IMAM DAN PERSEMBAHAN
I. Pendahuluan
Kedudukan dan fungsi Imam dalam PL dan PB sangat
sentral dalam struktur sosial masyarakat, baik dalam politik maupun dalam
keagamaan umat Israel, sebab Imamlah yang dianggap sebagai mediator antara manusia
dan Allah. Salah satu tugas utama Imam adalah berkaitan dengan menyampaikan
korban persembahan umat di Bait Suci. Dalam hal ini Imam dipahami seabagai
“wakil manusia” (Israel) terhadap Allah.[1] Dalam perkembangan
selanjutnya timbulah lembaga-lembaga keimaman, dimana setiap kepala dipimpin
oleh seorang kepala yang dinamai Imam Besar
Imam dan persembahan merupakan
sebuah topik teologi yang menarik untuk dibahas. Istilah teologis tersebut
memiliki latarbekangang historis, makna, kedudukan dan fungsi dalam konteks
umat Israel, baik di dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Dalam pembasan
ini perlu mengkaji bagaimana perspektif atau pemahaman historis, sosiologis,
dan teologis tentang Imam dan Persembahan dalam PL dan PB.
II. Terminologi
Kata imam (Ibr koheen) berasal dari akar kata Arab artinya mendengar
atau kaahan "menghadirkan
diri/ datang mendekat" (Kel 19:22; 30:20,21). Jabatan Imam dalam PL disebut dengan kohen atau hakkohen artinya seorang yang
bediri (dari kata kerja “kohan” atau “hun”) dihadapan Allah dan bertindak
sebagai pelayan baginya. Lambat laun istilah kohen kemudian menjadi terminius
teknikus untuk seorang Imam sebagai sebuah jabatan resmi dalam agama Israel
Kuno.[2] Istilah Imam dalam bahasa
Yunani disebut hiereus. Ada empat yang menjadi karateriktik dari Imam
yakni; Imam dipilih Allah, milik Allah, hidup kudus dan menjalankan pelayanan
kurban (Ibr 5:1-5). Dalam
tradisi sebelum Israel menganut sistim monarki, istilah Imam jarang
dipergunakan dan lazimnya jikalau ada disinggung istilah Imam maka hal ini
selalu berkaitan dengan tabut perjanjian[3] atau dengan ephod[4].
III. Kedudukan dan
fungsi Imam Dalam Perjanjian Lama
3.1.Eksistensi Para Imam
Pada
dasarnya tugas imam bukan menunjuk kepada pelayan kurban tetapi menyampaikan pengajaran[5]
kemudian istilah imam merujuk pada orang Lewi (Hak 19:1), kemudian pada periode
sebelum monarki, imam hanya berhubungan dengan pelayanan di satu tempat saja
(Hak 17)[6],
pada masa pembuangan dan setelah pembuangan masalah kedudukan imam juga mengalami
perubahan:[7]
a. Imam pra monarki: Latar belakang eksistensi imam pada awalnya bukanlah oknum yang
menjalankan fungsi pelayanan kurban, melainkan seorang (dari suku Lewi) yang dengan rela mengabdikan
diri menjadi seorang imam untuk menyampaikan pengajaran dalam satu keluarga,
misalnya dalam keluarga Mika (bnd Hak 17:5f). Dalam PL kepala keluraga
berfungsi sebagai imam untuk mempersembahkan kurban, seperti Nuh (Kej 8:20-21).
Kemudian keberadaan imam berkembang dari satu keluaga menjadi imam dalam satu kelompok suku (suku Dan), keturunan imam
berasal dari keturunan Yonatan bin gerson bin Musa (Hak 18:5f). Kemudian posisi
imam berkembang menjadi imam dalam suatu daerah/tempat, misalnya Yetro mertua
Musa sebagai imam di Midian (Kel 3:1)
b. Imam pada masa monarki: Pada masa monarki, eksistesi imam semakin kuat, dimana berdirilah
lembaga-lembaga keimaman yang memiliki tugas dan fungsi dalam aspek keagmaan
dan juga sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah (raja). Setelah monarki
dimana Daud menetapkan Yerusalem sebagai pusat pemerintahana dan pusat kultus
(ibadah), tugas keimaman menjadi
melembaga. Keputusan itu barangkalai keputusan Deutronomis yang mengkwatirkan
berkembangnya sinkritisme di kuil-kuil petani, sehingga Daud memusatkan imam di
Yerusalem dan tugas utama imam adalah mengajarkan thora, dan ini berkembang
sampai zaman sesudah pembuangan terutama pada zaman Esra yang menjelaskan thora
sebagai norma prakstis dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Pada masa pembuangan, keberadaan pada imam tidak lagi menekankan darai golongan Lewi
d. Pada masa sesudah pembuangan. Pada masa sesudah pembuangan posisi dan
eksistensi keimaman kembali ditegaskan atau dihidupkan kembali, terutama oleh
Esra.
Namun
secara khusus ditekanakan bahwa eksistensi para Imam merupakan satu golongan
atau kelompok yang memiliki kedudukan dan fungsi khusus dalam bidang keagamaan
umat Israel. Dari suku-suku Israel, kaum Lewilah yang termasuk dalam golongan
Imam. Secara sosial keagamaan para Imam memiliki tanggungjawab moral dan
spiritual. Sehubungan dengan kedudukan dan fungsi para Imam, maka para Imam
juga terikat pada norma-norma hidup atau memeliharan kekudusan hidupnya sebagai
mediator religius antara umat dan Allah.
Dalam kitab Imamat 21:1-15 ditekankan
tentang peraturan-peraturan kudusnya para imam:
a. Imam biasa “hakkohen” (1-9) maupun Imam Besar “hakkohen haggadol”(10-15) haruslah hidup kudus karena mereka
memiliki tugas yang kudus.
b.
Imam
tidak boleh mendekati atau menyentuh mayat, kecuali mayat kerabat yang dekat. Dalam
mengambil bagian dalam penguburan itu imam juga menjadi najis tujuh hari
lamanya (bnd. Yeh 44:25-27)
c. Imam dilarang mengikuti
kebiasaan-kebiasaan bangsa kafir waktu meratapi orang mati.
d. Seorang Imam tidak bisa kawin dengan
perempuan yang bukan perawan atau janda.
e. Imam Besar tidak bisa mengambil
bagian dalam semua penguburan, termasuk penguburan ayah dan ibunya, tetapi
harus tinggal tetap dalam tempat kudus selama upacara demikian
f. Orang dari keturunan yang bercacat
badannya tidak bisa menjabat imam (Im 21:16-24)
3.2. Sejarah tradisi Imam dan perkembangannya
Jabatan Imam merupakan pengambilalihan
atau warisan dari keluarga secara turuntemurun dan melaksanakan tugas dan
fungsi Imam dalam suatu tempat suci tertentu (bnd. Kel 28:41; 30:17-21;
40:31-32; Im 8:6; 10:8-11; 21:1-7; Bil 8:7). Menurut Kel 19:22-24 Imam sudah
ada sebelum tradisi Sinai, dimana Musa dan Harun sebagai suku Lewi telah melaksanakan jabatan keimaman. Dalam struktur
kelembagaan lambat laun terdapat Imam Besar (Im 21:10; Bil 35:25; 2 raj 22:4;
Neh 2:1; Hag 1:1; 2:2-41 Zakh 3:1), fungsinya sebagai Imam kepada Imam Besar[8] merupakan jabatan yang mulia baik
sebagai pemimpin dalam keagamaan dan juga pemimpin politik dalam negara. Dalam
kelembagaan ini terutama pada zaman raja-raja dan sesudah pembuangan nampaknya
Imam besarlah yang mengatur aktifitas para Imam secara bergilir dan menempatkan
mereka disekitar Bait Suci. Iman juga mengatur pelaksanaan persembahan korban. Imam Besar tetap memegang peranan
penting, terutama di Yerusalem sebagai ibukota kerajaan Israel, pada zaman itu
lembaga keimaman semakin kuat, dimana keturunan Zadok yang dihubungkan dengan
Harun.
Yosephus
menggambarkan Melkisedek (malkhi adan
tsedeq:Rajaku adalah kebenaran)
sebagai penemu dan imam pertama di kota Yerusalem, sebagaimana namanya disebut
raja Salem, raja damai (Ierosoluma=ieroi, kudus dan Salhm , damai). Fungsi sebagai raja dan
imam secara bersama-sama ada pada Melkisedek. Kej 14:18-20, menunjukkan bahwa
Melkisedek adalah lebih tinggi dari Abraham dan Lewi, Abraham mengakui keimaman
Melkisedek dengan memberikan sepersepuluh dari milik Abaraham kepada Melkisedek,
sehingga melki sedek merupakan Imam Allah yang maha Tinggi (kohen el elyon). Mzm 110:4 membuktikan
bahwa dengan dia (Melkisedek) ada dimulai suatu peraturan yang baru yang tidak
dapat digabung dengan imamat Harun. Melkisedek menyatakan secara tidak langsung
pemutusan Hukum dan kultus Yahudi
Di Babel, pekejaan para imam Yerusalem
menjadi hidup kembali. Mereka menjadi pemimpin yahudi setelah embuangan. Mereka
juga memberikan makan baru terhadap institusi nenek moyang mereka. Misalnya,
tentang hari Sabat, pemberian persembahan, Sunat, dan sebagainya. Hal ini
berguna untuk menyatukan komunitas ke dalam sebuah kesatuan yang memiliki
komitmen dan sikap yang optimis.
Pada awalnya Imam besar secara besama-sama melayani dengan
kelompok Imam Abyatar ( 2 Sam 8:17). Namun
dibawah kepemimpnan raja Salomo, ia melakukan pemecatan terhadap imam Abyatar dari
posisinya dari Imam besar, dan mengangkat Zadok sebagai penggantinya ( 1 Raj
1:5-8; 2:35). Namun ada para ahli berpendapat bahwa sebelum Daud merebut Yerusalem, Zadok telah melayani sebagai Imam di
Yerusalem dan ketika Daud merebut Yerusalem ia tetap memperbolehkan Zadok, Imam di Yerusalem. Jika
pendapat ini benar maka dapat dikatakan
bahwa keluarga Abyatar adalah keturunan Lewi yang asli, sedangkan imam-imam
dari keluarga Zadok dalam perkembangan selanjutnya dikategorikan atau dihormati
sebagai orang-orang lewi juga. Jabatan Imam besar tetap berada pada
keluarga Eleazar sampai pada Zaman Eli
yang diturunkan dari Itamar. Namun
kemudian Salomo memecat Abyatar (1 Raj 2:26). Demikianlah pelayanan
itu kembali ke rumah Eliazar dalam diri Zadok dan tetap berada pada keluarga Zadok hingga
krisis politik yang menyebabkan penurunan Onia III dari jabatannya oleh raja
Seleukus Antiokhus Epifanes (kira-kira 174 sM). Setelah itu jabatan Imam besar
tidak lagi berdasarkan keturunan namun di tentukan atau dipilih raja yang memerintah.
Dengan demikian
maka jabatan Imam besar menjadi
jabatan yang bersifat politis karena proses pengangkatannya melalui kebijakan politik
dari seorang raja yang berkuasa. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa tujuan
pengangkatan seorang Imam Besar dapat bersifat dualistik, artinya dipilih untuk
kepentingan lembaga kegamaan dan lembaga pemerintahan. Maka kedudukan dan
posisi Imam Besar tidak memiliki otoritas yang kuat sebagai pemimpin lembaga
keagamaan yang mengkontrol dan mengkritisi pemerintah, sebab raja yang berkuasa
dapat sewaktu-waktu mencopot kedudukannya jika tidak bepihak kepada kebijakan
pemerintah.
3.3.Tugas dan fungsi Imam
Ada beberapa hal yang menjadi tugas
pokok Imam pada zaman sebelum pembuangan yakni:
a.
Memberikan pelayanan di tempat-tempat suci (1 Sam 2 dan
3)
b. Menyampaikan dan memberikan berkat TUHAN
kepada umat (Bil 6:22-26; Ul 10:8)
c. Menyampaikan Thora atau petunjuk
Tuhan kepada umatNya (Yer 8:18; Hag 2:11, Mal 2:6-7)
d. Memelihara tempat-tempat suci yang
dipergunakan sebagai tempat persekutuan/peribadatan dan tempat pelarian (Kel
21;12-14; Bil 35; Yos 21:13-19; 1 Raj 28)
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas tugas utama seorang imam adalah
melayani atau memberi pelayanan dihadapan Allah ( Ul 18:5, 7) ini berarti
fungsi Imam sebagai wakil atau mediator dalam persembahan kurban, mengajarkan thorah dan juga fungsinya
dikaitkan dengan Urim dan Tumim. Maka fungsi Imam dapat diperinci sebagai berikut:
a. Fugsi imam mengajarkan thora
Thora
adalah pengajaran, petunjuk atau
keputusan ilahi.[9] Atau ajaran-ajaran orangtua dan juga para bijaksana juga perkataan nabi-nabi (Ams 1:8; 13:14,
Yes 8:16;30:9-10). Istilah
thora juga merujuk kepada dekalog dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangan selanjutnya semua hukum-hukum Musa disebut sebagai thora (1Raja 2:3) Dalam
Yudaisme kemudian yang disebut sebagai
thora adalah semua buku Musa (Pentateukh).
Secara sosiologis fungsi Imam dalam
kehidupan sehari-hari disebut pemberi thora dan undang-undang. Oleh sebab
itu maka
yang menjadi penentuan bahwa setiap perintah, jawaban atau petuah
demikain juga anjuran yang dikeluarkan para imam disebut thora (Ul 17;11;33:10;
Hos 4:6-10). Melalui pengajaran thora hal ini menunjukkan bahwa Imam telah
memelihara kekudusan umat dan bangsa Israel. Di dalam PL, banyak ditemukan
hukum-hukum sebagai etika moral yang bertujuan untuk memelihara umat Israel
dari kenajisan yang datang dari pengaruh dan ajaran-ajaran agam lain.
Sebab hidup atau kehidupan bangsa Israel banyak
dipengaruhi oleh agama-agama sekitarnya termasuk pengaruh ritus-ritus
penyembahan dewa-dewa Baal yang di import dimana hal tersebut bertentangan
dengan ibadah Israel yang menyembah Yahweh.
b. Fungsi imam mempersembahkan korban dan
berkat.
Pada mulanya setiap kepala keluarga dalam
umat Israel dapat mempersembahkan korban disamping imam fungsi utama. Kedudukan dan fungsi Imam lebih banyak berfungsi
sebagai pengawas penggunaan darah dengan tepat.[10]
Kemudian dalam perkembangan dan periode selanjutnya, persembahan korban hanya dilaksanakan oleh
imam di atas mezbah dan para kepala
keluarga hanya membawa binatang
persembahan ke Bait Allah dan teknis
pelaksanaan selanjutnya diserahkan kepada para Imam.[11]
Sejalan dengan persembahan korban Imam juga memiliki otoritas yang diberikan
oleh Allah untuk bertindak sebagai wakil
Allah untuk menyampaikan berkat kepada umatnya. Rumusan terahir dari berkat
yang harus dilaksanakan seorang imam terdapat dalam kitab Bilangan 6:24-26
disana di katakan :
TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN
menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN
menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.
Berkat itu diberikan oleh imam atau Imam
besar atas nama Allah oleh karena Allah
sendirilah sumber dari segalanya berkat yang dibutuhkan oleh manusia. Berkat
yang disampakan oleh Imam hanya berlaku terhadap orang-orang yang layak
menerimanya yaitu orang-orang (Isarel) yang menuruti perintah-perintah dan
kemauan Allah.
IV. Kedudukan dan
fungsi Imam dalam Perjanjian Baru
Imam dalam PB merupakan kelanjutan Imam yang ada dalam PL
tugas dan fungsinya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Tugas Imam dalam PB identik dengan
tugas imam di PL:
1. Memimpin umat Israel untuk beribadah
kepada Allah dan berusaha agar
peribadahan itu berlangsung secara benar
dan teratur sesuai tata kebiasaan agamawi yang berlaku. Calvin mengatakan bahwa Imam adalah pemimpin yang bertugas sebagai
fungsionaris keagamaan. Imam bertujuan sebagai perantara antara Allah dengan
umat di dalam pembinaan, pengajaran dan antara umat dengan Tuhan dalam fungsi
ibadah.
2.
Memimpin persembahan korban
3.
Sejalan dengan
persembahan kurban Imam juga diberi tugas
oleh Allah sebagai wakil Allah untuk menyampaikan berkat kepada umatnya.
4.
Seorang Imam memiliki tugas untuk mempelajari dan menafsirkan maksud dari peraturan-peraturan dan
hukum-hukum tentang korban persembahan
serta memberikan nasehat-nasehat mengenai teknis pelaksanaan yang benar dan tepat.
5. Memperdengarkan Firman Allah di
tengah-tengah perkumpulan jemaah.
Hal yang membedakan kedudukan Imam di
dalam PL dengan PB adalah mengenai mekanisme pengangkatannya. Di dalam PL pengangkatan
seorang imam ditentukan berdasarkan garis keturunan atau secara turuntemurun
sedangkan di PB pengangkatan Imam ditentukan oleh penguasa
yang memerintah pada saat itu.
V. Persembahan
5.1. Perjanjian Lama
Salaha satu hal yang penting dalam ibadah Israel adalah korban persembahan.
Perjanjian Lama tidak memiliki kata umum
untuk ‘kurban’ kecuali qorban yang
jarang digunakan, artinya yang dibawa mendekat (qrb) dan secara praktis terbatas pada susastra keimaman. Isysyeh mungkin secara umum berarti
korban sesuai hukum taurat, tapi diperdebatkan apakah itu tidak harus dibatasi
untuk :korban dengan api” (esy)
Korban
persembahan tidak terbatas hanya pada Israel diantara bangsa-bangsa purba (Hak.
16:23; 1 Sam 6:4) banyak kesejajaran yang berasal dari bangsa-bangsa sekitar
dikemukakan untuk menjelaskan korban dalam masyarakat Israel.
Jenis-jenis
korban dalam Perjanjian Lama
meliputi:
a)Olah,
Korban bakaran yang dihidangkan dalam pesta tertentu dan pengudusan kembali Bait
Allah.
b)
Isysyeh: Korban
api-apian, korban yang dibakar untuk menghormati Allah dan baunya menyenangkan
hati TUHAN.
c)Minkha,
Dalam bidang keduniawian kata ini ditejemahkan sebagai hadiah ataupun upeti (1
Raj 4:21). Dalam keagamaan minkha
diartikan korban baik dari ternak maupun dari hasil ladang, misalnya dalam Kej
4:3 korban Kain dan Habel keduanya disebut minkha
diterjemahkan sebagai “korban persembahan”.
d)
Zevakh dan
Syelamin, Korban penebus salah atau korban keselamatan
e)Asyam
dan Khatta, Korban Penghapus salah (korban pelanggaran) dan korban penebus
dosa, merupakan dari pelanggaran yang harus ditebus yaitu asyam (kesalahan) dan
khatta (dosa).
Konsep persembahan dalam Perjanjian Lama
berakar dari janji Allah yang dinyatakan kepada Israel. Allah memberikan perintah
kepada Israel
supaya mereka memberikan persembahan itu sesuai dengan kehendak-Nya dan selalu
dilakukan oleh Umat-Nya. Persembahan itu merupakan pemberian manusia kepada
Allah, harus menyatakan ekspresi ibadah spritual antara Allah dan manusia.
Kebiasaan mempersembahkan kurban tersebar di dunia kuno. Dalam Alkitab
sendiri dikatakan bahwa kebiasaan itu sudah kuno, sehingga pada permulaannya
pada awal penciptaan manusia, yaitu pada persembahan Kain dan Habel (Kej 4:3,
dst). Juga diceritakan dalam Alkitab tentang kurban bapa Leluhur dan tentang
kurban yang dipersembahkan negara-negara tetangga disekitar Israel.
5.2.Perjanjian Baru
Kata yang digunakan dalam
persembahan dalam Perjanjian Baru adalah
θύσία, δορον, prosfora, dan yang seasal dengan kata itu anafero, yang diterjemahkan dengan
korban, pemberian, persembahan. Dalam Markus 12:33 mengarah kepada korban
makanan, holokautoma, korban bakaran,
thumiamia, kemenyan, spedo, dituangkan seperti korban
minuman.
Korban-korban dalam Perjanjian Lama
masih dipersembahkan dalam Perjanjian Baru (Mat 2:11). Penting dicatat bahwa
ada korban yang dipersembahkan pada waktu pertama kalinya ia diserahkan kepada
Allah di Bait Suci atau ia sendiri yang mempersembahkan korban pada paskah yang
terakhir. Dalam Perjanjian Baru khususnya dalam zaman Yesus, masih ada
pemberian persembahan, yaitu Yesus memberi persembahan berupa merpati.
Dalam Perjanjian Baru, persembahan
itu dipakai dalam arti kiasan, korban yang disukai dan karena itu diterima (2
Kor 2:14). Thusia dekte korban yang
disukai oleh Allah juga dipakai disini dalam arti kiasan (Luk 4:9; Kis 10:35) Eureston yang berasal dari kata areskein
“berkenan”.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan
diriNya sebagai persembahan untuk menebus dosa manusia. Yesus mempersembahkan
diriNya sekali untuk selamanya (Rm 3:25f; 1 Kor 5:7f; 1Kor 2:18f). Berdasarkan
Ef 5:2 makna persembahan mempunyai dua bentuk yaitu: Pertama, kematian Yesus sebagai persembahan perdamaian yang
berhubungan dengan iman dalam PL. Kedua,
persembahan harus berdasarkan nilai panggilan untuk mengasisi sesama manusia. Dalam
perjanjian Baru ada pergeseran makna ritual kultus kepada kultis praktis yaitu
tubuh adalah persembahan yang hidup dan kudus. Ini mengarah kepada kultus
praktis hidup sehari-hari. Persembahan yang hidup dan kudus sudah dikuduskan
oleh Tuhan Yesus Kristus.
VI. Kontinuitas dan Diskontinuitas Imam dan Persembahan
Secara
historis teologis tugas dan fungsi
keimaman dalam PL tetap berlanjut di dalam PB. Secara sosiologis dalam PL penekanan
tentang kedudukan imam (secara struktur) sangat ditekankan, namun dalam PB hal
tersebut tidak ditekankan lagi. Fungsi imam berkaitan dengan mempersembahkan
korban. Dalam PL seorang imam yang telah ditabiskan/dilantik(hakkohen hammasyiakh)[12]maka
hal yang pertama yang harus dilakukan adalah mempersembahkan kurban penghapus
dosa untuk dirinya sendiri.
Dalam
PB istilah imam tidak ditekankan, istilah yang sering dipakai adalah sebutan diakonoi,
hupeeretai, presbuteroi (presbyters), dan leitourgoi (pelayan
publik), tetapi tidak menyebutkan imam yang mempersembahkan kurban (hiereis).
Istilah imam untuk kata hiereus, berasal dari kata presbuteros, yang memperlihatkan
karakteristik untuk istilah imam yang tertulis dalam 1 Kor 9:13 (bnd Bil 18:8).
Jadi penakan dalam PB lebih menekankan fungsi dari pada posisi.
Injil tidak menyebutkan Imam
kepada Yesus, demikian juga para murid-muridNya tidak mendapat gelar Imam.
Namun dalam kitab Ibrani gambaran tentang Yesus sebagai Imam Agung begitu kuat
ditekankan. Konsep tentang tradisi Imam dihidupkan kembali oleh surat Ibrani dalam
perspektif yang baru. Penulis surat Ibrani menjelaskan bahwa dalam diri Yesus,
Dia bukan hanya mengerjakan atau mempersembahkan persembahan sempurna,
melainkan menjadi persembahan sempurna itu sendiri (Ibr 10:12). PersembahanNya
berlaku secara universal, dan sepanjang masa, tidak seperti persembahan Imam
dalam Perjanjian Lama. Yesus menjadi Imam sempurna dan menjadi mediator
sempurna antara Allah dan manusia
Imam dalam PL disempurnakan
dalam diri Yesus Kristus (Ibr 8:1), yang melaksanakan pendamaian dosa umat (Ibr
2:17). Jika dalam PL persembahan merupakan pemberian sesuatu yang berharga
kepada Yahweh (Im 27:30; Kel
35:4-29; Bil 18:21), namun dalam PB
tidak lagi menekankan tradisi kurban sebagaimana yang terdapat dalam kitab PL. Semuanya telah
digenapi Allah dalam pengurbanan diri Yesus Kristus sebagai persembahan kepada
Allah untuk menyelamatkan manusia berdosa (Ibr 9:25-28). Masa kurban PL secara
harafiah sudah berakhir dan lewat, Allah telah menolak kurban-kurban yang tidak
berguna (Am 5:21-27; Yer 7:21-28).
VII. Refleksi
Teologis
Yesus
adalah tipologi Imam Besar yang sempurna yang menjadi mediator Alllah dengan
dunia (kosmos). Yesus menjadi persembahan yang sempurna untuk mendamaikan dan
menebus umat yang berdosa. Keberadaan Yesus menjadi kurban persembahan pendamaian
dan penebusan.
Persembahan yang benar tidak
lagi seperti tradisi dalam PL, namun totalitas hidup. Dalam Surat Paulus Roma
12:1-2, ditekankan bahwa persembahan yang benar adalah mempersembahkan tubuh
sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Mempersembahkan
tubuh berarti totalitas hidup orang percaya, baik waktu, tenaga, bakat dan
seluruh yang ada pada dirinya kepada Allah. Persembahan yang berkenan kepada
Allah adalah pemberian dengan sukarela tanpa paksa atau diharuskan dalam jumlah
tertentu. Pemberian persembahan dalam gereja secara materi pada saat ini bukan
menekankan tentang kuantitas (Maksimal atau minimal), melainkan lebih
menekankan pada motivasi (kualitas0 darai orang yang memberikan persembahan. Secara
teologis persembahan meruakan “memberikan yang terbaik” oleh sebab itu, maka
dalam memberikan persembahan juga perlu “mempersiapkan hati” untuk memberikana
persembahan yang terbaik.
Dalam tradisi gereja masa kini,
posisi Imam merujuk kepada majelis/Parhalado
( presbuteroj) yang menjalankan fungsi dan
tugas keagamaan (menyampaikan pesan moral, spiritual, maupun kegiatan sosial
lainnya). Dalam PL tugas Imam selalu berkaitan dengan pelayanan Imam dalam
kurban persembahan. Sehubungan dengan itu, pengabdian Parhalado merupakan
panggilan untuk mempersembahkan hidupnya dalam melayani umat TUHAN, sebab
“jabatan” Parhalado merupakan panggilan dari TUHAN. Sebagaimana yang ditekankan
dalam PL tentang kedudukan imam yang khusus serta keteladan Yesus sebagai
tipologi Imam Besar yang sempurna, maka kualitas hidup (spiritual dan moral)
para imam (Parhalado) merupakan tuntutan
yang mendasar dalam hidup seorang Pahalado.
Secara eklesiologis pemahaman Israel sebagai imam, bahwa jabatan imam harus
dipahami secara kolektif, dimana Israel oleh Tuhan menjai “kerjaan
imam” (Kel 19:5-6; Ul 4:20; 7:6; 14:2). Secara kontinuitas hal tersebut masih
berlanjut samapai PB, dapat dilihat dalam 1 Pet 2:9, demikian juga harus
memhami gereja sebagai kerjaan imam, diman gereja ada disana ia memangku
jabatan imam. Secara eklesiologis, keluarga adalah merupakan gambaran dari
gereja kecil, dan kedudukan orang tua, berfungsi sebagai imam yang mengajrakan
firman Tuhan.
[1] Dalam perkembangan Israel
Kuno, pengertian Imam dipahami sebagai wakil
manusia dan Nabi sebagai wakil Allah terhadap manusia dan biasa
juga disebut mulut Allah. Lih. S.
Wismoady Wahono, Dua studi tentang
hubungan Tuhan dengan Israel, BPK Gunung Mulia, Jakarata 1981: hlm. 108-109
[2] Istilah kohen terdapat 800 kali
dalam PL, dan dipergunakan pada aslinya di dunia Yunani dan Romawi kuno untuk
seorang yang dapat menyatakan kemauan dewa kepada manusia yang dapat
menyampaikan korban persembahan kepada dewa dari manusia. kohen dapat mengetahui cara yang tepat untuk mengambil hati dewa
dan kehendak dewa terhadap manusia itu melalui ramalan dan inspirasi. Lih.
R.E Oesper dikutip oleh E Verett, Priets (art) dalam Encyclopedia Americana, New York 1976: hlm. 571-578; bd. Kej 41:50; 47:26; 1 Sam 41:50; 47:26; 1 Sam 6:2; 2 Raj 10:19
[3] 1 Sam 2:18; 14:3; 22:18; 23:6,9;
30:7, juga bandingkan Kel 28:4,12; 29:5; Im 8:6-8; Hak 18:20
[4]2 Sam 15:24.25-29; bnd. 1 Sam 6:15;
14:18-20; 1 Raj 8:3; 2 Raj 18:10. Efod merupakan yang dikenakan oleh imam di
Israel kuno, yang digunakan ketika berhubungan dengan Allah (Hak 17:5)Daud
memerintahkan Imam Abyatar untuk membawa baju efodnya ( 1 Sam 23:9). Tampaknya
baju efod merupakan jubat kebesaran yang digambarkan dalam Kel 28:39, dan tidak
hanya digunakan pada upacara keagamaan, tetapi juga digunakan pada kesempatan
untuk mencari tahu kehendak Allah. Lih.
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, BPK
Gunung Mulia, Jakarta 2007: 90
[5] Hak 17:5-7f; 1 Sam 14: 36-42;
31:44f, kepala keluarga yang meyampaikan kurban (Kej 8:20; 31:54, Jetro mertua Musa menjadi imam di Midian (Kel
2:18f; 3:1f)
[6] Bnd. Hak 17:18
[7]
Bil 18:1-7, Kel 29:29, Hak 44:15, 2 Sam 8:17, 1 Taw 24:3, Neh 8. Lih Ulrich
Becker “Priest, high priest” dalam Colin Brown, New testament Theology, Vol 3, Grand rapids, Michigan, Usa 1981: hlm. 32-34
[8] Dalam lembaga keimaman akhirnya Imam Besar dihormati sebagai pemimpin
tertinggi di kalangan mereka (para Imam) untuk mengatur kegiatan para Imam
dalam Bait Suci, Imam Besar berpengaruh betul dalam jalannya roda pemerintahan
bangsa Israel. Menurut Hag 1:1,12,14: 2:2-4, Imam besar dalam kekuasaan sejajar
dengan kekuasaan raja, dan keduanya bisa disebut “Hamba Tuhan”;
[9] bnd.
Ul.33:10; Yes.2:3
[10] Ibid, hlm.244
[11] 1 Sam 2:28;2 Raj 23:9; Im.
1:5; 2:8; 4:4-5
[12] Pelantikan/penahbisan para Imam
diceritakan dalam Kel 29, Im 8, mereka harus menyucikan dirinya,
mempersembahkan persembahan pelantikan; mereka dipercik dengan minyak dan
bau-bauan yang memberikan kepandaian untuk tugas nereka. Upacara
penahbisan para imam selamata tujuh hari, hal ini sangat mengesankan ketika Harun dan anak-anaknya ditahbiskan.
Musa menuangkan minyak urapan pada jenggot Harun, mempersembahkan kurba
penghapus dosa dan satu kurban bakaran untuk mengakui kenyataan bahwa
pendamaian harus diadakan untuk para imam itu. Musa juga membubuhkan darah ke
telinga mereka sebagai lambang supapa mereka mendengar dengan seksama perintah
Allah, dan melakukan pekerjaan dengan setia (Im 8:23).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar