Tanggapan Etis Terhadap Pembantaian Orang Kanaan
I. Pendahuluan.
Peristiwa pembantaian terhadap orang Kanaan merupakan salah satu
masalah khusus yang terdapat dalam kitab Yosua. Dimana dalam kitab
Yosua ini, bangsa Israel seolah-olah digambarkan seperti orang yang tak
kenal belas kasihan. Yang dengan sadis membantai orang-orang Kanaan,
baik tua maupun muda, baik laki-laki maupn perempuan. Tanpa
meninggalkan seorang pun untuk dibiarkan hidup.
Sehingga permasalahan ini menimbulkan perdebatan khusus dalam bidang
kemanusiaan. Bahkan menimbulkan perdebatan antara para ahli, yang
kemudian menimbulkan pendapat bahwa Allah dalam PL berbeda dengan Allah
dalam PB. Oleh karena itu saya merasa tertarik dan mencoba untuk
membahas masalah pembantaian terhadap orang Kanaan dalam tulisan ini.
II. Teks dan Konteks.
A. Teks.
Sebagai langkah awal untuk membahas permasalahan ini, maka saya merasa
perlu untuk membahas teks Alkitab yang berkaitan dengan masalah
pembantaian ini.
Ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan menuju ke tanah
perjanjian yaitu Kanaan, di bawah kepemimpinan Musa. Allah memberikan
suatu perintah kepada mereka dalam kitab Ulangan pasal 7:7-11, dan
20:16-18 tentang apa yang harus mereka lakukan terhadap orang Kanaan.
Seperti “menghalau, ... memukul, ... menumpas, jangan mengadakan
perjanjian, jangan mengasihani, ...dsb.
Dan perintah ini merupakan perintah yang secara langsung diberikan oleh
Allah kepada bangsa Israel. Dimana dalam perintah ini disebutkan
secara jelas siapa-siapa saja yang harus dibantai, yaitu tujuh bangsa yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada bangsa Israel.
Sehingga untuk lebih memahami masalah etis pembantaian ini, saya menggunakan pendekatan dari perspektif Allah dan perspektif sejarah.
Yang dikaitkan dengan konteks budaya pada masa itu. Dan oleh karena
itu, akan lebih dimengerti bila juga dibahas kondisi geografi dan
kebudayaan orang Kanaan pada masa itu.
B. Konteks Sejarah.
1. Kondisi Geografis.
Kanaan merupakan suatu wilayah dari daerah pantai Siria-palestina, yang secara khusus disebut Fenisia. Daerah ini merupakan daratan yang subur, karena tanah setengah lingkaran yang sempit ini menerima cukup embun untuk bercocok tanam. Dan merupakan daratan yang menjadi jembatan antara benua Asia dan Afrika.
Sehingga karena terletak di lokasi yang strategis, daerah ini memiliki
banyak kelebihan dan keuntungan yang dapat dikembangkan dalam hal
perdagangan, kesenian, dan kesusasteraan yang tidak lepas dari pengaruh
bangsa lain yang ada di sekitar mereka.
2. Budaya Kanaan.
Kesenian dan Kesusasteraan.
Kesenian dan kesusasteraan orang Kanaan diperkaya oleh kesenian dan
kesusasteraan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka. Dimana kesusasteraan orang Kanaan ini berisikan syair kepahlawanan Baal-dewa mereka.
Agama.
Kehidupan agama orang Kanaan tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa
lain yang menyembah ilah-ilah palsu. Dimana mereka mengembangkan agama pantheon,
yang dikepalai oleh El. Dan dalam kuil-kuil dewa orang Kanaan
tersebut, terdapat perempuan-perempuan yang mempersembahkan dirinya
untuk menjadi pelacur di dalam kuil tersebut. Dan ini merupakan bagian
dari agama orang Kanaan yang tidak dapat dipisahkan.
Dan seperti ciri-ciri agama penyembah berhala pada umumnya, yang
mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi mereka -seperti binatang atau
bahkan manusia. Ada kemungkinan orang Kanaan juga melakukan hal ini. Sehingga dalam artikelnya mengenai Kanaan, K.A.Kitchen mengatakan:
“Setelah
menyadari sikap agama Kanaan itu maka menjadi makin jelaslah, bahwa
secara jasmani dan rohani kekasaran-kekasaran kebudayaan Kanaan yang
sedang mengalami keruntuhan itu dan kemunculan Israel dengan tugasnya
yang khusus dan khas itu, tak dapat berada bersama-sama.”
III. Pembahasan Teks.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa saya menggunakan 2 perspektif untuk membahas masalah ini, yaitu:
Perspektif Allah.
1. Kedaulatan Allah.
Di dalam kedaulatan-Nya, Allah telah menciptakan dunia ini beserta
segala isinya. Dan memelihara hasil ciptaan-Nya tersebut. Dan di dalam
kedaulatan-Nya, Ia menjalankan pemerintahan-Nya, kehendak-Nya dan
rencana-Nya di bumi ini. Dan ini berarti:
Dunia beserta segala isinya adalah milik Allah. Dan Ia mempunyai hak penuh atas segala ciptaan-Nya.
Dan bila dikaitkan dengan tanah Kanaan, yang merupakan ciptaan Allah.
Berarti bahwa tanah Kanaan adalah milik Allah dan Allah mempunyai hak
penuh atas tanah tersebut. Sehingga Ia dapat memberikan tanah itu
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan berhak menentukan bagaimana semestinya tanah itu dipergunakan menurut wewenang moral-Nya.
Allah dapat memakai siapa dan apa saja untuk menyatakan kehendak-Nya dan menjalankan rencana-Nya di bumi ini.
Sehingga dapat dipahami bahwa bangsa Israel dipakai oleh Allah dalam
kedaulatan-Nya, untuk menyatakan kehendak-Nya kepada orang Kanaan.
Yang berupa penghukuman kepada mereka, karena dosa yang mereka
perbuat di hadapan Allah. Akan tetapi ini tidak berarti Allah pilih
kasih, karena bangsa Israel pun tidak terlepas dari prinsip universal
ini.
Dan sehubungan dengan kehendak Allah yang berupa perintah pemusnahan
terhadap orang Kanaan. Denis Green berpendapat bahwa perintah tersebut
mempunyai 2 segi, yaitu:
Sebagai
tugas pelayanan bagi umat Israel sebagai alat Tuhan untuk menghukum
kejahatan orang-orang Kanaan tersebut. (Ulangan 9:4)
Dan, sebagai penjagaan terhadap kemurnian iman bangsa Israel.
2. Karakter Allah.
Allah kita selain adalah Allah yang berdaulat dan bijaksana, Ia juga
adalah Allah yang kudus, benar, adil, dan kasih. Dan karakter yang ada
dalam diri Allah ini adalah satu kesatuan dan tidak akan pernah berubah
sampai selama-lamanya. Dan ini berarti setiap keputusan yang Dia buat
pasti merupakan keputusan yang adil, benar, bijak, dan tidak akan
bertentangan dengan diri-Nya sendiri.
Sehingga bila dikaitkan dengan keputusan untuk memusnahkan orang
Kanaan, maka keputusan itu pasti sesuai dengan karakter Allah tersebut.
Dimana keputusan ini merupakan konsekwensi dari dosa yang telah
diperbuat orang Kanaan. Mengenai hal ini David M. Howard, Jr
berpendapat:
“Mengenai dosa, pertama harus kita catat bahwa dari perspektif Allah
semua manusia telah berdosa dan kurang kemuliaan di hadapan-Nya (Roma
3:23) karena itu patut menerima hukuman berat (Roma 6:23). Sampai tahap
ini, bangsa Kanaan hanya menerima hukuman seperti yang harus ditanggung
semua manusia, dan jika ada bangsa-bangsa tertentu yang dikasihani itu
hanya karena anugrah Allah semata.”
Dan ini menunjukkan bahwa untuk menilai benar atau salah setiap
keputusan yang dibuat Allah bukanlah suatu hal yang mudah. Karena tidak
dapat dinilai berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etis manusia.
3. Janji Allah.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dari perspektif Allah ialah
perjanjian Allah kepada Abraham –nenek moyang bangsa Israel. William
Van Gemeren berpendapat bahwa perjanjian Allah kepada Abraham mengandung
4 janji, yaitu:
Keturunan.
Tanah.
Kehadiran Tuhan.
Berkat bagi bangsa-bangsa.
Sehingga ini menunjukkan bahwa penaklukan tanah Kanaan itu merupakan penggenapan
dari janji-janji Allah kepada Abraham. Karena Allah telah berjanji
untuk memberikan tanah kepada mereka. Dan mengenai pembantaian terhadap
orang Kanaan dari perspektif Allah ini, Walter Kaiser menggambarkannya
demikian:
“Sama
seperti seorang ahli bedah tidak ragu-ragu mengamputasi anggota badan
yang membusuk, sekalipun harus mengerat sejumlah daging yang sehat,
demikianlah Allah harus melakukan yang sama. Ini bukanlah berbuat
kejahatan agar muncul yang baik, ini adalah menyingkirkan kanker yang
bisa menginfeksi seluruh masyarakat dan akhirnya menghancurkan sisa yang
masih baik itu.”
Sehingga dengan membantai orang Kanaan, kekudusan dan kemurnian bangsa Israel tetap terjaga. Dan bangsa Israel dapat menjadi berkat
bagi bangsa-bangsa lain. Sebab orang Kanaan selain berdosa kepada
Allah, mereka juga mencoba menjerat bangsa Israel untuk mengikuti
kebiasaan agama mereka.
Perspektif Sejarah.
Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Isarel merupakan sebuah fakta
sejarah yang benar-benar terjadi. Walaupun ada beberapa ahli yang
menganggap bahwa penaklukan tanah Kanaan tidak seperti yang digambarkan
dalam Alkitab.
Karena menurut mereka yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana bangsa
Israel memasuki negeri itu secara perlahan-lahan. Dan gambaran dalam
pembantaian orang Kanaan tersebut hanya merupakan khayalan
penulis-penulis yang kemudian. Yang telah memutarbalikkan berbagai
kejadian sejarah.
Dan untuk memahami masalah ini dari perspektif sejarah, maka kita perlu
memperhatikan kembali kebudayaan pada masa itu. Dimana orang Kanaan
pada masa itu mempunyai budaya perang yang berkembang di antara
mereka. Karena hal itu menunjukkan kekuatan dewa-dewi yang mereka
sembah. Dan inilah yang dijumpai bangsa Israel ketika memasuki tanah
Kanaan.
Dan yang masih erat kaitannya dengan budaya perang tersebut, yaitu kebiasaan pada masa itu. Dimana “pengkhususan”
semacam itu merupakan hal yang biasa terjadi dalam agama pada masa itu.
Karena banyak bangsa di Timur Tengah kuno yang mempunyai kebiasaan
untuk mempersembahkan manusia dan harta benda serta tawanan kepada
dewa-dewa mereka.
Sehingga kebiasaan itu dapat menolong kita untuk memahami mengapa
bangsa Israel tidak menganggap pembantaian orang Kanaan itu salah.
IV. Kesimpulan.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada bagian pendahuluan,
bahwa pembantaian terhadap orang Kanaan ini merupakan permasalahan yang
serius karena menimbulkan etis. Maka dari apa yang telah dipaparkan
dalam paper ini, saya berkesimpulan bahwa pembantaian terhadap orang
Kanaan ini merupakan sebuah tindakan yang berbentuk kasuistik. Sehingga tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan hal yang serupa di kemudian hari.
Karena pada akhirnya, setelah bangsa Israel menetap di Kanaan, tidak
pernah lagi tindakan seperti itu dilanjutkan kembali. Sebab pemusnahan
itu dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah kepada bangsa
Israel dalam mengadakan perang suci, yang terdapat dalam Ulangan 20.
Dimana dari pembatasan seperti itu -dan dari PB- kita dapat mengetahui
bahwa prinsip pemusnahan tidak boleh dijalankan dalam perang manapun
juga. Tetapi hanya pada saat itu dalam sejarah, pemusnahan menjadi cara
Allah untuk mengajar umat-Nya.
Namun bila dikaitkan dengan Perjanjian Baru. Maka seolah-olah ada
sesuatu pertentangan yang muncul antara Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Dimana dalam Perjanjian Baru Tuhan Yesus mengajarkan prinsip
kasih dalam hidup orang percaya, terutama kepada musuh-musuh kita. Dan
perang merupakan suatu problem yang cukup serius dalam perspektif
Perjanjian Baru.
Mengenai hal ini, Tremper Longman III berpendapat:
“Tuhan
dari Perjanjian Lama bukan seorang figur yang sembarangan dan gelap,
dan Yesus bukan seluruhnya bunga, terang, dan kebaikan yang lemah
lembut. Yahweh tidak pernah berubah-ubah atau dengan sembrono menghukum
seseorang. Sebaliknya kesaksian dari Perjanjian Lama adalah konsisten
bahwa Ia adalah ‘Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah
kasih-Nya dan setia-Nya’ (Kel. 34:6). Ia menghukum hanya setelah
pemberontakan yang berulang-ulang dan peringatan yang terus menerus.”
Jadi,
sesungguhnya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak pernah
bertentangan. Melainkan justru terdapat kesinambungan/kontinuitas dari dua perjanjian tersebut.
Dan untuk memahami kesinambungan/kontinuitas ini lebih baik lagi, maka
harus dilihat dari prinsip penting yang merupakan pusat dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Yaitu prinsip kasih.
Dimana taurat Musa maupun ajaran Tuhan Yesus semuanya ditopang oleh
kasih. Karena keduanya memerintah orang saleh untuk mengasihi Tuhan
dengan segenap hati (band. Ul. 6:5 dan Mat. 22:37), dan mengasihi sesama
seperti dirinya sendiri (band. Im. 19:18 dan Mat. 22:39). Sehingga
oleh karena itu, berperang dalam Perjanjian Lama demi kebenaran dan
keadilan untuk membela Allah dan sesama manusia, merupakan ungkapan
kasih dan tidak bertentangan dengan etika Yesus.
DAFTAR PUSTAKA
Cairns, I.J. Tafsiran Kitab Ulangan pasal 1-11. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997.
Craigie, Peter C. The Problem of War in The Old Testament. Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986.
Djoeng, Budiono. Diktat Kitab-Kitab Sejarah. Surabaya: Unpublissed, 2005.
Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2001.
Green, Denis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 1984.
Hill, Andrew & Walton, John. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,
2001.
Howard, David M. Kitab-Kitab Sejarah dalam Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 2002.
Kaiser, Walter. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2000.
Kaiser, Walter. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama. Malang; SAAT,
2001.
LaSor, W.S. dkk. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004.
Longman III, Tremper. Memahami Perjanjian Lama. Malang: SAAT, 2000.
Packer, J.I. dkk. Ensiklopedi Fakta Alkitab, Bible Almanac 1. Malang:
Gandum Mas, 2003.
Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: YKBK, 2002.