Selasa, 06 Agustus 2013

KAYA DAN MISKIN DALAM PERSPEKTIF INJIL LUKAS




  1. Pengantar
Tema kaya-miskin dalam Lukas, seakan menjadi perhatian serius dari para ahli tafsir Alkitab sejak lama. Meskipun Lukas[1]  berdiri sejajar dengan kitab-kitab injil lainnya sebagai karya yang dilihat memiliki kesejajaran literer dengan 3 karya injil lainnya (Matius, Markus dan Yohanes) yang bertemakan kabar baik (euangelion) atau digolongkan sebagai kitab-kitab Injil, namun Lukaslah yang paling dominan mencirikan perbedaan mencolok yang menjadikan injil ini sedikit berbeda dengan kitab injil lainnya. Hal ini nampak dalam tulisan Lukas yang memberikan perhatian khusus terhadap masalah kaya-miskin, dimana Lukas menitikberatkan bahwa Yesus memperhatikan orang-orang lemah, miskin dan sesat (band. Lukas 6:20, 24-25, Lukas 19:10) termasuk kaum perempuan pun mempunyai peranan yang besar dalam karangan Lukas dari pada kitab-kitab injil lain (lihat Lukas 7:11-17; 7:36-50; 8:1-3; 13:10-17; 23:27-32). Ini seakan menjadi tema penting yang melandasi karangan Lukas.[2] Sebab Lukas memiliki banyak bahan yang berbicara mengenai tema kakayaan dan kemiskinan.
Akan tetapi, jika dengan cermat meneliti tema kaya-miskin dalam Lukas menyuratkan ketidakkonsistensi visi dan perspektifnya sebagai seorang pengarang. Hal ini misalnya ditunjukan oleh Hortensius Mandaru yang menaruh perhatian serius tentang apakah Lukas konsisten ataukah tidak dalam membicarakan tema ini. Menurutnya Lukas tidak konsisten, mengapa, misalnya Yesus menghabiskan banyak waktu berbicara tentang penggunaan harta-milik secara tepat, pada hal para murid-Nya sudah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Dia (Lukas 5:11,28; 18:28)? Mengapa disatu pihak orang miskin disebut “berbahagia” (6:20,24), tetapi dilain pihak dikatakan adalah “lebih berbahagia” mereka yang memberi daripada menerima (Kis. 20:35)? Mengapa Zakheus dipuji karena mau menyumbangkan setengah hartanya (19:1-10), padahal orang kaya yang lain ditolak karena tidak bersedia memberikan semua hartanya kepada orang miskin (18:18-25).[3]
Bagi saya ketidakkonsistensi Lukas dalam mengarang tema ini sebetulnya sangat bergantung pada situasi konkrit kepada siapakah kitab ini dialamatkan. Tentunya penjelajahan mengenai hal ini membutuhkan studi tafsir untuk memahami situasi pembaca yang kepadanya Lukas mengalamatkan kitabnya. Tentunya mengkonstruksi situasi sosial pembaca adalah hal yang mungkin dilakukan. Dengan mengetahui sitz im leben dari pembaca sebetulnya memudahkan kita untuk memahami bahwa ketidakkonsistensi Lukas ternyata konsisten jika dikaitkan dengan kepelbagaian situasi dan lokasi sosial Lukas. Perkembangan ilmu tafsir, seperti kerangka historis kritis (mencari makna dibalik teks), tafsir naratif atau strukturalis (mencari makna dalam teks) termasuk pengembangan metode tafsir yang bertumpuh pada sudut pandang pembaca atau reader response critisism (mencari makna di depan teks) adalah upaya metodologis untuk mengkonstruksi pemaknaan pembaca yang beragam dengan praandaian yang terbatas dan hasil pembacaan yang juga khas terbatas pada kerangka tafsir yang ingin dikedepankan.
02.    Pembaca Lukas; Menyatukan Perspektif
Bagian ini saya tidak bermaksud untuk membuka ruang diskusi yang lebar menyangkut alamat Lukas menuliskan kitabnya. Hanya sebagai bentuk untuk memberikan kesamaan perspektif saja, supaya kita mungkin lebih mudah memahami makna tema kaya-miskin yang Lukas maksudkan tersebut.
Terkait kepada siapa Lukas mengalamatkan kitabnya, saya akan mengacu pada dua perspektif yang menjadi acuan beberapa ahli tafsir. Pertama, Lukas mengalamatkan kitabnya kepada Teofilus (Lukas 1:1). Para ahli sependapat bahwa Teofilus bukan seorang Yahudi, menurut Boland sangat mungkin Teofilus adalah seorang petinggi Romawi yang tinggal di Itali (di kota Roma). Hal ini mungkin saja benar, sebab dengan cara menyapa Lukas, kita bisa saja menduga bahwa ia adalah seorang yang terpandang dan memiliki status yang tinggi dalam jemaah tersebut. Dalam buku Injil Lukas yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menafsirkan bahwa Teofilus sebagai “sahabat Allah” yang boleh jadi adalah seorang istimewa yang menyandang nama itu atau seseorang yang bukan Yahudi tetapi menyembah Allah.[4] Pendapat ini menempatkan pembaca Lukas adalah seorang terpandang yang punya pengaruh dan sangat mungkin punya pengikut atau jemaah yang turut menjadi alamat kitab ini.
Kedua, beberapa ahli tafsir[5] berpendapat bahwa Teofilus tidak hanya menunjuk pada orang tertentu, sebab Teofilus secara hurufiah adalah dari kata Yunani theophilos yang berarti “yang mengasihi Allah”[6]. Hal ini berarti Teofilus bisa saja dimaksudkan adalah orang tertentu/nama pribadi tetapi bisa juga menunjuk kepada semua pembacanya dengan menyebut mereka “yang mengasihi Allah” (Lukas1:3). Itu berarti Lukas mengalamatkan tulisannya bukan saja kepada orang dengan jemaah tertentu pula, tetapi ia mengalamatkan kitabnya kepada jemaah-jemaah Kristen perdana yang sudah menerima pewartaan secara lisan oleh Yesus ataupun yang dilanjutakan oleh para Rasul. Bahkan hasil penelitian historis kritis yang diungkapkan oleh beberapa penafsir yang melihat injil-injil sebagai “karya edaran” yang dimaksudkan bagi jemaah-jemaah Kristen perdana demi meluruskan dan memantapkan iman yang sudah mereka terima dari pewartaan lisan. Jadi menurut Bauckman “injil-injil mungkin bukan terutama dimaksudkan sebagai karya untuk sebuah jemaah tertentu di tempat tertentu”.[7] Sehingga akan sangat mungkin juga tidak konsistensinya visi dan perspektif Lukas berbicara mengenai tema kaya-miskin sebagai akibat dari kepelbagaian jemaah-jemaah Kristen saat itu.
03.    Kaya-Miskin: Upaya Mengkonstruksi Pembaca Lukas[8]
Bagian ini saya akan bertumpuh kepada beberapa ahli tafsir yang berupaya mengkonstruksi pembaca Lukas sehingga visi dan perspektif Lukas tentang tema kaya-miskin paling tidak mengena dengan konteks pembaca. T.E. Phillips mencoba membagi para penafsir dalam dua gerak pembacaan yang dominan, yaitu pembacaan historis dan pembacaan simbolis. Pertama, Pembacaan historis, adalah upaya merekonstruksi sitz im leben atau lokasi sosial jemaah Lukas pada jemaah perdana dengan situasi yang konkrit nyata. Karenanya penjelajahan tafsir historis ini akan turut menampakan kepelbagaian situasi dan lokasi sosial jemaah Lukas dimaksud. Kedua, pembacaan simbolis, hal ini menekankan teks bukan pada tataran historis tapi fungsi simbolisnya. Sebagai misal kekayaan dilihat sebagai simbol keterikatan dan perbudakan manusia pada dunia, sedangkan kemiskinan menjadi simbol komitmen dan perhambaan manusia pada Yesus. Dua gerak pembacaan inilah yang akan saya tampilkan sebagai upaya untuk merekonstruksi warta Lukas ini kepada jemaahnya:[9]
a.        Pembacaan Historis
            1.      Pembaca Tertindas
Lukas menulis bagi jemaahnya yang ditindas oleh penguasa Romawi atau penguasa lokal. Penindasan adalah fakta yang sangat mungkin dialami oleh jemaah dimana Lukas mengalamatkan tulisannya. Boland misalnya menyatakan bahwa keadaan jemaah Kristen perdana memang berada dalam kondisi penindasan, keadaan ini sangat mungkin terjadi sebab agama Kristen lahir dikalangan orang Yahudi dan pada mulanya orang-orang luar seperti orang-orang Romawi menganggap orang-orang Kristen sebagai sekte (aliran) kaum Yahudi.[10]
Pembacaan ini melihat adanya kaitan erat antara tema pelepasan harta dan  penindasan. Menurut Phillips, jemaah Lukas mengalami 3 level penindasan, yaitu penyitaan harta, pengucilan (dari rumah dan kerabat) dan hukuman mati. Tiga level penindasan yang semakin intensif dapat menjadi kunci untuk menjelaskan adanya kepelbagaian tuntutan ekonomis dalam Lukas. Dalam keadaan demikian, Lukas menghimbau orang Kristen untuk melepaskan harta mereka jika para penindas memaksa mereka untuk memilih antara melepaskan iman atau melepaskan harta milik. Di lain pihak, bagi mereka yang belum disita hartanya, Lukas menghimbau sikap kedermawanan dan hospitalitas  terhadap sesamanya yang telah kehilangan harta mereka demi Kristus. Keterkaitan antara “melepaskan harta” dengan “penindasan” pun diperlihatkan oleh Lukas (band. Lukas 6:20-23; 14:25-33). Akan tetapi banyak teks-teks Lukaspun yang mengaitkan “melepaskan harta” dengan tema “ketamakan” (band. Lukas 12:33) dan “kemuridan” (band. Lukas 5:21,28; 14:33; 18:22). Sehingga kalaupun ada “penindasan” kiranya bukan menjadi motivasi utama dibalik motivasi Lukas mengenai “kaya-miskin” tersebut.
2.      Pembaca Mapan[11]
Tema Lukas tentang kekayaan dan kemiskinan langsung berkaitan dengan situasi dan kondisi konkrit jemaahnya. Jemaah Lukas kiranya hidup dalam sebuah kota dalam wilayah kekaisaran Romawi, dimana ada ketegangan antara kaya dan miskin. Di satu pihak, ketegangan diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan ekonomis antara kaya dan miskin, di lain pihak ada juga ketegangan sosial. Orang-orang Kristen yang kaya dan terhormat menganggap rendah kelompok rakyat biasa, khususnya mereka terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “tidak bersih” (seperti para pemungut cukai dan prajurit).
Menurut beberapa pakar yang diungkapkan oleh Phillips, pelukisan tentang para murid Yesus yang miskin adalah sebuah “sarana sastra” belaka untuk menampilkan sebuah ideal, jadi bukan real-aktual para murid Yesus historis. Ideal “para murid yang miskin” dipakai oleh Lukas sebagai kritik bagi golongan kaya/mapan dalam jemaahnya demi mendorong pertobatan mereka. Dan buah-buah yang diharapkan dari pertobatan mereka adalah derma, penghapusan hutang, sumbangan bagi orang miskin, “milik bersama” dan aksi-aksi cinta kasih dan solidaritas dalam jemaah Kristen itu sendiri. Sehingga Lukas ingin menampilkan jemaah Kristen yang ideal, dimana tidak ada anggotanya yang berkekurangan. Cita-cita ini tercapai berkat sebuah pembagian harta yang seimbang di tengah jemaah dan berbagi dengan orang miskin di luar jemaah (band. Kisah. 2:41-47; 4:32-37).
  1. 3.      Pembaca Kaya-Miskin[12]
Jemaah Lukas adalah jemaah perkotaan yang terdiri atas orang-orang kaya dan miskin dengan jurang perbedaan yang cukup besar. Pada satu pihak ada teks-teks Lukas yang menampilkan sosok Yesus yang amat memperhatikan orang miskin, mereka menjadi alamat utama Kabar Baik yang diwartakan dan dihadirkan-Nya. Di lain pihak, ada juga sejumlah teks Lukas yang tampaknya dialamatkan kepada pembaca yang kaya. Teks-teks tersebut menekankan tema kecaman, peringatan, dan juga harapan bagi orang kaya. Sehingga Lukas ingin membangun solidaritas antara orang kaya dan miskin dalam jemaahnya.
Pembacaan ini mengelompokkan orang miskin (ptokhos) dalam tiga ketegori. Pertama, mereka yang secara ekonomis tidak beruntung; kedua, mereka yang sakit (fisik dan mental), cacat dan tertawan, juga janda dan yatim-piatu; ketiga, mereka yang termasuk kelompok marginal, seperti pemungut cukai, pendosa, pelacur, juga termasuk perempuan, dll. Bagi “orang miskin” inilah Yesus mewartakan dan menghadirkan “Kabar Gembira”. Isi kabar gembira itu adalah pertama, jaminan bahwa Allah memihak mereka. Jaminan ini diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus lewat “misi dan karya-Nya” (Lukas 4:16-30) dan penerimaan-Nya terhadap yang “miskin” (Lukas 5:32 dan 19:10). Kedua, janji masa depan. Dimensi harapan inilah yang menjadi vitalitas dan daya juang untuk menata kehidupan sekarang dan di sini (Lukas 6:20-23; 1 & 2). Ketiga, jaminan masa kini, jaminan bagi “orang miskin”  untuk masa kini adalah persaudaraan dan persekutuan jemaah yang mengamalkan keadilan, kasih dan kesederajatan (Kis. 2:41-47; 4: 32-39) serta penataan struktur jemaah yang adil (Kisah 6:1-7).
Bersamaan dengan itu pula Lukas menantang jemaahnya yang kaya dengan berbicara menyangkut bahaya-bahaya kekayaan (seperti ucapan “celaka” Lukas 6:24-26, hiperbola “lubang jarum” dalam Lukas 18:24-30, termasuk kisah Ananias dan Safira dalam Kisah 5:1-11) dan bagaimana menggunakan kekayaan secara tepat (band. Lukas 12:13-21; 16:1-9; 19:1-10). Hal ini tidak dimaksudkan Lukas sedang mengecam kekayaan ataupun orang kaya, namun ini dimaksdukan demi mendukung pesan dan ajakan positif, yaitu agar orang-orang kaya dalam jemaahnya menata ulang prioritas hidup mereka dan mulai berbagi dengan sesama yang miskin. Zakheus ditampilkan sebagai model seorang yang kaya yang “bertobat” dan dan dapat melewati “lubang jarum”.
 4.      Pembaca Mapan “yang takut akan Allah”
Pembaca Lukas historis adalah orang-orang Yunani yang “takut akan Allah” dimana mereka cukup mengenal jemaah Kristen, bahkan tertarik pada gaya hidup jemaah tersebut, khususnya pada asal-usul dan warisan Yahudinya. Jemaah juga terbiasa dengan gagasan mesianisme Yahudi sehingga menafsirkan acuan “orang Miskin” dalam bagian awal injil Lukas (Lukas 1:46-55; 6:17-49; 7:22-23) sebagai “karakteristik umat Israel”  sebagaimana mereka memahami orang miskin dalam kitab Yesaya dan Mazmur (Kaum anawim)[13]. Sehingga minat Lukas pada “orang miskin” bertujuan untuk memperkuat perhatian eskatologisnya, yaitu untuk memperlihatkan bahwa harapan-harapan keselamatan bagi umat Israel yang sudah mulai terpenuhi, dalam Yesus. Jadi Lukas tidak bermaksud memberi status khusus dan istimewa buat orang yang secara hurufiah miskin.
Tuntutan “meninggalkan harta milik” memperlihatkan pentingnya kesediaan untuk kehilangan segalanya demi Kristus (Lukas 14:25-35) dan tidak membiarkan harta milik menghalangi seseorang memasuki Kerajaan Allah (Lukas 18:18-30; 19:1-10).  Dengan itu diperlihatkan bahwa harta milik mempunyai nilai intrinsik yang kecil dibandingkan dengan kekayaan Kerajaan Allah. Karena itu, Lukas mendorong jemaahnya untuk mempergunakan harta milik dengan cara yang sesuai dengan keyakinan mereka akan adanya penghakiman terakhir yang adil. Praktisnya, Lukas mengajak pembacanya untuk menghindari penumpukan kekayaan yang tidak perlu dan untuk memberi dengan suka rela kepada orang miskin dalam masyarakat. Kekayaan tidak bernilai dalam dirinya sendiri, kemiskinan pun tidak diidealkan. Sehingga pembaca mapan “yang takut akan Allah” memperlihatkan makna jemaah Lukas terhadap ideal pelepasan harta sebagai suatu panggilan untuk menerima cita-cita kemuridan yang berkelimpahan/tanpa batas.
5.      Pembaca Eskatologis
Tema kaya-miskin dalam Lukas sangat mungkin pula dialamatkan kepada jemaahnya dalam perspektif eskatologis tentang “pambalikan nasib” yang dilakukan Allah (1:53-55; 6:20-26; 16:19-31). Lukas secara konsisten memperlihatkan adanya pembalikan (reversal) yang sifatnya bipolar, dari miskin menjadi kaya, kaya menjadi miskin, yang hina ditinggikan, yang angkuh direndahkan, dll. Meskipun demikian, bagi Phillips, tema pembalikan bukanlah menjadi isu sentral Lukas dalam membiacarakan kaya-miskin. Baginya tema “pembalikan” sangat berhubungan erat dengan nilai-nilai budaya Romawi-Yunani waktu itu, yaitu “status terhormat/harga diri, dan rasa malu” (honor and shame) serta “perlindungan (patronage). Kehormatan dan rasa malu menjadi nilai dominan dalam budaya waktu itu yang dibalikan oleh Lukas.[14] Allah membalikan kehormatan/harga diri dan rasa malu yang dominan pada zaman dan budaya waktu itu. Maka, seorang Kristen juga harus membalikkan nilai-nilai dengan mana dia bisa menilai dirinya sendiri dan memperlakukan sesamanya.
Tema pembalikan ini kuat terasa dalam Injil Lukas dan kental dengan muatan Kristologi: Kerajaan Allah sudah mulai dihadirkan lewat misi dan karya Yesus Kristus. Dalam injil Lukas, pembalikan nilai-nilai “hormat dan rasa malu” ini diproklamirkan oleh Yesus sebagai perwujudan Kerajaan Allah (Lukas 1-2; 4:16-30, dll). Dalam Kisah Para Rasul, tema pembalikan ini sudah diwujudkan dalam jemaah Kristen yang mempraktekkan solidaritas, kesederajatan, dan persamaan (Kisah 2:41-47; 4:32-39, dll). Nilai-nilai baru inilah yang menggantikan nilai-nilai “lama” seperti “status/harga diri, rasa malu” dan “perlingungan”. Kekayaan dan kemiskinan seseorang harus dilihat sebagai indikator status “terhormat” atau “memalukan” dari orang tersebut dalam masyarakat. Cara-cara seseorang menggunakan kekayaan menjadi indikator apakah seseorang sudah atau belum menerima nilai baru Kerajaan Allah yang diwartakan dan dihadirkan oleh Yesus.
b.        Pembacaan Simbolis[15]
1.      Harta sebagai simbol komitmen pada struktur sosial
Pembacaan ini adalah sebuah pembacaan simbolis dalam rangka pikir sosio-historis, dengan menggunakan konsep “struktur” dan “anti-struktur” untuk memahami jemaah Lukas[16]. Dalam injil Lukas, konsep “kaya” umumnya dipakai sebagai simbol atau metafor yang mengacu pada struktur sosial yang lama, yang bersifat hirarkis (Yudaisme). Gerakan Yesus – dengan pola “hidup miskin”nya – justru berusaha keluar dari struktur yang lama ini. Lukas umumnya mengaitkan konsep “miskin” dengan kategori-kategori sosial yang mencerminkan kondisi-kondisi “marginal” entah di antara, di bawah atau di luar struktur sosial yang resmi (kondisi-kondisi anti struktur).
Pembacaan ini melihat konsep “kaya-miskin” sebagai simbol penting yang mengungkapkan relasi seseorang degnan komunitas baru yang dibentuk oleh Yesus. “orang kaya” berada dalam struktur mapan yang ada (status quo), berlawanan dengan komunitas baru yang diciptakan oleh Yesus (komunitas tanpa struktur, egaliter). “orang miskin” berada di luar struktur yang ada (karena disingkirkan) dan mereka mengharapkan dan menantikan serta terbuka terhadap komunitas baru tersebut. Konsep kaya-miskin memang menghilang dalam Kisah Para Rasul, karena jemaah perdana secara sosiologis sudah berkembang. Jemaah perdana dalam Kisah Para Rasul sudah mengembangkan strukturnya sendiri. Dalam struktur yang baru itu “harta milik” mendapat fungsi simbolis baru. Kalau dalam gerakan Yesus (injil Lukas), “harta milik” menjadi simbol struktur lama yang harus ditinggalkan maka dalam gereja perdana (Kisah Para Rasul), “harta milik” yang diabdikan bagi jemaah menjadi simbol komitmen seorang Kristen dalam jemaah yang baru berkembang tersebut. Dengan kata lain, dalam Injil Lukas, “melepaskan harta milik” adlah simbol separasi dari tatanan lama, dalam Kisah Para Rasul “mengabdikan harta milik” menjadi simbol integrasi dalam struktur baru (jemaah perdana).
2.      Harta sebagai simbol diri
Pembacaan ini bertumpuh pada kerangka tafsir naratif, yang memperlihatkan dinamika penerimaan dan penolakan umat terhadap Sang Nabi. Dalam Injil Lukas, dinamika penolakan dan penerimaan ini diperlihatkan dalam penerimaan dan penolakan seseorang terhadap Yesus, sedangkan dalam Kisah Para Rasul, dinamika ini diperlihatkan dalam penerimaan dan penolakan orang terhadap para Rasul yang meneruskan peran kenabian Yesus.
Tema harta-milik dengan demikian, harus ditempatkan dalam keseluruhan dinamikan kisah Sang Nabi (Yesus) dan umat-Nya” ini, sehingga tema ini tidak bisa dilihat secara isolatif. “Harta-Milik” memiliki fungsi simbolis dalam narasi yang ditulis oleh Lukas untuk mendukung tema besarnya terkait “kaya-miskin”. Cara seseorang menggunakan hartanya menjadi indikasi dan simbol disposisi batinnya. Hal ini memperlihatkan jawaban batinnya akan lawatan dan kuasa Allah yang hadir dalam Kristus dan para Rasul-Nya. Dengan kata lain, disposisi materi memperlihatkan dan mengungkapkan disposisi diri. Harta milik adalah simbol diri dan manifestasi eksistensi. Maka, jemaah perdana menganggap  semua milik mereka sebagai “milik bersama” (Kisah 2:41-47) sebenarnya mau memperlihatkan kesatuan rohani mereka dalam iman dan kasih. Tindakan jemaah perdana “meletakan harta mereka di kaki para Rasul” (Kisah 4:32-39) adalah simbol “serah diri” mereka. Sederhananya “harta milik” adalah simbol diri seseorang untuk menerima lawatan Allah ataukah tidak. Berbagai dengan sesama adalah simbol seseorang menerima lawatan Allah, begitupun sebaliknya menumpukan kekayaan atau enggan untuk berbagi adalah simbol seseorang yang tidak menerima lawatan Allah dalam Yesus maupun yang diteruskan oleh para Rasul-Nya dalam gereja Kristen perdana.
Berbagai lensa pembacaan yang saya tampilkan diatas, menunjukan pluralitas lokasi makna maupun jemaah Lukas bahkan sangat bergantung pada perspektif ilmu tafsir yang hendak dipakai, entah menemukan makan di balik teks (historis kritis), makna di dalam teks (naratif ataupun strukturalis) ataupun makna di depan teks (reader respons) untuk merenkonstruksi jemaah dimana Lukas mengalamatkan kitabnya. Bahkan kitapun tidak lalu memperangkapkan alamat Lukas ini kepada suatu jemaah tertentu dengan situasi real yang tertentu pula, sebab ketidakkonsistensi Lukas membicarakan tema kaya-miskin dalam tulisannya mendorong para ahli tafsir terobsesi untuk mengkonstruksi jemaah Lukas pada kenyataan yang pluralitas juga. Bahkan banyak ahli tafsir (seperti yang telah saya bahas di atas) telah menyimpulkan bahwa kitab-kitab injil (termasuk karya Lukas) adalah karya edaran yang dibaca oleh jemaah Kristen perdana dan bukan jemaah tertentu dengan satu situasi yang konkrit pula.
04.    Memahami Tema Kaya-miskin Dalam Lukas: Beberapa Simpul Gagasan
Membaca beragam makna sebagai bentuk dari pluralitas jemaah Lukas yang ditampilkan, sebetulnya memberikan kekayaan makna terhadap visi dan perspektif Lukas dalam membiacarakan tema kaya-miskin. Beberapa simpul gagasan yang dapat dilakukan, yaitu:
-          Kaya-miskin dalam Lukas sebetulnya mengindikasikan bahwa tema ini saling berkaitan erat. Artinya kita tidak dapat mendikotomikan mereka yang kaya pada satu sisi dan orang miskin pada sisi yang lain. Mereka yang miskin sangat berhubungan erat dengan orang yang kaya, kemungkinan kuat dibalik tulisan Lukas ini kemiskinan sangat berhubungan erat dari cara orang lain mengumpulkan harta atau kekayaannya. Singkatnya orang yang miskin disebabkan oleh orang yang kaya. Unsur sebab-akibat adalah mungkin dibalik tema Lukas tentang kaya-miskin. Orang tidak miskin dengan sendirinya, tetapi kondisi miskin cukup dipengaruhi atau ditentukan oleh mereka yang kaya. Entah karena penindasan ataukah karena cara pandang mereka terhadap orang miskin itu sendiri, sehingga ada jurang yang jauh antara orang kaya dan miskin. Cara pandang yang menempatkan orang miskin sebagai kelompok marginal atau bahkan orang berdosa yang harus disingkirkan dalam jemaah. Jemaah membuat jurang yang jauh antara kaya-miskin itu sendiri.
-          Orang miskin (ptokhos) yang dimaksudkan Lukas dalam tulisannya dibedakan dalam tiga ketegori. Pertama, mereka yang secara ekonomis tidak beruntung; kedua, mereka yang sakit (fisik dan mental), cacat dan tertawan, juga janda dan yatim-piatu; ketiga, mereka yang termasuk kelompok marginal, seperti pemungut cukai, pendosa, pelacur, juga termasuk perempuan, dll.
Orang miskin tidak hanya bersentuhan dengan masalah sosial-ekonomi, seperti yang nampak dalam kondisi-kondisi konkrit (lapar, haus, telanjang, tanpa rumah ataupun pengangguran), sebab lensa pembacaan yang telah disampaikan sebelumnya menampakan orang miskin (ptokhos) pun bersentuhan dengan matra politik maupun agama. Sehingga “orang miskin” adalah juga mereka yang “tidak terhormat” dan karena itu tersingkir (janda, wanita, yatim-piatu ataupun orang asing), sedangkan “orang kaya” umumnya mereka yang “terhormat” dan untuk mempertahankan dan memperlihatkan “kehormatan” tersebut mereka harus juga menjadi patron.
Ptokhos sepertinya adalah mereka yang cukup menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Allah (bergantung pada Allah) dan mendambahkan intervensi Allah atas keadaan mereka. Kepada ptokhos inilah misi dan karya Allah dalam Yesus itu mendapat perhatian khusus atau “Kabar Baik” itu diberitakan untuk memberikan jaminan hidup bagi mereka.
-          Keberpihakan Allah kepada orang miskin bukan berarti Allah sepihak atau mengabaikan mereka yang kaya. Keberpihakan Allah adalah wujud solidaritas-Nya atas penderitaan yang dialami oleh umat-Nya. Sosok Allah yang solider dengan manusia yang tersingkir, termarginal, miskin, terabaikan, dll., sebetulnya adalah gambaran Allah yang ingin ditampilkan dalam Lukas. Allah tidak menentang orang kaya apalagi menolak kekayaan, tetapi selama kekayaan itu dipakai untuk kemuliaan Tuhan atau berbagi dengan orang lain sebagai wujud solidaritas kepada sesama maka Allah tetap memaklumkan orang kaya juga kekayaan. Kekayaan tidak harus menghalangi manusia untuk memperoleh Kerajaan Allah, tetapi kekayaan harus dijadikan alat untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu. Kekayaan adalah simbol diri, yang lewatnya tergambar lawatan Allah. Ketika menggunakan kekayaan dengan berbagai atau solidaritas sama artinya dengan kita telah menerima lawatan Allah yang dihadirkan oleh Yesus Kristus itu.
05.    Biarlah Gereja Menjadi Gereja: Implikasi Tema Lukas Bagi Proses Menggereja
Menjadi gereja berarti harus konsisten dan konsekuen berjalan pada jalan Yesus. Suatu jalan dimana kedalaman hubungan dengan Allah dan kekentalan solidaritas dengan mereka yang menderita berpadu. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Kita tidak dapat menekankan yang satu dan mengabaikan yang lain, membangun hubungan dengan Allah tidak berarti kita mengasingkan diri dari dunia ramai. Sebaliknya membangun hubungan dengan Allah akan membawa kita ke kehidupan nyata dimana terjadi perjumpaan dengan sesama manusia dan juga alam. Begitu juga ketika kita mulai dengan pergulatan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan alam ini, kita akan berjumpa dengan Tuhan. Menjadi gereja yang sejati adalah menjadi gereja yang berjuang untuk menghadirkan Kerajaan Allah di bumi, memang perjuangan ini tidak mudah sebab gereja akan berhadap-hadapan dengan berbagai kuasa yang mengancam kehidupan nyata ini. Meskipun dalam perjuangan yang demikian, gereja harus tetap menjadi gereja.
Kita mungkin dapat belajar dari pemaknaan Lukas di atas, bahkan pula belajar dari D. Bonhoeffer, seorang teolog Jerman di zaman Nazi yang berjuang menentang pemerintahan Adolf Hitler yang rasis dan kejam. Ucapan Bonhoeffer, Let the Church Be the Church (biarlah gereja menjadi gereja) adalah kritikan tajam bagi gereja yang bersikap netral terhadap kejahatan yang dilakukan pemerintah Hitler ketika itu. Hal yang mahapenting adalah gereja tidak boleh bersikap netral terhadap kejahatan, terhadap ketidakadilan, terhadap kemiskinan dan pemiskinan masyarakat, penindasan, praktek-praktek yang bias gender, politisasi agama, pelanggaran HAM ataupun pengrusakan lingkungan. Gereja harus tetap menyatakan sikapnya sebagaimana yang diharuskan oleh Lukas dimana gereja harus tetap menjadi gereja yang memperjuangkan kualitas hidup manusia.
Gereja harus menentukan pilihan atau keberpihakannya terhadap kaum miskin (preferential option for the poor). Pieris mengatakan umat Kristen adalah orang yang telah membuat pilihan yang tidak dapat ditarik kembali untuk mengikut Yesus, pilihan itu harus sejalan dengan pilihan untuk menjadi miskin, tetapi pilihan menjadi miskin hanya menjadi “mengikut Yesus” yang benar sejauh juga merupakan pemihakan kepada kaum miskin.[17] Gereja harus benar-benar menampakan komunitas baru yang diciptakan oleh Yesus sendiri, dimana keberpihakan kepada mereka yang miskin, lemah, tertindas, dan terabaikan harus menjadi spirit dan komitmen bergereja kita saat ini, karena memang kenyataannya banyak jemaat dan masyarakat kita yang adalah orang miskin, tak berdaya, tertindas dan terabaikan. Gereja harus menjadi gereja kaum miskin (church for the poor). Inilah yang dimaksudkan Lukas sebagai komunitas baru yang dibentuk oleh Yesus, tidak mapan (status quo), anti struktur dan juga egaliter dengan menampakan solidaritas sebagai wujud lawatan Allah.

Daftar Pustaka
Bahan Utama:
Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia.
Walker, D.F., Konkordansi Alkitab, dicetak oleh BPK. Gunung Mulia dan Kanisius, 1983.
Buku Bacaan:
Bauckman R., (ed), The Gospel for All Christian: Rethinking the Gospel Audiences, Edinburgh: T&T Clark, 1998.
Boland, B.J., Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2001.
Injil Lukas; Edisi Studi, yang diterbitkan oleh Tim Penyiapan Terbiatan Lembaga Alkitab Indonesia, 1989.
Mandaru, H.F., Solidaritas Kaya-Miskin Menurut Lukas, Yogyakarta, PT. Kanisius, 1992.
Parsons., M.C & R.I. Pervo, Rethinking the Unity of Luke and Acts, Minneapolis:A/F, 1993.
Phillips T.H., Reading Recent Readings of Issues of Wealth dan Proverty In Luke-Acts, 2003.
Pieris, Aloysius., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta, PT. Kanisius, 1996.
Bahan Internet:
http://portal.sarapanpagi.org/) yang diakses pada 10 Januari 2011.
footnote


[1] Penulisnya tetap saya sebut “Lukas” tanpa harus memasuki ruang diskusi atau debat  yang panjang tentang identitas aktual penulisnya. Dalam berbagai tulisan mengenai injil, para ahli masih tetap mempertahankan “Lukas” yang adalah seorang dokter atau tabib lah yang menulis karangan ini termasuk Kitab Kisah Para Rasul sebagai kesatuan penulis. Bahkan dalam beberapa karangan mengemukakan bahwa dalam Perjanjian Baru, hanya Lukaslah satu-satunya penulis yang bukan Yahudi dan mengalamatkan kitabnya juga kepada orang-orang bukan Yahudi (band. Tulisan yang disadur dalam http://portal.sarapanpagi.org/). Meskipun masih didukung oleh mayoritas peneliti terkait penulis, namun beberapa ahli tafsir pun pernah menggugat hal ini, misalnya seperti yang nampak dalam karya M.C. Parsons & R.I. Pervo, Rethinking the Unity of Luke and Acts, Minneapolis: A/F, 1993.
[2] Tentang hal ini bisa dilihat dalam Dr. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 8-9. Lihat pula buku Injil Lukas; edisi Studi yang dikeluarkan oleh Tim Penyiapan Penerbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 1989, hal. iii-iv.
[3] Tentang hal ini bisa dilihat dalam buku Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya-miskin Menurut Lukas, Yogyakarta, PT. Kanisius, 1992, juga artikel ilmiah yang ditulisnya dalam jurnal Forum Biblika dengan judul, Kaya-miskin dalam Lukas-Kisah Para Rasul, hal. 34-35.
[4] Mengenai hal ini bisa dilihat dalam Buku Dr. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Injil Lukas, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 10. Lihat pula buku Injil Lukas; edisi Studi yang dikeluarkan oleh Tim Penyiapan Penerbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 1989, hal. 3
[5] Menyangkut pendapat ini dapat dilihat pada http://portal.sarapanpagi.org/ .
[6] Dugaan ini bisa saja benar, mengingat Lukas dalam menuliskan kitabnya dikenal sebagai seorang yang sangat pandai berbahasa Yunani termasuk sangat selektif dalam menggunakan kata-kata tersebut dalam karangannya.
[7] Lihat R. Bauckman, (ed), The Gospel for All Christian: Rethinking the Gospel  Audiences, Edinburgh: T&T Clark, 1998. Bahkan menurutnya para Ahli tafsir, seperti  E.W. Klink III, L.T. Johnson, D.C. Allison termasuk H.  Moxnes telah berupaya menyimpulkan bahwa tidak lagi terobsesi pada satu jemaah atau kota tertentu, tetapi ini adalah karya edaran kepada jemaah kristen perdana.
[8] Upaya mengkonstruksi jemaah Lukas ini sebetulnya hasil penjelajahan penulis untuk lebih memahami apa sebetulnya visi dan perspektif teologis Lukas dibalik tema kaya-miskin yang menjadi ciri khasnya. Dengan jalan ini nantinya diharapkan akan lebih mudah bagi kita untuk tahu apa sebetulnya kemiskinan-kekayaan yang dimaksudkan oleh Lukas itu sendiri. Tanpa jalan ini, saya kira kita akan sulit menanggap maksud teologis dari tema tersebut. Meskipun dalam beberapa referensi yang penulis gunakan, ada banyak lensa pembaca yang dialamatkan oleh Lukas, tapi paling tidak akan memberikan kekayaan makna dalam memahami berbagai pesan teologisnya.
[9] Beberapa lensa pembacaan yang akan mewarnai penulisan ini akan penulis sadur dari pikiran T.E. Phillips, Reading Recent Readings of Issues of Wealth and Proverty in Luke-Acts”, hal. 231-269). Bahkan beberapa lensa pembacaan lainnya akan saya gunakan pikiran H.F. Mandaru, kaya-miskin dalam injil Lukas-Kisah Para Rasul, dalam jurnal forum biblika, hal. 36-48.
[10] Lihat Dr. B.J. Boland, op cit, hal. 10
[11] Menurut Phillips beberapa ahli tafsir sangat menganut pandangan ini. Ia menyebutkan para pakar tersebut diantaranya, Karris, Cadbury, Hengel, Donahue, Osborn, Moxnes, Stegmann. Secara khusus, Phillips menampilkan karya W. Stegmann sebagai pakar yang paling “konsisten” dengan cara pembacaan ini. Hal ini dikutib oleh Mandaru dalam Kaya-miskin dalam Lukas-Kisah Para Rasul (artikel yang dimuat dalam jurnal forum biblika)
[12] Pembaca ini diperkenalkan juga oleh H.F. Mandaru. Dapat dilihat dalam bukunya, Solidaritas kaya-miskin Menurut Lukas, Yogyakarta, PT. Kanisius, 1992. Juga tulisannya tentang kaya-miskin dalam Lukas-Kisah Para Rasul, hal. 38-39.
[13] Band. Tulisan H.F. Mandaru, op cit, hal. 39.
[14] Lihat karya T.E. Phillips, op cit, hal. 258
[15] Pembacaan ini lebih menekankan fungsi simbolis dari tulisan Lukas ini. Fungsi simbolis ini lebih banyak bertumpuh pada tafsir naratif dengan tetap terbuka pada situasi sosio-historis.
[16] Hal ini bisa dibanding dengan karya T.E. Phillips, op cit, hal. 258. Phillips banyak memanfaatkan teori struktur-antistruktur dari sosiolog Victor Turner.
[17] Aloysius Pieris, Berteologi Dalam Konteks  Asia, (Yogyakarta, PT. Kanisius, 1996), hal. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar