untuk
mengurus ciptaan lainnya di bumi. Kuasa yang diberikan Allah kepada manusia
harus dipahami bukan untuk bertindak semenamena, melainkan upaya untuk mengolah
tanah guna memperoleh makanan. Makna kata kabbsy
adalah hak yang diberikan kepada manusia untuk mengolah bumi dan bukan
pemilinya. Selanjutnya makna kata raddah adalah hak yang diberikan kepada man
usia untuk menjaga dan memlihara bumi. Manusa tidak diberi kuasa untuk mengubah
dan menghancurkan alam, melaikan diberi kuasa untuk “menemani” dan
“menggembalakan” mahluk ciptaan lainnya. Dalam pemahan tersebutlah manusia
disebut sebagai wakil Allah untuk mengatur kehidupan yang harmoni dan suasana
damai. Dengan demikian Kej 1:28 bukanlah hak untuk mengeksploitasi alam tanpa
batas, melainkan kepedulian manusia terhadap kelestarian ekologis. Selurup
ciptaan Allah adalah suatu komunitas yang memiliki hubungan timbal balik satu
dengan yang lainnya dan semua bagian itu masing-masing mengikuti tujuan yang
telah ditentukan oleh Allah.[55] Jadi dalam pengaharapan eskatologis, manusia
harus memahami bahwa Allahlah pemilik seluruh ciptaanNya (ekologi) dan manusi
hendaknya memperlakukan alam ciptaanNya sebagaimana Allah menata ciptaanNya
dengan amat baik.
Kedua, mandat “glorify and worship” memulikan dan menyembah Allah. “Mereka
akan menjadi umat-Ku, dan aku akan menjadi Allah mereka ” (bnd. Kel 6:6-7; Yeh 1:19-20). Proklamasi perjanjian Allah
sebagai dasar pembentukan komunitas eskatologis. Bahwa Allah akan menjadi Allah
Israel baru, komunitas eskatologis. Persekutuan
tidak terbatas pada komunitas orang percaya, tetapi persekutuan juga
berbicara relasi vertikal dengan Allah, sebagai Pribadi teragung yang
selayaknya mendapat pujian hormat dan kemuliaan dari komunitas tebusan-Nya.
Sebagai komunitas yang didirikan Allah, maka komunitas eskatologis memiliki
mandat yaitu penyembahan (worship) kepada Allah. Bloesch, menjelaskan bahwa komunitas eskatologis bukan hanya sebatas
produk anugerah tetapi juga “ a celebrant of grace (sebuah perayaan anugerah)”. Amanat eksistensi gereja adalah
penyembahan kepada Allah dalam kuasa anugerah-Nya. Bahkan ibadah penyembahan
komunitas menjadi “ komunitas yang menjaga dan
memelihara”.[56] Dalam hal inilah dipahami
ibadah yang memiliki pengahapan eskatolgis memiliki implikasi dalam
tanggungjwab ekologis.
Kedua, mandat “relasi horizontal” hidup
saling
mengasihi sesama manusia. Relasi komunitas eskatologis dengan
sesama terikat dalam gambaran dan keserupaan sebagai ciptaan Allah, Yesus
Kristus adalah kepala dari komunitas eskatologis, dan komunitas disebut sebagai
tubuh Yesus Kristus. Prinsip hubungan komunitas eskatologis dengan sesama manusia adalah
ke-Raja-an Kristus Yesus. Komunitas eskatologis
memperoleh anuherah(gratiae) untuk memahami ke-Raja-an
ini, tetapi nonkomunitas eskatologis tidak mendapatkan gratiae untuk mengetahui Raja
diatas segala raja. Anugerah Allah membukakan
selubung yang menutupi
mata dan kepala untuk memiliki anugerah melihat yang sejati, tanpa anugerah selubung
itu akan tetap membungkus kepala dan menutupi mata, sehingga dibutakan untuk
melihat dan menjumpai takhta Sang Raja abadi. Mandat mengasihi sesama, karena
setiap orang memiliki gambar dan rupa Allah sebagai ciptaan-Nya; tetapi juga
sesungguhnya setiap orang memiliki Raja alam
semesta yang sama, karena hanya satu pribadi saja yang menerima kuasa
di bumi dan di surga (regnum potentiae), yaitu Yesus Kristus Sang Raja. [57]
Ketiga,
mandat “penatalayan” untuk memelihara dan mengelola dunia.
Dalam hubungan
dengan dunia, teologi reformed sangat menjaga keseimbangan dan tidak
menitiberatkan pada salah satu sehingga mengabaikan dan mengorbankan yang lain.
Memisahkan diri dari dunia adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan, karena
komunitas eskatologis memiliki kewajiban menjadi ragi bagi masyarakat dan seluruh ciptaan.[58] Mandat budaya yang diterima manusia
adalah kewajiban umat manusia untuk mengembangkan bahan mentah dunia yang
terdapat di alam dan dalam manusia sendiri, untuk memperlihatkan potensi besar
yang terkandung dalam dunia ciptaan, yang telah ditanamkan Sang Pencipta dan
membuatnya berguna bagi manusia sesuai dengan maksud Allah. Tanggjawab
kekristenan adalah pengembangan maandat budaya (kultural).[59] Budaya
tidak sebatas
pada adat istiadat, tetapi lebih luas dari hal itu, yaitu peradaban (civilization)
umat manusia. Penebusan komunitas eskatologis dalam karya Roh Kudus telah
menjadikannya sebagai ciptaan baru, sebagai komunitas yang beradab yang
di bawah terang Roh Kudus hidup untuk memperadabkan peradaban manusia.
Mandat “cultural” secara teologis adalah,
bagaimana manusia secara kreatif menggunakan apa yang telah Tuhan karuniakan dan
menggunakannya untuk kemuliaanNya. Konsep budaya adalah prinsip penting dan
tujuan awal Allah bagi manusia (bnd. Kej 2:15). Kata “mengusahakan” artinya
“membajak” atau mengolah tanah” dalam bahasa Latin disebut “cultura” (Kultur,
budaya). Disinilah peran manusia dalam ciptaan Tuhan untuk “mengusahakan”
(peran nabi), “memelihara” (peran Imam), menaklukkan (peran raja). Setiap orang
Kristen terpanggilan menjadi Nabi, Imam dan Raja. Jadi tugas mandat “memelihara
dan mengelola bumi adalah bagaimana kita membawa “budaya” seluruh ciptaan untuk
memuliakan Allah.[60]
Dengan
demikian adal beberapa hal yang penting untuk membangun relasional yakni:
Pertama, Menghidupkan relasi vertikal dengan
Pencipta. Hakikat perjanjian-Nya Allah telah menetapkan relasi antara Allah
dan umat-Nya, bahwa Ia akan menjadi Allah, dan bangsa-Nya akan menjadi
umat-Nya. Umat perjanjian yang ditebus dalam karya salib dan disucikan oleh Roh
Kudus. Aspek relasi vertikal mempertunjukkan keagungan Allah Sang Pencipta dan
Sang Penebus, yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan apapun (Rm.8).
Relasi vertikal ini tidak dapat begitu saja berdiri, hanya antara individu dan
Allah; tetapi individu terikat dengan individu lainnya sebagai satu anggota
tubuh dan Kristus sebagai Kepala. Persekutuan organis yang menempatkan relasi
dan tanggung jawab individu sekaligus relasi dan tanggung jawab komunitas.
Fokus pada komunitas merupakan karakteristik dari penyembahan (worship)
reformed. Menegaskan bahwa worship tidak hanya sebatas tanggung jawab pribadi
tetapi sebagai kesatuan umat.[61] Karena penyembahan komunitas dilihat
sebagai satu keutuhan yang dapat menjadi tanda bagi dunia.[62]
Kedua, Membangun relasi horizontal dengan
sesama dan ciptaan. Eksistesi umat yang telah
dibusan Kristus menerima pemulihan dan menjadi ciptaan baru,
orang percaya ditempatkan dalam komunitas eskatologis, sebagai bagian dari
komunitas “tubuh Kristus”. Di dalam pengalaman
komunitas ini, orang percaya diberi
kesempatan untuk mampu hidup berbagi, saling mengasihi dan saling
membangun, yang kemudian bersama anggota komunitas lainnya bergerak keluar menjadi garam dan terang bagi
ciptaan lainnya. Penyelamatan tidak bermaksud untuk menjadikan
eksklusif, isolatif dan egois, tetapi untuk mampu hidup bersama. John
de Witt, dengan keras mengatakansebagai “it is a very prostitution of
biblical”.[63]
Manusia
adalah mahluk relasional, sebab manusia tidak bisa hidup secara personal saja. Sejak manusia
diciptakan relasi dengan sesama dan ciptaan adalah relasi esensial.
Adam memiliki sesamanya, yaitu hawa untuk dikasihi dan menjadi penolong; lalu
mereka diberi tanggung jawab horizontal untuk memelihara dan mengelola karya
ciptaan Allah lainnya. Maka, kewajiban gereja sebagai
komunitas eskatologis untuk mengajarkan tentang martabat manusia sebagai
ciptaan dan tanggung jawab kepada dunia ini. Artinya
tidak
diperkenankan untuk menyurutkan bagian kemanusiaan dan
tanggung jawab sebagai penatalayan atas dunia ciptaan
Allah.[64]
IV. Perspektif Baru membangun teologi Eskatologi dan Ekologi
4.1. Konsep teologis Flesh sebagai
dasar Relasi Eskatologi dan Ekologi
Konsep imago mundi adalah istilah yang dicetuskan Jϋrgen Moltmann. Istilah tersebut menjelaskan bahwa manusia adalah gambar dari dunia yang berdiri sebelum Allah sebagai representasi dari seluruh ciptaan.[65] Namun konsep ini masih bersifat antroposentris
karena masih menekankan keunggulan dari
manusia dari ciptaan
lainnya. Kemudian, Denis Edwards, David S. Cunningham, Wendy Farley, Merleau-Ponty, dan Richard Kearney memperkenalkan konsep baru membangun relasi baru dalam
istilah flesh. Hakikat Istilah tersebut bertitik tolak dari peristiwa inkarnasi atau peristiwa Yesus dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya, bukan hanya pada permulaan kehidupan
Yesus
dalam dunia.[66] Selanjutnya Ponty menjelaskan bahwa flesh bukan materi, pikiran, maupun substansi.
Ia merupakan the spatio-temporal individual and the
idea, a
sort of incarnate principle
that brings a style of Being wherever there is a fragment
of Being.[67] Flesh adalah “elemen”[68]
dari suatu eksistensi
yang melekat di dalam tubuh. Selanjutnya Cunningham mengatakan bahwa istilah tersebut mencakup seluruh makhluk hidup.[69] Lebih dalam Edwards menjelaskan bahwa istilah flesh melibatkan seluruh sejarah evolusi
kehidupan di
planet bumi ini,[70]
suatu istilah yang mencakup semua hubungan ekologis.
Relasi fles itu diibaratkan seperti
metafora hubungan perkawinan (Kej 2:24), dimana seorang Pria dan wanita menyatu
dalam hubungan intim satu dengan yang lain, kesatuan dalam daging berarti
melebihi sisi fisik sebagai medium yang didalamnya meliputi kesatuan seluruh
emosi, kerinduan, kegembiraan yang terekspresi sebagai sukacita kepada Allah
yang hidup (bnd Maz 84).[71]
Dengan demikian inkarasi Kristus dalam eksistesinya adalah medium untuk
membangun hubungan eskatologi dan ekologi yang tidak terpisahkan satu dengan
yang lain. Teologi Flesh melihat bagaimana perwujudan dan budaya membentuk cara
kita berpikir tentang kebenaran, moralitas dan Tuhan.[72]
Teologi Fles memahami eksistensi manusia dalam dua esensi, material dan
immaterial. Material adalah terdiri dari tubuh/raga, sedangkan immaterial
terdiri dari berbagai:Roh, Jiwa, Hati Nurani, pikiran, batin.[73]
Sebagaiman ikatan dan kesatuan antar tubuh dan roh, demikian juga manusia
memahami hubungannya dengan alam. Cara manusia berpikir sangat menetukan
bagaimana cara manusia bersikap dan meiliki moral yang bertangungjawab.
Mengubah perilaku manusia terhadap pandangan terhadap alam akan mebangun sikap
dan tinakan yang baik pula. Iman akan membatu manusia untuk membangun sikap
hidup terhadap alam, dan menjauhkan sikap mengeksploitasi dan menguasai sebagai
keinginan daging yang merusak hubungan.
Secara teologis istilah flesh menggambarkan kehadiran nyata
Allah
dalam dunia, karena dalam peristiwa inkarnasi, Sang Firman telah menjadi flesh
(Bnd.Yoh 1:1-2). Allah yang berinkarnasi dalam
dunia adalah sungguh-sungguh Allah yang kodrati.[74] Kearney menjelaskan
peristiwa inkarnasi Allah adalah
bentuk kehendak Allah untuk menyatakan diri-Nya. Allah, Sang Pencinta masuk dalam dunia karena
Ia jatuh
cinta kepada
ciptaan yang dicintai-Nya. Kehendak yang
ilahi tersebut menjelma dan merangkul semua ciptaan serta mempersatukan mereka dalam
satu persekutuan.
Allah adalah Allah yang penuh cinta,
yang melibatkan diri-Nya dalam seluruh
aktivitas dan sejarah manusia.[75] Allah yang menyejarah itu adalah Allah yang dinubuatkan
dalam pengharapan eskatologi PL. Itulah pengharapan Mesianis yang digenapi
dalam Inkarnasi Allah di dalam Kristus.
Inkarnasi
Yesus adalah perwujudan sebagai gambar
sempurna Allah mengambil bentuk yang konkret dalam flesh. Yesus memilih jalan untuk menjadi flesh agar
ciptaan-Nya memasuki suatu
relasi dan kehidupan yang baru. Ia tinggal
dalam kita, bahkan dalam sisi gelap dari kehidupan kita. Peristiwa
inkarnasi memulihkan semua luka, ketidakberdayaan, dan menyatukan Allah – divinitas
yang melampaui “ada” – dengan ciptaan. Peristiwa inkarnasi
menunjukkan perhatian Allah dalam
membangun hubungan yang
berkesinambungan kepada semua flesh,
tanpa terkecuali. Keilahian yang ada dalam flesh menghadirkan Allah atau dalam istilah Ponty
a God,
yang berada di bawah kita daripada Allah yang melampaui kita.[76] Harus dipahami, ketika Allah menjadi flesh, Ia tidak dapat dikategori dalam konsep melampaui atau di bawah ciptaan, justru Ia menyatu dalam ciptaan dan seluruh ciptaan ada di
dalam Dia. Ia menjadi rahim dari seluruh
ciptaan dan
Roh Kudus mengelilingi persekutuan tersebut dan
mengikatnya dalam
cinta solidaritas, cinta yang membebaskan, saling mendukung, dan saling
menghargai, sehingga semua anggota
persekutuan tersebut diberi ruang untuk menunjukkan keaslian diri dan bertransformasi dari setiap
penderitaan yang mereka alami. Peristiwa
inkarnasi merangkul semua ciptaan dalam rangkulan yang transformatif dan mengikutsertakan semua ciptaan untuk
berelasi dengan Allah. Dalam tulisan Joas Adiprasetya, relasi Allah dan ciptaan dijelaskan
dalam istilah reality-perichoresis,
yakni seluruh ciptaan berpartisipasi dalam ketritunggalan Allah melalui Yesus.[77]
Dari uraian diatas maka ada beberapa pokok penting dalam konsep fles untuk membangun hubungan
ekatologi dan ekologi, yakni:
Pertama:
Istilah flesh mengungkapkan
cinta dan partisipasi Allah dalam
dunia yang merupakan hakikat dari Allah sendiri. Allah
sebagai pengharapan eskatologis adalah Allah memelihara seluruh ciptaanNya.
Kedua: Istilah flesh menjadi jembatan dari relasi antara keberadaan Allah yang tidak terlihat dan keberadaan ciptaan yang terlihat. Pengaharapan eskatologi (masak akhir,
masa akan datang) yang bersifat futuris harus disikapi dalam iman dalam
tanggungjawab ekologis sebagai dimensi eskatologis yang presentris. Disinilah
dijembatani pengharapan eskatologis yang tidak terlihat dalam kasat mata dengan
dimensi ekologi yang terlihat.
Ketiga: Istilah flesh mengungkapkan
hasrat/kerinduan Allah untuk “menjelma” dalam ciptaan-Nya
dan istilah flesh mengungkapkan persekutuan antar ciptaan yang dilingkupi oleh Roh Allah,
serta menjadi bukti Allah ada untuk kita, Allah tinggal di dalam kita, dan
Allah ada di atas kita. Iman Kristen tradisional dan
teologi tradisional menjelaskan bahwa keselamatan
bagi seluruh ciptaan(ekologis) dalam peristiwa
sabda menjadi flesh
adalah hasil
dari peran tunggal Allah. Setelah Yesus hadir dalam drama keselamatan
tersebut, fokus dari iman dan teologi
terarah kepadanya. Yesus adalah mediator antara Allah dan kemanusiaan. Drama
keselamatan pada akhirnya diperankan oleh Allah
dan Yesus.[78]
4.2.
Perpektif Baru Konsep Imago Dei dasar hubungan eskatologi dan ekologi
Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurut “gambar Allah”.
Analogi gambar Allah memiliki esensi dan makna dalam eksistensi manusia. Dalam hal ini
ada
beberapa hal yanag
perlu
dimaknai tentang arti manusia sebagai gambar
Allah
dari
sudut antropologi teologis:
1. Hakikat Manusia diciptakan menurut gambar Allah, artinya manusia itu mahluk sosial
yang berasal dari Allah. Di dalam kejadian 1:26 “Berfirmanlah
Allah: "Baiklah Kita
menjadikan
manusia menurut
gambar
dan rupa Kita, kata menjadikan dalam
ayat tersebut berasal dari bahasa Ibrani
„asah artinya “menjadikan” atau “membuat” dengan memakai bahan. Kata tersebut
berbicara mengenai tubuh manusia yang
diciptakan oleh Allah dengan menggunakan bahan yaitu debu tanah, “ketika itulah
TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7a) dan kata
bara‟ yang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan,[79] kata tersebut mengacu
kepada
jiwa
manusia yang
diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7b). Kata berikut ialah yatsar yang berarti
“membentuk”,
bukan
bertumbuh
dan
bertambah-tambah
(Kej.
2:7). “Cerita
Kitab Kejadian
tentang penciptaan
memberikan
kepada
manusia tempat mulia
dalam
alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan
penutup dari segenap karya ciptaan
Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu sendiri terkandung penggenapan dan makna
dari seluruh pekerjaan Allah pada kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya,
dan
manusia
berkuasa
atas semua makhluk.” Manusia adalah gambar
Allah sangat jelas dalam ungkapan
Yesus di Perjanjian
Baru (2 Kor 4:4, Kol 1:15; bnd Ibr 1:3) dan akan menjadi baru dalam Kristus (Rm 8:29). Pandangan Ireneus tentang gambar
(Ibr
tselem) yang berarti akal manusia dan moral sedangkan rupa (demut) diartikan sebagai sama dengan aslinya. Tetapi gambar Allah telah rusak akibat dosa dan akan dipulihkan Allah melalui Yesus Kristus yang adalah gambar Allah
yang sempurna. Sebagai seorang
Kristen harus mempercayai bahwa di dalam penciptaan
manusia ada keterlibatan Allah.[80]
2. Manusia
pada
dasarnya adalah makhluk ciptaan
Allah yang
paling spesial, sebab
Allah
menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk
manusia itu dengan memakai
tangan Allah sendiri (Kej.2:7) “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu
dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang
hidup.” Tidak sama halnya dengan penciptaan
makhluk lainnya, Allah menciptakan makhluk lainnya hanya dengan berfirman tanpa
Allah membentuk langsung.
3. Manusia adalah Gambar Allah artinya menyatakan
tentang
Kepribadian.
Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan
bahwa bentuk luar manusia mengambil bagian dari penggambaran Allah.
Rupa menitikberatkan kepada
kesamaan
daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan
bertindak sebagai wakil penguasa.
Dengan demikian,
kekuasaan manusia
mencerminkan kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia. Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian
dan
bertanggung jawab
di hadapan
Allah, yang pantas
mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan yang ia
lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka. Tubuh
manusia
dianggap sebagai
sarana
yang tepat
untuk kehidupan
rohani. Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mzr. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju
akhir hidupnya.[81]
4. Manusia adalah
Gambar Allah menekankan
tentang
fungsi
dan Tanggung Jawab.[82]
Manusia sebagai gambar Allah mengisyaratkan bahwa manusia
adalah refresentasi dari
Allah di duni ini. Von Rad,
menyatakan bahwa dalam
kontek Timur Dekat kuno, “tselem- gambar” dapat dimaksud
sebagai
bentuk fisik
yang mewakili kehadiran seorang penguasa. Raja yang
memiliki kekuasaan di luar daerahnya, dapat diwakili oleh
patung dirinya sebagai representasi kehadirannya di daerah itu. Berdasarkan analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara
negatif menyangkal manusia sama
dengan Allah.
Gambar Allah
bukanlah serupa dengan
Allah. Sehebat apapun manusia, ia tetap bukan Allah dan hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal
dari debu tanah (Kej.
2:7)
dan kembali kepada debu
(Kej. 3:7). Manusia harus
menyadari bahwa ia adalah mahluk yang
diciptakan Allah, bukan sama dengana
penciptaNya. Meski manusia disebut gambar
Allah, manusia bukan untuk
dipuji dan
disembah, melainkan manusia diperintahkan Allah untuk
memelihara seluruh
ciptaanNya dalam
tanggungjawab sebagai gambar
Allah. Oleh sebab
itu, Gambar
Allah
bersifat fungsional, dimana manusia
ditempatkan di bumi
untuk menunjukkan
kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan berkuasa atas bumi (Kej. 28).
Manusia memiliki
relasi yang istimewa dengan Allah, penguasa bumi
sebenarnya, berkenaan dengan kewajibannya mewakili Yang Mahakuasa untuk
menguasai alam.
Menguasai alam memiliki pemahaman hidup harmoni dengan alam sebelum Kejatuhan dan belum ada unsur keserakahan manusia untuk menguras alam
(Kej. 1-2). Menguasai alam juga berarti mempelajari hukum-hukumnya, menyelidikinya,
mengeksporasinya. Ini bukanlah
pekerjaan
yang ringan, sehingga diperlukan
keseriuasan dan kekuatan manusia. Manusia menjalankan kekuasaannya tetapi
terbatas pada yang didapat dari Penciptanya
dan semua usaha harus
mendatangkan kesejahteraan bagi semua orang bukan hanya segelintir orang saja. Tanggungjawab manusia untuk menjaga dan memelihara ciptaan Tuhan adalah misi untuk membangun
kehidupan yang harmoni bukan hanya untuk mengeksploitasi. Manusia adalah gambar Allah, hal itu dinyatakan dalam Kejadian
1:26-27,
Allah
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, yang berarti mereka berkuasa dalam arti
memelihara ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-
laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Manusia
yang fana tidak memiliki kekuatan tanpa campur tangan Allah. Manusia mengatur
kehidupannya sesuai kehendak Allah.
5. Gambar Allah
menyatakan manusia merepresetasikan sifat Allah . Manusia menggambarkan
Allah sesuai dengan sifat manusia dalam setiap pembicaraan tentang
kehendak Allah atas kehidupan manusia, Allah menjadi manusia dalam Yesus Kristus
semakin memperjelas
bahwa Allah solider dengan kehidupan manusia yang makin sarat dengan kekerasan sehingga Allah memulihkan kembali kemanusiaan manusia yang telah hilang, dengan mengembalikan fungsi agama sebagai wadah
membentuk etika dan moral manusia yang disertai dengan kerjasama yang
baik
dengan ilmu pengetahuan. Gambar
Allah pada diri manusia adalah sifat yang
dimiliki oleh manusia, cerminan sifat Allah yang tritunggal itu dalam diri manusia yakni ingatan, akal budi dan kasih.
Sebaga Imogo Dei,
manusia harus memahami bagaimana mengimani Allah sekaligus menghormati-Nya yang hidup dalam alam ciptaan yang kaya
raya
baik di atas bumi maupun yang ada di bawah bumi. Pandangan
manusia tentang alam, tentang bumi dan segala isinya perlu dibedah kembali dan diubah.
Demikian pula relasi dengan bumi harus
diubah. Dari cara pandang
bahwa bumi hanya sebatas sumber kekayaan
(pola ‘mekanistik’ pasca-masa pencerahan) kepada pandangan
“bumi pertiwi - ibundaku” –
jejaring “rekan-rekan ciptaan”.[83]
Secara historis, sejak abad ke-15, tanah tidak lagi dilihat
sebagai “ibu pertiwi” yang harus
dihormati, melainkan sebagai sumber kekayaan yang dapat diolah demi
kepentingan manusia
laki-laki, terutama golongan yang
berpengetahuan dan bermodal.[84]
Tanah di pandang perlu ditundukkan, diatur dan dieksploitasi sesuai
kebutuhan peradaban. Hierarki tubuh atas
tanah menegaskan
bahwa manusia, sekarang, menjadi pusat wacana bagi ekosistem.
Tubuh yang seharusnya hidup
dalam harmoni dengan alam berubah menjadi
perkakas bagi ego.[85] Kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan bencana adalah bukti bahwa tubuh hanya dipahami sebagai perkakas bagi ego.
Dalam kekristenan, persoalan istilah dapat ditemukan dalam penafsiran
terhadap konsep imago Dei. Konsep
imago Dei dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditafsirkan secara berbeda. Dalam Perjanjian Lama, konsep imago Dei didasarkan pada teks Kejadian 1:26-28. Melalui teks tersebut,
penafsir tradisional
menempatkan manusia
sebagai pusat ciptaan, karena hanya manusia yang
diciptakan serupa dan segambar dengan
Allah. Penafsiran yang antroposentris
itu merupakan doktrin Kristen yang
diajarkan dan dipahami oleh
umat Kristen.
Dalam Perjanjian Baru, imago Dei atau frase gambar Allah justru dikenakan pada Yesus. Yesus menjadi yang sulung dari segala ciptaan (Kol. 1:15), sehingga
imago Dei tidak
menunjuk pada manusia,
melainkan pada Yesus. Yesus memang
merupakan
manifestasi dari Allah Bapa, namun
tidak ada ciptaan yang tidak
diciptakan serupa dengan Allah. Dua cara pandang tersebut membawa implikasi yang berbeda terhadap hubungan antara Allah, manusia,
dan ciptaan. Disatu sisi, konsep imago
Dei
menjadi legitimasi dari dominasi manusia yang tidak terbatas terhadap
ciptaan lain,
tanah dan binatang (Kej. 1:26-28). Dominasi tersebut menghadirkan penderitaan. Pada
sisi yang lain, konsep imago dei justru menempatkan
semua ciptaan pada
tingkatan yang sama, karena semua
ciptaan memiliki jejak Allah dalam dirinya.[86]
Istilah teologis imago Dei diterapkan
secara unik kepada manusia, yang menujukkan hubungan simbolis antara Tuhan dan
manusia (Bnd. Kej 1:27). Teks tersebut bukan berarti menegaskan bahwa Tuhan ada
dalam wujud manusia, melainkan sebaliknya, bahwa manusia ada dal;am citra Allah
dalam sifat mora, spiritual dan intelektual. Jadi manusia mencermionkan
keilahian Tuhan dalam kemampuan mereka untuk mengaktualisasikan kualitas unik
yang telah mereka miliki dan yang membedakan dengan mahluk lain. Jadi makna
Imado dei itu adalh aktualisasi Tuhan sendiri melalui manusia dan pemeliharaan
Tuhan atas manusia. Implikasi moral dari doktrin Ima Dei adalah jika manusia
ingin mencintai Tuhan, maka manusia harus mencintai manusia lain.[87]
Dalam narasi teologi penciptaan pada awalnya “rumah kita di alam semesta”.
Narasi Kej 1 menekankan dua hal “pencipta dan ciptaan”, meskipun puncak
penciptaan adalah manusia namun manusia tidak terpisahkan dari ciptaan lainnya
(Kej 1:11, 20,24). Ini berarti bahwa narasi penciptaan menegaskan keragaman
besar diantara mahluk hidup. Meski manusia diciptakan dari jenis berbeda dari ciptaan lainnya, namun bukan
menunjukkan tirani dan eksploitasi. Dalam Kej 2:4-25, menunjukkan bahwa manusia
harus mengikuti teladan Allah dan penataan bumi (Kej 2:8,15).[88]
Persoalan istilah dalam konsep imago Dei harus dituntaskan. Jürgen
Habermas mengusulkan proses menafsirkan
ulang istilah adalah salah satu
solusi menyelesaikan
persoalan tersebut.
Sehubungan dengan itu, Habermas mengatakan bahwa
menafsirkan ulang (membahasakan) berarti
menyadarkan, membahasakan penderitaan di dalam
sebuah masyarakat
merupakan awal dari pembebasan umat
manusia dari perpektif yang salah[89] Konsep imago Dei dengan penafsiran yang salah telah menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Oleh sebab itu dibutuhkan
suatu konsep yang baru untuk menggambarkan relasi antara Allah dan ciptaan serta
relasi antar ciptaan.
Sebagaimana halnya “Tubuh dan tanah”
adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dalam proses kehidupan. Keduanya
melambangkan keterhubungan yang lekat. Keterhubungan dan ketidakmampuan untuk terpisah menjadi penanda bahwa tidak ada hierarki
antara tanah dan tubuh. Tanah
melahirkan segala
makanan melalui tumbuhan dan mengandung
air untuk tubuh, demikian juga, tubuh-tubuh
bangkai yang memberikan gizi kesuburan pada
tanah setelah kematian. [90] Hubungan yang seharusnya setara antara
tubuh dan tanah lenyap ketika manusia membangun hierarki tubuh atas tanah. Konsep tersebut bersandar pada
asumsi
Aristoteles mengenai
aturan
alam
yang memberi tempat khusus bagi manusia
dalam ciptaan[91]
Persoalan hierarki antara tubuh dan
tanah adalah persoalan bahasa
(istilaha). Perubahan sikap terhadap ciptaan lain, tanah dan binatang, hanya dapat terjadi
jika
persoalan bahasa terselesaikan. Persoalan konsep yang salah akan berdampak pada
penderitaan. Menurut Wittgenstein, ketika
bahasa menjadi terlalu dominan,
ia menjadi tameng perlindungan bagi manusia untuk menyembunyikan diri dari
kewajiban bertanggung
jawab
sebagai subjek.[92]
Hubugan eskatologi dan ekologi dpat diibaratakan seperti “Tubuh dan tanah, dua
yang tidak dapat dipisahkan lam iman Kristen.
4.3. Model Ekoloteologi Dalam Relasi
Eskatologis
Yang dijadikan patokan untuk membaca sikap
tradisi Yahudi terhadap alam adalah Kitab Kejadian pasal 1 ayat 28. Ayat
tersebut dilihat sangat antroposentris oleh para pakar. Ayat tersebut sebagai
berikut, “Allah memberkati mereka (Adam
dan Hawa); lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah Posisi Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari
ciptaanNya inilah yang
dipandang oleh beberapa teolog sebagai akar dari krisis
ekologi. Beberapa teolog yang dimaksud adalah Emil Brunner, Lynn
White dan Harvey Cox. White dan Cox adalah pemikir besar dalam dunia eko-teologi, ilmu
yang dikembangkan untuk melihat
hubungan antara lingkungan hidup dan teologi, yang
memandang
pemisahan antara Pencipta dan ciptaanNya sebagai akar krisis
ekologi. Untuk menjawab
model penafsiran
Brunner,
White,
dan
Cox terhadap kisah penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2, berkembang berbagai model tafsiran eko-teologi yang lain. Beberapa
model
eko-teologi yang akan dibahas di
sini adalah model imago dei, model organis,
panenteisme, teologi kenosis, dan teologi
Roh Kudus. Kelima model ini
berisi usaha untuk menjelaskan bahwa Alkitab dan
ajaran gereja sesungguhnya memuat pesan
penting
bagi
manusia untuk
melindungi lingkungan hidup[93].
Secara garis
besar, akar masalah ekologis
disebabkan
manusia melupakan dimensi teosentris
ketika berelasi
dengan alam dan penekanan antroposentris yang terlalu agresif. Manusia sebagai pusat merupakan hasil antroposentrisme, sehingga menganggap
dirinya terpisah dari alam. Dengan bersifat eksklusif, mengsubordinat, dan dominatif, manusia bergerak dari distingsi
menuju ke distansi dan kemudian dualisme.
Pembedaan antara manusia dan
yang bukan manusia menjadi
jarak antara manusia dan yang bukan manusia.
Gerak ini selanjutnya menuju pemisahan antara manusia dengan yang nonmanusia. Pemisahan yang bersifat subjek objek dan disokong oleh keserakahan ini telah menghasilkan eksploitasi.[94]
John Stott, seorang eko-teolog, menjelaskan bahwa keberadaan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau imago dei adalah dasar sikap perlindungan manusia terhadap lingkungan hidup. Manusia
sebagai imago dei memiliki
tiga makna yaitu hubungan, komunitas, dan tugas khusus.[95] Pertama, manusia sebagai imago dei memiliki hubungan yang intim dengan Allah yang berdampak pada sikap membawa
damai kepada
ciptaan Allah yang lain. Kedua, Allah sejak penciptaan memandang seluruh ciptaanNya sebagai bagian dari sebuah komunitas
yang saling menopang
satu dengan yang lainnya. Ketiga, manusia sebagai imago dei diberikan
kuasa untuk
‘menaklukkan’
(Ibrani: Kabbas) dan ‘berkuasa’ (Ibrani: Raddah) yang ditafsirkan
oleh Stott sebagai tangggung jawab untuk
“mengolah/mengusahakan, menjaga/merawat taman Allah,
dan memberi nama kepada ciptaan Allah yang
lain”. Model
ekoteologi imago dei yang dikembangkan oleh Stott ini jelas
menekankan
pada
manusia
sebagai yang lebih istimewa
dibandingkan dengan
ciptaan Allah yang lain walaupun juga menaruh perhatian kepada tanggung jawab manusia untuk
memelihara ciptaan
Allah yang lain.[96]
Model
yang kedua adalah model ekoteologi organis.[97] Di dalam model organis, Allah tidak dilihat sebagai Allah yang di
atas
manusia tetapi sebaliknya
Allah dilihat sebagai bagian
dari
kehidupan ciptaan.
Pemahaman organis menunjuk
kepada ciri khas organisme yang saling terhubung, membutuhkan,
dan
menopang satu dengan yang lain. Hubungan antara Allah
selaku Pencipta dengan
ciptaanNya bukanlah hubungan
atas-bawah melainkan hubungan saling membutuhkan.
Model ketiga adalah Ekoteologi
panenteisme. Dalam
panteisme Allah tidak dibedakan
dari ciptaan,
sedangkan
dalam
penenteisme
Allah berbeda dengan ciptaan walaupun
tetap memiliki hubungan dekat dengan ciptaanNya.[98] McDaniel memahami kisah penciptaan sebagai sebuah “simfoni yang
tak
pernah selesai: yang dimainkan oleh orkes dengan banyak
pemain
yang kreatif yang dikoordinasikan oleh Allah
sebagai pemimpin orkes simponi yang terus
menerus merayu mereka kepada kreativitas yang baru dan menghasilkan suatu kerukunan di dalam perbedaan-perbedaan”.[99] Model ini mengakui
bahwa ciptaan mewakili keindahan Penciptanya dan seluruh ciptaan dipanggil untuk hidup harmonis bersama dengan Penciptanya.
Model keempat adalah ekoteologi
kenosis. Model ini menekankan Allah telah berinkarnasi dan menjadi
bagian dari dunia
di dalam diri Yesus Kristus, Allah menyatu dengan dunia. Oleh karena
itu, Allah dan dunia adalah kesatuan.
Artinya ciptaan harus melihat
dunia sebagai bagian dari “tubuh Allah,” walaupun Allah tidak
bisa
dibatasi hanya dalam dunia saja tetapi Allah dapat
diidentifikasi lewat ciptaanNya.[100]
Model kelima adalah model ekoteologi
parekletos: menekankan peran dari
Roh Kudus.[101] Roh Kudus berfungsi di dalam dunia sebagai yang
menyertai ciptaan dan merangkul ciptaan menuju sebuah kesinambungan.
Roh Kudus menderita
bersama ciptaan yang menderita dan memberi kekuatan kepada ciptaan.
Menurut
Edwards, Roh Kudus memainkan peran penting karena “di dalam roh, segala
makhluk adalah
bagian dari kita, dan kita bagian dari mereka, bersama-sama
dihidupkan oleh satu Roh yang merangkum semua”. Roh menyatukan ciptaan dengan penciptaNya
dalam persekutuan yang saling memelihara.
Dari kelima model
ekoteologi ditas memiliki dua ciri
yang relatif sama yaitu: pertama, manusia bukan pusat dari ciptaan. Manusia sebagai imago dei Allah bukan menekankan hirarki keistimewaan manusia,
melainkan menekankan fungsi manusia menjalankan peran memuliakan Allah lewat hidup yang
harmonis dengan ciptaan lain sebagai satu keutuhan ciptaan. Manusia bertanggungjawab kepada Allah dalam memelihara ciptaanNya. Kedua,
keutuhan antara Pencipta dan ciptaan.
Dalam perpectif ekoteologi penafsiran narasi penciptaan (Kej 1 &
2),inkarnasi Yesus Kristus, dan peran Roh Kudus, masing-masing menekankan Allah sebagai Pencipta tidak
terpisah dari ciptaanNya.
Allah hadir
di tengah-tengah ciptaanNya
lewat inkarnasi Yesus
dan menyatu dengan ciptaanNya. Allah menuntun ciptaanNya lewat Roh Kudus dan bergumul
bersama
dengan mereka. Allah menderita bersama ciptaanNya
dan
menguatkan seluruh ciptaanNya untuk
menuju kepada pemulihan.[102] Konsep manusia sebagai imago
Dei ini hendaknya tidaklah diterjemahkan dalam paradigma
antroposentris, tetapi dalam paradigma kosmosentris. Dasar biblis yang
digunakan penulis dalam memahami manusia sebagai imago Deiini ialah
kitab Kejadian 1: 26-29. Term imago mengandung nuansa relasi.
Term ini berasal dari perundangan di Timur Tengah yang mengindikasikan hegemoni
penguasa alam semesta.[103] Dalam Kitab Kejadian, term ini
kemudian tidak hanya menggambarkan relasi manusia dengan Tuhan tetapi juga
relasi manusia dengan alam. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah mempunyai
pengertian yang amat luas, yang tidak hanya dimengerti secara individualistis
tetapi juga secara sosial dan kosmis.[104]
Revitalisasi ekoloteologi hendaknya meyakini dan menerima ciptaan sebagai bagian dari karya Allah tanpa membatasi karya Allah hanya di
dalam ciptaanNya saja. Allah lebih besar dari ciptaanNya, tetapi lewat ciptaanNya kita dapat
melihat gambar Allah.
Visi ekologis dalam pandangan tradisi
Yudaisme sejatinya tidaklah bersifat antroposentris semata. Secara historis penafsiran orang Yahudi mengenai ayat
tersebut mengalami pengembangan dan penyusutan. Ini bisa dilihat bahwa krisis
ekologis yang dimaksudkan dalam perbincangan sekarang adalah fenomena khas yang
muncul pada era di mana modernitas menjadi kesadaran kolektif. Sehingga,
antroposentrisisme juga turut berkembang dan menyusut.[105] Dan, teknologi
serta sains yang menjadi penyangga industrialisasi merupakan kegiatan ilmiah
yang secara umum jauh dari sinaran agama, untuk tidak mengatakan bahwa sains
dan teknologi pada titik tertentu sangat bertentangan dengan pandangan
keagamaan.
Sikap dominatif manusia terhadap alam ditunjukkan dengan sikap yang menguasai alam. The Historical Roots of Our Ecological Crisis, karya Lynn White, memperlihatkan asal mula sikap dominatif manusia terhadap
alam. White berpendapat bahwa Allah yang dijelaskan
di dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama adalah Allah yang terpisah dari ciptaan-Nya, maka alam dipahami
sebagai yang terpisah pula dari Allah.[106] Pemikiran
tersebut diadopsi manusia sebagai “citra Allah” untuk menegaskan dirinya yang terpisah dari alam. Keterpisahan antara manusia
dengan alam mencetuskan paradigma dualisme. Efek yang ditimbulkan ialah sikap kesewenang-
wenangan manusia dalam mengeksploitasi alam yang terpisah dari Allah.
Dengan berkembangnya akal manusia dan
perhatian terhadap antroposentrisme yang
tinggi, manusia berusaha untuk melawan dominasi alam. Manusia dapat berpikir secara baik sehingga mampu belajar bertahan dan mengatasi alam. Namun, relasi manusia dengan alam ditandai
dengan
sikap manusia memosisikan
diri sebagai subjek dan alam hanya
objek. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi alam secara pragmatis
demi kebutuhan manusia. Ketika
manusia menempatkan diri sebagai pusat, ia akhirnya memberikan prioritas tertinggi pada kepentingannya sendiri.[107]
4.3.
Refleksi Membangun Perpektif relasi baru eskatologi dan ekologis dalam Jemaat
Kristen
Theos dan
logos dalam istilah
Yunani artinya Tuhan
dan bahasa- kata-ilmu. Tradisi Latin menyebutkan fides querens intelectum,
sebuah aktifitas iman
yang mencari pengertian.
Maka, teologi bisa diartikan sebagai usaha orang yang percaya kepada Tuhan untuk
mencari dan menemukan penjelasan-penjelasan yang memungkinkan tentang Tuhan. Mengapa mencari penjelasan, karena pemahaman
tentang
Tuhannya sebagai sesuatu yang misterius. Kerap menakutkan
dan
menakjubkan, tremendum et fascinosum. Hal yang
mengagumkan sekaligus
menakutkan, dalam pandangan
tradisional mengarahkan pikiran
pada Takut Akan Tuhan yang termanifestasi dalam kagum dan takut lalu hormat kepadaNya
dalam alam ciptaan.
Atas
pandangan “takut” dan kagum itu, manusia beriman mencoba melakukan refleksi
mendalam dan ilmiah yang dinamakan
kegiatan
berteologi. Maka, dalam berteologi pertama-tama adalah upaya
penghayatan dan
pemahaman manusia
beriman tentang Tuhan
dan karya-Nya dalam hubungan dengan manusia sejauh Allah sendiri menyatakannya. Artinya, kegiatan berteologi adalah kegiatan bersama orang-orang yang beriman kepada Allah, Tuhan Pencipta dan itu dilakukan secara kontekstual.[108] Dan
kegiatan tersebut adalah
sebuah pengalaman iman secara berkesinambungan tanpa henti
dalam beragam konteks penghayatan yang hidup akan iman kristiani.[109]
Cara pandang manusia yang bersifat
antroposentris telah mengakibatkan krisis ekologis. Dalam hal inilah gereja
perlu menegaskan pemahaman teologinya tentang ekologi secara Alkkitabiah. Secara filosofis, ekologi adalah suatu ilmu interdisipliner
yang mempelajari harmoni perkembangan bumi (kosmos) bagi
kebersamaan setiap pengkosmos.[110] Disini ekologi
memerlukan penilaian teologis "karena bagi ekologi penting sekali pemahaman waktu, tradisi dan masa depan”[111] dalam mencari harmoni nilai-nilai dan
makna moral, walau "membatasi diri pada kosmis di dalam waktu
dan sejarah" serta" bersifat aktual dan
bersikap.[112] Urgen sikap kritis berkaitan
dengan antroposentris agresif.
Sebab, ihwal ekologis bukan lagi
perkara manusia dengan alam, tapi relasi dengan yang Ilahi, dan sesama
manusia pun ikut terseret dalam permasalahan
ini. Keterpusatan alam semesta pada diri
manusia telah merusak hubungan manusia dengan alam dan Allah. Perkembangan
akal, karenanya, harus diarahkan lagi pada usaha memanusiakan
manusia yang sesuai dengan kemuliaan Allah. Perkembangan akal
seharusnya tidak mencoret kesatuan relasi dengan alam, sesama manusia, dan Allah. Alam merupakan salah satu bagian dari penciptaan Allah. Sallie McFague pernah memberikan metafor organik bahwa alam semesta adalah tubuh Allah. Allah, melalui Roh
Kudus, menghidupi dunia ini.[113] Metafor ini dapat mendorong manusia untuk tidak melihat dirinya terlepas dari alam
semesta, agar manusia tidak berdiri sebagai tuan dan alam seakan-akan dipandang sebagai pembantu. Ketika manusia menempatkan diri sebagai pusat, ia
akhirnya memberikan prioritas tertinggi pada kepentingannya sendiri. [114] Oleh sebab itu gereja hendaknya melakukan
revitalisasi ekoteologi kristiani yang alkitabiah. Revitalisasi ekoteologi
adalah mengembalikan esensi. Memahami teologi penciptaan dalam perspektif yang
benar adalah dasar utama dalam membangun ekoteologi Kristiani dalam menyikapi
krisis ekologis.
Salah satu paradigma
yang digulati kemudian adalah
melihat Kebaikan dalam Semua Ciptaan (Kej 1). Karena Allah itu baik, maka yang diciptakan itu baik adanya. Namun, kejahatan muncul dari penyalahgunaan Kebebasan (Kej. 3), maka perlu adanya mereview kembali paradigma,
yaitu Hubungan Ciptaan Dengan Kemanusiaan Menjadi Hubungan
Seluruh Makhluk Ciptaan Dengan
Sang
Pencipta, Perukunan
Kembali Semua Makhluk Ciptaan Dengan Sang Pencipta, Etika Lingkungan Hidup: Nilai (Keadilan, Setia Kawan, Hormat, Tanggung Jawab), Sikap Dan Tindakan.
Dan di sisi lain perlu mengoreksi Pandangan Antroposentrisme menuju Creation-Centered Theology, Watak Dan Keutamaan Dalam Hidup Moral, Tobat,
Kerja Sama
Pandangan
manusia tentang alam, tentang bumi dan segala isinya perlu dibedah kembali dan diubah.[115] Thomas Bery, teolog
ekologi mencermati,
pertama bahwa
sikap menghancurkan bumi sama
dengan menghancurkan dasar imajinasi religius yang mengakibatkan
semacam “kelaparan jiwa”, sebab hampir semua gambaran religius pokok justeru berasal dari lingkungan hidup.
Kedua, sedangkan sikap membangkitkan
rasa
kagum dan hormat akan
bumi yang melahirkan kita,
melahirkan pula kehidupan yang
tak
berkesudahan.[116] Sebuah
masa depan yang tanpa akhir, sebab tetap nyaman dan aman bagi semua. Kapanpun. Untuk itu, menurut Bery, perlu mengakui saling
keterjalinan antara seluruh sistem kehidupan-ekologi.
Sadar akan kehadiran misteri Ilahi “selalu & di mana-mana” dalam bumi ini.[117] Tuhan, sang Ilahi ada di langit dan bumi bahkan di bawah bumi.
Maka, dimana manusia berpijak hendaknya sadar untuk
“Tanggalkanlah
kasutmu dari kakimu, sebab tempat di mana engkau berdiri adalah tanah yang kudus.” Sebagaimana Tuhan perintahkan pada
Musa dalam kisah
kejadian.
Ketiga, alam sama dengan wahyu ilahi perdana, maka memahami
bumi sama dengan memahami Allah. Hal ini bertentangan dengan apa yang dinamakan
“autisme
rohani”
ketika orang beragama lepas
dari keterikatan dengan alam di atas mana ia berpijak dan melangkah. Bahkan
melakukan pembenaran agamis
atas perilaku perusakan alam atas nama kesejahteraan adalah tindakan melawan dan menistai Allah yang sedang
disembah dalam ritus-ritus agama. Sebab, tegas Berry, Alam adalah Tubuh Allah dan itu adalah wahyu pertama sebelum Kitab Suci sebagai wahyu
kedua
ditulis.
Keempat, Paham Yesus Kristus kosmik:[118] bahwa bumi
sebagai jaringan subyek. Kristus
sebagai ‘komunio”
di antara
realitas
kosmik, sosial, personal. Inkarnasinya ke dunia sama penting dengan penebusan. Secara kosmologis,
Kasih Allah yang menggerakkan
matahari
dan bintang- bintang, terpancar dari setiap atom, molekul, wajah dan kembang. Maka
dapat
disimpulkan,
bahwa Allah dalam paham
kristiani adalah Allah yang menjelma menyatu dengan alam ciptaan untuk memberdayakannya
agar bangkit dari kerapuhan dan mencapai kembali keselamatan. Sebuah narasi penebusan, atau gerakan pembebasan bumi dari jerat kehancuran.
Menurut Agustinus sebagai yang dikutip oleh Robinson
mengatakan eksistesi manusia sebagai emago Dei menekankan bahwa manusia melalui
manusia batiniahnya mampu berpartisipasi dalam kebijaksanaan, untuk
berparstisipasi dalam kehidupan menjaga keutuhan alam ciptaan sebagai gambar
Allah yang sejati. Semua alam diciptakan Tuhan dengan baik adanya. Namun
manusia memiliki hubungan yang khusus dengan Allah secara pribadi. Hubungan
dasar ini membedakan kemanusiaan dari semua mahluk lain. Hakikat manusia yang
pada awalnya baik bisa berubah menjadi buruk dan jahat karena manusia mengikuti
nafsunya dan jatuh kedalam dosa. Namun Kristus telah telah menjadi mediator dan
rekonsilitor untuk memberikan anugerah keselamatan.[119]
Respon atas keselamatan inilah manusia memiliki tanggungjawab moral dalam
pengaharapan eskatologinya menjaga keutuhan seluruh ciptaan. Sebab keselamatan
Kristus adalah untuk seluruh ciptaan Allah yang awalnya diciptakan baik adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Arndt.
William F. & F. Wilburgingrich,
1957 A Greek-English Lexicon of The New Testament
and Other Early Christian Literature, The University of Chicago Press,
Chicago
Adrianus.
Sunarko,
2008 Perhatian Pada Lingkungan: Upaya Pendasaran
Teologis ,dalam “Menyapa Bumi, menyembah Hyang Ilahi, tinjauan Teologis
atas Lingkungan Hidup”, Kanisius: Yogyakarta
Adiprasetya, Joas
2013 An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious
Participations (Eugene, Oregon: Wipf & Stock)
Billington. Antony & Hudson. Neil
Refleksions on Fruitfulness in Te Bible, https://www.licc.org.uk, Diakses 06
Desember 2018
Bruce. F.F
1983 “The Bible And the environment” Morris Inch
& Ronald Youngbood, eds, Living and active word of Gog, Essay in Honor
of Samuel J. Schultz Winoma Lake, In Eisenbrauns
Berkhof.
Louis
1994 Teologi Sistematika
I: Doktrin Allah(Jakarta:
LRII)
Bloesch. Donald G.
1997 The Church (Downers Grove: InterVarsity Press)
Browning. W.R.F.,
2001 Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia)
Bavink. J.H.
1987 Sejarah Kerajaan Allah 2: Perjanjian Baru,
BPK Jakarta, Gunung Mulia
Baker. Anton
1995 Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos Sebagai
Rumah tangga Manusia., Yogyakarta: KanisiuS
Banawiratma.
J. B. dan Muller. J.
2003 Berteologi
Lintas Ilmu, Yogyakarta: Kanisius
Bagus. Lorens
2005 Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Butarbutar. Robinson,dkk (ed)
2014 Spritualitas Ekologis, Pengucapan Syukur
Ulang Tahun ke 50. Pdt. Viktor Tinambunan, Insitut Darma Mahardika
Claire. Marie & Barth-Frommel,
2011 Hati Allah
Bagaikan Hati Seorang
Ibu: Pengantar Teologi Feminis (Jakarta: Gunung Mulia)
Celia and David Clough Deane-Drummond,
2009 Creaturely Theology: On God, Humans and Other Animals (London: SCM Press)
Childs. Brevard
1979 Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress)
Capra. Frithjof
1982 The Tao of Physic; An Explorationof the parallels Between Modern Physic
and Eastern Mysticism (London: Flamingo)
Croall. Stephen & Rankin.
William
1991 Ecology
for Beginners. Cambridge: Icon Books
Djadi. Jeremia
2009 Diktat Angelologi, Antropologi, dan Hamartologi (Makassar: STT
Jaffray Makassar)
Dyrness. William
2001 Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas)
Douglas,
J.D.
2007 Ensiklopedia Alkitab Masa kini,
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih)
Drummond. Celia Diane
2006 “Teologi
& Ekologi”, Jakarta,
BPK Gunung
Mulia
Frans De Sales Sani. Lake,
1998 “Berteologi Kontekstual dalam Tradisi Dawan-Atone Pah Meto, Timor”, Tesis Program Magister Teologi, STFT Widya Sasana Malang
Frame.
John
2002 The Doctrine of God:
A Theology of Lordship (New Jersey: P & R Publishing Company,
2002)
Henry.
Carl F. H.
1964 Aspects of Christian
Social Ethics(Grand
Rapids: Wm. B. Eerdmans)
Huddleston. Jonathan
Luke
2001 The Beginning of the End: The Eschatology of Genesis, Dissertation
of Doctor of Philosophy
in the Graduate Program of Religion in the Graduate School
of Duke University
Harun, Martin.
2015 Ensiklik
Laudato Si karya Paus Fransiskus. Jakarta:
Obor
Huyssteen.
J. Wentzel Vrede van (ed).
2003 Encyclopedia of Science and Religion. New York: Macmillan Reference USA
Kleden. Paul Budi
2006 Membongkar
Derita, Teodice: Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Penerbit
Ledalero)
Kuyper. Abraham
2005 Ceramah-ceramah
Calvinisme (Surabaya: Momentum)
Karman. Yonky
2007 Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Kelly. Brian E.
1966 Retribution and Eschatology
in Cronicles, Journal For the study
of the Old Testament, Suplement series, Sheffield, England: Acamdemic Press
Kittel. Gerhard.
1976 Theological Dictionary of the New Test ament,
Vol V1, Grand Rapids Michigan
Koch. Klaus
1983 The Prophets (Philadelphia: Fortress)
Kittel,
Gerhard
1985 “Eschatos” dalam Theological Dictionary ofthe
New Testament, Vol. 11, (William B. Eerdmans Publising company, Grand
Rapids)
Keraf. A.Sony
2014 Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai sebuah Tanda Kehidupan,Yogyakarta: Kanisius
Ladd. George Eldon
1991 Injil Kerjaan, Malang: Gandung Mas
Kearney. Richard
2001 The God Who May Be: A Hermeneutics of Religion,
Indiana Series in the Philosophy of
Religion (Bloomington: Indiana University Press)
________
2010 Anatheism: Returning to God after God, Insurrections (New York: Columbia University Press)
McFague. Sallie
2013 Blessed are the
Consumers: Climate Change and the Practice of Restraint. Fortress Press. Kindle Edition.
Martin. Harun,
2015 Ensiklik Laudato Si karya Paus Fransiskus. Jakarta: Obor
Meeter. H. Henry
2008 Pandangan-pandangan
Dasar Calvinisme (Surabaya: Momentum)
Napel. Henk ten
1991 Etika
Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
_______
1999 Kamus Teologi Inggris-Indonesia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Nash.
James A.
2003
“Ecology, Ethics
of” dalam J. Wentzel Vrede van Huyssteen (ed.). Encyclopedia of Science and Religion.
New York: Macmillan Reference USA.
Odum. Eugene P.
1983 Basic
Ecology. USA: Sounders College Publishing;
Pasang. Haskarlianus.
2011 Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Perkantas
Rienecker.
Fritz
1980 A Linguistic Key to the Greek New Testament, (Zendervan Publising House:Grand Rapids)
Rice. Howard L and Huffstutler. James C.
2001 Reformed
Worship (Louisville: Geneva Press)
Reventlow.
Henning Graf
1997 “The
Eschatologization of the Prophetic
Books,” in Eschatology
in the Bible
and
in the Jewish and Christian Tradition, ed. Reventlow (Sheffield: Sheffield Academic Press)
Robert Davidson,
1979 Commentary Genesis 1-11,
(London, Cambridge University Press)
Robinson. Dominic
1988 Understanding
the “Imago Dei” The Thounght of Barth, Von Balthasar and Moltmann, London: TJ International Ltd, Padstow, Conrwall
Schumacher. E. F.
1978 A Guide for The Perplexed (New York: Harper Colophon Books)
Soedarmo R.,
2006 Iktiar Dogmatika, (Jakarta:BPK Gunung Mulia)
Slobodkin. Lawrence B
2003 A Citizen’s
Guide to Ecology. New York:
Oxford University Press; Holmes Rolston
Stanislaus. Surip
2012 Harmoni Kehidupan, Asal
usul Alam Semesta, (Yokyakarta: Kanisius)
Song. Choan-Seng
1996 Jesus, The Crucified People (Minneapolis: Fortress Press)
Steven
Bouma-Prediger,
1995 The
Greening of
Theology: The Ecological Models of
Rosemary Radford Ruether, Joseph Sittler, and Juergen Moltmann, American Academy of
Religion Academy Series (Atlanta, Ga.: Scholars Press)
Samosir.
Leo
2010 Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks,
Jakarta: Obor
Segu. Yosef Irianto
2016 Cinta
Ekologis dalam pendekata estetika Kristen, Melintas
Sunarko.
A.&.Kristiyanto. A.Eddy
2008 Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius.
Sunarko. Adrianus
2008 Menyapa
Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Yogyakarta:
Kanisius
Thomas. Bery.
1988 The Dream of the Earth, (San Francisco, Sierra
Club Books)
Tucker. Evelyn
Mary. & John.
Grim A.
2003 Agama, Filsafat, & Lingkungan
Hidup,
Yogyakarta: Kanisius
Vischer. Lukas
2003 Worship as Christian
Witness to Society dalam Christian
Worship in Reformed Churches Past and Present, ed. Lukas Vischer
(Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company)
White. Lynn
Jr.
1964 “The Historical Roots of Our Ecological Crisis.”
Science Magazine
Wilson. William
1980 Old Testament Word Studies; The International Standard Bible
Encyclopaedia, vol II, Penj. Jamer Orr, (MWM. Eermans Publishing Co. Ltd Grand
Rapids-Michigan)
Witt. John R de
1981 What
is the Reformed Faith(Pennsylvania: The Banner of Truth Trust)
Sumber Artikel, Journal & Internet:
Armeding. Carl E.
Bibical Perpective on the ecology Crises, Journal of the
Amrican Scientific Affliation, 25.1 (March 1973), 8
Candraningrum. Dewi
"Tiga Tubuh Tanah," Jurnal
Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan 19, no. 1 (2014):
Dewitt. Calvin
A
Scientist’s Theological Reflektion on Creation, Tranformation, Vol 10, Juni
1993, 12-13
Davies. Eryl
2018 Reformen Theology and Ecological Ethic, artikel, 38,
sumber, https://theologicalstudies.org.uk, diakses, 28 Oktober
2018
Elch. Edward
2002 How Theology Shapes
Ministry: Jay Adams’s of the Flesh and an Alternative, The Jurnal of
Biblical Conseling, Spring
Geovasky. Imanuel
Kristologi Yang
Bersahabat Terhadap Alam Ciptaan, Lih. Sac.ukdw.ac.id/Journal-theo/index.php/gema/article/view,
diaseses 10 Nopermber 2018
John.
Prior,
“Spiritulitas
Keadilan,Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” dalam Workshop Vivat
International, Kuwu-Ruteng, 25 September 2012.
Lake. Sani
Memulihkan Keutuhan Ciptaan Refleksi
Teologis Ekologi dalam Dimensi,
Pembebasan JURNAL
SEPAKAT Vol. 2, No. 2, Juni 2016, 214
Ludji. Irene
dalam sebuah artikel: Spiritualitas Lingkungan Hidup: Respon Iman Kristen Terhadap Krisis
Ekolog, Respon Agama Kristen
terhadap Kerusakan Lingkungan, Lih.http//www.scribd.com,doc.teologi, diakses,
20-09-2018.
Lusi. Astrid Bonik
Menjadi Pelaku Cinta: Suatu Refleksi terhadap Tragedi Lumpur Lapindo, WASKITA, Studi
Agama dan Masyarkat.
Kadarmanto. Mulyo
Gereja Sebagai
Komunitas Eskatologis, Jurnal STULOS 13/2 (September 2014) 195-228
Nurnberger, Klaus B.
2017 Eschatology
as a manifestation of human uniqueness: Human Vision, biblical revelation and
divine agency, Article: HTS Teologiese Studies, Oasis, 2017,13, https://doi.org/10.4102/hts.v73i3.4341
Ross. Mark “imago Dei”
dalam https://www.ligonier.org.learn/articles, diakses, 01
Nopember 2018.
Sunarko. Andrianus
Kepada
Allah Kita Berharap, dalam http://books.google.co.id, diakses 01
Nopember 2018
Tanto.
Thomas J. (Penyad.), “
Imago Dei,
Imaginasi dan Tanggung Jawab Ekologis”,
dalam Musafir Vol.
24/5, Thn XIII, No.1-2 Juni 2001, 20.
Tulisan ini disadur dari David J. Bryant, “Imago Dei”, Imaginasi and ecological Rsponsibility
Gereja & Lingkungan Hidup , http://suplemengki.com/?p=156, 03 Februari 2008,dikunjungi:
1 Nopember 2018
Eryl Davies, Reformen Theology and Ecological Ethic,
artikel, 41 sumber. https://theologicalstudies.org.uk, diakses, 28
Oktober 2018.
https://www.pbs.org/faithandreason/theologis/imago-body.html. Diakses 01
Nopember 2018
https://www.jawaban,com,read/article, Mandat Budaya, diakses
01 Nopember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar