AGAMA DAN FENOMENA KONFLIK
Pdt Dr Einar M Sitompul
Fenomena Konflik
Menjelang dan sesudah memasuki abad 21
fenomena yang mencolok di masyarakat baik lokal, regional dan
internasional ialah fenomena konflik. Berbagai konflik terjadi sehingga
muncul negara-negara lain (eks Uni Sovyet dan Eropa Timur) yang
berlangsung dalam negeri beberapa negara dan konflik antarnegara.
Masyarakat kita baru beberapa tahun meninggalkan tahun-tahun konflik
berdarah seperti yang terjadi di Maluku, Poso dan Kalimantan. Dalam
skala kecil tetapi cukup sporadis masyarakat masih menyaksikan konflik
internal umat beragama di lembaga/organisasi Kristen. Konflik itu ada
yang mencuat dan diekspos tetapi banyak yang berlangsung “diam-diam”
yang berujung pada pemisahan diri dan membentuk kelompok (gereja) lain.
Begitu sering konflik muncul di masyarakat sehingga banyak orang
berpendapat bahwa konflik sekarang ini merupakan akibat globalisasi
sebab globalisasi telah menjadi ajang persaingan antarkorporasi untuk
mengeruk untung yang sebesar-besarnya melalui investasi dan eksploitasi.
Diperkirakan konflik masih akan berlangsung terus dalam berbagai bentuk
baik antara kelompok yang berbeda agama maupun di internal umat
beragama (atau yang satu gereja) karena masuknya investasi ke
daerah-daerah.
Namun konflik sebenarnya bukan hal baru,
ia telah hadir bersamaan dengan lahirnya umat manusia di planet bumi.
Konflik itu seusia dengan umur umat manusia. Menurut kesaksian Alkitab
konflik pertama di masyarakat muncul di dalam keluarga Adam dan Hawa
(Kej. 3 dan 4) Konflik, suka atau tidak, sadar atau tidak, bagian dari
kehidupan seseorang, baik di keluarga, di kelompok, masyarakat dan di
dalam kehidupan persekutuan keagamaan.
Pertikaian di internal kelompok
keagamaan bukan berarti agama (agama) mengajarkan permusuhan. Semua
agama mengklaim diri sebagai pembawa damai, kasih dan persaudaraan.
Apabila pertikaian atau konflik muncul ke permukaan yang mesti diingat
ialah sifat manusia yang egois, suka menang sendiri, suka merendahkan
orang lain, anggap diri paling baik, yang mendorong merebaknya konflik
internal dan konflik itu mau tidak mau akan merusak ketentraman batin
anggota dan bahkan mengganggu ketertiban masyarakat. Agama atau ajaran
agama diperalat untuk memperkuat diri/kelompok dan untuk melemahkan
lawan. Negara saja yang memiliki perangkat kekuasaan, budaya paksa,
tidak luput dari pertikaian apalagi kelompok keagamaan yang sering
dianggap pencinta damai rawan konflik sebab banyak orang selalu berusaha
memanfaatkan agama untuk mencari posisi yang dirasa akan menaikkan
citranya sehingga mereka akan diperhitungkan. Bukankah siapa saja akan
sulit menilai siapa salah dan benar dalam konflik keagamaan bertambah
sulit pula menghukum orang-orang yang bertikai di dalam kelompok
keagamaan atau gereja. Semua mampu mengajukan argumen/alasan
teologis-religius yang akan sulit ditengahi.
Pemersatu
Agama-agama khususnya kekristenan, para
penganutnya datang dari berbagai suku, kelompok dan kebudayaan yang
bersatu dalam satu wadah yang kita sebut gereja. Gereja telah berjasa
memberi nilai tambah terhadap masyarakat. Yang tadinya hidup dalam
kelompok suku, dapat bersatu dalam gereja. Gereja menanamkan rasa
persekutuan (persatuan) berdasarkan nilai-nilai keagamaan seperti kasih,
solidaritas, kesediaan berkorban untuk orang lain, tanggung jawab
membangun masyarakat sebagai wujud sifat misioner gereja dan kritis
menilai setiap perkembangan dalam masyarakat. Pada saat manusia ditimpa
kemalangan dan bencana, agama mampu menghibur, menguatkan dan
membangkitkan pengharapan. Di saat masyarakat bingung menghadapi
perubahan, bingung melihat berbagai perkembangan baru, gereja membantu
masyarakat memiliki orientasi yang jelas. Banyak persoalan keluarga
dengan bantuan agama/gereja dapat diatasi. Bahkan sering orang percaya
bahwa karir mereka mencapai sukses adalah berkat doa melalui para
pendeta atau pelayan-pelayan gereja. Gereja mampu menciptakan perasaan solid di dalam diri para anggotanya.
Agama mempunyai peran besar dalam
pengembangan masyarakat. Peran atau peranan mengandung pengertian suatu
tingkat yang diharapkan dapat dimiliki oleh organisasi/kelompok yang
mempunyai kedudukan/posisi yang penting di masyarakat. Peran
bergandengan erat dengan tanggung jawab sebab tanggung jawab berarti
suatu keadaan yang wajib ditanggung oleh organisasi/kelompok dan kalau
terjadi apa-apa ia dapat dituntut/dimintai tanggung jawab. Karena itu
gereja tidak boleh melarikan diri dari kewajiban mewujudkan persatuan
internal. Justru karena agama/gereja mempunyai peranan besar di
masyarakat maka ia rawan untuk menjadi faktor pemecah keutuhan. Sering
sekali di dalam komunitas, kelompok yang mendengung-dengungkan pemurnian
ajaran atau mengklaim diri paling benar atau mengamalkan kebenaran yang
paling sering memicu perpecahan. Tidak jarang pula alasan kebenaran
menimbulkan pemisahan diri atau membangkitkan kebingungan di antara
anggota komunitas.
Ada pula yang tragis: suami-isteri
bertikai karena ajaran keagamaan padahal mereka satu agama! Ekstremitas
cenderung menciptakan kerapuhan kelompok. Yang seharusnya potensi
diarahkan untuk membangun etika umat dan mentalitas yang baik agar warga
gereja menjalankan peranan sebagai garam dan terang dunia, dihabiskan
untuk mengatasi konflik dan polemik internal. Komunitas yang selalu
dirundung konflik internal tidak akan menciptakan insan religius yang
tangguh dan dewasa; yang dihasilkan hanya insan-insan religius
seremonial. Soal tingkah laku, mereka tidak berbeda dari orang-orang
kebanyakan.
Tantangan
Menjelang akhir abad 20, persisnya 1998,
gereja-gereja sedunia dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Sedunia di
Harare (Zimbabwe) telah menggumuli pertanyaan: “Bagaimana kita
menghayati iman kita dalam konteks globalisasi?” Pertanyaan ini
direspons oleh Sidang Raya 2006 di Porto Allegre (Brazil) setelah
melewati studi beberapa tahun, Sidang Raya mengesahkan sebuah dokumen
yang disebut Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (disingkat: AGAPE. Versi Bahasa Indonesia berjudul Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi,Jakarta:
PMK-HKBP, 2008) Tidak lama setelah globalisasi melanda dunia, yang
terjadi ialah kemiskinan semakin parah dan kerusakan lingkungan hidup
yang sudah sangat mengancam kehidupan seluruh ciptaan Allah.
Berhadapan dengan kenyataan mengenaskan
itu, kita diajak mengembangkan ekonomi kehidupan sebagai karakter utama
rumah tangga kehidupan Allah dengan ciri-ciri: rahmat ekonomi Allah yang
ramah (oikonomia tou theou) membawa dan melestarikan
kelimpahan bagi semua. Ekonomi Allah yang ramah dan menuntut kita agar
mengelola kelimpahan hidup dengan cara yang adil, partisipatif dan
bersifat melestarikan. Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi kehidupan yang
mengedepankan semangat saing berbagi, solidaritas yang mengglobal,
martabat manusia, cinta kasih dan pemelihraan keutuhan ciptaan. Ekonomi
Allah adalah suatu ekonomi untuk keseluruhan ekumene – keseluruhan
komunitas bumi. Keadilan Allah dan keberpihakan-Nya pada kaum miskin
adalah tanda dari ekonomi Allah (Globalisasi Alternatif, hal. 3-6).
Situasi globalisasi yang barusan kita
singgung, mengindikasikan tantangan bagi komunitas keagamaan semakin
berat. Perekonomian dunia yang disemangati oleh neoliberalisme akan
semakin mendorong kompetisi bebas. Yang kuat akan memperoleh paling
banyak dan yang lemah akan semakin terjepit. Maka dalam keadaan yang
semakin rumit di era globalisasi dewasa ni, peranan agama semakin
diperlukan. Sebab agama merupakan sumber nilai, kekuatan dan inspirasi
yang tidak pernah kering. Masalahnya, komunitas agama/gereja tidak bebas
godaan untuk diperalat oleh kepentingan kelompok. Cobaan yang pernah
dialami Yesus di padang gurun ketika Ia dicobai iblis terus muncul dalam
bentuk iming-iming uang, kedudukan atau kuasa dan spekulasi (lihat,
Matius 4: 1-11).
Secara teologis persatuan adalah
anugerah Allah, juga adalah kehendak-Nya seperti doa Tuhan Yesus. Namun
persatuan itu tidak untuk gereja, bukan pula untuk kepentingan
sosial-politik, melainkan “agar dunia tahu” (percaya) bahwa Yesus adalah
utusan Allah (Yohanes 17: 21) Kita wajib memelihara persatuan dan
apabila memungkinkan sehingga persatuan itu menjadi lebih luas.
Persatuan akan terpelihara apabila dijaga, diusahakan dan dikembangkan
agar semua unsur mendukung dan merasa wajib melakukannya. Persatuan yang
diharapkan akan tercapai kalau ada kualitas atau sifat yang mendukung.
Persatuan yang harmonis ialah persatuan yang memberi ruang dan atmosfir
yang sejuk sehingga semua orang akan berpartisipasi. Untuk itu para
pelayan gereja mesti terus menerus membina komunitasnya agar sadar akan
tujuan kehadiran gereja, sadar akan situasi masyarakat yang majemuk dan
sadar akan dampak negatif globalisasi yang sudah amat merisaukan.
Gereja berperan besar dan turut
menentukan bagi kelangsungan kehidupan seluruh penghuni alam terutama
umat manusia. Apabila hubungan antar manusia/kelompok didominasi oleh
kenikmatan dan egoisme maka yang lemah akan menjadi mangsa bagi yang
kuat dan itu akan berlangsung terus sampai akhirnya semua akan binasa.
Masyarakat memerlukan komunitas yang peduli pada penderitaan orang
miskin, tertindas dan termarginal. Etos kompetitif tidak akan mau
menoleh melihat penderitaan orang lain. Gereja yang utuh (bersatu) akan
dapat menguatkan yang lemah, turut melestarikan lingkungan, mampu
menjalin sinergi dengan kelompok lain untuk kemanusiaan. Gereja
diharapkan terus memelihara persatuan yang harmonis dan bertanggung
jawab. Bertanggung jawab berarti bersedia menanggung semua kewajiban
demi memelihara persatuan gereja. Hanya dengan persatuan maka
gereja/orang Kristen dapat memberi andil konstruktif bagi masyarakat,
dapat menjadi bagian solution maker. Perpecahan internal akan menimbulkan apatisme dan kesukaran dan pada gilirannya gereja akan ditinggalkan umatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar