Oleh: Maryo Lawalata
- Pengantar
Tema
kaya-miskin dalam Lukas, seakan menjadi perhatian serius dari para ahli
tafsir Alkitab sejak lama. Meskipun Lukas[1] berdiri sejajar dengan
kitab-kitab injil lainnya sebagai karya yang dilihat memiliki kesejajaran
literer dengan 3 karya injil lainnya (Matius, Markus dan Yohanes) yang
bertemakan kabar baik (euangelion) atau digolongkan sebagai kitab-kitab
Injil, namun Lukaslah yang paling dominan mencirikan perbedaan mencolok yang
menjadikan injil ini sedikit berbeda dengan kitab injil lainnya. Hal ini nampak
dalam tulisan Lukas yang memberikan perhatian khusus terhadap masalah kaya-miskin,
dimana Lukas menitikberatkan bahwa Yesus memperhatikan orang-orang lemah,
miskin dan sesat (band. Lukas 6:20, 24-25, Lukas 19:10) termasuk
kaum perempuan pun mempunyai peranan yang besar dalam karangan Lukas dari pada
kitab-kitab injil lain (lihat Lukas 7:11-17; 7:36-50; 8:1-3; 13:10-17;
23:27-32). Ini seakan menjadi tema penting yang melandasi karangan Lukas.[2] Sebab Lukas memiliki banyak
bahan yang berbicara mengenai tema kakayaan dan kemiskinan.
Akan
tetapi, jika dengan cermat meneliti tema kaya-miskin dalam Lukas
menyuratkan ketidakkonsistensi visi dan perspektifnya sebagai seorang
pengarang. Hal ini misalnya ditunjukan oleh Hortensius Mandaru yang menaruh
perhatian serius tentang apakah Lukas konsisten ataukah tidak dalam
membicarakan tema ini. Menurutnya Lukas tidak konsisten, mengapa, misalnya
Yesus menghabiskan banyak waktu berbicara tentang penggunaan harta-milik secara
tepat, pada hal para murid-Nya sudah meninggalkan segalanya untuk
mengikuti Dia (Lukas 5:11,28; 18:28)? Mengapa disatu pihak orang miskin disebut
“berbahagia” (6:20,24), tetapi dilain pihak dikatakan adalah “lebih berbahagia”
mereka yang memberi daripada menerima (Kis. 20:35)? Mengapa Zakheus dipuji
karena mau menyumbangkan setengah hartanya (19:1-10), padahal orang kaya
yang lain ditolak karena tidak bersedia memberikan semua hartanya kepada
orang miskin (18:18-25).[3]
Bagi
saya ketidakkonsistensi Lukas dalam mengarang tema ini sebetulnya sangat
bergantung pada situasi konkrit kepada siapakah kitab ini dialamatkan. Tentunya
penjelajahan mengenai hal ini membutuhkan studi tafsir untuk memahami situasi
pembaca yang kepadanya Lukas mengalamatkan kitabnya. Tentunya mengkonstruksi
situasi sosial pembaca adalah hal yang mungkin dilakukan. Dengan mengetahui sitz
im leben dari pembaca sebetulnya memudahkan kita untuk memahami bahwa
ketidakkonsistensi Lukas ternyata konsisten jika dikaitkan dengan kepelbagaian
situasi dan lokasi sosial Lukas. Perkembangan ilmu tafsir, seperti kerangka
historis kritis (mencari makna dibalik teks), tafsir naratif atau strukturalis
(mencari makna dalam teks) termasuk pengembangan metode tafsir yang bertumpuh
pada sudut pandang pembaca atau reader response critisism (mencari makna
di depan teks) adalah upaya metodologis untuk mengkonstruksi pemaknaan pembaca
yang beragam dengan praandaian yang terbatas dan hasil pembacaan yang juga khas
terbatas pada kerangka tafsir yang ingin dikedepankan.
02.
Pembaca Lukas; Menyatukan Perspektif
Bagian
ini saya tidak bermaksud untuk membuka ruang diskusi yang lebar menyangkut
alamat Lukas menuliskan kitabnya. Hanya sebagai bentuk untuk memberikan
kesamaan perspektif saja, supaya kita mungkin lebih mudah memahami makna tema kaya-miskin
yang Lukas maksudkan tersebut.
Terkait
kepada siapa Lukas mengalamatkan kitabnya, saya akan mengacu pada dua
perspektif yang menjadi acuan beberapa ahli tafsir. Pertama, Lukas
mengalamatkan kitabnya kepada Teofilus (Lukas 1:1). Para ahli sependapat bahwa
Teofilus bukan seorang Yahudi, menurut Boland sangat mungkin Teofilus adalah
seorang petinggi Romawi yang tinggal di Itali (di kota Roma). Hal ini mungkin
saja benar, sebab dengan cara menyapa Lukas, kita bisa saja menduga bahwa ia
adalah seorang yang terpandang dan memiliki status yang tinggi dalam jemaah
tersebut. Dalam buku Injil Lukas yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI) menafsirkan bahwa Teofilus sebagai “sahabat Allah” yang boleh
jadi adalah seorang istimewa yang menyandang nama itu atau seseorang yang bukan
Yahudi tetapi menyembah Allah.[4] Pendapat ini menempatkan
pembaca Lukas adalah seorang terpandang yang punya pengaruh dan sangat mungkin
punya pengikut atau jemaah yang turut menjadi alamat kitab ini.
Kedua,
beberapa ahli tafsir[5] berpendapat bahwa Teofilus
tidak hanya menunjuk pada orang tertentu, sebab Teofilus secara hurufiah adalah
dari kata Yunani theophilos yang berarti “yang mengasihi Allah”[6]. Hal ini berarti Teofilus bisa
saja dimaksudkan adalah orang tertentu/nama pribadi tetapi bisa juga menunjuk
kepada semua pembacanya dengan menyebut mereka “yang mengasihi Allah”
(Lukas1:3). Itu berarti Lukas mengalamatkan tulisannya bukan saja kepada orang
dengan jemaah tertentu pula, tetapi ia mengalamatkan kitabnya kepada
jemaah-jemaah Kristen perdana yang sudah menerima pewartaan secara lisan oleh
Yesus ataupun yang dilanjutakan oleh para Rasul. Bahkan hasil penelitian
historis kritis yang diungkapkan oleh beberapa penafsir yang melihat
injil-injil sebagai “karya edaran” yang dimaksudkan bagi jemaah-jemaah Kristen
perdana demi meluruskan dan memantapkan iman yang sudah mereka terima dari
pewartaan lisan. Jadi menurut Bauckman “injil-injil mungkin bukan terutama
dimaksudkan sebagai karya untuk sebuah jemaah tertentu di tempat tertentu”.[7] Sehingga akan sangat mungkin
juga tidak konsistensinya visi dan perspektif Lukas berbicara mengenai tema kaya-miskin
sebagai akibat dari kepelbagaian jemaah-jemaah Kristen saat itu.
03.
Kaya-Miskin: Upaya Mengkonstruksi Pembaca Lukas[8]
Bagian
ini saya akan bertumpuh kepada beberapa ahli tafsir yang berupaya
mengkonstruksi pembaca Lukas sehingga visi dan perspektif Lukas tentang tema kaya-miskin
paling tidak mengena dengan konteks pembaca. T.E. Phillips mencoba membagi para
penafsir dalam dua gerak pembacaan yang dominan, yaitu pembacaan historis
dan pembacaan simbolis. Pertama, Pembacaan historis, adalah upaya
merekonstruksi sitz im leben atau lokasi sosial jemaah Lukas pada jemaah
perdana dengan situasi yang konkrit nyata. Karenanya penjelajahan tafsir
historis ini akan turut menampakan kepelbagaian situasi dan lokasi sosial
jemaah Lukas dimaksud. Kedua, pembacaan simbolis, hal ini menekankan
teks bukan pada tataran historis tapi fungsi simbolisnya. Sebagai misal
kekayaan dilihat sebagai simbol keterikatan dan perbudakan manusia pada dunia,
sedangkan kemiskinan menjadi simbol komitmen dan perhambaan manusia pada Yesus.
Dua gerak pembacaan inilah yang akan saya tampilkan sebagai upaya untuk
merekonstruksi warta Lukas ini kepada jemaahnya:[9]
a.
Pembacaan Historis
1. Pembaca Tertindas
Lukas
menulis bagi jemaahnya yang ditindas oleh penguasa Romawi atau penguasa lokal.
Penindasan adalah fakta yang sangat mungkin dialami oleh jemaah dimana Lukas
mengalamatkan tulisannya. Boland misalnya menyatakan bahwa keadaan jemaah
Kristen perdana memang berada dalam kondisi penindasan, keadaan ini sangat
mungkin terjadi sebab agama Kristen lahir dikalangan orang Yahudi dan pada
mulanya orang-orang luar seperti orang-orang Romawi menganggap orang-orang
Kristen sebagai sekte (aliran) kaum Yahudi.[10]
Pembacaan
ini melihat adanya kaitan erat antara tema pelepasan harta dan
penindasan. Menurut Phillips, jemaah Lukas mengalami 3 level penindasan,
yaitu penyitaan harta, pengucilan (dari rumah dan kerabat) dan hukuman mati.
Tiga level penindasan yang semakin intensif dapat menjadi kunci untuk
menjelaskan adanya kepelbagaian tuntutan ekonomis dalam Lukas. Dalam keadaan
demikian, Lukas menghimbau orang Kristen untuk melepaskan harta mereka jika
para penindas memaksa mereka untuk memilih antara melepaskan iman atau
melepaskan harta milik. Di lain pihak, bagi mereka yang belum disita hartanya,
Lukas menghimbau sikap kedermawanan dan hospitalitas terhadap sesamanya
yang telah kehilangan harta mereka demi Kristus. Keterkaitan antara “melepaskan
harta” dengan “penindasan” pun diperlihatkan oleh Lukas (band. Lukas 6:20-23;
14:25-33). Akan tetapi banyak teks-teks Lukaspun yang mengaitkan “melepaskan
harta” dengan tema “ketamakan” (band. Lukas 12:33) dan “kemuridan” (band. Lukas
5:21,28; 14:33; 18:22). Sehingga kalaupun ada “penindasan” kiranya bukan
menjadi motivasi utama dibalik motivasi Lukas mengenai “kaya-miskin”
tersebut.
2. Pembaca Mapan[11]
Tema Lukas tentang kekayaan dan kemiskinan langsung
berkaitan dengan situasi dan kondisi konkrit jemaahnya. Jemaah Lukas kiranya
hidup dalam sebuah kota dalam wilayah kekaisaran Romawi, dimana ada ketegangan
antara kaya dan miskin. Di satu pihak, ketegangan diakibatkan oleh
perbedaan-perbedaan ekonomis antara kaya dan miskin, di lain pihak ada juga
ketegangan sosial. Orang-orang Kristen yang kaya dan terhormat menganggap
rendah kelompok rakyat biasa, khususnya mereka terlibat dalam
pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “tidak bersih” (seperti para pemungut cukai
dan prajurit).
Menurut beberapa pakar yang diungkapkan oleh Phillips,
pelukisan tentang para murid Yesus yang miskin adalah sebuah “sarana sastra”
belaka untuk menampilkan sebuah ideal, jadi bukan real-aktual para murid Yesus
historis. Ideal “para murid yang miskin” dipakai oleh Lukas sebagai kritik bagi
golongan kaya/mapan dalam jemaahnya demi mendorong pertobatan mereka. Dan
buah-buah yang diharapkan dari pertobatan mereka adalah derma, penghapusan
hutang, sumbangan bagi orang miskin, “milik bersama” dan aksi-aksi cinta kasih
dan solidaritas dalam jemaah Kristen itu sendiri. Sehingga Lukas ingin
menampilkan jemaah Kristen yang ideal, dimana tidak ada anggotanya yang
berkekurangan. Cita-cita ini tercapai berkat sebuah pembagian harta yang
seimbang di tengah jemaah dan berbagi dengan orang miskin di luar jemaah (band.
Kisah. 2:41-47; 4:32-37).
- 3. Pembaca Kaya-Miskin[12]
Jemaah
Lukas adalah jemaah perkotaan yang terdiri atas orang-orang kaya dan miskin
dengan jurang perbedaan yang cukup besar. Pada satu pihak ada teks-teks Lukas
yang menampilkan sosok Yesus yang amat memperhatikan orang miskin, mereka
menjadi alamat utama Kabar Baik yang diwartakan dan dihadirkan-Nya. Di lain
pihak, ada juga sejumlah teks Lukas yang tampaknya dialamatkan kepada pembaca
yang kaya. Teks-teks
tersebut menekankan tema kecaman, peringatan, dan juga harapan bagi orang kaya.
Sehingga Lukas ingin membangun solidaritas antara orang kaya dan miskin dalam
jemaahnya.
Pembacaan ini mengelompokkan orang miskin (ptokhos)
dalam tiga ketegori. Pertama, mereka yang secara ekonomis tidak beruntung;
kedua, mereka yang sakit (fisik dan mental), cacat dan tertawan, juga janda dan
yatim-piatu; ketiga, mereka yang termasuk kelompok marginal, seperti pemungut
cukai, pendosa, pelacur, juga termasuk perempuan, dll. Bagi “orang miskin”
inilah Yesus mewartakan dan menghadirkan “Kabar Gembira”. Isi kabar gembira itu
adalah pertama, jaminan bahwa Allah memihak mereka. Jaminan ini
diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus lewat “misi dan karya-Nya” (Lukas 4:16-30)
dan penerimaan-Nya terhadap yang “miskin” (Lukas 5:32 dan 19:10). Kedua, janji
masa depan. Dimensi harapan inilah yang menjadi vitalitas dan daya juang untuk
menata kehidupan sekarang dan di sini (Lukas 6:20-23; 1 & 2). Ketiga, jaminan
masa kini, jaminan bagi “orang miskin” untuk masa kini adalah
persaudaraan dan persekutuan jemaah yang mengamalkan keadilan, kasih dan
kesederajatan (Kis. 2:41-47; 4: 32-39) serta penataan struktur jemaah yang adil
(Kisah 6:1-7).
Bersamaan dengan itu pula Lukas menantang jemaahnya
yang kaya dengan berbicara menyangkut bahaya-bahaya kekayaan (seperti ucapan
“celaka” Lukas 6:24-26, hiperbola “lubang jarum” dalam Lukas 18:24-30, termasuk
kisah Ananias dan Safira dalam Kisah 5:1-11) dan bagaimana menggunakan kekayaan
secara tepat (band. Lukas 12:13-21; 16:1-9; 19:1-10). Hal ini tidak dimaksudkan
Lukas sedang mengecam kekayaan ataupun orang kaya, namun ini dimaksdukan demi
mendukung pesan dan ajakan positif, yaitu agar orang-orang kaya dalam jemaahnya
menata ulang prioritas hidup mereka dan mulai berbagi dengan sesama yang
miskin. Zakheus ditampilkan sebagai model seorang yang kaya yang “bertobat” dan
dan dapat melewati “lubang jarum”.
4. Pembaca
Mapan “yang takut akan Allah”
Pembaca Lukas historis adalah orang-orang Yunani yang
“takut akan Allah” dimana mereka cukup mengenal jemaah Kristen, bahkan tertarik
pada gaya hidup jemaah tersebut, khususnya pada asal-usul dan warisan
Yahudinya. Jemaah juga terbiasa dengan gagasan mesianisme Yahudi sehingga
menafsirkan acuan “orang Miskin” dalam bagian awal injil Lukas (Lukas 1:46-55;
6:17-49; 7:22-23) sebagai “karakteristik umat Israel” sebagaimana mereka
memahami orang miskin dalam kitab Yesaya dan Mazmur (Kaum anawim)[13]. Sehingga
minat Lukas pada “orang miskin” bertujuan untuk memperkuat perhatian
eskatologisnya, yaitu untuk memperlihatkan bahwa harapan-harapan keselamatan
bagi umat Israel yang sudah mulai terpenuhi, dalam Yesus. Jadi Lukas tidak
bermaksud memberi status khusus dan istimewa buat orang yang secara hurufiah
miskin.
Tuntutan “meninggalkan harta milik” memperlihatkan
pentingnya kesediaan untuk kehilangan segalanya demi Kristus (Lukas 14:25-35)
dan tidak membiarkan harta milik menghalangi seseorang memasuki Kerajaan Allah
(Lukas 18:18-30; 19:1-10). Dengan itu diperlihatkan bahwa harta milik
mempunyai nilai intrinsik yang kecil dibandingkan dengan kekayaan Kerajaan
Allah. Karena itu, Lukas mendorong jemaahnya untuk mempergunakan harta milik
dengan cara yang sesuai dengan keyakinan mereka akan adanya penghakiman
terakhir yang adil. Praktisnya, Lukas mengajak pembacanya untuk menghindari
penumpukan kekayaan yang tidak perlu dan untuk memberi dengan suka rela kepada
orang miskin dalam masyarakat. Kekayaan tidak bernilai dalam dirinya sendiri,
kemiskinan pun tidak diidealkan. Sehingga pembaca mapan “yang takut akan Allah”
memperlihatkan makna jemaah Lukas terhadap ideal pelepasan harta sebagai suatu
panggilan untuk menerima cita-cita kemuridan yang berkelimpahan/tanpa batas.
5. Pembaca Eskatologis
Tema kaya-miskin dalam Lukas sangat mungkin
pula dialamatkan kepada jemaahnya dalam perspektif eskatologis tentang
“pambalikan nasib” yang dilakukan Allah (1:53-55; 6:20-26; 16:19-31). Lukas
secara konsisten memperlihatkan adanya pembalikan (reversal) yang
sifatnya bipolar, dari miskin menjadi kaya, kaya menjadi miskin, yang
hina ditinggikan, yang angkuh direndahkan, dll. Meskipun demikian, bagi
Phillips, tema pembalikan bukanlah menjadi isu sentral Lukas dalam
membiacarakan kaya-miskin. Baginya tema “pembalikan” sangat berhubungan
erat dengan nilai-nilai budaya Romawi-Yunani waktu itu, yaitu “status
terhormat/harga diri, dan rasa malu” (honor and shame) serta
“perlindungan (patronage). Kehormatan dan rasa malu menjadi nilai
dominan dalam budaya waktu itu yang dibalikan oleh Lukas.[14] Allah membalikan
kehormatan/harga diri dan rasa malu yang dominan pada zaman dan budaya waktu
itu. Maka, seorang Kristen juga harus membalikkan nilai-nilai dengan mana dia
bisa menilai dirinya sendiri dan memperlakukan sesamanya.
Tema
pembalikan ini kuat terasa dalam Injil Lukas dan kental dengan muatan
Kristologi: Kerajaan Allah sudah mulai dihadirkan lewat misi dan karya Yesus
Kristus. Dalam injil Lukas, pembalikan nilai-nilai “hormat dan rasa malu” ini
diproklamirkan oleh Yesus sebagai perwujudan Kerajaan Allah (Lukas 1-2;
4:16-30, dll). Dalam Kisah Para Rasul, tema pembalikan ini sudah diwujudkan
dalam jemaah Kristen yang mempraktekkan solidaritas, kesederajatan, dan
persamaan (Kisah 2:41-47; 4:32-39, dll). Nilai-nilai baru inilah yang
menggantikan nilai-nilai “lama” seperti “status/harga diri, rasa malu” dan
“perlingungan”. Kekayaan dan kemiskinan seseorang harus dilihat sebagai
indikator status “terhormat” atau “memalukan” dari orang tersebut dalam
masyarakat. Cara-cara seseorang menggunakan kekayaan menjadi indikator apakah
seseorang sudah atau belum menerima nilai baru Kerajaan Allah yang diwartakan
dan dihadirkan oleh Yesus.
b. Pembacaan
Simbolis[15]
1. Harta sebagai simbol
komitmen pada struktur sosial
Pembacaan ini adalah sebuah pembacaan simbolis dalam
rangka pikir sosio-historis, dengan menggunakan konsep “struktur” dan
“anti-struktur” untuk memahami jemaah Lukas[16]. Dalam
injil Lukas, konsep “kaya” umumnya dipakai sebagai simbol atau metafor yang
mengacu pada struktur sosial yang lama, yang bersifat hirarkis (Yudaisme).
Gerakan Yesus – dengan pola “hidup miskin”nya – justru berusaha keluar dari
struktur yang lama ini. Lukas umumnya mengaitkan konsep “miskin” dengan
kategori-kategori sosial yang mencerminkan kondisi-kondisi “marginal” entah di
antara, di bawah atau di luar struktur sosial yang resmi (kondisi-kondisi anti
struktur).
Pembacaan ini melihat konsep “kaya-miskin”
sebagai simbol penting yang mengungkapkan relasi seseorang degnan komunitas
baru yang dibentuk oleh Yesus. “orang kaya” berada dalam struktur mapan yang
ada (status quo), berlawanan dengan komunitas baru yang diciptakan oleh
Yesus (komunitas tanpa struktur, egaliter). “orang miskin” berada di
luar struktur yang ada (karena disingkirkan) dan mereka mengharapkan dan
menantikan serta terbuka terhadap komunitas baru tersebut. Konsep kaya-miskin
memang menghilang dalam Kisah Para Rasul, karena jemaah perdana secara
sosiologis sudah berkembang. Jemaah perdana dalam Kisah Para Rasul sudah
mengembangkan strukturnya sendiri. Dalam struktur yang baru itu “harta milik”
mendapat fungsi simbolis baru. Kalau dalam gerakan Yesus (injil Lukas), “harta
milik” menjadi simbol struktur lama yang harus ditinggalkan maka dalam gereja
perdana (Kisah Para Rasul), “harta milik” yang diabdikan bagi jemaah menjadi
simbol komitmen seorang Kristen dalam jemaah yang baru berkembang tersebut.
Dengan kata lain, dalam Injil Lukas, “melepaskan harta milik” adlah simbol
separasi dari tatanan lama, dalam Kisah Para Rasul “mengabdikan harta milik”
menjadi simbol integrasi dalam struktur baru (jemaah perdana).
2. Harta sebagai simbol
diri
Pembacaan ini bertumpuh pada kerangka tafsir naratif,
yang memperlihatkan dinamika penerimaan dan penolakan umat terhadap Sang Nabi.
Dalam Injil Lukas, dinamika penolakan dan penerimaan ini diperlihatkan dalam
penerimaan dan penolakan seseorang terhadap Yesus, sedangkan dalam Kisah Para
Rasul, dinamika ini diperlihatkan dalam penerimaan dan penolakan orang terhadap
para Rasul yang meneruskan peran kenabian Yesus.
Tema harta-milik dengan demikian, harus ditempatkan
dalam keseluruhan dinamikan kisah Sang Nabi (Yesus) dan umat-Nya” ini, sehingga
tema ini tidak bisa dilihat secara isolatif. “Harta-Milik” memiliki fungsi simbolis
dalam narasi yang ditulis oleh Lukas untuk mendukung tema besarnya terkait “kaya-miskin”.
Cara
seseorang menggunakan hartanya menjadi indikasi dan simbol disposisi batinnya.
Hal ini memperlihatkan jawaban batinnya akan lawatan dan kuasa Allah yang hadir
dalam Kristus dan para Rasul-Nya. Dengan kata lain, disposisi materi
memperlihatkan dan mengungkapkan disposisi diri. Harta milik adalah simbol diri
dan manifestasi eksistensi. Maka, jemaah perdana menganggap semua milik
mereka sebagai “milik bersama” (Kisah 2:41-47) sebenarnya mau memperlihatkan
kesatuan rohani mereka dalam iman dan kasih. Tindakan jemaah perdana “meletakan
harta mereka di kaki para Rasul” (Kisah 4:32-39) adalah simbol “serah diri”
mereka. Sederhananya “harta milik” adalah simbol diri seseorang untuk menerima
lawatan Allah ataukah tidak. Berbagai dengan sesama adalah simbol seseorang
menerima lawatan Allah, begitupun sebaliknya menumpukan kekayaan atau enggan
untuk berbagi adalah simbol seseorang yang tidak menerima lawatan Allah dalam
Yesus maupun yang diteruskan oleh para Rasul-Nya dalam gereja Kristen perdana.
Berbagai lensa pembacaan yang saya tampilkan diatas,
menunjukan pluralitas lokasi makna maupun jemaah Lukas bahkan sangat bergantung
pada perspektif ilmu tafsir yang hendak dipakai, entah menemukan makan di balik
teks (historis kritis), makna di dalam teks (naratif ataupun strukturalis)
ataupun makna di depan teks (reader respons) untuk merenkonstruksi jemaah
dimana Lukas mengalamatkan kitabnya. Bahkan kitapun tidak lalu memperangkapkan
alamat Lukas ini kepada suatu jemaah tertentu dengan situasi real yang tertentu
pula, sebab ketidakkonsistensi Lukas membicarakan tema kaya-miskin dalam
tulisannya mendorong para ahli tafsir terobsesi untuk mengkonstruksi jemaah
Lukas pada kenyataan yang pluralitas juga. Bahkan banyak ahli tafsir (seperti
yang telah saya bahas di atas) telah menyimpulkan bahwa kitab-kitab injil
(termasuk karya Lukas) adalah karya edaran yang dibaca oleh jemaah Kristen
perdana dan bukan jemaah tertentu dengan satu situasi yang konkrit pula.
04. Memahami Tema Kaya-miskin
Dalam Lukas: Beberapa Simpul Gagasan
Membaca beragam makna sebagai bentuk dari pluralitas
jemaah Lukas yang ditampilkan, sebetulnya memberikan kekayaan makna terhadap
visi dan perspektif Lukas dalam membiacarakan tema kaya-miskin. Beberapa
simpul gagasan yang dapat dilakukan, yaitu:
-
Kaya-miskin dalam Lukas sebetulnya mengindikasikan bahwa tema ini saling
berkaitan erat. Artinya kita tidak dapat mendikotomikan mereka yang kaya pada
satu sisi dan orang miskin pada sisi yang lain. Mereka yang miskin sangat
berhubungan erat dengan orang yang kaya, kemungkinan kuat dibalik tulisan Lukas
ini kemiskinan sangat berhubungan erat dari cara orang lain mengumpulkan harta
atau kekayaannya. Singkatnya orang yang miskin disebabkan oleh orang yang kaya.
Unsur sebab-akibat adalah mungkin dibalik tema Lukas tentang kaya-miskin.
Orang tidak miskin dengan sendirinya, tetapi kondisi miskin cukup dipengaruhi
atau ditentukan oleh mereka yang kaya. Entah karena penindasan ataukah karena
cara pandang mereka terhadap orang miskin itu sendiri, sehingga ada jurang yang
jauh antara orang kaya dan miskin. Cara pandang yang menempatkan orang miskin
sebagai kelompok marginal atau bahkan orang berdosa yang harus disingkirkan
dalam jemaah. Jemaah membuat jurang yang jauh antara kaya-miskin itu
sendiri.
-
Orang miskin (ptokhos) yang dimaksudkan Lukas dalam tulisannya dibedakan
dalam tiga ketegori. Pertama, mereka yang secara ekonomis tidak
beruntung; kedua, mereka yang sakit (fisik dan mental), cacat dan
tertawan, juga janda dan yatim-piatu; ketiga, mereka yang termasuk
kelompok marginal, seperti pemungut cukai, pendosa, pelacur, juga termasuk
perempuan, dll.
Orang miskin tidak hanya bersentuhan dengan masalah
sosial-ekonomi, seperti yang nampak dalam kondisi-kondisi konkrit (lapar, haus,
telanjang, tanpa rumah ataupun pengangguran), sebab lensa pembacaan yang telah
disampaikan sebelumnya menampakan orang miskin (ptokhos) pun bersentuhan
dengan matra politik maupun agama. Sehingga “orang miskin” adalah juga mereka
yang “tidak terhormat” dan karena itu tersingkir (janda, wanita, yatim-piatu
ataupun orang asing), sedangkan “orang kaya” umumnya mereka yang “terhormat”
dan untuk mempertahankan dan memperlihatkan “kehormatan” tersebut mereka harus
juga menjadi patron.
Ptokhos sepertinya adalah mereka yang cukup menggantungkan
harapan sepenuhnya kepada Allah (bergantung pada Allah) dan mendambahkan
intervensi Allah atas keadaan mereka. Kepada ptokhos inilah misi dan
karya Allah dalam Yesus itu mendapat perhatian khusus atau “Kabar Baik” itu
diberitakan untuk memberikan jaminan hidup bagi mereka.
-
Keberpihakan Allah kepada orang miskin bukan berarti Allah sepihak atau
mengabaikan mereka yang kaya. Keberpihakan Allah adalah wujud solidaritas-Nya
atas penderitaan yang dialami oleh umat-Nya. Sosok Allah yang solider dengan
manusia yang tersingkir, termarginal, miskin, terabaikan, dll., sebetulnya
adalah gambaran Allah yang ingin ditampilkan dalam Lukas. Allah tidak menentang
orang kaya apalagi menolak kekayaan, tetapi selama kekayaan itu dipakai untuk
kemuliaan Tuhan atau berbagi dengan orang lain sebagai wujud solidaritas kepada
sesama maka Allah tetap memaklumkan orang kaya juga kekayaan. Kekayaan tidak
harus menghalangi manusia untuk memperoleh Kerajaan Allah, tetapi kekayaan
harus dijadikan alat untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu. Kekayaan adalah
simbol diri, yang lewatnya tergambar lawatan Allah. Ketika menggunakan kekayaan
dengan berbagai atau solidaritas sama artinya dengan kita telah menerima
lawatan Allah yang dihadirkan oleh Yesus Kristus itu.
05. Biarlah Gereja Menjadi Gereja:
Implikasi Tema Lukas Bagi Proses Menggereja
Menjadi gereja berarti harus konsisten dan konsekuen
berjalan pada jalan Yesus. Suatu jalan dimana kedalaman hubungan dengan Allah
dan kekentalan solidaritas dengan mereka yang menderita berpadu. Keduanya
bagaikan dua sisi mata uang. Kita tidak dapat menekankan yang satu dan
mengabaikan yang lain, membangun hubungan dengan Allah tidak berarti kita
mengasingkan diri dari dunia ramai. Sebaliknya membangun hubungan dengan Allah
akan membawa kita ke kehidupan nyata dimana terjadi perjumpaan dengan sesama
manusia dan juga alam. Begitu juga ketika kita mulai dengan pergulatan dengan
masalah-masalah kemanusiaan dan alam ini, kita akan berjumpa dengan Tuhan.
Menjadi gereja yang sejati adalah menjadi gereja yang berjuang untuk
menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, memang perjuangan ini tidak mudah sebab
gereja akan berhadap-hadapan dengan berbagai kuasa yang mengancam kehidupan
nyata ini. Meskipun dalam perjuangan yang demikian, gereja harus tetap menjadi
gereja.
Kita mungkin dapat belajar dari pemaknaan Lukas di
atas, bahkan pula belajar dari D. Bonhoeffer, seorang teolog Jerman di zaman
Nazi yang berjuang menentang pemerintahan Adolf Hitler yang rasis dan kejam.
Ucapan Bonhoeffer, Let the Church Be the Church (biarlah gereja menjadi
gereja) adalah kritikan tajam bagi gereja yang bersikap netral terhadap
kejahatan yang dilakukan pemerintah Hitler ketika itu. Hal yang mahapenting
adalah gereja tidak boleh bersikap netral terhadap kejahatan, terhadap
ketidakadilan, terhadap kemiskinan dan pemiskinan masyarakat, penindasan,
praktek-praktek yang bias gender, politisasi agama, pelanggaran HAM ataupun
pengrusakan lingkungan. Gereja harus tetap menyatakan sikapnya sebagaimana yang
diharuskan oleh Lukas dimana gereja harus tetap menjadi gereja yang
memperjuangkan kualitas hidup manusia.
Gereja
harus menentukan pilihan atau keberpihakannya terhadap kaum miskin (preferential
option for the poor). Pieris mengatakan umat Kristen adalah orang yang
telah membuat pilihan yang tidak dapat ditarik kembali untuk mengikut Yesus,
pilihan itu harus sejalan dengan pilihan untuk menjadi miskin,
tetapi pilihan menjadi miskin hanya menjadi “mengikut Yesus” yang benar
sejauh juga merupakan pemihakan kepada kaum miskin.[17] Gereja harus benar-benar
menampakan komunitas baru yang diciptakan oleh Yesus sendiri, dimana
keberpihakan kepada mereka yang miskin, lemah, tertindas, dan terabaikan harus
menjadi spirit dan komitmen bergereja kita saat ini, karena memang kenyataannya
banyak jemaat dan masyarakat kita yang adalah orang miskin, tak berdaya,
tertindas dan terabaikan. Gereja harus menjadi gereja kaum miskin (church
for the poor). Inilah yang dimaksudkan Lukas sebagai komunitas baru yang
dibentuk oleh Yesus, tidak mapan (status quo), anti struktur dan juga egaliter
dengan menampakan solidaritas sebagai wujud lawatan Allah.
Daftar
Pustaka
Bahan
Utama:
Alkitab
terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia.
Walker,
D.F., Konkordansi Alkitab, dicetak oleh BPK. Gunung Mulia dan Kanisius,
1983.
Buku
Bacaan:
Bauckman
R., (ed), The Gospel for All Christian: Rethinking the Gospel Audiences, Edinburgh:
T&T Clark, 1998.
Boland,
B.J., Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2001.
Injil
Lukas; Edisi Studi, yang diterbitkan oleh Tim Penyiapan
Terbiatan Lembaga Alkitab Indonesia, 1989.
Mandaru,
H.F., Solidaritas Kaya-Miskin Menurut Lukas, Yogyakarta, PT. Kanisius,
1992.
Parsons.,
M.C & R.I. Pervo, Rethinking the Unity of Luke and Acts, Minneapolis:A/F,
1993.
Phillips
T.H., Reading Recent Readings of Issues of Wealth dan Proverty In Luke-Acts,
2003.
Pieris,
Aloysius., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta, PT. Kanisius,
1996.
Bahan
Internet:
http://portal.sarapanpagi.org/)
yang diakses pada 10 Januari 2011.
footnote
[1] Penulisnya tetap saya sebut
“Lukas” tanpa harus memasuki ruang diskusi atau debat yang panjang
tentang identitas aktual penulisnya. Dalam berbagai tulisan mengenai injil,
para ahli masih tetap mempertahankan “Lukas” yang adalah seorang dokter atau
tabib lah yang menulis karangan ini termasuk Kitab Kisah Para Rasul sebagai
kesatuan penulis. Bahkan dalam beberapa karangan mengemukakan bahwa dalam
Perjanjian Baru, hanya Lukaslah satu-satunya penulis yang bukan Yahudi
dan mengalamatkan kitabnya juga kepada orang-orang bukan Yahudi (band.
Tulisan yang disadur dalam http://portal.sarapanpagi.org/). Meskipun masih
didukung oleh mayoritas peneliti terkait penulis, namun beberapa ahli tafsir
pun pernah menggugat hal ini, misalnya seperti yang nampak dalam karya M.C.
Parsons & R.I. Pervo, Rethinking the Unity of Luke and Acts, Minneapolis:
A/F, 1993.
[2] Tentang hal ini bisa dilihat
dalam Dr. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 2001, hal. 8-9. Lihat pula buku Injil Lukas; edisi Studi yang
dikeluarkan oleh Tim Penyiapan Penerbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun
1989, hal. iii-iv.
[3] Tentang hal ini bisa dilihat
dalam buku Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-miskin Menurut Lukas, Yogyakarta,
PT. Kanisius, 1992, juga artikel ilmiah yang ditulisnya dalam jurnal Forum
Biblika dengan judul, Kaya-miskin dalam Lukas-Kisah Para Rasul, hal.
34-35.
[4] Mengenai hal ini bisa dilihat
dalam Buku Dr. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 2001, hal. 10. Lihat pula buku Injil Lukas; edisi Studi yang
dikeluarkan oleh Tim Penyiapan Penerbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun
1989, hal. 3
[6] Dugaan ini
bisa saja benar, mengingat Lukas dalam menuliskan kitabnya dikenal sebagai
seorang yang sangat pandai berbahasa Yunani termasuk sangat selektif dalam
menggunakan kata-kata tersebut dalam karangannya.
[7] Lihat R. Bauckman, (ed), The
Gospel for All Christian: Rethinking the Gospel Audiences, Edinburgh:
T&T Clark, 1998. Bahkan menurutnya para Ahli tafsir, seperti E.W.
Klink III, L.T. Johnson, D.C. Allison termasuk H. Moxnes telah berupaya
menyimpulkan bahwa tidak lagi terobsesi pada satu jemaah atau kota tertentu,
tetapi ini adalah karya edaran kepada jemaah kristen perdana.
[8] Upaya mengkonstruksi jemaah
Lukas ini sebetulnya hasil penjelajahan penulis untuk lebih memahami apa
sebetulnya visi dan perspektif teologis Lukas dibalik tema kaya-miskin
yang menjadi ciri khasnya. Dengan jalan ini nantinya diharapkan akan lebih
mudah bagi kita untuk tahu apa sebetulnya kemiskinan-kekayaan yang dimaksudkan
oleh Lukas itu sendiri. Tanpa jalan ini, saya kira kita akan sulit menanggap
maksud teologis dari tema tersebut. Meskipun dalam beberapa referensi yang
penulis gunakan, ada banyak lensa pembaca yang dialamatkan oleh Lukas, tapi
paling tidak akan memberikan kekayaan makna dalam memahami berbagai pesan
teologisnya.
[9] Beberapa lensa pembacaan yang
akan mewarnai penulisan ini akan penulis sadur dari pikiran T.E. Phillips, Reading
Recent Readings of Issues of Wealth and Proverty in Luke-Acts”, hal.
231-269). Bahkan beberapa lensa pembacaan lainnya akan saya gunakan pikiran
H.F. Mandaru, kaya-miskin dalam injil Lukas-Kisah Para Rasul, dalam
jurnal forum biblika, hal. 36-48.
[10] Lihat Dr. B.J. Boland, op
cit, hal. 10
[11] Menurut Phillips beberapa
ahli tafsir sangat menganut pandangan ini. Ia menyebutkan para pakar tersebut
diantaranya, Karris, Cadbury, Hengel, Donahue, Osborn, Moxnes, Stegmann. Secara
khusus, Phillips menampilkan karya W. Stegmann sebagai pakar yang paling
“konsisten” dengan cara pembacaan ini. Hal ini dikutib oleh Mandaru dalam Kaya-miskin
dalam Lukas-Kisah Para Rasul (artikel yang dimuat dalam jurnal forum
biblika)
[12] Pembaca ini diperkenalkan
juga oleh H.F. Mandaru. Dapat dilihat dalam bukunya, Solidaritas kaya-miskin
Menurut Lukas, Yogyakarta, PT. Kanisius, 1992. Juga tulisannya tentang kaya-miskin
dalam Lukas-Kisah Para Rasul, hal. 38-39.
[13] Band. Tulisan H.F. Mandaru, op
cit, hal. 39.
[14] Lihat karya T.E. Phillips, op
cit, hal. 258
[15] Pembacaan ini lebih
menekankan fungsi simbolis dari tulisan Lukas ini. Fungsi simbolis ini lebih
banyak bertumpuh pada tafsir naratif dengan tetap terbuka pada situasi
sosio-historis.
[16] Hal ini
bisa dibanding dengan karya T.E. Phillips, op cit, hal. 258. Phillips
banyak memanfaatkan teori struktur-antistruktur dari sosiolog Victor Turner.
[17] Aloysius
Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia, (Yogyakarta, PT. Kanisius,
1996), hal. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar