TEOLOGI KERAJAAN ALLAH
I. PENDAHULUAN
Istilah Kerajaan Allah
merupakan salah satu topik terpenting dalam kitab-kitab injil dan Perjanjian
Baru dan pada umumnya para sarjana dari berbagai aliran teologi yang berbeda
setuju bahwa berita utama yang disampaikan Yesus adalah tentang kerajaan Allah.
Jürgen Moltmann, seorang teolog
pencetus teologi pengharapan (Theology of Hope), menyatakan eratnya hubungan
Yesus dengan berita kerajaan Allah melalui pernyataannya, “Kerajaan Allah
dinyatakan dalam Yesus.”[1]
Hans Küng, seorang teolog Katolik,
juga merumuskan pentingnya kerajaan Allah sebagai pusat proklamasi Yesus dengan
menyatakan, “This seems [Kingdom
of God] is at center of
His proclamation. . . .”[2]
Hal yang sama dikemukakan oleh Jon
Sobrino, seorang teolog pembebasan dan imam Yesuit, “Hal yang paling
penting dari sejarah tentang hidup Yesus adalah bahwa konsep dominan dari
pengajaranNya, dimana realitas aktifitasNya telah memberikan arti bagi seluruh
pelayanNya adalah Kerajaan Allah.”[3]
Teolog pembebasan lain dari kalangan Protestan Choan-Seng Song turut mengklaim
sentralitas kerajaan Allah sebagai inti dari berita Yesus. Mengutip pandangan Güther Bornkamm ia menulis, “ Pemerintahan Allah, kemudian,
dirangkumkan dalam keseluruhan pesan pemberitaan Yesus.”[4]
Bahkan, ia lebih jauh menyimpulkan bahwa identitas Yesus tidak dapat dilepaskan
dari berita kerajaan Allah yang disampaikan-Nya, “It is more than that. All
Jesus said and did has to do with the reign of God.”[5]
Walter Rauschenbusch, bapak teologi
Social Gospel, yang menempatkan kerajaan Allah sebagai dasar berteologinya
untuk menentang konsep eksklusif sempit Gereja sebagai kerajaan Allah menyatakan
pentingnya kerajaan Allah, If theology is to offer an adequate doctrinal basis
for the social gospel, it must not only make room for the doctrine of the
Kingdom of God, but give it a central place and revise all other doctrines so
that they will articulate organically with it. This doctrine is itself the
social gospel. . . . To those whose minds live in the social gospel, the Kingdom of God is a dear truth, the marrow of the
gospel.[6]
David Wenham menyimpulkan bahwa para
sarjana modern yang tampaknya tidak dapat sepakat dalam hampir setiap hal
tentang Yesus, “. . . are nearly unanimous on this one point—that Jesus
proclaimed the coming of the Kingdom.”[7]
Sayangnya, kesepakatan tersebut tidak diiringi dengan kesepakatan yang sama
terhadap definisi dan intensi kerajaan Allah yang disampaikan Yesus.[8]
Nampaknya pemahaman yang
berbeda tentang makna kerajaan Allah menurut Yesus tampaknya didasari oleh
adanya motif tertentu untuk mendukung suatu sistem teologi yang dipegang atau
diyakini agar tampak konsisten dan koheren. Akibatnya, terjadi pengabaian pada
penelusuran makna kerajaan Allah secara historis-biblikal dari Kitab Suci.
Salah satu contoh yang
secara singkat adalah pandangan kerajaan Allah menurut teologi feminisme yang
dikemukakan oleh salah satu tokohnya, Elisabeth
Schüssler Fiorenza. Pada dasarnya fondasi biblika yang dikemukakan Fiorenza bahwa basileia (dia ingin konsisten dengan tetap memakai kata Yunani basileia untuk “kerajaan Allah”) harus
dipahami dalam “. . . etos umum Yahudi pada masanya, dan apabila sejarah dan
komunitas Israel
menjadi fokusnya.”[9]
Sayangnya, fondasi yang apik ini sangat terganggu oleh motif dan keinginannya
untuk menonjolkan cita-cita kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan,
yang sedang diusungnya. Akhirnya, definisi kerajaan Allah yang sebenarnya
sangat luas dan mencakup aspek-aspek yang sangat kaya, disempitkan dengan satu
istilah, “duduk bersama.”[10]
Realitas-realitas yang sama, seperti contoh di atas, dapat pula kita temui
dalam formulasi kerajaan Allah dalam teologi pembebasan, teologi Yesus dan para
murid nya pada lahirnya nampak seperti satu kecil dan permulaan yang tidak
penting untuk satu karya besar. Namun di dalam berabad-abad yang sudah
mengikuti, menyatakan gereja sudah menjadi satu institusi dahsyat, termasuk
berjuta-juta individu. Bagi Gutiérrez,
seorang teolog pembebasan terkenal, kerajaan Allah identik dengan pembebasan
(liberation). Pembebasan yang ia maksud ialah pembebasan dalam tendensi politis
dan sosial, “It can even be said that historical, political, liberating actions
mean the growth of the kingdom. . . .”. Pandangan ini mirip dengan definisi
yang diberikan oleh Reinhold Niebuhr,
“Kingdom of God seemed to be an immanent force in
history, culminating in a universal society of brotherhood and justice”. Ini
berbeda dengan konsep kerajaan Allah,
Küng yang kelihatannya memiliki kemiripan dengan konsep demitologisasi
Bultmann. Ia menekankan transcendental atau heavenly Kingdom yang berbeda dari religio-political theocracy. Satu
artikel yang membahas dengan baik dan cukup panjang lebar tentang perbedaan
pandangan konsep kerajaan Allah antara yang pro dengan konsep otherworldliness
of the Kingdom dengan konsep this-worldly of the Kingdom versi Herbert Braun
serta memberikan implikasinya secara singkat namun padat, adalah tulisan Günter Klein, “The Biblical
Understanding of the Kingdom
of God”. Dengan demikian,
terjadi ketegangan-ketegangan antara nilai transenden dengan imanen, masa depan
dengan masa kini, atau tekanan antara makna institusionalisme
dengan makna am dari kerajaan Allah
tersebut. pengharapan atau bahkan dalam teologi konservatif-injili sekalipun.[11]
Bruce Chilton
mengeritik keserupaan metodologi kaum konservatif dengan teologi-teologi yang
disebut di atas dalam melihat kitab suci, khususnya dalam kaitan dengan tema
kerajaan Allah, melalui pernyataannya: Tempat tersendiri dari para orang
Kristen konservatif dari Kitab injil telah menjadi lebih strategis. Mereka
mengutip Alkitab dan menginstruksikan diri mereka dalam muatannya, akan tetapi mereka juga membatasi
banyaknya maksud/ati yang mereka akan terima dari Kitab Injil. . . . Faktanya
adalah bahwa para fundamentalis mengabaikan maksud/arti yang tidak sesuaikan
dengan teologi mereka[12]
Dari pembahasan awal ini,
dapat disimpulkan bahwa; sedang terjadi bias makna dalam konsep kerajaan Allah.
Meskipun, pada dasarnya, para teolog setuju bahwa konsep kerajaan Allah harus
kembali dilihat dari perspektif Yudaisme,
tampaknya terlalu banyak godaan untuk mengusung motif teologi (atau agenda)
tertentu, yang hasilnya justru sering menjerumuskan dan bukan memperjelas makna
kerajaan Allah. N. T. Wright, seorang
teolog PB injili yang sangat terkenal saat ini, mengeritik kecenderungan ini
dengan menyatakan, “Again, attempts have often been made to align kingdom-language
with church-language, as though ‘the church’ is the real meaning of the
kingdom.”[13]
II. DEFINISI KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN LAMA
Satu-satunya cara untuk
memahami dengan baik pesan atau makna kerajaan Allah yang disampaikan Yesus
adalah dengan melihat kembali konsep ini sedikit ke belakang menurut tradisi
Perjanjian Lama, sebab apa yang disampaikan oleh Yesus bersumber dari
Perjanjian Lama (bdk. Mat. 5:17-19). Lagi pula, konsep kerajaan Allah itu tentu
tidak asing bagi kalangan Yudaisme saat itu yang memang erat memegang
Perjanjian Lama.
Pada umumnya, para ahli
setuju bahwa konsep kerajaan Allah yang berkembang dalam Yudaisme bukan dalam
makna area kekuasaan atau sebuah teritorial dengan seorang raja yang
memerintah di atasnya.[14] Kerajaan Allah juga tidak boleh dipahami
dalam pengertian modern seperti halnya kekaisaran Jepang atau konsep kerajaan
Inggris (Kingdom), karena frasa ini bertendensi simbolik saja. Sekarang ini,
seorang Ratu di kerajaan Inggris atau Kaisar di Jepang, tidak lagi mempunyai kuasa
apapun untuk memerintah. Kekuasaan politik atau militer sepenuhnya terletak
dalam tangan seorang Perdana Menteri. Ia hanya menjadi penguasa simbolik untuk
mempertahankan tradisi kuno yang sudah hampir terkikis habis oleh tuntutan
sistem demokrasi-liberal modern. Ambiguitas inilah yang menyebabkan banyak
kalangan yang kurang sepakat dengan istilah Kingdom of God,
dan lebih setuju dengan terminologi Reign of God.[15]
Kata Ibrani untuk kerajaan
adalah malkuth. Seorang ahli
Perjanjian Baru, C. H. Dodd mengatakan
bahwa malkuth merupakan kata benda
abstrak yang dapat berarti: kemerajaan
(kingship), kuasa pemerintahan
(kingly rule), pemerintahan (reign) atau kedaulatan (sovereignty). [16]
Secara sederhana, ia mengartikan the
malkuth of God (kerajaan Allah) sebagai: “God reigns as King” atau
bertakhtanya Allah sebagai raja.[17]
Dengan demikian, frasa
kerajaan Allah dapat diartikan, “. . . the idea of God, and the term ‘kingdom’
indicates that spesific aspect, attribute or activity of God, in which He is
revealed as King or sovereign Lord of His people, or of the universe which He
created.”[18] Kaufmann Kohler, seorang teolog Yahudi
memberikan definisi lain namun serupa (dan menguraikan secara lebih jelas
tentang King of the universe yang dipaparkan Dodd), “Reign or sovereignty of
God as contrasted with the kingdom of the worldly powers. The hope that God
will be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expound
in prophecy and song.” (Kedaulatan atau pemerintahan
dari Tuhan seperti yang dibandingkan dengan kerajaan kuasa-kuasa duniawi. Tuhan
itu adalah harapan dan menjadi Raja di atas semua bumi, bila semua pemujaan
berhala akan dibuang, apakah menguraikan terperinci di dalam nyanyian dan
nubuatan)[19]
Dari dua definisi ini
terlihat satu pengertian yang sama bahwa kerajaan Allah sama sekali tidak
menunjuk kepada sebuah lokasi atau tempat yang istimewa dan penuh dengan
kebahagiaan (seperti gambaran surga yang banyak dipahami orang Kristen selama
ini) melainkan menunjuk kepada pemerintahan Allah atas umat-Nya dan atas
semesta ciptaan-Nya, yang berbeda bahkan bertolak belakang dari pemerintahan
dunia ini. Dalam hal ini dapat dipahami pandangan John Meier, seorang teolog Katolik, yang mempertegas bahwa definisi
ini berlaku untuk menunjukkan relasi yang erat antara Allah sebagai Raja dengan
umat sebagai hamba-hamba yang diperintah-Nya, bukan dalam pengertian suatu
cakupan teritorial, “Hence his action upon and his dynamic relationship to
those ruled, rather than any delimited territory, is what is primary.”[20]
Dalam sejarahnya, konsep the kingship of YHWH mengalami
perkembangan yang signifikan. Sejarah the kingship of YHWH sebenarnya telah
ditulis sejak Taurat. [21]
Melalui pujian umat dalam Keluaran 15:18, setelah mereka berhasil lolos dari
kejaran bala tentara Mesir lewat peristiwa spektakuler yang dilakukan YHWH di
depan mata mereka, termaktub dengan jelas pengakuan bahwa hanya Dia yang layak
untuk memerintah mereka selama-lamanya. Pengakuan mereka ini kemudian
ditahbiskan lewat kovenan Sinai, di
mana mereka diangkat dari antara segala bangsa menjadi “kingdom of priest (kerjaan imam),” kerajaan imam, kerajaan di mana
Allah memerintah dan umat patuh serta melayani-Nya (Kel. 19:4- 6; bdk. Ul.
33:5).[22]
Dalam perkembangan
selanjutnya, terjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Umat ternyata meminta
raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:6-22).[23]
Tindakan demikian sama saja dengan pemberontakan terhadap sistem teokrasi
mutlak yang telah dideklarasikan Allah di Sinai melalui Musa, hamba-Nya.[24]
Perjalanan berikutnya menyebutkan Tuhan “memaklumi” hal ini (1Sam. 12), namun
aturan main yang ditetapkan adalah sang raja terpilih tidak punya kedaulatan
atas umat.
Dalam hal ini, ditenemukan
satu masalah pelik yang ada di balik konsep kerajaan Allah. Apakah ada dua
kerajaan di dalam kerajaan Allah: kerajaan yang bersifat spiritual-teokratis
(dipimpin oleh YHWH) dan kerajaan yang bersifat politis-monarkis (dipimpin oleh
raja-manusia)? Masalah ini tidak mudah namun menjadi titik berangkat penting
yang pada akhirnya membawa kita memahami makna kerajaan Allah versi Yesus.[25]
Masalah ini hanya dapat
dipecahkan jika kita kembali melihat dua ayat yang sudah disebutkan sebelumnya:
Keluaran 19:4-6 dan Ulangan 17:14-20. Di dalam Keluaran 19:4-6, Allah
mendeklarasikan kerajaan Allah yang diistilahkan-Nya: kerajaan imam.[26]
Dalam hal ini kita setuju dengan komentar John
I. Durham terhadap Keluaran 19:6 yang menyatakan bahwa makna kerajaan imam
ini tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang melekat dan melatarbelakangi
konsep ini yakni “harta kesayangan” dan “bangsa yang kudus,” yang merupakan
dwitunggal penting dalam kovenan YHWH dengan Israel.[27]
Sebagai “harta kesayangan,” Israel “. . . become uniquely Yahweh’s prized
possession by their commitment to him in covenant,”[28]
dan sebagai “bangsa yang kudus,” Israel: . . . then represents a third
dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are to be a
people set apart, different from all other people by what they are and are
becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant
with Yahweh changes a people.[29]
Dengan demikian, sebagai
kerajaan imam, Israel, “. . . was always supposed to be: a kingdom run not by
politicians depending upon strength and connivance but by priests depending on
faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling nation.”[30]
Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa maksud YHWH mendirikan kerajaan-Nya [31]
di tengah-tengah Israel, bukan untuk membentuk suatu dinasti monarki-ekslusif
(apalagi fasis) yang paling jaya, paling kuat dan paling superior tanpa dapat
ditandingi bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti eskpansi militer model
Nebukadnezar dari Babel, Koresy dari Persia atau Aleksander Agung dari Yunani.
Ia menghimpun dan mengangkat Israel
untuk masuk dalam kerajaan-Nya hanya demi satu tujuan: menjadi model atau
patron bagi bangsa-bangsa kafir di sekitarnya tentang bagaimana hidup taat dan
beriman kepada YHWH agar mereka pun pada akhirnya hanya me-Rajakan-Nya. Dari
pembahasan ini, ada tiga poin pokok yang menjadi inti kerajaan imam versi
Sinai: pertama, YHWH sebagai
inisiator; kedua, kekudusan sebagai
fokus utama dan ketiga, Israel
sebagai umat kesayangan YHWH, yang tujuan utamanya bukan untuk membentuk suatu
umat yang ekslusif dan superior tetapi suatu umat yang inklusif, di mana
kerajaan itu pada akhirnya tidak hanya mencakup Israel tapi seluruh kosmos.
Konsep ini makin lengkap
jika mencermati Ulangan 17:14-20. Pandangan yang dapat dirumuskan bahwa bagian
ini menegaskan antisipasi YHWH akan kemungkinan terbentuknya suatu bentuk
pemerintahan monarki dalam umat.[32]
Dengan demikian, YHWH tidak sepenuhnya menolak konsep raja-manusia,[33]
tetapi YHWH menetapkan aturan main yang jelas, sebab kecenderungan terjadinya
pelanggaran terhadap ketetapan kerajaan imam yang telah dideklarasikan di Sinai
sangat besar. Ayat 16-17 menjelaskan tiga hal yang dapat mengancam kerajaan
imam-Nya: pertama, jangan memelihara
banyak kuda. Sudah menjadi kenyataan bahwa saat itu kuda merupakan lambang atau
simbol kekuatan militer. Kejayaan suatu bangsa salah satunya diukur dari berapa
banyak pasukan berkuda yang dimiliki (bdk. Kel. 14:23; 2Taw. 16:8; Mzm. 20:7;
Hab. 1:8). Durham, melalui kutipannya terhadap
pandangan Mowinckel, bahkan mengatakan bahwa pasukan berkuda merupakan simbol
perlawanan kepada Allah.[34]
Kedua, jangan beristri
banyak. Larangan ini tidak dapat dimengerti jika dipandang dari pandangan orang
modern yang sering mengaitkan hal ini dengan persoalan moral-etis sebuah
pernikahan. Dalam konteks politik dunia timur dekat kuno saat itu, perkawinan
berkaitan dengan ikatan politik satu bangsa dengan bangsa lain dan ikatan
politis saat ini tidak semata bertendensi relasi diplomatis seperti sekarang
ini, tetapi pasti ada unsur perkawinan religius (bdk. dengan kegagalan Salomo
[1Raj. 11:4-8]). Christensen
menjelaskan ekses buruk dari pola ini dengan sangat baik, “. . . which has been
a center for political power and intrigue from its inception.”[35]
Ketiga, jangan mengumpulkan emas dan
perak yang banyak. Larangan ini bertujuan menghindarkan Israel dari bersandar pada kekuatan
ekonomi seperti yang kerap dilakukan bangsa-bangsa kafir.
Jadi, jelas ketiga larangan
yang diajukan YHWH sebagai prasyarat rajamanusia berdasar pada tiga hal yang
berpotensi menggagalkan Israel
menjadi sebuah kerajaan imam, yakni kekuatan militer, politik dan ekonomi.[36]
Berbagai hal yang selama
ini dianggap “keberhasilan” Salomo (1Raj. 10:14-28) nampaknya justru merupakan
awal dari kegagalannya. Perhatikan konteks selanjutnya dari bagian ini
1Raja-raja 11-12. Penilaian positif yang diberikan kitab penulis-penulis kitab Deuteronomistik
kepada harta kekayaan Salomo selalu hanya dikaitkan dengan perhatian yang
serius dari Salomo untuk membangun Bait Allah. Emas dan perak dalam arti
positif senantiasa dikaitkan dengan persembahan untuk Bait Allah (bdk. 2Taw.
9:24). Dalam perjalanan kerajaan Israel Selatan, beberapa raja jatuh karena
tiga persoalan ini, misalnya: Yoas yang jatuh karena menyerahkan emas dari
rumah Tuhan demi jaminan keamanan dari Hazael, raja Aram (2Raj. 12:17-18); Raja
Asa mengeluarkan emas dan perak untuk mengadakan persekutuan militer dengan
Benhadad, raja Aram (2Taw. 16:2-3); Hizkia yang mempertontonkan emas, perak,
persenjataan dan berbagai hartanya pada para utusan Babel untuk kerjasama
membangun kerjasama politik dan militer demi mencegah ancaman Asyur (2Raj.
20:12- 21).
Atas dasar ini baru dapat
dipahami dengan lebih tepat perasaan tertolak YHWH dalam 2 Samuel 8:7, tatkala
umat meminta seorang rajamanusia. Jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya mereka
inginkan bukan sekadar seorang rajamanusia, tetapi lebih jauh mereka ingin menginstitusionalisasi suatu kerajaan
monarki baru yang ekslusif, yang pada akhirnya mengizinkan pembangunan kekuatan
militer, politik dan ekonomi yang kuat demi kelanggengan eksistensi diri.[37]
Sikap ini tentu sama saja dengan menolak konsep kerajaan imam yang telah
dideklarasikan-Nya bagi mereka. Pasca kejatuhan Saul, YHWH ingin merestorasi
cita-cita kerajaan imam ini melalui Daud dan keturunan-Nya. Formulasi janji
YHWH kepada Daud dalam 2 Samuel 7:1-17, tetap memuat inti deklarasi kerajaan
imam Sinai yakni ketaatan kepada-Nya (2Sam. 7:14) dan jangan lupa, konteks
bagian ini adalah rencana pembangunan Bait Allah yang menjadi sentral ibadah
umat, persis seperti Sinai yang merupakan pusat ibadah umat ketika berada di padang gurun setelah keluar
dari Mesir (bdk. Kel. 3:12, “. . . kamu akan beribadah kepada Allah di gunung
ini”). Da[at juga dibandingkan dengan respons Daud dalam 2 Samuel 7:22-26 yang
turut menyatakan bahwa Israel
ada untuk-Nya dan bukan sebaliknya; dengan kata lain Daud hanya mengagungkan
eksistensi-Nya sebagai sang Raja sebenarnya.[38]
Formulasi yang sama juga
termaktub dalam 1Raja-raja 9:5-6. Khusus dalam bagian ini, ada satu konteks
menarik yang dipaparkan. Janji peneguhan kerajaan Salomo dibarengi dengan
syarat ketaatan mutlak dari Salomo dan semua keturunannya kelak (1Raj. 9:6).
Ketidaktaatan mereka akan membawa: pertama,
kehancuran kerajaan; kedua,
pembuangan (9:7) dan ketiga,
kehancuran Bait Allah sebagai pusat ibadat (yang baru saja diresmikan) (9:8).
Indahnya, semua ini disimpulkan dalam pengulangan kisah kovenan Sinai sebagai
perekat utama, “Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan Tuhan, Allah
mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir. . . .” (9:9).
Dari sini, dapat disimpulkan: pertama,
Raja sesungguhnya adalah YHWH. Setiap raja Israel harus takluk dan tunduk di
bawah otoritas-Nya. Ia adalah pengendali
sejati dari sejarah Israel;
kedua, setiap tindakan atau sikap
yang hendak “mengkudeta” kerajaan imam yang ditetapkan-Nya akan dibayar dengan
sangat mahal. Hukuman pasti tiba: hancurnya kerajaan, pembuangan dan robohnya
Bait Allah. Kebalikannya, khususnya pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan,
umat benar-benar akan diyakinkan bahwa kerajaan Allah telah hadir, dan Ia
kembali bertakhta di Sion, melalui tiga tanda konkret: (1) restorasi dinasti
Daud (hadirnya Mesias);[39]
(2) dibangunnya kembali bait Allah dan; (3) kembalinya umat dari pembuangan
untuk menyembah Dia yang berimbas pada konsekuensi musuh-musuh pasti akan
ditaklukkan. Dari penelusuran ini, dilihat ada progresifitas konsep dari
kovenan Sinai kepada perjanjian dengan Daud dan Salomo. Namun, di sisi yang lain ada kecenderungan yang
berbahaya bagi umat dari perkembangan konsep ini. Hal yang paling berbahaya
adalah mulai munculnya nasionalisme sempit karena salah menafsir tiga poin
pokok di atas.
Sehubungan dengan itu maka
dapat disebutkan bahwa setiap idealisme pada masa Daud, dan seterusnya pada
masa pasca-pembuangan, harus dilihat dari cita-cita kerajaan Allah kovenan
Sinai. Penekanan ketiga dari kerajaan imam Sinai, Israel
sebagai umat kesayangan YHWH, sering dipandang sebagai poin penting untuk
melegalisasi perang suci (mungkin seperti pasukan crusade Kristen), apalagi
setelah berulang kali mengalami kepahitan pasca-pembuangan. Dari stand-point
ini baru dapat dimengerti dengan jelas kontroversi seputar pertentangan Yesus
dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.
III. KERAJAAN
ALLAH DALAM PERJANJIAN BARU
Dari pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa kerajaan Allah
dalam Perjanjian Lama merupakan panggilan imamat bagi Israel untuk masuk dalam ketaatan
mutlak kepada YHWH dan menjadi model bagi bangsa-bangsa kafir. Bukan itu saja,
mereka bahkan dipanggil menjadi agen utama ilahi untuk menunjukkan kepada
bangsa-bangsa kafir bagaimana hidup me-rajakan Dia dalam kesucian dan kekudusan
agar mereka pada akhirnya juga hanya menyembah YHWH. Wright menyatakan hal ini dengan kalimat yang sangat indah: . . .
the creator God had purposed from the beginning to address and deal with the
problems within his creation through Israel. Israel
was not just to be an “example” of a nation under God; Israel was to be the means through
which the world would be saved.[40]
Konsekuensinya sederhana: Israel
dipanggil untuk meninggalkan segala bentuk upaya mengikuti pola-pola kerajaan
kafir yang ada hanya demi kelanggengan eksistensi dan institusi mereka; dan
sebenarnya inilah berita kerajaan Allah yang Yesus bawa: bertobat dari segala agenda-agenda kelompok atau golongan dalam
menghadirkan kerajaan Allah yang sebenarnya hanya mengikuti pola-pola bangsa
kafir.[41]
Sayangnya, pada masa Yesus cita-cita kerajaan imam ini terdistorsi. Berbagai
kalangan bermunculan dan berupaya untuk menafsirkan makna kerajaan Allah
berdasarkan cita-cita golongan mereka. Tujuannya satu: kelanggengan eksistensi
kerajaan Israel.
Golongan yang pertama adalah mereka yang bergerak dalam perjuangan secara
revolusioner. Konteks pembuangan dan penjajahan yang dialami umat Israel
secara silih berganti membuat menjamurnya gerakan-gerakan ini. Kelompok yang
kebanyakan dimoderasi oleh kaum Zelot ini menggencarkan cita-citanya dengan
mencaplok doktrin kerajaan Allah untuk mendapatkan dukungan luas. Semboyan
mereka adalah, “No King but God!”[42]
Golongan kedua adalah kaum esenit yang terkenal dengan gaya hidup asketisnya yang mempunyai
penafsiran sendiri terhadap kerajaan Allah. Mereka terlalu menekankan aspek
ritual dan kesucian etis sehingga akhirnya mereka menjadi kaum escapist yang
“suka” melarikan diri dari dunia nyata. Wright
menamakan golongan ini dengan sebutan kelompok quietist yang memiliki semangat, “. . . separate yourself from the
wicked world and wait for God to do whatever God is going to do.”[43]
Bagi mereka, kerajaan Allah ada dalam dimensi keheningan dan kesendirian jauh
dari orang-orang kafir, sesat dan berdosa.[44]
Golongan terakhir berasal
dari kalangan istana, Herodes. Orang ini punya “penyakit” messianic syndrome sehingga rela untuk melakukan kompromi-kompromi
politik kotor. Dengan modal uang banyak dan posisi strategis, ia membangun
segala sesuatu yang diperlukan (kota
benteng, istana dan Bait Allah yang megah) untuk melegalisasi dirinya sebagai the coming king. Lahirnya
golongan-golongan ini membuat konsep kerajaan imam YHWH di Sinai ditinggalkan.
Ketiga konsep yang umum berkembang di Palestina pada zaman Yesus seperti di
atas tidak sejalan dengan konsep kerajaan imam Sinai. Itu sebabnya tidak satu
pun dari pola itu sejalan dengan pandangan Yesus. Yesus memberikan pemaknaan
yang kontras dan beroposisi dari konsep kerajaan Allah yang umum dianut saat
itu. Ia mengajak setiap pendengar dan pengikut-Nya untuk melihat kembali makna
kerajaan imam yang telah dideklarasikan YHWH bagi Israel
dan memanggil mereka untuk percaya dan bertobat serta mengikut Dia untuk
menjadi Israel yang sejati
(the real Israel): Israel
yang memancarkan ketaatan mutlak kepada YHWH.[45]
Beberapa tindakan dan
perkataan Yesus dapat merepresentasikan semangat kerajaan imam Sinai ini
adalah:[46]
Pertama, Yesus merepresentasikan
tindakan YHWH sebagai inisiator perjanjian.[47]
Dalam teologi perjanjian di dunia timur dekat kuno, tujuan perjanjian (kovenan)
adalah ketaatan. [48]
Poin ini sangat tampak dari ajakan berulang-ulang yang disampaikan-Nya untuk
taat kepada-Nya.[49]
Dalam hal ini, Yesus mengasosiasikan tindakan yang biasa dilakukan YHWH pada
masa lampau kepada Israel
dengan tindakan-Nya. [50]
Kedua, Yesus merepresentasikan
tindakan YHWH untuk membentuk suatu umat yang kudus bagi-Nya. Salah satu
tindakan yang sangat tampak adalah peristiwa penyucian Bait Suci sebagai pusat
ibadat umat.[51]
Hal lain yang memuat berita pembentukan umat yang kudus adalah berita
pembenaran dan penghakiman yang berulang-ulang ditekankan Yesus.[52]
Ketiga, Yesus menunjukkan diri
sebagai YHWH yang datang untuk mengasihi kembali umat-Nya dengan tujuan supaya
umat menyampaikan kasih itu kepada segala bangsa.[53]
Ide ini biasanya dikaitkan dengan kontras terang (umat Allah)[54]
dengan gelap (umat Iblis).[55]
Dan menariknya, Yesus kembali mengasosiasikan diri-Nya sebagai terang, julukan
yang hanya pantas disandang YHWH.[56]
Pokok tentang kerajaan imam ini, kemudian juga disampaikan oleh Petrus (1Pet.
2:9). Dalam konteksnya, jelas Petrus ingin menyatukan konsep kerajaan imam
dengan pribadi Yesus (lih. ay. 4-8).[57]
Dari pembahasan ini,
penulis berkesimpulan bahwa berita kerajaan Allah yang disampaikan Yesus yang
menuai banyak kontroversi dari orangorang sezaman-Nya, tidak hanya disebabkan
karena berita itu berbeda dengan berita kerajaan Allah yang umum berkembang
saat itu. Lebih jauh, Yesus sedang mendeklarasikan diri sebagai Sang Pembawa
kerajaan Allah itu sendiri, dan konsekuensi logisnya jelas bahwa berita
kerajaan Allah itu tidak dapat dilepaskan dari pribadi Sang Pembawa, seperti
yang dikatakan Wright, “Equally important, it [kingdom of God] could never be
divorced from the person and deeds of the proclaimer.”[58]
Kesimpulannya jelas: Yesus adalah YHWH sendiri; Dia adalah Sang Raja yang
kekal, yang harus ditaati! Maka benarlah kata-kata Marcion seperti yang penulis kutip di atas, “In evangelio est Dei
regnum Christus ipse” (dalam injil, kerajaan Allah adalah Kristus sendiri).
Konsep kerajaan Allah
tidak pernah berbicara tentang sebuah teritorial atau daerah dengan sebuah
sistem politik dan struktur birokratis di dalamnya. Kesimpulan penulis dari
pembahasan ini ialah bahwa kerajaan Allah yang dimulai dengan deklarasi
kerajaan imam Sinai berfokus pada Pribadi Agung yang dinobatkan sebagai Raja,
Yesus Kristus. Di dalam Dia, seluruh perjalanan sejarah dunia mencapai
klimaksnya. Di dalam Dia, surga dan bumi yang dulunya terpisah karena dosa dan
pemberontakan manusia, disatukan kembali. Di dalam Dia, Allah berkenan menerima
manusia kembali untuk menjadi umat-Nya yang kudus. Di dalam Dia, umat baru itu:
sebuah imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,
dipanggil untuk meninggalkan apa pun juga, untuk taat dan menyaksikan kebesaran
kemuliaan-Nya kepada segala makhluk dan seluruh isi semesta ini.
IV. PENAMPAKAN
KERAJAAN ALLAH DALAM ASPEK KEKINIAN DAN
MASA YANG AKAN DATANG
Di dalam Injil dapat dilihat bahwa Yesus datang untuk
menyampaikan berita bahwa kerajaan Allah sudah dekat (Matius 4:17, Markus
1:2-3, 14-15, Lukas 4:14-21, 43). Gordon
Fee dalam tulisannya “The Kingdom of God”, mengatakan bahwa: “kesaksian
universal dari tradisi Injil Sinoptik adalah bahwa tema yang benar-benar utama
dalam misi dan pesan Yesus adalah ‘kabar baik kerajaan Allah’.[59]”
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selama ini adalah apa yang dimaksud
Yesus dengan “Kerajaan Allah” itu. Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus
melalui aspek-aspek :
a) Soteriologis,
kerajaan Allah menyatakan mengenai Allah yang menyelamatkan berpangkal dari
keadaan dosa, sesuatu yang negatif, dan Allah datang untuk mengatasinya. Namun
keselamatan yang dimaksud Yesus bukan hanya keselamatan yang bersifat rohani
tetapi juga jasmani, untuk semua orang tanpa membedakan, dan dengan
mendahulukan mereka yang paling menderita/jauh dari keselamatan.
b) Kristologis,
kerajaan Allah berhubungan erat dengan seorang pribadi yang bernama Yesus (Luk
11:20)
c) Eskatologis,
kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus sudah dimulai tetapi belum penuh
d) Teologis,
kerajaan Allah dimaklumkan dengan gambaran tentang Allah yang baru. Allah
adalah abba (bapa tercinta).
e) Religio-politis,
basilea uteum, kata yang dipakai untuk kerajaan Allah yang diberitakan
Yesus sama dengan kata yang dipakai imperium Romawi untuk menyebut kerajaan
Romawi.
Yang menarik perhatian adalah gambaran kerajaan Allah
dari aspek eskatologis. Pertanyaan mengenai apa makna kerajaan Allah itu
melahirkan pertanyaan selanjutnya, yaitu apakah kerajaan Allah itu sudah hadir
saat ini, ataukah itu merupakan sesuatu yang ada di masa depan, yang masih
harus dinantikan. Berpikir bahwa kerajaan Allah itu sudah hadir saat ini
menimbulkan masalah ketika bertemu dengan teks-teks Perjanjian Baru yang
berbicara mengenai kedatangan akhir zaman, yang masih akan terjadi (Mat 24:36,
Mrk 13:32), dan juga ketika bertemu dengan kenyataan bahwa manusia masih saja
bergumul dalam penderitaan dan dosa-dosanya, yang seharusnya sudah tidak ada
lagi karena kerajaan Allah sudah hadir. Akan tetapi, berpikir bahwa kerajaan
Allah belum hadir dan merupakan suatu pengharapan yang akan terjadi di masa
depan, menimbulkan masalah juga ketika bertemu dengan teks-teks Perjanjian Baru
yang menyatakan sukacita kedatangan atau hadirnya kerajaan Allah dalam kehidupan
pelayanan Yesus. Oleh karena itu, ungkapan “akhir zaman belum tiba tetapi zaman
akhir sudah tiba” memberikan jawaban bagi pergumulan teologis. Kerajaan Allah
dikatakan oleh Fee juga, merupakan
“both a future event and a present reality”, suatu peristiwa yang akan terjadi
di masa depan dan juga suatu realita masa kini [60] .
Kerajaan Allah telah dinyatakan (inaugurated)
dalam Yesus Kristus, namun pemenuhan/penggenapan sempurnanya merupakan sesuatu
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan pengertian ini maka dapat
dipahami bahwa kerajaan Allah tidak bisa didentikkan dengan suatu keadaan di
masa kini, seperti misalnya suatu teokrasi, atau bahkan gereja, karena
pemenuhan/penggenapannya bukanlah pada masa sekarang ini. Namun dengan
pengertian ini juga, ada alasan untuk bersukacita dalam keselamatan yang
diberikan oleh Allah bagi manusia, dan juga bersukacita dalam pengharapan akan
penggenapan janji Allah akan kerajaan-Nya, yaitu ketika “Ia akan menghapus
segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada
lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang
lama itu telah berlalu.” (Wahyu 21:4). Dengan pengertian ini justru membuat
sukacita menjadi penuh, karena menyadari bahwa kita hidup dalam “time between
times”, di belakang dan di masa kini adalah pernyataan kerajaan Allah dan di
masa depan adalah pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah.
Dengan memperoleh pengertian mengenai “kapan”
kerajaan Allah hadir di dunia ini, membawa kita pada pemahaman berharga yang
sangat membantu kita dalam pergumulan
untuk memahami kerajaan Allah yang diberitakan Yesus. Memahami bahwa akhir
zaman belum tiba tetapi zaman akhir sudah tiba, memberikan pengertian kepada
kita mengenai pentingnya sikap aktif untuk berpartisipasi dalam karya kerajaan
Allah di dunia ini. Artinya setiap orang yang percaya pada kebenaran
eskatologis kerajaan Allah ini akan menjadi orang yang terus memperjuangkan
perubahan menuju pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah itu.
Dari sini kita memahami bahwa kerajaan Allah bukanlah
tentang apa yang Allah lakukan/kerjakan sementara manusia menanti dengan pasif,
dan bukan juga tentang apa yang harus manusia kerjakan/perjuangkan sementara
Allah menyaksikannya dari jauh. Kerajaan Allah, seperti yang dikatakan Bruce
Chilton dan J.I.H. McDonald dalam Jesus and Ethics, adalah performative[61].Itu
adalah performance Allah di mana kita dengan aktif turut serta
berpartisipasi.
Dalam sukacita kerajaan Allah yang sudah hadir di
tengah dunia, dan dalam pengharapan akan pemenuhan kerajaan Allah yang akan
datang, kita dipanggil untuk turut aktif berpartisipasi/mengambil bagian dalam
karya kerajaan Allah itu. Memahami panggilan ini membawa kita kepada pemahaman
baru mengenai aspek-aspek lain dari kerajaan Allah yang diberitakan Yesus yang
disebutkan di depan tadi. Dalam aspek soteriologis misalnya, kita dapat
bersukacita karena keselamatan sudah datang, namun kita juga tidak bisa berpuas
diri dan berpangku tangan saja, melainkan dipanggil untuk turut berpartisipasi
memberitakan tentang Yesus Kristus yang membawa berita kerajaan Allah yang
menyelamatkan itu. Berita itu harus disampaikan kepada semua orang, dengan
memulai dari mereka yang terjauh dari keselamatan, yaitu mereka yang paling
menderita. Namun berita itu juga bukan sekedar berita rohani/spiritual, tetapi
juga berita keselamatan jasmani, karena itu kita tidak bisa menutup mata
terhadap penderitaan jasmani yang dialami oleh sesama manusia di sekitar saya.
Membawa kerajaan Allah kepada mereka melalui tindakan nyata juga merupakan
wujud partisipasi saya dalam kerajaan Allah yang sudah hadir dan akan datang
itu.
V. KESIMPULAN DAN REFLEKSI MASA KINI
Dari pemaparan di atas,
penulis berkesimpulan bahwa istilah kerajaan Allah pertama-tama harus dilihat
kembali dalam konteks dari mana istilah itu berasal yakni Yudaisme yang tentu
saja tidak dapat dilepaskan dari Perjanjian Lama sebagai sumber utama tradisi
Yudaisme. Kedua, dalam pemahaman Yudaisme, kerajaan Allah tidak pernah secara
khusus berbicara dan mengacu dengan “dunia lain” yang tidak punya kait-mengait
dengan dunia kita saat ini. Bertitik tolak dari
Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:10,
“datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Dengan
demikian, kerajaan Allah juga berbicara tentang masa kini dan sekarang,
bukan hanya esok dan masa akan datang.
Oleh sebab itu kerjaan
Allah langsung menghubungkan dengan hal kehendak Allah. Ketika Yohanes
Pembabtis memproklamirkan kerjaan itu, maka penekanannya dalah perwujudan
tindakan Allah yang berdaulat ditengah-tengah uman manusia. Maka pemahaman
kerajaan Allah bukan berorientasi pada ruang lingkup, tempat allah, namun
pemahaman Kerajaan sebagai suatu yang bersifat dinamis.[62]
Sejalan dengan pembahasan
sebelumnya, kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau
sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada
Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut disembah oleh segala
makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil untuk
men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap aspek
itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya
menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari
makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa kerajaan Allah
pertama-tama dan terutama berbicara tentang citacita eskatologis bahwa Kristus
adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan
menyembah-Nya (Fil. 2:10-11; Kol. 1:15-18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar