TEOLOGI
SOSIAL BERBASIS DIAKONIA SOSIAL
I. Pendahuluan
Titik
berangkat teologi adalah realitas-realitas sosial karena tindakan-tindakan
ketidakadilan secara khusus ketidakadilan di dalam sisitem-sistem ekonomi,
sosial dan politik yang kemudian mengakibatkan bentuk-bentuk penderitaan,
kemiskinan, marjinalisasi pada orang-orang lemah.[1]
Teologi sosial senantiasa berkaitan dengan keberpihakan pada kaum marginal. Lebih tajam teologi sosial menyoroti
apa dampak dari kemiskinan dan bagimana kemiskinan itu bisa terjadi. Salah satu
faktor yang melahirkan kemiskinan adalah struktur sosial. Sistim telah dicipta
untuk melakukan “penindasan” oleh para penguasa dan pemilik modal. Sistim yang
berjalan melalui peraturan dan perundangan nampaknya berjalan dalam koridor
kebenaran, namun pada hakikatnya adalah terjadi “praktek perbudakan” (eksploitasi
ekonomi) bagi kaum lemah dan minoritas. Perbudakan oleh sisitim meliputi
seluruh dimensi kehidupan manusia, baik sosial ekonomi, agama, politik, dan
sebagainya.
Pokok penting tentang Keluaran dari Mesir yang
meletakkan dasar berdirinya umat Israel oleh kuasa perbuatan TUHAN sehingga
Israel lahir sebagai umat TUHAN. Pembebasan adalah untuk perayaan (beribadah),
dimana beribadah selalu berjalan dalam proses pembebasan. Keluaran dari Mesir
menjadi pokok pujian bagi bangsa Israel di dalam kebaktian yang pada umumnya
dilakukan dan pada masaraya Paskah. Demikian juga dalam peranan pokok tersebut
terdapat juga di dalam rumusan kepercayaan umat Israel yaitu Credo (Pengakuan
Iman) di mana munculnya pernyataan ilahi, yaitu “AKUlah TUHAN, Allahmu yang
telah membawa engkau ke luar dari Mesir” dan perbuatan Allah dalam kehidupan
bangsa Israel yang telah melakukan pembebasan dari perbudakan (Ul 26:5-9).
Gereja
mewujudkan secara konkret perutusan pembebasan terhadap kemiskinan, dimana
sikap netral gereja yang turut melanggengkan status quo kemiskinan. Oleh karena
itu perlu kehadiran baru gereja ditengah sejarah yang merepresentasi jati
dirinya sesuai semangat injili. Menurut Gutierrez, gereja harus memaklumkan
pesan injili yang mendahulukan Kerajaan Allah untuk kaum miskin.[2]
Misi “pembebasan” secara eklesiologis dan teologis merupakan tugas dan tanggungjwab gereja. Demikian halnya
kehadiran gereja yang memperlengkapi orang-orang kudus agar menjadi jemaat yang
diakonial, demi terciptanya kesejahteraan dan kedamaian jemaat dan membangun
Kerajaan Allah yang mensejahterakan jemaat di dunia. Sebagaimana jemaat
missioner adalah kumpulan orang-orang
yang telah dipanggil, dikumpulkan, dipelihara oleh Allah yang bertugas untuk
meneruskan misi pekerjaan Kristus di dunia yaitu memberitakan injil keselamatan
bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian kerajaan Allah telah dimulai dalam
Yesus Kristus dan akan disempurnakan melalui kedatanganNya yang kemudian.
II. Dasar teologi teologi sosial
2.1 Pembebasan dari perbudakan di Mesir dan kelangsungan ibadah Israel
Pembebasan dari Mesir bukan hanya memiliki makna
politis, melainkan berorientasi pada makna teologis.
Pembebasan
itu berarti “melepaskan pergi” dan mengizinkannya keluar sebagai orang yang
merdeka. Menjadi orang yang merdeka tidaklah berarti “menjadi tuannya sendiri”
atau “menurut kesukaannya sendiri”. Keadaan umat Israel setelah mengalami
pembebasan, mereka turut dalam kebebasan untuk mengabdi kepada TUHAN. Umat
Israel berhak pergi “sebagai orang merdeka”, lepas dari kuasa-paksa orang Mesir
tetapi kebebasan tersebut memiliki dasar, isi, dan tujuan : pelayanan dan
pengabdian atau ibadat kepada TUHAN. Bekerja, melayani, mengabdi dan beribadat
kepada TUHAN menunjukkan adanya status dan keadaan umat Israel yang normal. Kebebasan
adalah hamba-hamba TUHAN dan ke dalam keadaan yang sah inilah mereka diangkat
dan dipindahkan oleh perbuatan Allah keluar dari perbudakan.
Umat
TUHAN adalah persekutuan orang-orang yang mengabdi kepada Allah. “Mengabdi”
berarti “melayani”, “hidup sebagai hamba” dan perkataan yang menyatakan
“Lepaslah umat-Ku pergi, supaya mereka mengabdi kepada-Ku”, merupakan tujuan
Allah menuntut pelepasan dan kebebasan umat-Nya. Oleh karena itu pengabdian
yang dimaksudkan ialah pelayanan kepada TUHAN berupa kebaktian atau ibadah.
Hidup sebagai abdi/hamba menlakukan perayaan kebaktian dan ibadah menjadi suatu
peranan utama. Permintaan Musa dan para tua-tua Israel yang sebelumnya memohon
kepada Firaun untuk memberikan kesempatan kepada bangsa tersebut untuk
mempersembahkan korban kepada TUHAN, sesuai dengan tuntutan TUHAN melalui Musa.
Dalam hal inilah terlihat bahwa bangsa tersebut meminta permohonan agar mereka
diberikan kebebasan untuk beragama. Namun Firaun menolak tuntutan tersebut dan
penolakan ini menyatakan dia sebagai pemerintah yang lalim dan penguasa uang
tak usah dan tak boleh ditaati lagi. Tuntutan atau permintaan orang Israel
untuk bebas beragama, terpaksa menjadi tuntutan kemerdekaan penuh. Firaun
terpaksa melepas mereka pergi beribadah dan berarti membebaskan mereka pergi
dengan tidak kembali lagi.
Oleh
karena itulah umat harus mengadakan perayaan bagi TUHAN, dan perayaan itu
dimulai pada malam keluaran setelah anak sulung bangsa Mesir mati.umat Israel
hanya berbuat menurut perintah Allah, menyiapkan keberangkatan mereka dan
kemudian pada hakekatnya mereka mengadakan “perayaan”, “kebaktian atau ibadah”
yang dikehendaki Allah sebagai tanda kehidupan umat-Nya untuk seterusnya dan
selamanya. Oleh karena itu suatu “peringatan” bagi bangsa Israel kepada perbuatan
yang berkuasa dari Allah, dan suatu perjamuaan dalam suasana
keberangkatan-keluarga dari “rumah perbudakan”, menuju “tempat perhentian” (UL
12:9); inilah inti kebaktian itu dan untuk itulah umat Israel digerakkan oleh
pembebasannya.
Ada
tiga hal yang menjadi pokok penting dimana Allah telah membebaskan,
menyelamatkan, menebus umat-Nya, yaitu: Tiga tema teologi yang muncul
dari peristiwa keluaran Israel dari Mesir:[3]
- TUHAN sendirilah yang membebaskan umatNya. Umat Israel diturutsertakan di dalam perbuatanNya, digerakkan, sehingga dengan sukarela berbuat menurut perintahNya: menaruh percaya kepadaNya, bersiap-siap untuk berangkat, mempersembahkan seekor domba dari miliknya sendiri. Namun bukanlah “sumbangannya” itu yang membebaskan umat tersebut; Israel tidak ditebus oleh ibadahnya, malahan tidak oleh darah domba Paska itu sekalipun. Allah dengan rela menerima segala persembahan itu, tetapi Ia sendiri menebus umatNya (Ibr 11:28-29)
- TUHAN membebaskan UmatNya dari perbudakan orang Mesir. Pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang dikehendakiNya, Ia berkenan membebaskan umatNya dari pebudakan-perbudakan lain, termasuk juga perbudakan “dosa”. Perbuatan Allah di Mesir menyatakan Dia sebagai Penebus dari perbudakan yang manapun juga. Namun pokok tentang Keluaran ini adalah berkenan dengan satu contoh perbudakan yang kongkrit. Arti perbuatan Allah untuk umat manusia, pada segala jaman dan tempat, justru terletak di dalam “keterbatasannya” kepada contoh yang satu ini.
- TUHAN dengan sungguh-sungguh membebaskan umatNya. Memang benar, bahwa perbuatanNya mencetuskan cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial di tengah-tengah umat Israel, cita-cita yang membuat umat itu menjadi suluh di antara bangsa-bangsa lainnya. Tetapi Allah tidak hanya mengajar umatNya untuk “menggantungkan cita-citanya kepada bintang”. Ia memberi kemerdekaan yang sesungguhnya suatu kemerdekaan yang terbatas sifatnya namun kongkrit dan riil, sehingga – pada tanggal 14 bulan Nisan/Abib tahun Keluaran itu – dapat dirasai dengan tubuh dan jiwa. Segala cita-cita menjadi layu dan kosong, kalau umat Israel tidak dibebaskan di sana dan pada waktu itu – dengan sesungguh-sungguhnya!
2.2. Ibadah dan persekutuan mempersatukan jemaat untuk memperoleh
pembebasan.
Bangsa Israel
yang Allah persatukan dalam memasuki arak-arakan dan beribadah kepada TUHAN
membawa mereka untuk semakin kuat untuk melakukan perlawanan. Persekutuan
tersebut mengangkat umat Tuhan untuk menentang ketertindasan dan memperjuangkan
perbuatan Allah yang telah memberikan kebebasan bagi mereka. Maka melalui
ibadah yang dilakukan membawa mereka untuk memohon penyertaan dan bimbingan
TUHAN dalam memperjuangkan kebebasan. Melalui ibadah yang dilakukan umat TUHAN,
terlihat bahwa Allah mempersatukan mereka serta memberikan dukungan untuk
membuka jalan kebebasan. Umat TUHAN dipersatukan dalam persekutuan agar mereka
tidak berbaur atau terpecah belah dan dipengaruhi oleh kelompok yang menghambat
perjuangan bangsa untuk mendapatkan pembebasan.
Ibadah
bangsa Israel juga mengajak umat TUHAN untuk menjalankan ketaatan terhadap
TUHAN. Ketertindasan dan penekanan yang diperoleh dari pemerintahan yang
dilakukan bangsa Mesir membuat bangsa Israel untuk meninggalkan dan anti
terhadap perbuatan tersebut yaitu kekerasan dan ketidakadilan serta kehidupan
sosial dari rakyat atau bangsa Israel yang tidak diperhatikan. Maka terlihatlah
dari ibadah yang diperbuat bangsa Israel terhadap TUHAN yang menyatakan anti
terhadap penindasan, ketidakadilan dan menekan hak kebebasan dari umat TUHAN.
Persekutuan
umat TUHAN yang menentang pemerintahan dan para penguasa diperjuangkan dan
dinyatakan dalam kesatuan yang memperjuangkan pembaharuan dengan memperhatikan
kehidupan masyarakat yang tertindas dan mengangkat hak mereka sehingga terwujud
kesejahteraan bersama. Dalam persekutuan umat TUHAN berusaha untuk keluar dari
pergumulan kehidupannya dan bersama-sama membangun kekuatan.
III. Diakonia Perjanjian Baru.[4]
3.1. Diakonia dalam Kitab Injil
Salah
satu nats penting tentang diakonia dalam Injil ialah Matius 22:34-40, yang
memuat jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi yang mau mencobabaiNya:
“kasihilah tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap akal budimu! Itulah hukum terutama dan yang pertama. Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah” Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri! Pada hukum inilah tergantung seluruh hukum taurat dan
kitab para nabi”.
Dari jawaban Yesus tersebut nampak
bahwa kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama
manusia. Kasih kepada Allah justru diwujudkan terhadap kasih kepada sesama
manusia. Kasih itu bukan hanya sebatas wacana namun tindakan kongkrit dalam
perbuatan kasih dan keadilan. Perbuatan
kasih inilah dalam PL disebut diakoni (pelayanan), diakonein (melayani) dan
diakonos (pelayanan).
Istilah diakonia,merupakan istilah
yang sering dipakai dalam PB sebagai sebutan yang biasanya disebut “jabatan”.
Pemakaian kata ini sangat menyolok karena berlainan dengan jabatan-jabatan yang
terdapat dalam agama Yahudi dan agama-agama lain. Ada beberapa penekanan makna kata diakonoia:
- Esensi dari Jabatan diakonia bukan saja tidak memiliki corak kultus dan rohani, tetapi juga istilah tersebut sedikitpun tidak mengandung unsur kehormatan. Malahan sebaliknya dalam dunia Yunani ia diakonia mempunyai arti yang hina. Plato menyebutkan dan menganggap seorang diakonos sebagai seorang “pembujuk yang hina”
- Dalam PB diakonia digunakan untuk menyebutkan hidup dan pekerjaan Yesus dan juga pekerjaan jemaat-Nya. Contoh yang paling jelas ialah jawaban Yesus atas permintaan ibu Yohanes dan Yakobus, supaya anak-anaknya diperbolehkan untuk duduk kelak disebelah kanan dan kiri-Nya dalam kerajaan Allah. Diakononia merupakan kesediaan untuk memberikan diri untuk orang lain, menjadi hamba untuk orang lain, rela berkorban, bukan untuk dilayani melainkan melayani, memberikan nyawa untuk tebusan orang lain (bnd 20-22-28)
- Diakonia juga meliputi tugas pastoral, menyembuhkan, memberi makan orang lapar, orang miskin (Mat 14:13-21). Dalam hal ini diakonia tidak hanya meliputi aspek rohani saja namun meliptuti kebutuhan jasmani (politik, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya). Keberpihakan terhadap orang miskin merupakan sikap oranmg yang bermurah hati(Luk 6:36; Luk 10:25-37)
3.2. Diakonia dalam Kisah Rasul
dan surat para
rasul[5]
Corak jemaat
diakonal mula-mula (bnd Kis 2:42-47; 4:32-37) yakni:
-
Dibabtis (hidup baru)
-
Bertekun dalam pengajaran rasul-rasul
-
Bertekun dalam persekutuan
-
Selalu berkumpul untuk memecahkan roti
-
Selalu berkumpul untuk berdoa
-
Tetap bersatu
-
Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (komunitas)
-
Menjual harta miliknya
-
Berkumpul tiap hari di bait Allah (koinonia)
-
Membagibagikan kepada semua orang sesuai dengan
keperluan masing-masing (aksi sosial dan solidaritas)
-
Memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir
-
Makan bersama-sama
-
Dengan gembira dan dengan hati tulus sambil memuji Allah (doxologi)
-
Sehati dan sejiwa
-
Segala sesuatu adalah kepunyaan bersama
-
Dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberikan kesaksian tentang
kebangkitan Tuhan Yesus
-
Hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah
-
Menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualann itu mereka bawa dan
mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul, kemudian dibagi-bagikan kepada orang
sesuai dengan keperluannya
3.3. Diaken dalam Perjanjian Baru
Jemaat, kharisma dan jabatan[6]
Pelayanan jemaat
merupakan tanggungjwab semua anggota jemaat, oleh sebab itulah Tuhan memberikan
kharsima untuk melayani. Oleh sebab itu
tidak dipertentangkan antara kharisma dan jabaran sebab semua adalah sama.
Kaharisma-kharisma tertentu dapat dilembagakan dalam suatu jabatan. Kharisma adalah pemberian roh Kudus kepada
anggota jemaat untuk pelayanan sedangkan jabatan
dapat disebut sebagai fungsi yang harus dipenuhi untuk kepentingan semua
jemaat. Orang yang memiliki kharisma dpat memangku jabatan atau dipilih oleh
gereja. Dalam perjanjian baru disebut
“jabatan-jabatan” kelompok yang menerima kaharisma yakni rasul-rasul,
nabi-nabi, pengajar-pengajar (1 Kor 12:27). Dalam jemaat posisi mereka bukan
berada di ast melainkan disamping anggora-anggota jemaat yang lain. Dalam surat
Efesus 4:11-12 “rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita Injil, gembala-gembala dan
pengajar-pengajara” dibedakan dari angggota jemaat (orang-orang kudus). Tugas
mereka adalah melayani (melengkapai) jemaat untuk pembangunan tubuh Kristus.
Dari fungsi jabatan tersebut, nampaknya jabatan tidak muncul dari manusia,
melainkan dari Alllah, namun tidak dapat dikatakan bahwa jababatan diberikan
atau ditetapkan Allah, sebab tidak semua pelayanan adalah jabatan. Benar Allah yang memberikan kharisma. Oleh sebab itu
yang disebut jabatan adalah pelayanan yang mempersentasikan keselamatan Allah
keada jemaat. Salah satu tugas jabatan ialah mengatur pelayananp-pelayanan
kharismatik dalam jemaat, sehingga berfungsi dengan teratur (1 Kor 14)
Tugas diakonia dari para rasul[7]
-
Memberitakan firman Tuhan dimana jemaat selanjutnya
dibangun (Mat 16:18; Ef 2:20; Wah 21:14)
-
Sebelum menyampaikan firman para rasul terlebih dahulu
memberikan pastoral (Kis 4:34-35)
-
Membagi-bagikan hasil penjualan hak-milik anggota-anggota
jemaat bagi orang sesuai dengan kebutuahan jemaat
-
Paulus Menggkoordinir dan menstimulir usaha pengumpulan
bantuan untuk orang-orang percaya yang berkekurangan di Yerusalem
Namun tidak semua pelayanaan para rasul memuaskan, secara khusus dalam “diakonia”
dalam perjamuan, dimana para janda kurang mendapat pehatian, oleh sebab itu
banyak para janda[8] yang
mengeluh. Dalam pembagian makanan mereka diberlakukan secara tidak adil,
akibatnya ada indikasi perpecahan.
Oleh sebab itu para rasul menyadari kelemahan mereka dan meminta kepada
jemaat untuk membatasi pelayanan mereka sekitar pelayanan firman dan doa,
dan mengusulkan kepada jemaat untuk memilih dan mengangkat tujuh orang yang
bertugas “melayani meja (perjamuan) dan persekutuan. Dalam perkembangan
kemudian para ahli berbeda pendapat tentang eksistensi ketujuh pelayan yang
dipilih jemaat, apakah mereka termasuk diaken-diaken Pekerjaan mereka mencakup
lebih banyak bidang daripada hanya bidang diakonat saja. Berdasarlan data Kis
6, tentang ketujuh pelayana meja itu nyata,
bahwa dalam “jabatan” mereka memainkan motif-motif peranan diakonal yang sangat
penting.
Diaken dalam
surat Filipi
dan 1 Timotius[9]
Istilah yanag dipakai oleh Paulus adalah dalam surat Filipi para penilik jemaat dan para
diaken (episkopoi dan diakonoia), demikian juga dapal 1 Tim 3:2,8. Episkopoi
(peniik-penilik jemaat)ialah pemangku jabatan yang sma, yang ditempat lain
disebut “prsbuteroi (tua-tua atau penatua-penatua). Dengan demikian bagaimana
hubungan penatua-penatua dan diaken-diaken? Rasul paulusmenempatkan kata-kata
“episkopoi dan “diakonoia: secara berdampingan ( I Tim 3:1-13) hal ini berarti
jabatan-jabatan itu adalah jabatan-jabatan yang sama derajatnya dengan
jabatab penilijk jemaat, jabatan yang melakukan pelayanan mereka dalam
kerjasama yang erat. Persyaratan mereka
adalah sama esensinya (bnd I Tim 3:3-7). Kesimpulannya adalah diaken-diaken
adalah pejabatan-pejabatan dengan satu tugas yang pada satu pihak berbeda
dengan tugas penilik-penilik jemaat, tetapi pada pihak lain sederajat dengan
tugas penilik-epnilik jemaat. Menurut 1
Tim 3 kriteria diaken-diaken adalah:
-
Haruslah orang-orang yang terhormat
-
Mereka tidak boleh bercabang lidah
-
Harus berani untuk mengatakan “ya” kalau ya dan mengatakan “tidak”,
kalau tidak. Dengan kata lain mreka harus selalu jujur
-
Dilarang untuk menggemari anggur secara belebihan
-
Membebaskan anggota jemaat dari hal-hala yang memperbudah, khususnaya
mammon, dan tidak boleh hidup dalam pebudakan
-
Tiadak serakah
-
Menjadi teladan
-
Harus mnemelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci
-
Tidak bercacat
-
Dipilih jemaat dengan seleksi yang teruji dari pengenalan akan
hidupnya
-
Harus suami dari satu isteri
Wanita-wanita dalam pelayanan
jemaat[10]
Dalam Perjanjian
baru, dicatatat tentang pekerjaan diakonal yang dilakukan oleh wanita-wanita. Salah satu diantara mereka adalah Tabita atau
Dorkas (Kis 9:36-43). Ia banyak berbuat baik dan memberi sedekah. Dorkas telah
menunjukan pekerjaan diakonal, dan telah memeproleh suatu tempat penting dalam
jemaat di Yope. Kemudian Rasul Paulus juga menyebut Febe “diakonos” (kata ini sama
dengan Fil 1:1). Dari caatat Perjanjian baru ternyata para wanita-wanita juga
melaksanakan fungsi pemangku jabatan dalam jemaat. Dalam Perjanjian Baru semua
bentuk pelayanan jemaat, juga pelayanan diakonal dapat dipercayakan keadaan
wanita-wanita.
Janda-janda dalam I Timotius 5[11]
Dalam surat Paulus pada
Timotius, ditekankan pentingnya memberi
perhatian kepada janda. Perhatian kepada
janda, adalah untuk menghormati mereka yang dianggap samapah dalam masyaraklat.
Kemudian menghormati yang dimaksud adalah melayani kebutuhan hidup mereka (bnd
Mat 15:3-5). Penekanan yang perlu
diperhatikan dari maksud Rasul Paulus adalah.
a) Janda adalah seorang pribadi yang
ditinggalkan sendiri dan tidak memiliki seseorang yang dapat memelihara, oleh
sebab perlu itu untuk dihormati
b) Janda yang benar adalah janda
yang beriman
c) Usia mereka tidak kurang dari 60
tahun, mereka hanya satu kali bersuami, dan yang telah melakukan pekerjaan yang
baik
d) Rasul Paulus mengusulkan supaya
janda muda kawin lagi, beroleh anak, memimpin rumah tangga mereka dengan baik
e) Petunjuk-petunjuk rasul Paulus
tidak boleh ditafsirkan secara sempit, namun intinya adalah bagaimana gereja
memberi pelayanan kepada semua anggota emaat, juga kepada wanitya-wanita
(janda-janda)
Ruang lingkup pelayanan diakonat[12]
-
Perjanjian Baru mencatat bahwa tugas pelayanan diakonat bukan hanya
dilakukan oleh pihak-laki-laki saja, melainkan juga kaum wanita
-
Diakonia
meliputi semua orang (bnd. Mat 5:43-46, 1 Tess 5:15)
-
Pelayanan
diakonal bersifat kontoniu, tanpa syarat, semua bangsa (Mat 28;19)
-
Ibadah yang sejati erat berhubungan dengan “diakonia” (Yak 1:27). Ibadah
yang murni adalah memelihara yatim piatu dan janda-janda. Jadi tugas para
diaken adalah menjaga kemurnia ibadah dengan jalan menunjukkan kasih seorang
terhadap yang lain dan terhadap semua orang ( 1 Tes 3:12, bnd 2 Pet 1:7)
IV. Sejarah Singkat dari diakonat gereja
Dalam diakonat
gereja lama, tujuh pelayan meja yang disebut dalam Kis 6:1-6 dianggap sebagai
diaken. Pada abad pertama gereja tetap memilih tujuh orag pelayan, namun dalam
perkembangan beikutnya posisi tujuh pelayan tersebut mengalami perkembangan.
Diaken-diaken pada pada akhir abad ke tujuh tidak identik lagi dengan Kis 6.
Diaken-diaken ini mempunyai fungsi yang lain; mereka menunaikan tugas mereka
daam hubungan dengan pelayanan misteri-misterii yang suci dari gereja.
4.2.Zaman bapak-bapak rasuli[14]
Situasi diakonat
pada zaman bapak-bapak rasuli ditandai dengan:
-
Perkembangan kesaksian gereja dan ibadahnya
-
Safaan yang digunakan oleh anggota-anggota jemaat dalam gereja
“saudara”
-
Agama Kristen pada waktu itu “memenangkan” dunia oleh suatu iman atau
percaya. Melakukan pelayanan kepada orang-orang asing, orang yang tertindas, terpenjara,
orang miskin.
-
Diaken-diaken membantu pelayanan “misteri-misteri suci” juga bertugas untuk membagi-bagikan bantuan
kepada jemaat. Diaken-diaken berpartisipasi dalam penegakan disiplin gereja,
menerima orang yang bertobat.
-
Pada periode ini terjadi perkembangan dan perubahan fungsid an
kedudukan diaken dimana susunanya tiadak
sama dengan susunan imamat dalam PL. Uskup (sebagai bapa) adalah pengajar
tentang kesalehan, pemberi hukum dan pemimpin. Sesudah Allah, ia dalah bapa
dari anggota-anggota Jemaat. Sebagai bapa ia harus dihormati. Diaken harus
melayani uskup, sana seperti Kristus melayani Bapa di sorga. Dalam hubungan ini
mucullah diaken-diaken wanita.
4.3.Pada masa abad pertengahan[15]
Pada masa ini
diakonat gereja tidak banyak mendapat perhatian. Hal ini diebabkan pergeseran
visi tentang hakekat pelayanan diakonat pada waktu itu. Secara kuantitas pada
waktu itu gereja menjadi bertambah besar, dan gereja juga menggalakkan supaya
jemaat memberikan persepuluhan, gereja memiliki dan yang banyak, namun
dana-dana yang dikumpulkan gereja bisa hilang dari tangan uskup. Gereja mengabaikan
pelayanan terhadap kaum miski, dan pada diaken-diaken disibukkan pada pelayanan
administrasi gereja. Perang salib juga memiliki dampak negatif terhadap gereja,
sehingga setelah perang salib juga gereja semakin mundur dari pelayanan.
Disamping itu pengaruh sekularisasi semakin
kuat di kota-kota dan makin lama makin besar. Oleh sebab itu pelayanan
diakonal sebagai pelayanan rohani, makin lama berobah menjadi pekerjaan sosial
biasa. Pada akhir abad pertengahan muncullah pekerja-pekerja sosial yang makin
lama makin melerpaskan diri dari gereja.
Sebenarnya gereja pada waktu itu kaya, namun kelemahan gereja adalah gereja
tidak dapat menterjemahkan anugerah dan pemberian Allah, yang ia peroleh, dalam
pelayanan kasih kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya.
4.4.Pada masa reformasi[16]
a. Luher
Pemahamn Luhter bertolak
dari “pembenaran hanya oleh iman”
oleh sebab itu Luther memahami tidak lagi selalu bergantung pada kaum
rohaniawan. Luhter menekankan “imamat-am orang-orang percaya”. Luhter
juga menekankan “kebebasan orang Kristen”. Oleh iman orang Kristen sudah bebas dan tidak takluk kepada siapapun. Oleh
karya penyelamatan Kristus hubungan antara Allah dan manusia pulih kembali.
Kristus memperbaharui-Nya, sehingga setiap orang Kristen menjadi Kristus bagi
sesamanya manusia. Artinya kita melayani sesama manusia kita karena kasih pada sesma
manusia kita dan karea kasih Kristus di dalam kita. Itulah motivasi bagi
diakonat gereja. Luhter juga menekankan “kasih Kristiani kepada sesama manusia.
Kasih itu lahir dari hubungan orang Kristen dengan Kristus. Menurut Luhter,
seorang diaken mempunyai tugas yang lebih penting daripada hanya membaca kitab-kitab
Injil dan surat-surat pasa rasul dalam ibadah misa. Namun Diaken harus membantu orang miskin. Luhter mengatakan, Lebih baik memberikan
beberapa sen kepada orang-orang yang hidup dalam kekurangan daripada membangun
sebuah gedung gereja emas bagi sint Petrus. Luther menekankan bahwa tugas
diakonal adalah kewajiban dari pemerintah, oleh sebab itu Luhter mempercayakan
hal itu kepada pemerintah yang berkuasa yang mengikuti ajarannya. Jadi
kelemahan diakonal Luher adalah, lambat laut pelayanan diakonal gereja semakin
lama semaki kehilangan esensisnya sesuai dengan iman Kristen, karena lebih
banyak diorganisir oleh pekerja sosial.
b. Bucer
Pemikiran Bucer
tentang diakonat gereja erat hubungannya dengan pemahamannnya tentang gereja.
Bagi gereja adalah suatu persekutuan yang terdiri dari orang-orang yang
bersaudara di dalam Kristus. Bucer
mengatakan tentang diakonat gereja yang dituangkan dalam karyanya “tentang
pelayanan pastoral” (pemeliharaan jiwa) yang benar (1538), dan konsepnya
tentang “pemerintahan Kristus” (1550), program yang ia susun adalah pembangunan
Jemaat dengan suatu “struktur alkitabiah”.
Jemaat adalah sebagai tubuh kharismatik, dimana tiap-tiap jemaat
masing-masing memiliki tugas. Diakonat
gereja dianggap sebagai salah satu bagian dari pembangunan tubuh Kristus. Menurut Bucer, kemiskinan dapat menjadi
penghalang dalam pembangunan jemaat, dapat membuat masyarakat menjadi bobrok,
oleh sebab itu diaken-diaken harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
c. Calvin
Beritik tolak istilah
“jabatan gerejawi” Calvin memahami bahwa
diaken-diaken yang megurus kas untuk orang-orang miskin dan diaken-diaken yang
bertugas untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan orang-orang sakit.
Jadi menurut Calvin dan dua macam diaken: Pertama.
Diaken yang melayani gereja di bidang urusan soal-soal orang miskin (seperti
Kis 6), kedua, diaken yang melayani
kusus gereja di bidang pembagian bantuan kepada orang-orang miskin itu.
V. Aktualisasi teologi
sosial berbasis diakonia sosial
5.1. Membangun Gereja yang Diakonal[17]
Dalam kenyataannya, gereja
sebagai perpanjangan dari pekerjaan TUHAN tentang keselamatan, penebusan,
pendamaian dan perdamaian, serta pembenaran karena Yesus telah naik ke sorga
itu, masih bekerja sebagai diaken. “Segala sesuatu telah diletakkanNya dibawah
kaki Kristus dan Dia telah diberikanNya kepada jemaat sebagai kepala dari
segala yang ada (Ef.1:22)”. Diakonia adalah bagian dari Gereja dan diakonia
merupakan bagian organik dari substansinya. Sehingga, iman dan ajaran Gerejalah
yang menentukan apa itu diakonia. Tujuan
Diakoni ialah memberi komunitas dengan Allah Bapa melalui Kristus
Jeruselamat kita, di dalam Roh Kudus sebagai penghibur, untuk kehidupan manusia
secara keseluruhan. Ini juga merupakan dasar dan tujuan pada persekutuan:
a. Bilamana kamu melakukan pekerjaan diakonal
b. Bilamana kamu sedang ditolong dalam suatu
cara diakonal, kamu harus memiliki suatu jaringan kerja untuk bisa bersandar
dan mendukungmu yaitu jemaat
Semua kesaksian dan lukisan
yang digunakan dalam Perjanjian Baru menggaris bawahi Gereja sebagai suatu
persekutuan orang yang bergantung pada Allah melalui Yesus Kristus, sehingga
saling berhubungan dan bergantung satu sama lain di dalam sikap dan tindakan.
Bagaimanapun juga, Yesus Kristus berperan sebagai mediator dan diaken.
Allah meletakkan dasar
komunitas baru dalam sejarah dan mengikat umatNya secara bersama dalam suatu
persekutuan baru, melalui penyataanNya yaitu anugerahNya, berkat dan
kesetianNya. Pekerjaan Allah ini diteruskan dalam Perjanjian Baru dan
difokuskan pada gereja. Mereka yang mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamat
dan penebus mereka mewakili Gereja dan menjadi umatNya. Mereka yang percaya
kepada Allah dan menjadi milik gereja “dipilih” dan “dipanggil” menjadi
bangsaNya sendiri (bnd. Rom.1:6; 8:28; I Kor.1:24). Gereja diberikan suatu misi
yang khusus terhadap dunia, mewartakan tindakan Allah yang mengagumkan karena
mereka adalam imamat yang rajani (Titus 2:14; Why.1:6).
Gambaran tubuh Kristus nyata
dan penting dalam konsep perjamuan Kudus dan baptisan, melaluinya kita
diinkarnasikan dalam Yesus Kristus. Melalui baptisan dan perjamuan semua orang
telah dipersatukan dengan Kristus melampaui batas-batas, kebangsaaan, politik,
umur, atau jenis kelamin. Semua manusia dipersatukan dalam Yesus Kristus yang
mempunyai suatu dampak diakonal.
- Unsur-Unsur Dasar Gereja sebagai Persekutuan Kudus: Koinonia, Leturgia, Diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya:
- Ada suatu kehidupan bersama di dalam koinonia yang mana seseorang diidentifikasikan dengan orang lain yaitu satu di dalam semua (I Kor. 12:26). Hubungan timbal balik individu mempererat koinonia, yang hampir tidak lagi menjadi superioritas dalam gereja
- Keakraban hubungan antara komunitas ini dan Kristus adalah dasar Baptisan, Firman Allah dan Perjamuan Kudus
Koinonia erat hubungannnya
dengan diakonia dan liturgia. Paulus dalam suratnya yang kedua kpada jemaat
Korintus menggabungkan koinonia, liturgia dan diakonia bersama-sama dalm satu
unit sekaligus dalam unsur-unsur dasar di dalam persekutuan yang kudus. Melalui
pengujian diakonia, kamu akan memuji Allah melalui ketaatanmu dalam mengakui Injil
Kristus dan melalui kederwanaan dalam koinonia (persekutuan) dengan mereka dan
semua yang lain (II Kor.9:12-22). Hubungan vertikal dengan ilahi dan kasih
(liturgia) direalisasikan dalam hubungan sosial/kasih manusia. kasih yang
vertikal menentukan isis dari pelayanan dan memberinya makna dan tujuan. Peulus
dengan tegas mengingatkan Gereja agar mengarahjkan kehidupannya sebagai tubuh
kristus yang merupakan tantangan besar bagi diakonia gereja. Semua pekerjaan
diakonal bertanggung jawab untuk membangun, memperkuat dan membentuk suatu
komunitas yang kudus.
Membangun dan menjadi peduli
terhadapap sesama adalah tugas utama Gereja. tugas utama pekerjaan diakonial
adalah membangun suatu persaudaraan Kristen yang mengembangkan kepedulian
terhadap sesama manusia yang berada didalam dan luar gereja. Dia mempersiapkan
umat Allah untuk pekerjaan pelayanan orang-orang Kristen (diakonia), untuk
membangun tubuh Kristus (Ef. 4:12).[18]
Dari sini sangat jelas
terlihat bahwa Gereja (tubuh Kristus) yang di dalamnya terdapat jemaat, harus
berjalan paling depan demi terciptanya tubuh Kristus yang sempurna. Sempurna di
sini dalam artian Gereja bergerak dari luar dan dari dalam. Jadi keduanya
saling bergerak, tidak mati sebelah.
Ada tiga unsur dasar
persekutuan yang kudus bagi orang-orang yang dibaptis, dipersatukan kedalam
tubuh Kristus, yaitu: Koinonia dari Firman Allah, Koinonia dari Perjamuan
Kudus, Koinonia dari diakonia. Gereja sebagai koinonia maksudnya ada suatu
kehidupan bersama, yaitu satu didalam semua dan semua didalam satu. Koinonia
mengarah kepada persekutuan dengan Yesus Kristus dan dengan satu sama lain
yaitu anggota dari persekutuan yang kudus (Kis. 2:42). Peribadahan dan
pengabdian kepada Allah didasarkan kepada pemberian Allah melalui Yesus Kristus
yang diberikan kepada kita sebagai anugerah. Itulah bagian sakramentalia dari
liturgi.[19]
5.2. Misi pembebasan adalah
jati diri gereja[20]
Gutierrez mengungkapkan jati diri gereja
dengan menggunakan istilah seperti persekutuan yang mengikuti Yesus, sakramen
sejarah, dan komunitas ekaristi. Sehingga perutusan pembebasan gereja terhadap
kemiskinan berpangkal secara hakiki dalam jati dirinya.
a. Persekutuan Orang-orang
yang mengikuti Yesus
Mengikut
Yesus dalam suatu ziarah komunal berarti hadir di tengah-tengah dunia untuk
memproklamasikan Kerajaan Allah bagi semua orang melalui kaum lemah dan papa.
Dalam situasi kekuasan ‘kematian’ dimana suatu sistem sosial memarjinalisasi
kaum miskin yang mempunyai tempat utama dalam kerajaan kehidupan, menjadi
pengikut Yesus berarti memperjuangkan kehidupan yang telah dinyatakan (bdk. 1
Yoh 1:1-4). Oleh karena itu mengikut Yesus berarti mereka yang kehilangan hidup
demi TUHAN dan Injil akan diselamatkan, dan berarti penziarah dalam horizon
kebangkitan, kehidupan yang definitif.
b.
Sakramen
Gutierrez
menampilkan jati diri
Gereja sebagai sakramen sejarah atau sakramen universal penyelamatan yang
menitik beratkan relasi antara Gereja dan dunia. Oleh karena itu istilah
sakramen dalam teologi memiliki dua arti yang berhubungan, yaitu:
1. Sakramen dimaksudkan mysterion yang
sigunakan Paulus dalam arti kepenuhan dan manifestasi rencana penyelamatan
Allah. Rencana itu adalah kasih Allah yang memanggil semua manusia dalam Roh
Kudus bersatu denganNya dan mencapai kepenuhannya dalam anugerah putraNya,
Yesus Kristus.
2. Sakramen adalah tanda dan sarana rahmat
yang efektif. Dimana adanya pertemuan antara Allah yang menyelamatkan dan
manusia yang diselamatkan. Pertemuan ini merupakan realitas intrahistoris sebab
didasari rahmat penyelamatan Allah yang mengatasi sejarah. Bagi Giuterrez menyebutkan gereja sebagai
sakramen berarti mendefenisikan kaitan gereja dengan rencana penyelamatan Allah
yang terpenuhi dalam sejarah melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristus,
gereja adalan tanda dan sarana persatuan mesra manusia dengan Allah dan
kesatuan seluruh umat manusia. Sebagai sakramen penyelamatan, Gutierrez berpendapat bahwa pada satu
sisi Gereja mesti mewartakan diri pada dunia dan gereja harus membiarkan diri
dievangelisasi oleh dunia. Sebab Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif dalam
dunia bukan hanya dalam gereja. Dinamika gereja dan dunia mengarah menuju
pemenuhan di masa depan yang dijanjikan Tuhan. Gutierrez menyatakan bahwa
sebagai sakramental, gereja harus menunjukkan dalam struktur internalnya
sendiri kepenuhan penyelamatan yang dia wartakan.
c.
Komunitas Ekaristi
Tugas
utama dan pertama Gereja adalah Ekaristi, yakni merayakan dengan penuh
kegembiraan anugerah karya penyelamatan Allah melalui wafat dan kebangkitan
Kristus. Dalam ekaristi terungkap komunitas persaudaraan yang ditebus oleh
Yesus Kristus. Injil menampilkan Ekaristi dengan latarbelakang Paskah Yahudi
yang merupakan perayaan pengenangan
pembebasan dari Mesir dan Perjanjian Sinai. Paskah Kristiani memuat dan
menyatakan kepenuhan arti Paskah Yahudi.
Pembebasan dari dosa dan jalan menuju persatuan dengan Allah yang dirayakan
dalam Paskah Kristiani adalah dasar dan tujuan pembebasan politis, pembebasan
dari perbudakan dan eksploitasi dari Mesir (Paskah Yahudi). Ekaristi yang
dirayakan Gereja sesungguhnya tidak terpisahkan dari perjuangan membangun
masyarakat yang adil dan bersaudara.
Dasar
Biblis yang mendukung pernyataan bahwa Ekaristi berkaitan dengan perjuangan
membangun persaudaraan antara manusia dalam suatu masyarakat yang
adil-manusiawi. Pertama, ekaristi
diinstitusikan dalam suatu perjamuaan yang dalam budaya Yahudi merupakan tanda
persaudaraan. Kedua, penggunaan roti
dan anggur menunjuk pada peristiwa pennciptaan dimana Allah memberikan
barang-barang di dunia kepada semua orang agar membangun dunia manusia ynag
bersaudara. Ketiga, Injil Yohanes
mengganti kisah institusi Ekaristi dalam sinoptik dengan kisah pembasuhan kaki
yang memperlihatkan bahwa inti Ekaristi adalah perbuatan pelayanan, kasih dan
persaudaraan (Yoh 13:1-20). Keempat,
Paulus menekankan etika solidaritas yang harus ada dalam merayakan Ekaristi (I
Kor 11:17-34). Gereja membentuk diri sebagai komunitas Ekaristi sejauh menjadi
tanda dan sarana persaudaraan manusia di tengah sejarah dalam melaksanakan
perutusan pembebasan bagi kaum miskin dan hina.
5.3. Pilihan Mendahulukan Kaum Miskin [21]
Jati diri Gereja dalam terminologi persekutuan
yang mengikuti Yesus, sakramen sejarah, komunitas Ekaristi mengandung makna
sama, yakni perutusan menyatakan karya pembebasan bagi semua orang dengan
pilihan mendahulukan kaum miskin (prefential
option for the poor). “Pilihan” (Option) berarti putusan dan komitmen yang
bebas. Pilihan/opsi adalah sebuah solidaritas sukarela, mendalam, terus menerus
dalam dunia kaum miskin. “Yang Mendahulukan” (prefential) menunjuk siapa yang
seharusnya menjadi yang pertama. Kaum miskin merupakan kelompok yang
diutamakan. Mendahulukan kaum miskin tidak berarti menyingkirkan golongan lain,
tetapi mengundang semua orang terlibat dalam gerak bersama kaum miskin untuk
membangun masyarakat yang adil-bersaudara. Melalui kaum miskin Gereja menyapa
semua orang.
Maksud
dari kaum miskin secara real yang meliputi seluruh dimensi kehidupan yang bersifat ekonomis, politis maupun
kultural. Gutierrez menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan ‘kematian’, dimana dia menegaskan bahwa kaum miskin adalah
manusia yang memiliki nilai-nilai, harapan-harapan, gaya hidup tertentu.
Kemiskinan adalah kondisi manusia yang global dan kompleks. Maka pilihan Allah
mendahulukan orang lemah, hina, rendah dapat dipahami dalam perspektif
kebebasan mutlak dan kasih cuma-cuma dari-Nya. Pilihan gereja dalam
mendahulukan kaum miskin berpangkal dari Allah sendiri. Sebagai pengikut
Kristus, gereja terlebih dahilu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (Mat
6:33). Sehingga Gutierrez berkata,
kasih karunia Allah menuntut Gereja membangun keadilan autentik untuk semua
dengan memberikan tempat istimewa kepada anggota-anggota masyarakat yang tidak
penting yaitu mereka yang hak-hak asasinya diabaikan baik dalam teori (hukum)
maupun dalam praktek.
Allah
solider dengan kaum miskin dan hina dengan mengundang semua orang terlibat
dalam gerak yang sama untuk menciptakan komunitas manusia yang adil dan
bersaudara. Prefensi Gereja terhadap kaum miskin, Gutierrez tidak meniadakan sifat universalitas Gereja di
tengah-tengah sejarah. Gereja menjadi tanda Kerajaan dalam perjuangan
menegakkan hak kaum miskin dan mempertobatkan kaum kaya dari keserakahan dan
penindasan. Proklamasi Injil tidak cukup dengan kata-kata, tetapi nyata
terungkap dalam solidaritas perjuangan kaum tak punya dan marjinal. Mengikuti
Kristus yang miskin nyata dalam gaya hidup yang miskin. Sehingga Gereja Kristus
berarti Gereja kaum miskin.
5.4. Menuju Gereja Kaum Miskin[22]
Gereja kaum miskin adalah gereja yang sebagai
tanda Kerajaan Allah dengan mendahulukan kaum miskin dalam seluruh praksis
gerejani. Gereja kaum miskin memperjuangkan dalam mewujudkan keadilan sosial
dan pembentukan tatanan sosial baru, dengan terbuka terhadap kehadiran Allah
kehidupan, berdasarkan solidaritas Kristus dan bertolak dari proklamasi
Kerajaan Allah yang mendahulukan kaum lemah dan tersingkir dalam sejarah.
Sebagai gereja kaum miskin mampu mewujudkan dalam realitas sosial dengan
meninggalkan status quo, melepaskan diri dari keterikatan dengan kelas sosial
penindas dan mengambil posisi membela kaum miskin.
5.5. Kaum Miskin Yang Berevangelisasi[23]
Solidaritas Gereja dengan kaum miskin berpangkal
pada hidup Kristus yang miskin bersama kaum miskin untuk membebaskan mereka
dari kemiskinan. Kemiskinan gereja adalah jalan menghayati warta Injil, yaitu
proklamasi Kerajaan kehidupan, keadilan, dan pendamaian bagi kaum hina dan
tertindas. Karena itu masuk dalam dunia kaum miskin berarti solidaritas dalam
rangka melaksanakan perutusan evangelisasi Gereja. Evangelisasi bersifat
membebaskan karena menyatakan pembebasan total dalam Kristus yang mencakup baik
transpormasi historis dan politis konkret maupun mengantar sejarah menuju
kepenuhannya dalam Kristus. Kaum miskin memp[unyai kemampuan evangelisasi,
sebab:
1. Mereka menentang Gereja secara tetap
menuju pertobatan dari jalan lama yang mendukung status quo;
2. Banyak orang miskin yang menghayati
nilai evangelis dalam kehidupannya seperti solidaritas, pelayanan, kesederhanaan
dan keterbukaan pada Allah.
Pola Hidup Berjemaat (spiritualitas menuju transformasi
sosial)
Pola hidup berjemaat yang
diperkembang di Tanah Batak berkaitan dengan pengalaman para Missionaris
tentang keberhasilan gereja Jerman sebagai gereja rakyat. Salah satu unsurnya
adalah peranan gereja dalam mewujudkan transformasi sosial. Hidup berjemaat
menjadi pusat dari kehidupan masyarakat di segala bidang, dan itu diwujudkan
dalam struktur bangunan gedung gereja dalam susunan perumahan desa. Mirip
dengan itu dilakukan Missionaris melalui corak kompleks gedung gereja (“pargodungan”). Dalam kompleks itu selalu ditemukan gedung
gereja, gedung sekolah tempat pengembangan ilmu, lahan pertanian sebagai
percontohan (yang dikerjakan oleh para pelayan penuh waktu) untuk pemotivasian
bagi peningkatan ekonomi penduduk, dan perumahan para pelayan sebagai tanda
persekutuan kristiani yang menjadi acuan bagi persekutuan baru di desa atas
dasar iman Kristen. Proses untuk hidup dalam
spiritualitas kemandirian yang dalam pelayanan di masyarakat kemudian akan
membuahkan transformasi sosial. Dengan demikian seluruh kehidupan masyarakat diperkembang melalui gerakan
penginjilan itu, sehingga peranan Injil untuk mengendalikan hidup modern
dimungkinkan. Disinilah mereka dimampukan untuk melayani sebagai para
penginjil, yaitu orang-orang yang
bijaksana, yang dibakar oleh api roh dari Kasih Yesus, walau pun terlihat pergeseran penekanan tugas. Pergeseran
dan proses seperti di atas menolong kita untuk mendengar ucapan Tuhan Yesus: “Akulah Yang Memilih Kamu!”
VI. Kesimpulan
Pembebasan
terhadap kaum tertindas dan yang mengalami ketertekanan akibat dari pihak yang
berkuasa dan pemerintah, dapat diperjuangkan dengan memberikan kekuatan
terhadap mereka melalui persekutuan bersama untuk mengangkat hak dan memotivasi
umat dalam ibadah. Umat Tuhan yang telah mengalami ketidakadilan sosial dan
mengalami marginalisasi di tengah-tengah kehidupannya, Allah menunjukkan
kekuatan bagi bangsa Israel demikian juga bagi orang-orang yang terbelakang
dengan memberikan jalan untuk mendapatkan kebebasan dan mengeluarkan mereka
dari perbudakan apabila datang bersekutu dengan TUHAN. Jalan kebebasan akan
dicapai melalui apabila mereka secara bersama-sama bersatu untuk memperjuangkan
haknya yang berlandaskan kekuatan TUHAN yang senantiasa memberikan jalan keluar
untuk menyelesaikan masalah atau persoalan. Kaum tertindas mendapatkan tangan
pengasihan dari Allah sebab TUHAN mengetahui apa yang menjadi kebutuhan
umat-Nya, asalkan beribadah kepada TUHAN dan hidup sebagai umat TUHAN yang
taat-Nya. Pembebasan itu akan nyata diperoleh oleh umat TUHAN, sebab kebebasan
sendiri berasal dari Allah dan asalkan manusia menuruti apa yang TUHAN katakan.
Dalam
hubungannya dengan diakonia maka secara eklesiologi-teologis tugas diaken
merupakan tanggungjawab setiap orang percaya:
1)
Setiap orang berhak
untuk hidup bebas dan merdeka, Oleh karena itu setiap orang harus hidup
didasarkan atas amanat dan semangat injil Kristus yang membebaskan (I Ptr 2:16)
2)
Pemerintah
berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah (bnd. Rm. 13: 1), oleh
karena itu haruslah memancarkan kasih dari Allah.
3)
Proses
pembebasan tidak harus dimulai dengan mengidentifikasi kawan-lawan, melainkan
dengan mengasihi, mengampuni dan mendoakan mereka yang dianggap menindas dan
menyusahkan orang lain. Sesama manusia adalah anak-anak dari satu Bapa. Jadi
semua orang harus dipandang sebagai sesama manusia bukan sebgai lawan yang
harus dihajar dan dimusuhi.
4)
Gereja
berperan sebagai suatu intitusi pembebasan, bahwa gereja terdiri dari
orang-orang yang dibebaskan dan diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Oleh
karena itu, Gereja adalah koinonia yang dibebaskan Tuhan dan menjadi Koinonia
pembebasan yang hendak dipakai Tuhan.
5)
Tugas
Gereja memberitakan injil Allah, berarti secara aktif bekerja untuk
mendatangkan kebaikan dan menentang segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.
Artinya gereja sebagai lembaga pembebasan yang Ilahi tak boleh berdiam diri
dari perjuangan demi kebaikan dan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar