ADOPSI
(Suatu tinjauan etis teologis)
I. Pendahuluan
Secara umum setiap pernikahan atau keluarga
menginginkan anak. Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan
keluarga. Secara Alkitabiah dalam sebuah
keluarga, anak dipandang sebagai pemberian anugerah dan karunia Tuhan. Oleh
karena itu, menyambut seorang anak adalah menyambut anugerah Tuhan dengan sukacita dan ucapan syukur. Dalam
pemahaman ini maka fungsi orangtua adalah memberikan kasih sayang yang utuh
untuk mendidik, dan membimbing anak agar menjadi anak yang memiliki kepribadian
yang kuat baik secara moral dan spiritual.
Fenomena sosial yang terjadi dari dahulu hingga saat
ini adalah banyak keluarga setelah menikah tidak dikaruniakan anak setelah
pernikahan berlangsung lama. Hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa faktor
baik secara psikologis, biologis, geneologis, dan faktor lainnya. Sehubungan dengan itu maka adopsi merupakan
alternatif untuk memiliki anak bagi keluarga yang mendambakan anak. Sebenarnya
adopsi bukan hanya terjadi bagi keluarga yang tidak memiliki anak namun juga
bagi keluarga yang sudah memiliki anak sekalipun.
Adopsi telah
menjadi fenomena yang tidak asing lagi dewasa ini. Tujuan dan motivasi
melakukan adopsi juga beraneka ragam. Mengapa dan bagaimana adopsi itu menurut iman kristen perlu untuk
dikaji dan dipahami dari pendekatan etis. Oleh sebab itu dalam hal ini
pembanding juga mencoba memberikan bahan masukan bagi topik penyaji tentang
adopsi.
II. Tinjauan Alkitab tentang Anak
dalam keluarga
Dalam Kitab Kejadian dicatat bahwa motivasi Allah dalam
menciptakan lembaga pernikahan adalah: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja”. Tujuan pernikahan adalah untuk kehidupan bersama untuk saling
melengkapi dan sama sekali tidak menyatakan bahwa pernikahan bertujuan untuk
mempunyai anak. Dalam berita tentang kesediaan Tuhan membela mereka yang berkedudukan rendah dan
lemah, dikatakan bahwa Tuhan akan mendudukan perempuan yang mandul di rumah
sebagai ibu anak-anak penuh suka cita (Mzm.113:9). Ketika Tuhan Yesus
menggambarkan penderitaan berat yang masih akan datang menimpa pengikutNya, Ia
berkata: “Berbahagialah perempuan mandul dan yang rahimnya tidak pernah
melahirkan, dan yang susunya tidak pernah menyusui” (Luk.23: 29). Dalam hal ini
dapat dipahami bahwa mendapat anak adalah berkat, tetapi sebaliknya, tidak
mendapat anak pun adalah berkat dari Tuhan.[1]
Pernikahan memang bukan bertujuan untuk melahirkan dan mempunyai anak.
Jika pernikahan tidak dikaruniai anak itu sama sekali bukan berarti bahwa
pernikahan itu gagal. Baik pernikahan yang dikaruniai anak maupun yang tidak.
Dihadapan Tuhan merupakan pernikahan yang diberkati.
Pada saat ini secara umum dan biasanya, suatu lembaga
yang disebut keluarga adalah perkumpulan antara orangtua dan anak atau dua
pasangan yang membentuk rumah tangga secara sah. Pernikahan/keluarga merupakan
salah satu lembaga sosial atau masyarakat yang tertua dan sebagai media atau
sarana tempat berkumpulnya beberapa orang yang mengikat persatuan satu sama
lainnya.[2]
Keluarga mengambil tempat dalam sosialisasi anak, karena anggota keluarga,
orangtua dan saudara kandung merupakan kontak sosial pertama bahkan mungkin
satu-satunya kontak sosial bagi anak sebelum membaur dengan masyarakat
nantinya.[3]
Arti keluarga dalam pengertian Kekristenan adalah
sebagai anugerah Tuhan dan media bersekutu dan berkumpul beberapa orang yang
memiliki cita-cita dan latar belakang yang sama dan mengikat.[4]
Anak dalam pengertian umumnya adalah salah satu anggota dari suatu keluarga
yang terikat secara sah. Anak juga menjadi generasi atau keturunan selanjutnya
yang akan meneruskan kelangsungan berdirinya keluarga di tengah-tengah
masyarakat. Anak sebagai anugerah Allah perlu dididik dan dibimbing oleh
orangtuanya demi masa depannya.[5]
Di dalam PL,
anak disebut dengan ben (anak lelaki) dan bat
(anak perempuan) mempunyai kata-kata serumpunnya dalam kebanyakan bahasa Semit.
Pemakaiannya dalam PL begitu berulang-ulang sehingga tidak teratur dalam
perubahan bentuk tata bahasa (pertanda sering dipakai). Keinginan suami-istri
yang paling besar adalah mempunyai banyak anak (Mzm. 127:3-5), khususnya lelaki.
Istilah dalam PL untuk anak-anak dari orangtua yang sama disebut ‘akh
(kakak-adik lelaki) dan ‘akhot (kakak-adik perempuan).[6]
Sedangkan di dalam PB, anak disebut dengan teknon (tikto
: melahirkan, memperanakkan). Kata ini menunjukkan pengertian anak hanya dalam
arti biologis. Anak berada dalam hubungan akrab dengan orangtuanya, yang
seharusnya menunjukkan kepadanya kemesraan tetapi berhak menuntut ketaatannya.
Kata ini juga searti dengan keturunan. Anak disebut juga keanggotaan dalam
suatu kelompok ataupun adanya suatu ciri khas yang sama.[7]
Dengan kata lain, anak di dalam PL dan PB, juga termasuk dalam penciptaan
manusia pada hari keenam.
Dari pengertian tentang anak di atas dan makna kehadiran anak di tengah
keluarga sangat sentral dalam arti memiliki anak menjadi dambaan setiap
keluarga yang menikah. Dengan adanya anak maka kasih sayang orangtua (suami dan
istri) akan semakin nyata bagaimana mereka melaksanakan fungsinya sebagai
orangtua, baik sebagai pendidik, pemimpin, sahabat dan sebagai imam di tengah keluarga.
Dalam artian inilah barangkali menjadi latar belakang bagi keluarga yang tidak
memiliki anak termotivasi untuk melakukan adopsi agar kasih sayang mereka dapat
tersalur secara langsung dan nyata di
tengah keluarga.
III. Pengertian Adopsi
3.1
Etimologi
Secara etimologi, adopsi berasal dari kata Adoptie
(bahasa Belanda) dan Adopt, Adoption
(bahasa Inggris), yang artinya pengangkatan anak. Dalam bahasa Aram disebut
“tabani” yang artinya menjadikan sebagai anak. Sedangkan Mahmud Yunus
mengartikan “tabani” dengan mengambil anak.[8]
Dalam bahasa Yunani, adopsi disebut Hoiostesia,
yang terdiri dari 2 kata: huios,
artinya “anak” dan titemi, artinya
“menjadikan” (Roma 8:15; 8:23; 9:4; Gal. 4:5; Ef. 1:5). Ayat-ayat ini berada
pada perikop dengan konteks pembicaraan tentang orang beriman yang diangkat
sebagai anak Allah, yang artinya pengangkatan anak atau pemungutan anak.[9]
Dalam bahasa Arab disebut dengan Tabbani,
artinya untuk mengambil anak angkat.[10]
Dalam Kamus Umum bahasa Indoneisia pengertian anak
angkat adalah anak orang lain diambil dan diasuh sebagai anak sendiri[11] Kemudian Hilman Kusuma[12]
merumuskan anak angkat adalah orang lain yang dianggap anak sendiri oleh
orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adopsi setempat dengan tujuan untuk
kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaaan rumah tangga.
Penekanan utama adalah penerimaan status anak angkat dari hasil pengangkatan
anak sebagai anak kandung.
Pengertian secara
terminologi memberikan defenisi pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil
anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya
sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah
menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu
pengertian anak angkat adalah seorang yang bukan keturunan suami istri, namun
ia diambil, dipeliharan dan diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri.
Pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa alasan:[13]
a.
Adanya
beberapa kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah yang mengatakan bahwa
dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan
perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapatkan
keturunan sendiri.
b.
Mempertahankan
garis keturunan. Dalam suatu pekawinan dimana pasangan suami istri yang tidak
mendapatkan keturunan sehingga mereka kwatir akan punahnya garis keturuna
mereka, oleh sebab itu jalan untuk penyelamatan adalah mengangkat anak.
c.
Alasan
ekonomis; dimana keluarga si anak tidak sanggup lagi memelihara dan mendidiknya,
oleh sebab itu diberi kesempatan kepada keluarga lain untuk mendidiknya dan
memeliharan anak itu dengan jalan mengadopsinya.
3.2.
Pertimbangan
untuk melakukan adopsi
Alasan yang sering dikemukakan orang yang mengadopsi
anak adalah karena mereka tidak
mempunyai anak kandung. Dengan kehadiran anak adopsi, keluarga itu merasa
lengkap: Bapak, Ibu, Anak. Sebenarnya jika dianalisa, kebutuhan untuk
mengangkat anak dapat dilihat dalam dua faktor yakni:
a. Analisa Psykologis
Sebagaimana dambaan manusia secara umum, apabila
seseorang menikah sangat menginginkan kehadiran anak dam keluarga. Secara
psikologis keluarga yang tidak memiliki anak
membuat mereka merasa ada yang kurang dalam diri mereka merasa tidaklah sama
seperti teman-teman lain yang memiliki keturunan. Hal ini menimbulkan kurangnya
percaya diri dan adanya saling menyalahkan diantara mereka.
b. Analisa Budaya
Nampaknya secara umum setiap pernikahan selalu
merindukan akan kelahiran anak di tengah keluarganya. Secara khusus dalam
budaya Batak, menikah merupakan hal yang sangat penting. Tujuan dari pada
pernikahan itu salah satunya adalah memperoleh keturunan agar garis marga
keturunan silsilah tidak terputus. Terputusnya garis keturunan (silsilah)
adalah merupakan hal yang sangat menyakitkan. Mengingat pentingnya lanjutan
garis keturunan, tidak jarang ditemukan seorang laki-laki kawin lagi dengan
perempuan lain untuk memperoleh harapan yang sangat didambakan yaitu keturunan
atau anak. Oleh sebab itu perlu melakukan adopsi untuk menjaga keutuhan
keluarga.
Mengenai motivasi yang menjadi pendorong bagi upaya
adopsi itu juga sangat bervariasi: .[14]
1.
Empati dan
simpati. Seorang perawan tua yang merasa terpaksa memungut seorang anak, karena
anak tersebut membutuhkan seorang ibu-pengganti.
2.
Ingin
menunjukkan fungsi sebagai ibu, jadi karena mandul maka dilakukanlah adopsi
3.
Solidaritas.
Ingin berbagi kepada kepada orang yang membutuhkan apa yang dimiliki kepada
seorang anak yang membutuhkan kehidupan dan kesejahteraan.
Secara garis besar tujuan adopsi dapat dikemukakan
dalam dua hal yakni:[15]
a.
Tujuan Umum: Adopsi adalah bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dalam arti luas yakni berusaha untuk membantu anak agar ia
dapat tumbuh dan berkembang menuju ke arah kehidupan yang harmonis yaitu
kehidupan yang meliputi keamanan, ketertiban bagi jasmani maupun rohani.
b.
Tujuan Khusus: Untuk membantu anak-anak terutama mereka yang
terlantar, berada dalam kehidupan tidak mampu, agar memperoleh kehidupan yang
layak dalam lingkungan keluarga tertentu sehingga si anak dapat menikmati kehidupan
keluarga yang dapat memberikan kasih sayang, asuhan, perlindungan dan
kesempatan esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental adan
sosialnya
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
adopsi tidak hanya berorientasi semata-mata untuk melanjutkan dan
mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai
anak kandung, mempertahankan ikatan perkawinan, sehingga tidak timbul
perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat,
tujuan adopsi telah berubah kepada tanggungjawab sosial, moral, spiritual,
material untuk kesejahteraan anak.
3.3. Hukum
yang mengatur tentang Adopsi
3.3.1.
Hukum adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang
parental, Jawa misalnya pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali
keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain
mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris
dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam
keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya
dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. [16]
Menurut Soerejo Wighjodipoerjo,
pada umumnya setiap budaya di dalam hukum adatnya tentang cara pengangkatan
anak adalah sebagai berikut:[17]
Mengangkat anak dari luar keluarga, yaitu mengadopsi anak oleh orangtua angkat
yang dari keluarga lain dan kemudian menjadi bagian dari keluarga yang
mengadopsi.
1.
Mengangkat
anak dari kalangan keluarga sendiri, yaitu mengadopsi anak dari salah satu
keluarga yang masih ada hubungan kekeluargaan.
2.
Mengangkat
anak dari keluarga dekat, yaitu mengadopsi anak keponakan atau anak dari
abang/kakak kandung. Biasanya hal ini terjadi karena keluarga yang mengadopsi
itu belum dikaruniai anak
Secara hukum adat,
adopsi dalam setiap daerah memiliki perbedaan, dalam hal ini akan
dikemukakan dua sistim adopsi yang berbeda yakni dalam budaya Batak dan
Minangkabau.
a.
Hukum adopsi dalam budaya Batak.
Secara khusus dalam Batak Toba, istilah adopsi disebut
dengan “mangain” anak yang
pengangkatannya haruslah dari keluarga dekat, harus keluarga yang tidak
mempunyai anak laki-laki serta harus “dirajahon” dengan cara adat yang telah
ditentukan. Namun pada masa sekarang syarat ini sudah tidak berlaku mutlak. Istilah
adopsi di dalam Batak Simalungun, disebut dengan “anduhon”. Hal ini sama halnya dengan masyarakat Toba, tetapi bagi
Simalungun istilah pengangkatan anak disebut “tondok”, yang artinya memelihara, memungut anak yang berasal dari
keluarga yang tidak diketahui siapa orangtuanya.[18]
b.
Hukum adopsi Minangkabau
Daerah Minang
Kabau, adopsi dilakukan dengan cara mengangkat anak dari suatu keluarga
yang bukan dari garis keturunan istri, kemudian anak tersebut dimasukkan
menjadi suku dari si ibu yang mengadopsi anak. Pengangkatan anak di Minang
Kabau dilakukan untuk mencegah punahnya suatu kerabat (garis keturunan), yaitu
dengan cara mengadopsi anak perempuan.[19]
Dari penjelasan di atas maka ada dua motivasi dan
latarbelakang yang berbeda dalam sistim adopsi dalam orang Batak dan
Minangkabau. Dalam orang Batak adopsi itu lebih mengutamakan anak laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam orang Batak menekankan sistim Patrinial. Dalam
artian ini maka adopsi lebih menonjolkan regenerasi keturunan marga laki-laki
(struktur sosial). Sedangkan Minangkabau lebih mengutamakan mengadopsi anak
perempuan untuk melanjutkan keturunan mereka. Artinya tujuan adopsi dalam hal
ini lebih menekankan pada fungsi biologis.
3.3.2.
Hukum negara
Dalam bukunya Djaja S. Meliala[20],
mengemukakan beberapa syarat dalam mengadopsi anak perlu dipersiapkan dalam
meminta penetapan ke pengadilan negeri yakni:
ü Adanya akta kelahiran dari anak terebut.
ü Adanya Akta perkawinan dan surat nikah dari
orangtua kandung.
ü Adanya Akta perkawinan dan surat nikah dari
orangtua angkat.
ü Surat keterangan perjanjian dari orangtua
angkat.
ü Surat keterangan perjanjian dengan penyerahan
anak dari orangtua kandung kepada orangtua angkat yang disaksikan oleh dua
saksi dari dua belah pihak dan diketahui oleh kepala desa.
Negara Indonesia memiliki hukum yang mengatur tentang
adopsi, yaitu:[21]
Ø Dalam pasal 5 staatsblad tahun 1917 no. 129,
mengatur tentang siapa saja yang boleh mengadopsi anak. Pasal 8-10, mengatur tentang tata cara
pengangkatan anak. Pasal 11-14 menyangkut masalah akibat hukum pengangkatan
anak. Pasal 14 menyatakan terjadinya pengangkatan, maka status anak yang
bersangkutan berubah menjadi seorang anak yang sah. Pasal 15, mengatur tentang
pembatalan sebuah adopsi. Pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan hanya oleh
orang yang bersangkutan itu sendiri.
Ø Hukum perundang-undangan di Indonesia sesudah
kemerdekaan tentang adopsi, diatur dalam undang-undang negara RI No. 4 Tahun
1978. Pasal 12 ayat 3 menyatakan untuk kepentingan kesejahteraan anak, maka
pengangkatan anak dilakukan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku (PP).
Ø Urusan adopsi di Indonesia diatur dalam
undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Pasal 37 ayat 1 tentang pengasuhan anak dilakukan oleh
lembaga yang mempunyai kewenangan itu. Pasal 37 ayat 2 berbunyi: “Anak yang
diasuh harus seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga itu dan pasal
39:3 menjelaskan bahwa calon orangtua angkat harus seagama dengan agama calon
anak angkat.
Ø Dua pasal lain mencakup pasal 42 ayat 2 yang
berisikan bahwa setiap anak mendapat perlindungan beribadah menurut agamanya,
pasal 42 ayat 3 berbunyi bahwa sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama
yang dipeluk mengikuti agama orangtuanya.
Dari uraian di atas, maka secara hukum negara tujuan
adopsi meliputi:
1.
Adopsi
yang dilakukan secara benar adalah
perbuatan yang sah dan dijamin oleh undang-undang
2.
Tujuan
adopsi adalah untuk kepentingan kesejahteraan anak bukan hanya semata-mata pada
mempertahankan keturunan.
3.
Adopsi
juga memiliki dimensi keagamaan, artinya harus satu agama
IV. Tinjauan Etis teologis,
4.1. Argumetasi etis teologis
Secara teologis, adopsi merupakan tindakan Allah
terhadap orang-orang yang percaya dengan memberi mereka Roh Kudus, Roh dari
adopsi (Gal. 4:5; Ef. 1:5). Dalam hal
ini dapat dipahamai bahwa Yesus adalah penjelmaan Allah dan setiap orang yang
percaya kepada-Nya, baik laki-laki dan perempuan, ia telah diadopsi menjadi
anak-anak Allah secara rohani (Gal. 3:26). Secara teologis, kasih karunia Allah
merupakan dasar adopsi manusia menjadi anak-Nya[22]
Ada beberapa argumentasi
dan contoh secara Alkitabiah untuk
memberikan pemahaman tentang adopsi yaitu [23]
1.
Eksistensi
Israel sebagai anak sulung, dimana Allah diposisikan sebagai Bapak dan Israel
sebagai anak-Nya.[24]
Israel disebut anak sulung, mengandung gagasan bahwa Israel dijadikan ahli
waris milik Allah yang berhak menerima pembebasan, bukan perbudakan. Harta
warisan itu adalah tanah Kanaan, yang dikemudian hari disebut milik Pusaka
Allah (2 Sam. 14:16).[25]
Dari pandangan ini, hendaknya segala praktek adopsi tidak mendiskriminasi anak
angkat dalam hal hak dan kewajiban, termasuk harta warisan dari keluarga yang
mengadopsi. Dengan demikian maka kasih itu akan tercurah melalui pengadopsi
kepada yang diadopsi.
2.
Di dalam
dan melalui Yesus, setiap orang percaya telah menjadi anak-anak Allah oleh
karena kasih karunia. Menurut teologi Kristen, Allah mengangkat setiap orang
percaya untuk menjadi anak-anak-Nya. Pengangkatan ini terjadi karena anugerah
Allah. Dalam kekristenan, masalah adopsi merupakan pernyataan iman manusia
kepada Tuhan. Tuhanlah yang melakukan adopsi kepada manusia, dengan menunjukkan
kuasa-Nya dan kasih-Nya melalui penebusan Kristus di kayu salib. Dengan
peristiwa tersebut, maka setiap orang yang percaya telah menjadi anak-anak-Nya,
sesuai dengan kemurahan dan kehendak-Nya (Ef. 1:5). Oleh sebab itu setiap orang
percaya harus hidup dalam ketaatan yang bertanggungjawab kepada Allah.[26]
4.2. Secara
Alkitabiah
4.2.1. Perjanjian Lama
Di dalam Perjanjian Lama tidak ada hukum yang mengatur
mengenai adopsi. namun ada nas dalam Perjanjian Lama yang menunjukkan melakukan
tindakan adopsi anak, yaitu:[27]
v Eliezer Orang Damsyik oleh Abrahamdan untuk
anak Hagar, Bilha dan Zilpa yang mengambil bagian dalam warisan Abraham dan
Yakub (Kej. 15:3;16:1-4; 30:1-13; bnd. 21:1-10).[28]
v Putri Firaun mengambil Musa (Kel. 2:10).
v Pengangkatan Genubat oleh Firaun Raja Mesir (1
Raj. 11:20).
Dalam kebiasaan orang Yahudi, seorang budak juga sering
diadopsi. Orang yang mengadopsi harus mengeluarkan sejumlah uang tebusan dan
budak itu harus tunduk serta mengabdi kepada tuannya yang baru. Dalam sejarah
Israel, Allah membuat perjanjian dengan Israel, sekaligus membuat Israel
menjadi umat-Nya (Hos. 11:1; Kel. 4:22; Mzm. 2:7). Sebutan “anak-Ku” kepada
seorang raja misalnya Daud, bukan karena adanya perkawinan ilahi, tetapi karena
jabatannya sebagai raja yang diurapi Tuhan. Dalam hal ini raja berstatus
sebagai anak Tuhan dan Tuhan sebagai Bapanya (bnd. 2 Sam. 7:14; Mzm. 85:26).
4.2.2.
Perjanjian Baru
Konsep adopsi dalam Perjanjian Baru, dipengaruhi oleh cara
pengangkatan anak dalam tradisi Romawi, yakni:[29]
v Anak adopsi kehilangan hak dalam keluarga lama
dan kemudian mendapat hak dalam keluarga yang baru (yang mengadopsi).
v Menjadi ahli waris ayah barunya, sedangkan
kelahiran anak kandung tidak
mempengaruhi status dan haknya dalam keluarga barunya.
v Anak yang diadopsi menjadi keluarga yang baru
dn utuh dalan keluarga yang mengadopsi.
v Secara yuridis, keberadaan anak adopsi mutlak
menjadi anak dari ayah barunya (bnd. Yes. 14:29).
Berdasarkan gambaran tersebut, bahwa dengan adopsi yang
dilakukan Yesus kepada manusia, maka setiap orang yang percaya kepada-Nya turut
dipindahkan kepada keluarga kerajaan Allah.
Paulus dalam Roma 8 menekankan hidup menurut Roh, yang
berlawanan dengan hidup menurut daging. Hidup dalam daging berarti hidup dalam
dosa dan maut, hidup dipimpin keinginan duniawi yang melawan Allah (ay.1-8).
Sedangkan hidup menurut Roh berarti hidup dalam keselamatan dan kehidupan
kekal, hidup yang dipimpin oleh Roh (ay.9-10). Orang yang hidup dalam Roh
diangkat menjadi anak Allah, yang dapat menyebut Allah sebagai Abba, Bapa (ay.
15; Rom. 8:15; Gal. 4:6; Mrk. 14:36; Luk. 11:2; Mat. 6:9).[30]
4.3. Tinjauan Dogmatis
Dalam gereja HKBP hukum yang mengatur adopsi anak dirumuskan
di dalam RPP-HKBP (Hukum Siasat Gereja), yaitu dalam Sakramen Baptisan Kudus
dapat dilakukan kepada anak yang diadopsi, setelah ada keputusan dari
pengadilan negeri tentang anak yang diadopsi tersebut.[31]
Dalam hal ini berarti tindakan adopsi menurut ajaran HKBP adalah dibenarkan dan
sah apabila telah sah secara hukum negara. Dengan demikian secara etis anak
yang diadopsi juga mendapat kasih sayang yang penuh dari orangtua yang
mengangkatnya sebagaimana Allah telah mengangkat manusia menjadi anak-Nya dan
tidak melecehkan manusia tersebut, demikian jugalah orang yang mengadopsi anak
melakukan apa yang dikehendaki Allah.
V. Analisis dan Kesimpulan
Adopsi merupakan tindakan yang legal bila telah
diproses, disepakati, diputuskan dalam koridor hukum yang berlaku, baik hukum
secara adat maupun hukum dalam negara. Dalam hal inilah secara etis-dogmatis tindakan
adopsi dibenarkan oleh gereja. Maka secara etis teologis keberadaan anak adopsi
adalah sama harkat dan martabatnya sebagai anak yang memperoleh anugerah Allah,
sebagaimana semua manusia menjadi anak Allah di dalam dan melalui penebusan Yesus
Kristus.
Dengan demikian, segala bentuk eksploitasi anak
haruslah ditentang, sebab dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama (Gal.
3:28), termasuk anak yang diadopsi dan orangtua yang mengadopsi. Mengadopsi
anak bukanlah menjadikan anak itu sesuka hati sendiri, tetapi hendaklah anak
tersebut dikasihi, dihargai sebagaimana
ia juga adalah manusia ciptaan Tuhan yang selalu dikasihi dan dipelihara oleh
Tuhan. Dengan demikian, setiap anak yang dikasihi mempunyai hak asasinya
sebagaimana layaknya manusia. Di samping itu, anak yang diadopsi juga wajib
menaati dan menghormati orangtua yang mengadopsinya. Adopsi pada hakekatnya
bukan hanya dipahami dalam dimensi sosiologis, artinya tujuan dan motivasi
adopsi hanya untuk memperbaiki status sosial dalam keluarga/rumah tangga di
tengah masyarakat. Secara etis
tindakan melakukan adopsi hendaknya dibarengi dengan motivasi yang sehat,
dimana orangtua yang melakukan adopsi memiliki tanggungjawab moral, material,
dan secara khusus spiritual terhadap anak yang diadopsi. Dalam hal ini dipahami
keberadaan anak adopsi menjadi bagian integral dari keluarga yang mengadopsi
secara absah dan total.
Barangkali tidak
dapat dipungkiri secara “emosional” ada perbedaan kedekatan orangtua terhadap
anak kandung dengan anak yang diadopsi. Dalam hal inilah perlu sikap yang
bijaksana dari orangtua. Kasih sayang orangtua terhadap anak yang diadopsi
merupakan dasar utama untuk membentuk kepribadian anak agar menjadi insan yang memiliki
integritas/kepribadian yang utuh dalam hidupnya. Jika kelak ia mengetahui latar belakang
kehidupannya yang sebenarnya maka ia tidak akan merasa minder terhadap temannya
karena ia merasakan kasih sayang dan perhatian dari orangtua angkatnya. Jika
memang perlu dan bila harus anak adopsi ingin mengetahui tentang latarbelakang
dirinya, maka dalam hal ini Orangtua perlu menjelaskan secara terbuka masalah
yang sebenarnya kepada anak. Namun demikian haruslah diperhatikan, yaitu apakah
si anak tersebut sudah cukup mampu untuk menerima penjelasan tersebut atau
tidak.[32]
[1] Andar Ismail, “ Selamat Hidup
Rukun, BPK Gunung Mulia, Jakarta
1997: hlm 100
[2] William H. Nault, The World Book
Encyclopedia Vol. 7, FHBA, USA 1968:
hlm. 19.
[3] Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas-asas
Psikologi Keluarga Idaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2002: hlm. 43
[4] William H. Nault. Op. Cit., hlm. 23.
[5] E.G. Homrighausen dan I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2005: hlm. 126.
[6]J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini Jilid I, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta 2004: hlm. 537.
[7] Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi
Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1993: hlm. 117-118.
[8] Mudaris Zaini, Adopsi Suatu
Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 1995: hlm. 4
[9] Barclay M. Newman Jr, Kamus
Yunani-Indonesia, BPK Gunung Mulia , Jakarta 1991: hlm. 176
[11] WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1984: hlm. 38
[12] Hilma Hadi Kusuma, Hukum
Perkawinan AdatSinar Grafika , Jakarta 2004: hlm. 149
[13] Djaja S. Meliala, Pengangkatan
Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung1982: hlm. 4
[14] Kartini Kartono, Psikologi
Wanita (Jilid 2), Mandar Maju, Bandung
1992: hlm. 304
[15] http//www. rachmamiamrinal, Pematang Siantar, 25 September 2009
[28] M. J. Selman, “Adoption”,
dalam I. Howard Marshall, dkk (ed.), New
Bible Dictionary, Leicester : Inter Varsity
Press, 1996: hlm. 16
[30] John E. Alshup,
“Adoption”, dalam Paul J. Achtemeier (ed.), Harper’s
Bible Dictionary, Harper San Francisco, USA 1985: hlm. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar