Rabu, 05 Oktober 2011

IMAM DAN PERSEMBAHAN


IMAM DAN PERSEMBAHAN

I. Pendahuluan

                Kedudukan dan fungsi Imam dalam PL dan PB sangat sentral dalam struktur sosial masyarakat, baik dalam politik maupun dalam keagamaan umat Israel, sebab Imamlah yang dianggap sebagai mediator antara manusia dan Allah. Salah satu tugas utama Imam adalah berkaitan dengan menyampaikan korban persembahan umat di Bait Suci. Dalam hal ini Imam dipahami seabagai “wakil manusia” (Israel) terhadap Allah.[1] Dalam perkembangan selanjutnya timbulah lembaga-lembaga keimaman, dimana setiap kepala dipimpin oleh seorang kepala yang dinamai Imam Besar[2]
                Imam dan persembahan merupakan sebuah topik teologi yang menarik untuk dibahas. Istilah teologis tersebut memiliki latarbekangang historis, makna, kedudukan dan fungsi dalam konteks umat Israel, baik di dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Dalam pembasan ini perlu mengkaji bagaimana perspektif atau pemahaman historis, sosiologis, dan teologis tentang Imam dan Persembahan dalam PL dan PB.

II. Terminologi
                Kata imam (Ibr koheen) berasal dari akar kata Arab artinya mendengar atau  kaahan "menghadirkan diri/ datang mendekat" (Kel 19:22; 30:20,21).[3] Jabatan Imam dalam PL disebut dengan kohen atau hakkohen artinya seorang yang bediri (dari kata kerja “kohan” atau “hun”) dihadapan Allah dan bertindak sebagai pelayan baginya. Lambat laun istilah kohen kemudian menjadi terminius teknikus untuk seorang Imam sebagai sebuah jabatan resmi dalam agama Israel Kuno.[4] Istilah Imam dalam bahasa Yunani disebut hiereus. Ada empat yang menjadi karateriktik dari Imam yakni; Imam dipilih Allah, milik Allah, hidup kudus dan menjalankan pelayanan kurban (Ibr 5:1-5). Dalam tradisi sebelum Israel menganut sistim monarki, istilah Imam jarang dipergunakan dan lazimnya jikalau ada disinggung istilah Imam maka hal ini selalu berkaitan dengan tabut perjanjian[5] atau dengan ephod[6].
                 
III. Kedudukan dan fungsi Imam Dalam Perjanjian Lama
        3.1.Eksistensi Para Imam
                Pada dasarnya tugas imam bukan menunjuk kepada pelayan kurban tetapi menyampaikan pengajaran[7] kemudian istilah imam merujuk pada orang Lewi (Hak 19:1), kemudian pada periode sebelum monarki, imam hanya berhubungan dengan pelayanan di satu tempat saja (Hak 17)[8], pada masa pembuangan dan setelah pembuangan masalah kedudukan imam juga mengalami perubahan:[9]
a.        Imam pra monarki: Latar belakang eksistensi imam pada awalnya bukanlah oknum yang menjalankan fungsi pelayanan kurban, melainkan seorang  (dari suku Lewi) yang dengan rela mengabdikan diri menjadi seorang imam untuk menyampaikan pengajaran dalam satu keluarga, misalnya dalam keluarga Mika (bnd Hak 17:5f). Dalam PL kepala keluraga berfungsi sebagai imam untuk mempersembahkan kurban, seperti Nuh (Kej 8:20-21). Kemudian keberadaan imam berkembang dari satu keluaga menjadi imam dalam  satu kelompok suku (suku Dan), keturunan imam berasal dari keturunan Yonatan bin gerson bin Musa (Hak 18:5f). Kemudian posisi imam berkembang menjadi imam dalam suatu daerah/tempat, misalnya Yetro mertua Musa sebagai imam di Midian (Kel 3:1)
b.        Imam pada masa monarki: Pada masa monarki, eksistesi imam semakin kuat, dimana berdirilah lembaga-lembaga keimaman yang memiliki tugas dan fungsi dalam aspek keagmaan dan juga sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah (raja). Setelah monarki dimana Daud menetapkan Yerusalem sebagai pusat pemerintahana dan pusat kultus (ibadah), tugas keimaman  menjadi melembaga. Keputusan itu barangkalai keputusan Deutronomis yang mengkwatirkan berkembangnya sinkritisme di kuil-kuil petani, sehingga Daud memusatkan imam di Yerusalem dan tugas utama imam adalah mengajarkan thora, dan ini berkembang sampai zaman sesudah pembuangan terutama pada zaman Esra yang menjelaskan thora sebagai norma prakstis  dalam kehidupan sehari-hari.  
c.        Pada masa pembuangan, keberadaan pada imam tidak lagi menekankan darai golongan Lewi
d.        Pada masa sesudah pembuangan. Pada masa sesudah pembuangan posisi dan eksistensi keimaman kembali ditegaskan atau dihidupkan kembali, terutama oleh Esra.
        Namun secara khusus ditekanakan bahwa eksistensi para Imam merupakan satu golongan atau kelompok yang memiliki kedudukan dan fungsi khusus dalam bidang keagamaan umat Israel. Dari suku-suku Israel, kaum Lewilah[10] yang termasuk dalam golongan Imam. Secara sosial keagamaan para Imam memiliki tanggungjawab moral dan spiritual. Sehubungan dengan kedudukan dan fungsi para Imam, maka para Imam juga terikat pada norma-norma hidup atau memeliharan kekudusan hidupnya sebagai mediator religius  antara umat dan Allah.  
                Dalam kitab Imamat 21:1-15 ditekankan tentang peraturan-peraturan kudusnya para imam:[11]
a.        Imam biasa “hakkohen” (1-9) maupun Imam Besar “hakkohen haggadol”(10-15) haruslah hidup kudus karena mereka memiliki tugas yang kudus.
b.        Imam tidak boleh mendekati atau menyentuh mayat, kecuali mayat kerabat yang dekat. Dalam mengambil bagian dalam penguburan itu imam juga menjadi najis tujuh hari lamanya (bnd. Yeh 44:25-27)
c.        Imam dilarang mengikuti kebiasaan-kebiasaan bangsa kafir waktu meratapi orang mati.
d.        Seorang Imam tidak bisa kawin dengan perempuan yang bukan perawan atau janda.
e.        Imam Besar tidak bisa mengambil bagian dalam semua penguburan, termasuk penguburan ayah dan ibunya, tetapi harus tinggal tetap dalam tempat kudus selama upacara demikian
f.         Orang dari keturunan yang bercacat badannya tidak bisa menjabat imam (Im 21:16-24)

3.2. Sejarah tradisi Imam dan perkembangannya
                Jabatan Imam merupakan pengambilalihan atau warisan dari keluarga secara turuntemurun dan melaksanakan tugas dan fungsi Imam dalam suatu tempat suci tertentu (bnd. Kel 28:41; 30:17-21; 40:31-32; Im 8:6; 10:8-11; 21:1-7; Bil 8:7). Menurut Kel 19:22-24 Imam sudah ada sebelum tradisi Sinai, dimana Musa dan Harun sebagai suku Lewi telah melaksanakan jabatan keimaman. Dalam struktur kelembagaan lambat laun terdapat Imam Besar (Im 21:10; Bil 35:25; 2 raj 22:4; Neh 2:1; Hag 1:1; 2:2-41 Zakh 3:1), fungsinya sebagai Imam kepada Imam Besar[12] merupakan jabatan yang mulia baik sebagai pemimpin dalam keagamaan dan juga pemimpin politik dalam negara. Dalam kelembagaan ini terutama pada zaman raja-raja dan sesudah pembuangan nampaknya Imam besarlah yang mengatur aktifitas para Imam secara bergilir dan menempatkan mereka disekitar Bait Suci. Iman juga mengatur pelaksanaan persembahan korban. Imam Besar tetap memegang peranan penting, terutama di Yerusalem sebagai ibukota kerajaan Israel, pada zaman itu lembaga keimaman semakin kuat, dimana keturunan Zadok yang dihubungkan dengan Harun.[13]
        Yosephus menggambarkan Melkisedek (malkhi adan tsedeq:Rajaku adalah kebenaran) sebagai penemu dan imam pertama di kota Yerusalem, sebagaimana namanya disebut raja Salem, raja damai (Ierosoluma=ieroi, kudus dan Salhm , damai). Fungsi sebagai raja dan imam secara bersama-sama ada pada Melkisedek.[14] Kej 14:18-20, menunjukkan bahwa Melkisedek adalah lebih tinggi dari Abraham dan Lewi, Abraham mengakui keimaman Melkisedek dengan memberikan sepersepuluh dari milik Abaraham kepada Melkisedek, sehingga melki sedek merupakan Imam Allah yang maha Tinggi (kohen el elyon).[15] Mzm 110:4 membuktikan bahwa dengan dia (Melkisedek) ada dimulai suatu peraturan yang baru yang tidak dapat digabung dengan imamat Harun. Melkisedek menyatakan secara tidak langsung pemutusan Hukum dan kultus Yahudi[16]
                Di Babel, pekejaan para imam Yerusalem menjadi hidup kembali. Mereka menjadi pemimpin yahudi setelah embuangan. Mereka juga memberikan makan baru terhadap institusi nenek moyang mereka. Misalnya, tentang hari Sabat, pemberian persembahan, Sunat, dan sebagainya. Hal ini berguna untuk menyatukan komunitas ke dalam sebuah kesatuan yang memiliki komitmen dan sikap yang optimis.[17]
                Pada awalnya Imam  besar secara besama-sama melayani dengan kelompok Imam Abyatar ( 2 Sam 8:17). Namun  dibawah kepemimpnan raja Salomo, ia melakukan  pemecatan terhadap imam Abyatar dari posisinya dari Imam besar, dan mengangkat Zadok sebagai penggantinya ( 1 Raj 1:5-8; 2:35). Namun ada para ahli berpendapat bahwa sebelum Daud merebut Yerusalem,  Zadok telah melayani sebagai Imam di Yerusalem dan ketika Daud merebut Yerusalem ia tetap  memperbolehkan Zadok, Imam di Yerusalem. Jika pendapat ini benar  maka dapat dikatakan bahwa keluarga Abyatar adalah keturunan Lewi yang asli, sedangkan imam-imam dari keluarga Zadok dalam perkembangan selanjutnya dikategorikan atau dihormati sebagai orang-orang lewi juga.[18] Jabatan Imam besar tetap berada pada keluarga  Eleazar sampai pada Zaman Eli yang diturunkan dari  Itamar. Namun kemudian Salomo  memecat  Abyatar (1 Raj 2:26). Demikianlah pelayanan itu kembali ke rumah Eliazar dalam diri Zadok dan  tetap berada pada keluarga Zadok hingga krisis politik yang menyebabkan penurunan Onia III dari jabatannya oleh raja Seleukus Antiokhus Epifanes (kira-kira 174 sM). Setelah itu jabatan Imam besar tidak lagi berdasarkan keturunan namun di tentukan  atau dipilih raja yang memerintah.[19]
                Dengan  demikian  maka jabatan Imam besar  menjadi jabatan yang bersifat politis karena proses pengangkatannya melalui kebijakan politik dari seorang raja yang berkuasa. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa tujuan pengangkatan seorang Imam Besar dapat bersifat dualistik, artinya dipilih untuk kepentingan lembaga kegamaan dan lembaga pemerintahan. Maka kedudukan dan posisi Imam Besar tidak memiliki otoritas yang kuat sebagai pemimpin lembaga keagamaan yang mengkontrol dan mengkritisi pemerintah, sebab raja yang berkuasa dapat sewaktu-waktu mencopot kedudukannya jika tidak bepihak kepada kebijakan pemerintah.
        3.3.Tugas dan fungsi  Imam
                Ada beberapa hal yang menjadi tugas pokok Imam pada zaman sebelum pembuangan yakni:[20]
a.        Memberikan pelayanan di tempat-tempat suci (1 Sam 2 dan 3)
b.        Menyampaikan dan memberikan berkat TUHAN kepada umat (Bil 6:22-26; Ul 10:8)
c.        Menyampaikan Thora atau petunjuk Tuhan kepada umatNya (Yer 8:18; Hag 2:11, Mal 2:6-7)
d.        Memelihara tempat-tempat suci yang dipergunakan sebagai tempat persekutuan/peribadatan dan tempat pelarian[21] (Kel 21;12-14; Bil 35; Yos 21:13-19; 1 Raj 28)
                 Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas tugas utama seorang imam adalah melayani atau memberi pelayanan dihadapan Allah ( Ul 18:5, 7) ini berarti fungsi Imam sebagai wakil atau mediator dalam persembahan kurban,  mengajarkan thorah dan juga fungsinya dikaitkan dengan Urim dan Tumim.[22] Maka fungsi Imam dapat  diperinci sebagai berikut:
        a. Fugsi imam mengajarkan thora
                Thora  adalah pengajaran,  petunjuk atau keputusan ilahi.[23] Atau ajaran-ajaran orangtua dan juga para  bijaksana juga perkataan nabi-nabi (Ams 1:8; 13:14, Yes 8:16;30:9-10). Istilah thora juga  merujuk kepada dekalog dan peraturan-peraturan yang berkaitan  dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangan selanjutnya semua hukum-hukum Musa  disebut sebagai thora (1Raja 2:3) Dalam Yudaisme kemudian yang  disebut sebagai thora adalah semua buku Musa  (Pentateukh). Secara sosiologis fungsi Imam  dalam kehidupan sehari-hari disebut pemberi thora dan undang-undang. Oleh sebab itu  maka  yang menjadi penentuan bahwa setiap perintah, jawaban atau petuah demikain juga anjuran yang dikeluarkan para imam disebut thora (Ul 17;11;33:10; Hos 4:6-10). Melalui pengajaran thora hal ini menunjukkan bahwa Imam telah memelihara kekudusan umat dan bangsa Israel. Di dalam PL, banyak ditemukan hukum-hukum sebagai etika moral yang bertujuan untuk memelihara umat Israel dari kenajisan yang datang dari pengaruh dan ajaran-ajaran agam lain. Sebab  hidup  atau kehidupan bangsa Israel banyak dipengaruhi oleh agama-agama sekitarnya termasuk pengaruh ritus-ritus penyembahan dewa-dewa Baal yang di import dimana hal tersebut bertentangan dengan ibadah Israel yang menyembah Yahweh.[24]
        b. Fungsi imam mempersembahkan korban dan berkat.
                Pada mulanya setiap kepala keluarga dalam umat Israel dapat mempersembahkan korban disamping  imam fungsi utama. Kedudukan  dan fungsi Imam lebih banyak berfungsi sebagai pengawas penggunaan darah dengan tepat.[25] Kemudian dalam perkembangan dan periode selanjutnya,  persembahan korban hanya dilaksanakan oleh imam  di atas mezbah dan para kepala keluarga hanya  membawa binatang persembahan ke Bait Allah dan  teknis pelaksanaan selanjutnya diserahkan kepada para Imam.[26] Sejalan dengan persembahan korban Imam juga memiliki otoritas yang diberikan oleh Allah untuk bertindak sebagai wakil Allah untuk menyampaikan berkat kepada umatnya. Rumusan terahir dari berkat yang harus dilaksanakan seorang imam terdapat dalam kitab Bilangan 6:24-26 disana di katakan :
TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.

                Berkat itu diberikan oleh imam atau Imam besar atas nama Allah  oleh karena Allah sendirilah sumber dari segalanya berkat yang dibutuhkan oleh manusia. Berkat yang disampakan oleh Imam hanya berlaku terhadap orang-orang yang layak menerimanya yaitu orang-orang (Isarel) yang menuruti perintah-perintah dan kemauan Allah.
IV. Kedudukan dan fungsi Imam dalam Perjanjian Baru
                Imam dalam PB  merupakan kelanjutan Imam yang ada dalam PL tugas dan fungsinya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Tugas Imam dalam PB identik dengan tugas imam di PL:
1.        Memimpin umat Israel untuk beribadah kepada Allah  dan berusaha agar peribadahan itu  berlangsung secara benar dan teratur sesuai tata kebiasaan agamawi yang berlaku. Calvin[27] mengatakan bahwa Imam adalah pemimpin yang bertugas sebagai fungsionaris keagamaan. Imam bertujuan sebagai perantara antara Allah dengan umat di dalam pembinaan, pengajaran dan antara umat dengan Tuhan dalam fungsi ibadah.
2.        Memimpin persembahan korban
3.         Sejalan dengan persembahan kurban Imam juga diberi tugas  oleh Allah sebagai wakil Allah untuk menyampaikan berkat kepada umatnya.
4.         Seorang Imam  memiliki tugas untuk mempelajari dan menafsirkan  maksud dari peraturan-peraturan dan hukum-hukum tentang korban persembahan  serta memberikan nasehat-nasehat mengenai teknis pelaksanaan yang  benar dan tepat.[28]
5.        Memperdengarkan Firman Allah di tengah-tengah perkumpulan jemaah.[29]
                Hal yang membedakan kedudukan Imam di dalam PL dengan PB adalah  mengenai  mekanisme pengangkatannya. Di dalam PL pengangkatan seorang imam ditentukan berdasarkan garis keturunan atau secara turuntemurun sedangkan  di PB  pengangkatan Imam ditentukan oleh penguasa yang memerintah pada saat itu.[30]

V. Persembahan
             Perjanjian Lama
            Salaha satu hal yang penting dalam ibadah Israel adalah korban persembahan.[31] Perjanjian Lama tidak memiliki kata umum untuk ‘kurban’ kecuali qorban yang jarang digunakan, artinya yang dibawa mendekat (qrb) dan secara praktis terbatas pada susastra keimaman. Isysyeh mungkin secara umum berarti korban sesuai hukum taurat, tapi diperdebatkan apakah itu tidak harus dibatasi untuk :korban dengan api” (esy)[32]
            Korban persembahan tidak terbatas hanya pada Israel diantara bangsa-bangsa purba (Hak. 16:23; 1 Sam 6:4) banyak kesejajaran yang berasal dari bangsa-bangsa sekitar dikemukakan untuk menjelaskan korban dalam masyarakat Israel.
            Jenis-jenis korban dalam Perjanjian Lama meliputi:
a)  Olah,[33]Korban bakaran yang dihidangkan dalam pesta tertentu dan pengudusan kembali Bait Allah.
b) Isysyeh: Korban api-apian, korban yang dibakar untuk menghormati Allah dan baunya menyenangkan hati TUHAN.[34]
c)  Minkha, Dalam bidang keduniawian kata ini ditejemahkan sebagai hadiah ataupun upeti (1 Raj 4:21). Dalam keagamaan minkha diartikan korban baik dari ternak maupun dari hasil ladang, misalnya dalam Kej 4:3 korban Kain dan Habel keduanya disebut minkha diterjemahkan sebagai “korban persembahan”.[35]
d) Zevakh dan Syelamin,[36] Korban penebus salah atau korban keselamatan
e)  Asyam dan Khatta, Korban Penghapus salah (korban pelanggaran) dan korban penebus dosa, merupakan dari pelanggaran yang harus ditebus yaitu asyam (kesalahan) dan khatta (dosa). [37]
            Konsep persembahan dalam Perjanjian Lama berakar dari janji Allah yang dinyatakan kepada Israel. Allah memberikan perintah kepada Israel supaya mereka memberikan persembahan itu sesuai dengan kehendak-Nya dan selalu dilakukan oleh Umat-Nya. Persembahan itu merupakan pemberian manusia kepada Allah, harus menyatakan ekspresi ibadah spritual antara Allah dan manusia.[38]
            Kebiasaan mempersembahkan kurban tersebar di dunia kuno. Dalam Alkitab sendiri dikatakan bahwa kebiasaan itu sudah kuno, sehingga pada permulaannya pada awal penciptaan manusia, yaitu pada persembahan Kain dan Habel (Kej 4:3, dst). Juga diceritakan dalam Alkitab tentang kurban bapa Leluhur dan tentang kurban yang dipersembahkan negara-negara tetangga disekitar Israel.[39]
            Perjanjian Baru
                Kata yang digunakan dalam persembahan dalam Perjanjian Baru adalah  θύσία, δορον, prosfora, dan yang seasal dengan kata itu anafero, yang diterjemahkan dengan korban, pemberian, persembahan.[40] Dalam Markus 12:33 mengarah kepada korban makanan, holokautoma, korban bakaran, thumiamia, kemenyan, spedo, dituangkan seperti korban minuman.[41]
                Korban-korban dalam Perjanjian Lama masih dipersembahkan dalam Perjanjian Baru (Mat 2:11). Penting dicatat bahwa ada korban yang dipersembahkan pada waktu pertama kalinya ia diserahkan kepada Allah di Bait Suci atau ia sendiri yang mempersembahkan korban pada paskah yang terakhir. [42] Dalam Perjanjian Baru khususnya dalam zaman Yesus, masih ada pemberian persembahan, yaitu Yesus memberi persembahan berupa merpati.
                Dalam Perjanjian Baru, persembahan itu dipakai dalam arti kiasan, korban yang disukai dan karena itu diterima (2 Kor 2:14). Thusia dekte korban yang disukai oleh Allah juga dipakai disini dalam arti kiasan (Luk 4:9; Kis 10:35) Eureston yang berasal dari kata areskein “berkenan”.
            Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan diriNya sebagai persembahan untuk menebus dosa manusia. Yesus mempersembahkan diriNya sekali untuk selamanya (Rm 3:25f; 1 Kor 5:7f; 1Kor 2:18f). Berdasarkan Ef 5:2 makna persembahan mempunyai dua bentuk yaitu: Pertama, kematian Yesus sebagai persembahan perdamaian yang berhubungan dengan iman dalam PL. Kedua, persembahan harus berdasarkan nilai panggilan untuk mengasisi sesama manusia.[43] Dalam perjanjian Baru ada pergeseran makna ritual kultus kepada kultis praktis yaitu tubuh adalah persembahan yang hidup dan kudus. Ini mengarah kepada kultus praktis hidup sehari-hari. Persembahan yang hidup dan kudus sudah dikuduskan oleh Tuhan Yesus Kristus.
VI. Kontinuitas dan Diskontinuitas Imam dan Persembahan

                Secara historis teologis tugas dan fungsi keimaman dalam PL tetap berlanjut di dalam PB. Secara sosiologis dalam PL penekanan tentang kedudukan imam (secara struktur) sangat ditekankan, namun dalam PB hal tersebut tidak ditekankan lagi. Fungsi imam berkaitan dengan mempersembahkan korban. Dalam PL seorang imam yang telah ditabiskan/dilantik(hakkohen hammasyiakh)[44]maka hal yang pertama yang harus dilakukan adalah mempersembahkan kurban penghapus dosa untuk dirinya sendiri.
  Dalam PB istilah imam tidak ditekankan, istilah yang sering dipakai adalah sebutan diakonoi, hupeeretai, presbuteroi (presbyters), dan leitourgoi (pelayan publik), tetapi tidak menyebutkan imam yang mempersembahkan kurban (hiereis). Istilah imam untuk kata hiereus, berasal dari kata  presbuteros, yang memperlihatkan karakteristik untuk istilah imam yang tertulis dalam 1 Kor 9:13 (bnd Bil 18:8). Jadi penakan dalam PB lebih menekankan fungsi dari pada posisi.
Injil tidak menyebutkan Imam kepada Yesus, demikian juga para murid-muridNya tidak mendapat gelar Imam. Namun dalam kitab Ibrani gambaran tentang Yesus sebagai Imam Agung begitu kuat ditekankan. Konsep tentang tradisi Imam dihidupkan kembali oleh surat Ibrani dalam perspektif yang baru. Penulis surat Ibrani menjelaskan bahwa dalam diri Yesus, Dia bukan hanya mengerjakan atau mempersembahkan persembahan sempurna, melainkan menjadi persembahan sempurna itu sendiri (Ibr 10:12). PersembahanNya berlaku secara universal, dan sepanjang masa, tidak seperti persembahan Imam dalam Perjanjian Lama. Yesus menjadi Imam sempurna dan menjadi mediator sempurna antara Allah dan manusia[45]
Imam dalam PL disempurnakan dalam diri Yesus Kristus (Ibr 8:1), yang melaksanakan pendamaian dosa umat (Ibr 2:17). Jika dalam PL persembahan merupakan pemberian sesuatu yang berharga kepada Yahweh (Im 27:30;  Kel 35:4-29;  Bil 18:21), namun dalam PB tidak lagi menekankan tradisi kurban sebagaimana yang  terdapat dalam kitab PL. Semuanya telah digenapi Allah dalam pengurbanan diri Yesus Kristus sebagai persembahan kepada Allah untuk menyelamatkan manusia berdosa (Ibr 9:25-28). Masa kurban PL secara harafiah sudah berakhir dan lewat, Allah telah menolak kurban-kurban yang tidak berguna (Am 5:21-27;  Yer 7:21-28).
VII. Refleksi Teologis
                Yesus adalah tipologi Imam Besar yang sempurna yang menjadi mediator Alllah dengan dunia (kosmos). Yesus menjadi persembahan yang sempurna untuk mendamaikan dan menebus umat yang berdosa. Keberadaan Yesus menjadi kurban persembahan pendamaian dan penebusan.
Persembahan yang benar tidak lagi seperti tradisi dalam PL, namun totalitas hidup. Dalam Surat Paulus Roma 12:1-2, ditekankan bahwa persembahan yang benar adalah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Mempersembahkan tubuh berarti totalitas hidup orang percaya, baik waktu, tenaga, bakat dan seluruh yang ada pada dirinya kepada Allah. Persembahan yang berkenan kepada Allah adalah pemberian dengan sukarela tanpa paksa atau diharuskan dalam jumlah tertentu. Pemberian persembahan dalam gereja secara materi pada saat ini bukan menekankan tentang kuantitas (Maksimal atau minimal), melainkan lebih menekankan pada motivasi (kualitas0 darai orang yang memberikan persembahan. Secara teologis persembahan meruakan “memberikan yang terbaik” oleh sebab itu, maka dalam memberikan persembahan juga perlu “mempersiapkan hati” untuk memberikana persembahan yang terbaik.
Dalam tradisi gereja masa kini, posisi Imam merujuk kepada majelis/Parhalado ( presbuteroj) yang menjalankan fungsi dan tugas keagamaan (menyampaikan pesan moral, spiritual, maupun kegiatan sosial lainnya). Dalam PL tugas Imam selalu berkaitan dengan pelayanan Imam dalam kurban persembahan. Sehubungan dengan itu, pengabdian Parhalado merupakan panggilan untuk mempersembahkan hidupnya dalam melayani umat TUHAN, sebab “jabatan” Parhalado merupakan panggilan dari TUHAN. Sebagaimana yang ditekankan dalam PL tentang kedudukan imam yang khusus serta keteladan Yesus sebagai tipologi Imam Besar yang sempurna, maka kualitas hidup (spiritual dan moral) para imam (Parhalado) merupakan  tuntutan yang mendasar dalam hidup seorang Pahalado.
Secara eklesiologis pemahaman Israel sebagai imam, bahwa jabatan imam harus dipahami secara kolektif, dimana Israel oleh Tuhan menjai “kerjaan imam” (Kel 19:5-6; Ul 4:20; 7:6; 14:2). Secara kontinuitas hal tersebut masih berlanjut samapai PB, dapat dilihat dalam 1 Pet 2:9, demikian juga harus memhami gereja sebagai kerjaan imam, diman gereja ada disana ia memangku jabatan imam. Secara eklesiologis, keluarga adalah merupakan gambaran dari gereja kecil, dan kedudukan orang tua, berfungsi sebagai imam yang mengajrakan firman Tuhan.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar