Rabu, 05 Oktober 2011


PERANAN GEREJA  DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA DI TENGAH MASYARAKAT INDONESIA YANG MAJEMUK

I. Pendahuluan
Dalam pembahasan ini ada dua hal fenomena yang menarik yakni  persoalan tentang “konflik” dan “kemajemukan”. Secara historis, dan realitas masa kini, gereja ternyata menjadi sumber konflik. Gereja juga hidup dalam eksistensi kemajemukan. Nampaknya kemajemukan senantiasa bersentuhan dengan konflik.  Apakah gereja dapat berperan dalam menyelesaikan konflik? Jika dapat, apa peran gereja dalam menyelesaikan konflik, dan bagaimana gereja melakukan peran atau fungsinya?  
Konflik dan kemajemukan merupakan dua  hal yang menarik dalam konteks Indonesia, sebab negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk) baik dari etnis, suku, budaya, agama dan sebagainya. Kemajemuk itu nampaknya memberi ruang menjadi sumber konflik.  Eksistensi kemajemukan di Indonesia di sisi lain merupakan kekayaan namun pada sisi yang lain kemajemukan itu menjadi tantangan yang dapat menimbulkan sikap eksklusif dan bahkan sikap radikal yang melahirkan suatu sikap fanatisme dan fundamentaslime. Nampaknya fenomena konflik sosial yang terjadi, indikasinya adalah perbedaan eksistensi manusia, baik latar belakang agama, budaya, sosial dan sebagainya.
Jika dalam pembahasan ini penyaji menyoroti tentang peranan gereja dalam menyelesaikan konflik di tengah masyarakat majemuk, maka pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apa konflik yang dihadapi? Usaha apa yang dapat dilakukan oleh gereja? Bagaimana gereja dalam memberikan solusi dalam mengatasi konflik? Metode apa atau pendekatan yang bagaimana yang dapat dilakukan oleh gereja? Sehubungan dengan hal itu pembanding mencoba  memberikan sedikit kontribusi pemikiran.

II. Kontribusi Pemikiran
Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang majemuk menimbulkan ketegangan sosial akibat dari krisis yang berbarengan dengan perubahan sosial yang ada. Sering digarisbawahi hubungan yang tidak mudah antar agama-agama di Indonesia, orang Kristiani merasa terancam dengan gelombang kebangkitan Islam sementara orang Islam, karena warisan penjajah, terbiasa menyikapi orang-orang Kristiani sebagai pesaing utama bahkan sebagai lawan mereka.
Konflik dalam antar umat beragama merupakan persoalan yang serius dalam eksistensi umat beragama. Sehubungan dengan hal  itu dibutuhkan sikap dan tindakan yang serius dalam mengatasi konflik.
Perlu dipahami bahwa masyarakat majemuk memang selalu rawan konflik. Konflik dalam masyarkat majemuk terus menerus berlangsung di setiap tempat dan waktu. Konflik bersumber pada perbedaan-perbedaan, dan setiap perbedaan pasti mempertahankan eksistensinya. Sikap ingin mempertahankan eksistesinya dan ikut  memperjuangkan kepentingan agar tetap eksis dan diakui pada dasarnya akan melahirkan kerawanan. Indonesia adalah masyarakat majemuk, dan tentunya rawan akan konflik. Dalam sejarahnya Indonesia telah mengalami berbagai konflik baik yang bersifat SARA maupun non SARA (contoh, konflik ini dapat kita bandingkan dengan peristiwa konflik di beberapa daerah seperti  Poso, Ambon, Batam, dll)
Konflik ini bisa semakin meningkat apabila masing-masing suku dan agama tidak menyadari tanggungjawabnya masing-masing dan peran masing-masing. Untuk meningkatkan kesadaran warga masyarakat dalam tanggungjawab dan perannya perlu adanya pembinaan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenal dan memahami agamanya sendiri dan juga agama orang lain. Karena dengan menyadari dan memahami agama masing-masing maka mereka tidak mudah untuk dipengaruhi oleh kelompok lain yang mengarah kepada konflik untuk tujuan tertentu. Salah seorang tokoh Islam yang sangat terkenal sebagai tokoh intelektual muslim memperkenalkan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia secara khusus kepada orang muslim yang sebenarnya harus mempertahankan tradisi pluralisme yang inklusif dan memandang bahwa semua agama adalah satu. Untuk mencapai pluralisme Nurcholis Madjid mengharapkan supaya dakwah Islam sungguh sungguh berpartisipasi untuk mengedepankan pemahaman tentang pluralisme agama-agama sehingga dengan upaya ini pemahaman tentang agamanya sendiri dan juga agama yang lain semakin meningkat dan akan menimbulkan pengertian dan kesadaran akan kebersamaan untuk mencapai kerukunan di tengah-tengah kehidupan bangsa.[1]
Konflik dan ketegangan antar umat beragama di Indonesia  secara umum dapat dilihat  dalam dua Faktor:[2]
a.       Faktor intern yang berkaitan dengan misi dan organisasi karena golongan umat beragama di Indonesia terjebak pada orientasi kuantitas anggota umat masing-masing.
b.      Faktor ekstern, yaitu realitas sosial-ekonomi-politik yang masih diwarnai oleh ketimpangan sosial.
Pada dasarnya indikasi konflik tidak terlepas dari sikap yang mempengaruhi masyarakat majemuk, sikap itu secara garis besar meliputi:[3]
a.       Sikap solidaritas buta, yaitu suatu sikap atau tindakan seseorang yang senantiasa berusaha membela kelompoknya atau anggota kelompoknya dengan cara apapun.
b.      Sikap ethnosentrisme, yaitu sikap yang selalu mengutamakan kelompok sendiri, dan meng klaim kelompoknya lebih baik dari kelompok lain. Konsekuensi dari sikap ini bersifat negatif karena melahirkan sikap merendahkan, curiga, kurang berinteraksi dengan kelompok lain.
c.       Sikap partikularis. Sikap ini hanya mengutamakan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus, misalnya agama yang sama, suku sama, atau daerah yang sama.
d.      Sikap eksklusif, sikap yang tertutup dengan orang lain, atau dalam segala hal  tidak menjadi bagian dalam kelompok yang lain.
e.       Masalah mayoritas dan minoritas. Kecenderungannya kelompok mayoritas selalu mendominasi serta melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, muaranya selalu terjadi ketimpangan ketidakadilan.
Dalam kaitanya dengan mengatasi konflik antar umat beragama maka peran gereja dan panggilannya dalam hubungan umat beragama mesti bersedia mengambil dua langkah yakni:[4]
  1. Berusaha mencari tahu gambaran, pemahaman serta sikap orang-orang beriman lain terhadap agama, agar dapat memandang diri melalui perspektif dan penilaian mereka.
  2. Melakukan koreksi/evaluasi secara sungguh-sungguh untuk menyadari dan menghilangkan sikap-sikap, prasangka serta pengertian yang tidak benar, tidak pada tempatnya di dalam kaitannya dengan iman dan umat yang beragama lain.
Sebenarnya tindakan dan sikap tersebut bukanlah persoalan yang mudah untuk dilakukan, namun bukan tidak mustahil untuk disikapi dan dilakukan sebagai dasar untuk meminimalisir konflik antar untuk beragama.
Sebagaimana yang telah diuraiakan oleh penyaji, dialog merupakan salah satu solusi dalam mengatasi konflik antar umat beragama. Pembanding melihat solusi dialog yang dibahas penyaji menekankan pendekatan yang bersifat taktis, maka dalam hal ini pembanding akan mempertajam solusi dialog dalam dimensi etis dan prinsipil. Hal yang mendasar yang harus dipahami adalah dialog merupakan suatu upaya menjembatani bagaimana benturan bisa diperkecil. Oleh sebab itu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila paling tidak memenuhi hal-hal sebagai berikut:
ü  Adanya keterbukaan dan transparasi. Terbuka berarti mau mendengar
ü  Menyadari adanya perbedaan. Dalam hal ini perbedaan hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang wajar dan memang merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, artinya tidak ada yang berhak menghakimi atau meng klaim suatu kebenaran dari salah satu pihak yang bertikai. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agama masing-masing.
ü  Bersikap kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan  dan mendiskreditkan umat beragama satu dengan yang lain.
ü  Adanya persamaan dalam dialog. Dialog tidak akan berjalan semestinya jika dialog tidak menjadi panggilan dan tanggungjawab bersama. Tidak ada ‘tuan rumah” dan yang lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Setiap orang harus merasa menjadi bebas berbicara dari hatinya, dan sekaligus membebaskan diri dari  penekanan.
ü  Adanya kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus dan simbol agama yang lain dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar.
ü  Oleh sebab itu dalam dimensi dialog yang tepat, tidak boleh ada pihak yang mendominasi atau melegitimasi diri sebagai pihak lebih benar dari yang lain.
            Sehubungan dengan peran gereja mengatasi konflik antar umat beragama di Indonesia dalam masyarakat majemuk maka ada beberapa hal yang menjadi tantangan dan peluang yang mendasar:
1. Peluang
a. Pancasila dan UUD 1945 (pasal 29:2)
          Pancasila dan UUD 1945 memberikan amanat yang amat jelas untuk mewujudkan kerukunan dan kebebasan untuk memeluk agama masing-masing. Dasar 1945 mengamanatkan kebebasan agama merupakan satu hak yang paling asasi diantara hak-hak manusia, karena kekebasan beragama bersumber kepada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dalam kaitannya terhadap peran gereja untuk mengatasi  konflik umat beragama, maka dialog tentang pemahaman dan pengalaman Pancasilan  dan UUD 1945 merupakan salah satu topik untuk mengatasi dan merajut kerukunan umat beragama.[5]
b. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
c. Dasar teologis
            Gereja menjadi misi dalam rekonsiliasi. Istilah rekonsiliasi mengandung arti perdamaian atau kerukunan kembali. Rekonsiliasi  merupakan pola kesatuan  yang membuka perspektif baru. Rekonsiliasi tidak hanya dipahami secara internal, tapi ekstenal, dan implikasinya bersifat holistik. Gereja perlu melakukan rekonsiliasi perdamaian, sebagaimana Allah melakukan-Nya bagi dunia.[6]
            Tuhan menempatkan “kasih” sebagai yang sentral dalam kehidupan manusia, Yesus mengatakan “kasihilah sesamu manusia” (Mat 22:39),  oleh sebab itu mewujudkan damai merupakan panggilan dan tugas gereja. Kesadaran yang mendalam akan kesamaan harkat dan nilai manusia menentukan upaya dalam mewujudkan damai dalam masyarakat majemuk. Gereja harus memiliki komitmen atas persamaan dan berupaya untuk mengatasi konflik dalam hubungannya dengan umat beragama.[7] Mengakui adanya perbedaan secara hakiki bukan menonjolkan benturan dan konflik, melainkan kedamaian, kesejukan, dan akhirnya perbedaan dapat dipahami sebagai saling memberi, memperkaya dan melengkapi.[8]
2. Tantangan
  1. Kebijakan politik yang memiliki implikasi dalam dimensi sosial dan agama
  2. Kesenjangan sosial ekonomi
  3. Pengaruh globalisasi yang memiliki dampak negatif terhadap sikap etis, moral dan spiritual
  4. Sikap fanatisme dan gerakan fundamentalisme. Isu Kristenisasi yang secara sadar dan tidak sadar bersumber dari kalangan Kristen fundamentalis dan dihembuskan lewat kecemasan kelompok Islam fundamentalis masih menjadi persoalan yang bisa memicu konflik antargolongan umat beragama di Indonesia hingga saat ini.[9]
  5. Masalah internal gereja (denominasi). Salah satu kendala di dalam melaksanakan  peranan gereja di tengah-tengah bangsa adalah ketika gereja itu sibuk hanya mengurus dirinya sendiri (membahas tentang dogma, liturgi, struktur organisasi, dll).Tugas misi gereja yang semestinya berlandaskan koinonia, diakonia, dan marturia tidak berjalan dengan semestinya.[10] Dalam pemahaman misi, gereja hanya memahami Matius 28:18-20, secara sempit dengan tafsiran yang konservatif. Dalam intern gereja praktek misi cenderung pada kuantitas anggota. Dalam denominasi gereja kemudian berkembang istilah “mencuri domba”. Sedangkan dalam penganut agama lain dipahami sebagai misi kristenisasi, sehingga memicu prasangka yang kemudian menjadi konflik.[11]      
Dengan demikian maka peranan gereja dalam mengatasi konflik adalah sebagai berikut:
1.      Gereja dan orang Kristen harus memahami bahwa eksistensinya hidup berdampingan di tengah-tengah kemajemukan agama. Dalam satu sisi gereja harus memberikan dasar-dasar teologis-dogmatis tentang paham dan sikapnya terhadap agama dan penganut agama lain. Sedangkan disisi lain gereja harus memahami dan mengerti tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan agama lain, dan sedapat mungkin mengenal ajaran agama lain. Atas dasar itulah gereja dan orang kristen dapat mengambil sikap praksis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi di tengah-tengah kemajemukan agama dan penganut agama  lain. Dalam pemahaman inilah gereja melakukan tugas dan panggilannya sebagai garam dan terang dunia. Dalam hal ini gereja senantisa memberikan pemahaman terhadap umatnya.
2.      Gereja dapat menjadi mediator dan fasilitator untuk membuka dialog teologis tentang kemajemukan agama. Gereja harus memahami bahwa agama-agama lain tidak asing bagi orang Kristen. Dalam hal inilah gereja merobah sikap eksklusif menjadi yang inklusif. Dalam sebuah refleksi teologis berdasarkan Galatia 6:15, Paul Tillich dalam bukunya The New Being (1995) mengungkapkan pandangan dan pendekatan teologisnya terhadap agama dan kepercayaan lain. Ia mengatakan bawah Yesus Kristus telah tersalib, bukan hanya bagi orang Kristen tetapi juga bagi dunia. Sikap teologis ini menjadi sentral dalam menyikapi kemajemukan agama dalam hubungannya dengan konflik.
3.      Membangun teologi agama-agama. Berbicara mengenai teologi agama-agama dalam konteks Indonesia, yang ideal adalah teologi yang menjungjung tinggi nilai-nilai universal dalam arti dapat merangkul semua pihak yang berbeda pandangan teologis. Refleksi teologi yang dapat dilakukan dalam hal ini dapat dilakukan melalui sharing (pengalaman iman) yang dapat memperkaya satu dengan yang lain. Teologi ini dibangun bukan atas dasar pandangan yang merendahkan atau mencemoohkan pandangan golongan lain.  Sikap mencari tahu maksud Kitab Suci tiap agama sangat penting sebelum menafsirkan makna yang tersirat dibalik isi naskah dalam kitab Suci. Sehubungan dengan hal itu maka, sikap rendah hati dan keterbukaan perlu dibangun. Dalam teologi agama-agama perlu memperhatikan perkembangan pandangan dalam agama-agama dewasa ini. Pemahaman tentang ajaran iman dalam agama tertentu biasanya mengalami perubahan atau perkembangan.[12]
4.      Setelah memahami hal di atas maka, langkah-langkah mengatasi konflik dapat dilakukan melalui yakni: Rekonsialisi dialogis antar pemuka agama, rekonsialisi antar umat beragama, rekonsiliasi dalam misi kemanusiaan (pendidikan, kemiskinan, kesehatan).
Ada beberapa hal catatan yang pelu diperhatikan  sehubungan dengan mengatasi konflik yakni:[13]
  1. Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, konflik itu ada dan bersumber dari diri manusia secara personal dan kemudian berkembang secara komunal (komunitas) dalam konteks etnis, religius, politis, dll. Oleh sebab itu upaya mengatasi konflik merupakan panggilan untuk setiap insan.
  2. Sehubungan dengan konflik, maka perlu melakukan dialog kehidupan (Dialog life). Gagasan dialog ini telah  dimulai dan dikembangkan oleh Lutheran world federation
  3. Semua agama nampaknya memiliki roh fundamentalisme, oleh sebab itu perlu dengan bijaksana menempatkan eksistensi keagamaanya dengan menghargai kemajemukan. Dalam hal ini tidak ada sikap untuk merendahkan satu dengan yang lain, sebab jika terjadi demikian maka itu sama artinya dengan merendahkan sang pencipta
  4. Pemerintah perlu tanggap dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Keterlambatan pemerintah dalam mengatasi masalah di tengah masyarakat akan memperlebar konflik internal yang semakain luas yang awalnya bersifat ekonomi, dapat meluas dalam dimensi sosial keagamaan dan daerah. Maka dalam hal ini gereja perlu memposisikan dirinya sebagai penengah (juru damai)
  5. Menyikapi perkembangan terorisme. Disatu sisi munculnya terorisme merupakan konsekuensi dari kebijakan politik yang tidak sehat (misalnya kebijakan politik luar negeri Amerika yang menyerang Irak, Afganistan). Sehubungan dengan hal itu muncullah gerakan radikal fundamentalis yang mengatasnamakan agama sebagai bentuk perlawanan untuk mempertahankan eksistensi agama sebagai tuntutan perjuangan “jihad” yang dipahami secara sempit.


[1] Ali Mukti dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Yogyakarta,  1998, hlm. 124
[2] Widi Artanto, Menjadi Gereja yang Misioner dalam Konteks Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 190
[3] P. Paul Ngganggung,  “Pendidikan agama” dalam Th.Sumartana (dkk), Pluralisme, konflik & Pendidikan agama di Indonesia, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 256
[4] F.L. Cooley, “Panggilan Kristen dalam hubungan antar umat beragama”. Dalam, Eka Darmaputera (ed), Konteks berteologi di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1988, hlm. 177
[5] Weinata Sairin, Kerukunan umat beragama. Pilar utama kerukunan berbangsa, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002, hlm. 7-14
[6] Ibid, hlm. 150
[7] Willem TP. Simarmata, “Mewujudkan komunitas damai”, dalam, Thomson MP Sinaga, (ed), Mewujudkan komunitas damai untuk semua. Buku Pengucapan syukur jubeleum 50 tahun CCA, Medan, PGI Wilayah Sumatera Utara, 2007, hlm. 9
[8] Weinata Sairin, Op. Cit, hlm. 15
[9] Ibid, hlm. 190
[10] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar, L-SAPA, 2008, hlm. 274
[11] Widi Artanto, Op.Cit., hlm. 7
[12] Wlliam Chang, “Sara menuju Teologi agama-agama” Dalam Th.Sumartana (dkk), Pluralisme, konflik & Pendidikan agama di Indonesia, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 123
[13] Masukan ini disampaikan oleh Pdt. WTP. Simarmata, MA, Dosen pengampu mata kuliah seminar praksis pada tanggal 28 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar