TINJAUAN
YURIDI
ATURAN DAN PERATURAN HKBP
Oleh Dr Lintong O.Siahaan,SH.,MH
Penulis mencoba mengemukakan ide-ide atau gagasan-gagasan
untuk membaharui Aturan dan Peraturan 2002 tersebut, baik dengan
gagasan-gagasan yang baru samasekali, yang belum pernah ada di dalam Aturan dan
Peraturan 2002, maupun dengan gagasan-gagasan untuk memodifikasi
gagasan-gagassan yang sudah ada. Gagasan-gagasan tersebut, antara lain: Perlu
adanya suatu lembaga baru yang indipenden, yang bertugas menangani sengketa
atau konflik di HKBP, baik konflik intern, maupun konflik ektern. Badan /
lembaga tersebut dikenal dalam istilah hukum ketatanegaraan sebagai Lembaga
Yudikatif. Menurut penulis, Lembaga Eksekutif dan Lembaga
Legislalatif sudah ada, akan tetapi Lembaga Yudikatif belum ada; Selain
itu, perlu penegasan kembali lembaga-lembaga otonom dalam system Tata
Pemerintahan (governance) di HKBP. Di dalam Tata Pemerintahan (governance)
di HKBP, menurut penulis, hanya ada 2 (dua) lembaga otonom, yaitu: HKBP Umum
(Hatopan) ditingkat Pusat, dan Jemaat (Huria) di tingkat Daerah. Distrik dan
Resort bukanlah badan-badan otonom, akan tetapi merupakan organ pusat di daerah
untuk menjalankan tugas-tugas medebewin dan dekonsentrasi, bukan
desentralisasi (konsep terlampir); Disamping itu masih ada hal-hal lain yang
perlu ditampung dalam rangka penyempurnaan Aturan dan Peraturan tersebut, yang
secara lengkapnya nanti akan diuraikan dalam tulisan ini.
Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini, adalah Metode Penelitian Normatif,
dengan menekankan pada penelitian kepustakaan dan studi komparatif, yang
diperkaya dengan pengalaman-pengalaman empiris dari penulis, baik sebagai
praktisi, maupun sebagai peserta dalam diskusi-diskusi formal dan non formal,
yang kesemuanya dihimpun secara acak.
Harapan penulis, semoga karya ini berhasil memancing idée-idee atau
gagasan-gagasan baru yang lain-lainnya, untuk memperkaya rumusan-rumusan Aturan
dan Peraturan HKBP yang akan datang.
Amandemen (Revisi) Aturan dan Peraturan.
Mengapa Perlu Amandemen..? Hukum selalu ketinggalan jaman dibandingkan dengan
perkembangan masyarakat. Hari ini undang-undang diundangkan, besok dia sudah
ketinggalan jaman (Sudikno Mertokusumo, hlm. 10). Konstitusi Amerika Serikat
sudah beberapa kali mengalami perubahan, demikian juga konstitusi Prancis, dan
konstitusi berbagai Negara-negara lain di dunia. Undang Undang Dasar 1945
mengalami amandemen sebanyak empat kali (Jimly Asshiddiqie, hlm. iii). Bahkan,
akhir-akhir ini sudah ada suara-suara yang mempersoalkan agar segera disusul
dengan amandemen yang kelima. Revisi ( Amandemen) tersebut berlangsung tanpa
mengubah Negara, baik bentuk, dasar, dan filosofisnya. Yang berubah tersebut
hanyalah pasal-pasalnya, untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan
jaman / masyarakat.
Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002 hingga sekarang sudah berumur 6 (enam)
tahun. Pada tahun 2010 nanti, di mana direncanakan akan diadakan Sinode Khusus
untuk amandemen, menjadi 8 (delapan) tahun. Dilihat dari usianya tersebut,
Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002, sudah pantas untuk direvisi melalui
amandemen. Apalagi sejak semula, menurut penulis, Aturan dan Peraturan tersebut
sangat jauh dari sempurna. Perkembangan, dinamika, dan kemajuan masyarakat
dalam proses waktu yang berjalan, perlu ditampung dalam Aturan dan Peraturan
yang baru nanti. Bahkan, Roscoe Paund mengatakan : “…Law as a tool
for social engineering…” , yang berarti hukum harus bisa merekayasa
masyarakat ke masa depan (Lili Rasyidi, hlm. 126). Atas dasar itu, Aturan dan
Peraturan HKBP yang akan datang pun, harus bisa melihat perkembangan masyarakat
ke depan. Oleh karena itu, Aturan dan Peraturan HKBP, harus dibuat sedemikan
rupa hingga mampu menampung dinamika dan perkembangan masyarakat. Dengan
demikian usia dari Aturan dan Peraturan HKBP dapat diharapkan berlangsung lebih
lama.
Aturan dan Peraturan Hasil Maksimal Dari Suatu Pertarungan
Besar.
Setiap Undang-undang atau Aturan dan Peraturan, menurut
penulis, adalah merupakan hasil maksimal dari suatu pertarungan besar, yang
mempertaruhkan 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Idiologi; 2. Nilai; dan 3.
Kepentingan. Semua pihak yang terkait di dalam pencapaian keputusan tentang
Aturan dan Peraturan tersebut, terlibat di dalam pertarungan ketiga hal itu.
Dalam kontek kenegaraan pertarungan mengenai Idiologi adalah: Apakah
Idiologi Komunis atau Liberal; Negara Theokrasi yang berdasarkan Agama, atau
Negara Sekuler; Nasionalisme, Negara Kesatuan, dan/atau Negara Federal, dan
sebagainya. Di dalam kontek organisasi Gereja, yang dipertaruhkan adalah:
Apakah Gereja dengan aliran Lutheranianisme, Kalfinisme, Pantekosta,
Kharismatik, dan sebagainya. Di HKBP masalah tersebut tidak begitu
dipersoalkan, karena HKBP sudah sejak dulu mempunyai Konfesi HKBP, yang sudah
diakui. Yang masih dipersoalkan (masih tari-menarik) akhir-akhir ini, adalah
masalah kekbaktian tradisional dan kebaktian alternatif.
Masalah Nilai, yang dipertaruhkan adalah: Nilai-nilai
kekristenan, dihadapkan dengan nilai-nilai budaya, adat, atau habatahon. HKBP
di mana unsur (label) Batak (B) ada di dalamnya, apakah merupakan Gereja Suku,
atau Gereja yang bersifat umum? Apa bedanya Gereja HKBP dengan Gereja-gereja
lain yang tidak mencantumkan label kesukuan? Di mana unsur keterbukaan
(inklusifisme) di HKBP dalam label kesukuan tersebut? Apa arti Habatahon (B)
dalam pelayanan dan kehidupan iman kristiani? Hal itu semua merupakan suatu
perdebatan yang hingga kini belum tuntas.
Selain itu, juga dipertaruhkan masalah nilai-nilai
kenegaraan dan toleransi, dalam kontek kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
di tengah-tengah bangsa dan Negara, yang tergabung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Masalah pertarungan kepentingan yang paling mengemuka,
menurut penulis, adalah kepentingan Pendeta (Hapanditaon), dan kepentingan Non
Pendeta. Siapa yang paling dominan di antara keduanya untuk mengendalikan
/memimpin HKBP dalam tugas pelayanan Gereja, baik pelayanan di bidang
kerohanian, maupun di bidang kemasyarakatan? Perimbangan antara kedua hal
tersebut, masih merupakan perdebatan, yang hingga kini belum tuntas.
Selain itu, walaupun dalam skala kecil, juga masih ada
pertarungan kepentingan parmargaon (kelompok keluarga Batak), kepentingan
daerah asal (Huria, Resort, dan Distrik) yang diwakilinya, dan sebagainya.
Ketiga hal tersebut di atas diperdebatkan dalam Sinode
Godang, dan menghasilkan Aturan dan Peraturan HKBP 2002. Dapat dibayangkan
peserta Sinode Godang yang berjumlah hampir 1300 orang masing-masing dengan hak
suaranya, baik secara individu, maupun mewakili kelompok masing-masing (Huria,
Resort, dan Distrik), mempunyai konsep-konsep yang berbeda-beda di kepala
masing-masing, dan dipertemukan dalam suatu persdebatan besar, yang akhirnya
menghasilkan suatu keputusan berupa Aturan dan Peraturan. Oleh karena itu,
sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, MH,
yang mengatakan :
Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung
jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan
perundang-undangan dengan jelas dan tuntas. Maka wajarlah kalau tidak ada
peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap
lengkapnya, dan jelas sejelas jelasnya (Sudikno Mertokusumo, hlm. 8).
Oleh karena itu, sering kita jumpai dalam suatu penjelasan
pasal-pasal undang-undang kata-kata “cukup jelas”, pada hal sebenarnya
sangat tidak jelas. Hal itu dilakukan untuk menghindari perdebatan yang
berkepanjangan, yang tidak habis-habisnya dan memakan waktu yang sangat lama,
pada hal undang-undang harus segera diundangkan.
Segi Ketatanegaraan (Constitution) Dari Aturan dan
Peraturan.
Lembaga Konstitutif di segi ketatanegaraan HKBP adalah Sinode Agung (Sinode
Godang). Sinode Agung adalah rapat tertinggi, yang menetapkan semua kebijakan
dasar berkenan dengan tri-tugas panggilan Gereja (A/P 2002, Ps. 1 butir 21).
Sinode Agung juga menetapkan Aturan dan Peraturan, rencana induk, rencana
strategis, sikap umum HKBP, dan memilih Ephorus, Sekretaris Jenderal, kepala
departemen, dan preases (A/P 2002, Ps. 26 butir 4.1).
Negara sebagai pusat kekuasaan harus dibatasi, dan
pembatasan (kontrol yuridis) itu dilakukan melalui suatu konstitusi modern.
C.F. Strong dan James Bryce, mengatakan bahwa suatu konstitusi harus mengatur
tentang kekuasaan lembaga-lembaga di dalam pemerintahan Negara, serta mengatur
hak-hak dari rakyat yang diperintah, dan hubungan / keseimbangan antara
keduanya (C.F.Strong, hlm. 13). Kemudian pengertian tersebut dipertegas lagi
oleh K.C Where dalam Modern Constitution, yang mengatakan : “…A
constitution is used to describes the whole system of the government of a
country, the collections of rules which establish and regulate or govern the
government…” (K.C Wheare, hlm 1). Apakah konstitusi HKBP sudah menganut
pengertian Modern Constitution tersebut..?
HKBP yang beranggotakan kurang lebih 6 (enan) juta jiwa,
adalah organisasi Gereja yang terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Sedemikian
besarnya HKBP, sehingga menurut penulis, sudah dapat dikategorikan ibarat
Negara di dalam Negara. Oleh karena itu, untuk mengelola HKBP sudah harus
menerapkan prinsip-prinsip mengelola Negara. Ciri –ciri mengelola Negara pada
masa kini, menurut penulis, harus menerapkan 3 (tiga) prinsip, yaitu : 1.
Demokrasi; 2. Otonomi; dan 3. Check and balances. Montesqieu
membagi kekuasaan Negara ke dalam 3 (tiga) kekuasaan, yaitu : “…Eksekutif;
Legislatif; dan Yudikatif…” (John Locke, hlm XXXII), yang kemudian dikenal
dengan ajaran Trias Politica. Selanjutnya John Locke juga membagi
kekuasaan Negara itu ke dalam 3 (tiga) kekuasaan, yaitu : “…Eksekutif;
Legislatif; dan Federatif…” (John Locke, hlm XXXII). Kekuasaan Federatif dari
John Locke tersebut, adalah ditujukan untuk membatasi kekuasaan pemerintah
pusat (system sentralistik), dan dibagi ke pemerintah daerah (local).
Berkembangnya system otonomi sekarang ini dalam semua lini pemerintahan dan
organisasi, adalah diilhami oleh ajaran John Locke tersebut.
Diantara kekuasaan-kekuasaan yang ada tersebut, tidak boleh
ada yang menonjol melebihi kekuasaan yang lain. Mereka harus saling mengotrol
secara berimbang, yang disebut dengan system “…Checks and Balances…”
(Jimly Asshiddiqie, hlm. 30). Lord Acton mengatakan : “…Power tents
to corrupts. Absolut power tents to corrupt absolutely…”, oleh karena itu
harus ada sistem kontrol yang indipenden (J.S. Mc Chelland, hlm. 77 dan 244).
Bagir Manan mengatakan: “…Sejarah telah memberikan contoh dan bukti yang
berlimpah bahwa kekuasaan tanpa batas lebih banyak melahirkan
keswenang-wenangan, dan hilangnya kebebasan serta kemerdekaan warganegara atau
penduduk negara yang bersangkutan…” (Bagir Manan, hlm. 1). Bahkan akhir-akhir
ini, muncul berbagai komisi, seperti : Komosi Yudisial (KY) untuk Lembaga
Peradilan; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Hampir di semua
lini pemerintahan dan organisasi, ada hal-hal yang sama dengan komisi-komisi
tersebut dalam bentuk lain, seperti : di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
Kejaksaan, Organisasi Advokat; Organisasi Kedokteran; Lembaga keuangan, dan
sebagainya. Bagaimana dengan organisasi HKBP yang cukup besar itu? Bahkan,
orang, maupun organisasi HKBP sudah ada di belahan Dunia.
Penerapan Checks and Balances di HKBP.
Di dalam Aturan dan Peraturan HKBP Tahun 2002 maupun yang
sebelumya, menurut penulis, sudah ada yang mirip-mirip dengan Kekuasaan
Eksekutif maupun Kekuasaan Legislatif. Yang belum ada adalah kekuasaan yang
mirip-mirip dengan Kekuasaan Yudikatif. Kekuasaan yang mirip dengan
Kekuasaan Eksekutif tersebut, adalah : Ephorus bersama-sama dengan Sekreteris
Jenderal, Kepala Departemen Koinonia, Kepala Departemen Marturia, Kepala
Departemen Diakonia, beserta aparat-aparat yang ada dibawahnya termasuk Preases
(Distrik) dan Resort. Sedangkan yang mirip-mirip dengan Kekuasaan Legislatif
tersebut, adalah: Majelis Pekerja Sinode (MPS), Badan Audit, dan Rapat Pendeta.
Di HKBP menurut penulis, sudah harus ada badan/lembaga yang
indipenden untuk menangani penyelesaian sengketa atau konflik. Pimpinan Gereja
(Eksekutif) harus disterilkan dari hal-hal yang menangani konflik. Sebab,
setiap kali Pimpinan Gereja (Eksekutif) menangani konflik, atau membuat suatu
keputusan tentang konflik atau sengketa, secara otomatis timbul pro dan kontra.
Dan, yang paling parah pro dan kontra tersebut, sering menjurus ke arah konflik
horizontal, yang berlangsung secara physik. Menurut pengalaman, peristiwa yang
seperti itu sulit didamaikan, bahkan ada yang berlangsung terus hingga
sekarang. Nah, hal-hal yang seperti itu sebaiknya diserahkan kepada suatu badan
yang indipenden, yang dalam tulisan ini kita sebut dengan kekuasaan yang
mirip-mirip dengan Kekuaaan Yudikatif. Putusan dari badan tersebut harus
dipatuhi, sekalipun dirasakan tidak menyenangkan pihak-pihak tertentu, termasuk
pihak pimpinan Gereja (Ephorus). Badan Kekuasaan Yudikatif tersebut, disamping
bertugas menyelesaikan sengketa/konflik, juga berkewajiban memberikan
nasehat kepada pimpinan Gereja (eksekutif) baik diminta maupun tidak
diminta, terutama terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil, yang
menyangkut orang banyak dan yang diperkirakan mempunyai potensi koflik. Selain
itu, juga menangani pelanggaran-pelanggaran kode etik profesi pendeta,
dan sebagai tim advokasi terhadap Gereja dan anggota HKBP yang mempunyai
masalah hukum dengan orang lain, maupun dengan pemerintah atau penguasa.
Tata Pemerintahan (Governance) di HKBP.
Semua aturan-aturan tentang Tata
Pemerintahan (Governance) di HKBP, harus disesuaikan dengan
aturan-aturan tentang Ketatanegaraan (Constitution) di atas. Oleh karena
itu, segala perubahan-perubahan (hal-hal baru) yang ada di dalam Ketatanegaraan
(constitution ) tersebut, harus dijabarkan/disesuaikan ke dalam
perumusan Tata Pemerintahan (Governance) yang baru. Dengan demikian,
Aturan dan Peraturan yang tidak terkait dengan perubahan-perubahan tersebut,
sudah barang tentu masih tetap dipertahankan, dan tidak perlu mengalami
perubahan.
Menurut penulis, perubahan yang sangat menonjol (signyficant)
yang perlu dilakukan, adalah di bidang otonomi. Sistem pemerintahan yang
otonom di HKBP hanya ada 2 (dua), pemerintahan di tingkat Pusat, yaitu HKBP
Umum (Hatopan), dan pemerintahan di tingkat daerah, yaitu Jemaat (Huria).
Distrik dan Resort bukanlah badan-badan otonom. Dengan demikian, organ tata
pemerintahan (governance) di Distrik harus dirampingkan, tidak perlu
mempunyai Sinode Distrik dan Majelis Pekerja Sinode Distrik (MPSD).
Sinode Godang adalah Sinode Distrik juga, dan MPS Pusat adalah MPS Distrik
juga. Distrik adalah organ pusat (perwakilan) di daerah, yang menjalankan tugas
medebewin dan dekonsentrasi (bukan desentralisasi). Distrik tidak
berwenang membuat kebijakan-kebijakan baru. Distrik hanya melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang sudah dirumuskan dalam Sinode Godang, Malelis Pekerja
Sinode (MPS), dan segala keputusan Ephorus dalam rangka wewenang diskresi, di
wilayah Distrik yang bersangkutan. Demikian juga dengan Resort harus dirampingkan,
misalnya tidak perlu ada Rapat Resort. Sama dengan Distrik, Resort juga
adalah organ pusat (perwakialan) di daerah yang menjalankan tugas medebewin
dan dekonsentrasi (bukan desentralisasi) di wilayah Resort yang
bersangkutan.
Jadi, menurut penulis yang betul-betul mempunyai Tata
Pemerintahan (Governance) yang otonom di HKBP hanya ada 2 (dua), yaitu :
HKBP Umum (Hatopan) di tingkat Pusat, dan Jemaat (Huria) di tingkat daerah.
Wewenang otonom tersebut terlihat dari adanya Majelis Pekerja Sinode (MPS),
yang merupakan Lembaga Legislatif, yang merumuskan secara demokratis
segala kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh Ephorus sebagai pimpinan
Lembaga Eksekutif di dalam tugas pelayanan HKBP secara keseluruhan. Di tingkat
daerah (Jemaat atau Huria), adanya Rapat Jemaat (Huria), sebagai Lembaga
Legislatif Daerah yang akan merumuskan segala kebijakan-kebijakan yang akan
dilakukan oleh Pimpinan (Uluan) Gereja, sebagai pimpinan Lembaga Eksekutif di
daerah untuk melayani Jemaat (Huria). Bahkan, menurut penulis, lembaga
demokrasi yang benar-benar murni demokrasi di HKBP adalah Rapat Jemaat
(Huria), karena langsung dihadiri oleh jemaat dengan hak suaranya. Sedangkan,
Majelis Pekerja Sinode (MPS) di Pusat hanya dihadiri oleh perwakilan-perwakilan
yang ditunjuk. Sayangnya anggota jemaat (huria) tidak memanfaatkan Rapat Jemaat
(Huria) tersebut secara maksimal untuk menyampaikan aspirasinya. (Penulis
adalah jemaat HKBP jalan Jambu, Admistrative Court Justice pada puslitbang
Mahkamah Agung RI)
Dr. Lintong O. Siahaan, SH
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
Mobile : 062812-9393-950
Office : 0621-3523 491
Home : 0621-75903 104
Fax : 0621-75903 102
Mobile : 062812-9393-950
Office : 0621-3523 491
Home : 0621-75903 104
Fax : 0621-75903 102
Email: forma1737@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar