TEOLOGI KERAJAAN ALLAH
I. PENDAHULUAN
Istilah
Kerajaan Allah merupakan salah satu topik terpenting dalam kitab-kitab injil
dan Perjanjian Baru dan pada umumnya para sarjana dari berbagai aliran teologi
yang berbeda setuju bahwa berita utama yang disampaikan Yesus adalah tentang
kerajaan Allah. Jürgen Moltmann,
seorang teolog pencetus teologi pengharapan (Theology of Hope), menyatakan eratnya
hubungan Yesus dengan berita kerajaan Allah melalui pernyataannya, “Kerajaan
Allah dinyatakan dalam Yesus.”[1]
Hans Küng, seorang teolog Katolik,
juga merumuskan pentingnya kerajaan Allah sebagai pusat proklamasi Yesus dengan
menyatakan, “This seems [Kingdom
of God] is at center of
His proclamation. . . .”[2]
Hal yang sama dikemukakan oleh Jon
Sobrino, seorang teolog pembebasan dan imam Yesuit, “Hal yang paling
penting dari sejarah tentang hidup Yesus adalah bahwa konsep dominan dari
pengajaranNya, dimana realitas aktifitasNya telah memberikan arti bagi seluruh
pelayanNya adalah Kerajaan Allah.”[3]
Teolog pembebasan lain dari kalangan Protestan Choan-Seng Song turut mengklaim
sentralitas kerajaan Allah sebagai inti dari berita Yesus. Mengutip pandangan Güther Bornkamm ia menulis, “ Pemerintahan
Allah, kemudian, dirangkumkan dalam keseluruhan pesan pemberitaan Yesus.”[4]
Bahkan, ia lebih jauh menyimpulkan bahwa identitas Yesus tidak dapat dilepaskan
dari berita kerajaan Allah yang disampaikan-Nya, “It is more than that. All
Jesus said and did has to do with the reign of God.”[5]
Walter Rauschenbusch, bapak teologi
Social Gospel, yang menempatkan kerajaan Allah sebagai dasar berteologinya
untuk menentang konsep eksklusif sempit Gereja sebagai kerajaan Allah menyatakan
pentingnya kerajaan Allah, If theology is to offer an adequate doctrinal basis
for the social gospel, it must not only make room for the doctrine of the
Kingdom of God, but give it a central place and revise all other doctrines so
that they will articulate organically with it. This doctrine is itself the
social gospel. . . . To those whose minds live in the social gospel, the Kingdom of God is a dear truth, the marrow of the
gospel.[6]
David Wenham menyimpulkan bahwa para
sarjana modern yang tampaknya tidak dapat sepakat dalam hampir setiap hal
tentang Yesus, “. . . are nearly unanimous on this one point—that Jesus
proclaimed the coming of the Kingdom.”[7]
Sayangnya, kesepakatan tersebut tidak diiringi dengan kesepakatan yang sama
terhadap definisi dan intensi kerajaan Allah yang disampaikan Yesus.[8]
Nampaknya
pemahaman yang berbeda tentang makna kerajaan Allah menurut Yesus tampaknya
didasari oleh adanya motif tertentu untuk mendukung suatu sistem teologi yang
dipegang atau diyakini agar tampak konsisten dan koheren. Akibatnya, terjadi
pengabaian pada penelusuran makna kerajaan Allah secara historis-biblikal dari
Kitab Suci.
Salah
satu contoh yang secara singkat adalah pandangan kerajaan Allah menurut teologi
feminisme yang dikemukakan oleh salah satu tokohnya, Elisabeth Schüssler Fiorenza. Pada dasarnya fondasi biblika yang
dikemukakan Fiorenza bahwa basileia (dia ingin konsisten dengan
tetap memakai kata Yunani basileia
untuk “kerajaan Allah”) harus dipahami dalam “. . . etos umum Yahudi pada
masanya, dan apabila sejarah dan komunitas Israel menjadi fokusnya.”[9]
Sayangnya, fondasi yang apik ini sangat terganggu oleh motif dan keinginannya
untuk menonjolkan cita-cita kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan,
yang sedang diusungnya. Akhirnya, definisi kerajaan Allah yang sebenarnya
sangat luas dan mencakup aspek-aspek yang sangat kaya, disempitkan dengan satu
istilah, “duduk bersama.”[10]
Realitas-realitas yang sama, seperti contoh di atas, dapat pula kita temui
dalam formulasi kerajaan Allah dalam teologi pembebasan, teologi Yesus dan para
murid nya pada lahirnya nampak seperti satu kecil dan permulaan yang tidak
penting untuk satu karya besar. Namun di dalam berabad-abad yang sudah
mengikuti, menyatakan gereja sudah menjadi satu institusi dahsyat, termasuk
berjuta-juta individu. Bagi Gutiérrez,
seorang teolog pembebasan terkenal, kerajaan Allah identik dengan pembebasan
(liberation). Pembebasan yang ia maksud ialah pembebasan dalam tendensi politis
dan sosial, “It can even be said that historical, political, liberating actions
mean the growth of the kingdom. . . .”. Pandangan ini mirip dengan definisi
yang diberikan oleh Reinhold Niebuhr,
“Kingdom of God seemed to be an immanent force in
history, culminating in a universal society of brotherhood and justice”. Ini
berbeda dengan konsep kerajaan Allah,
Küng yang kelihatannya memiliki kemiripan dengan konsep demitologisasi
Bultmann. Ia menekankan transcendental atau heavenly Kingdom yang berbeda dari religio-political theocracy. Satu
artikel yang membahas dengan baik dan cukup panjang lebar tentang perbedaan
pandangan konsep kerajaan Allah antara yang pro dengan konsep otherworldliness
of the Kingdom dengan konsep this-worldly of the Kingdom versi Herbert Braun
serta memberikan implikasinya secara singkat namun padat, adalah tulisan Günter Klein, “The Biblical
Understanding of the Kingdom
of God”. Dengan demikian,
terjadi ketegangan-ketegangan antara nilai transenden dengan imanen, masa depan
dengan masa kini, atau tekanan antara makna institusionalisme
dengan makna am dari kerajaan Allah
tersebut. pengharapan atau bahkan dalam teologi konservatif-injili sekalipun.[11]
Bruce Chilton mengeritik keserupaan metodologi kaum konservatif dengan
teologi-teologi yang disebut di atas dalam melihat kitab suci, khususnya dalam
kaitan dengan tema kerajaan Allah, melalui pernyataannya: Tempat tersendiri
dari para orang Kristen konservatif dari Kitab injil telah menjadi lebih
strategis. Mereka mengutip Alkitab dan menginstruksikan diri mereka dalam muatannya, akan tetapi mereka juga membatasi
banyaknya maksud/ati yang mereka akan terima dari Kitab Injil. . . . Faktanya
adalah bahwa para fundamentalis mengabaikan maksud/arti yang tidak sesuaikan
dengan teologi mereka[12]
Dari
pembahasan awal ini, dapat disimpulkan bahwa; sedang terjadi bias makna dalam
konsep kerajaan Allah. Meskipun, pada dasarnya, para teolog setuju bahwa konsep
kerajaan Allah harus kembali dilihat dari perspektif Yudaisme, tampaknya terlalu banyak godaan untuk mengusung motif
teologi (atau agenda) tertentu, yang hasilnya justru sering menjerumuskan dan
bukan memperjelas makna kerajaan Allah. N.
T. Wright, seorang teolog PB injili yang sangat terkenal saat ini,
mengeritik kecenderungan ini dengan menyatakan, “Again, attempts have often
been made to align kingdom-language with church-language, as though ‘the
church’ is the real meaning of the kingdom.”[13]
II. DEFINISI KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN LAMA
Satu-satunya
cara untuk memahami dengan baik pesan atau makna kerajaan Allah yang
disampaikan Yesus adalah dengan melihat kembali konsep ini sedikit ke belakang
menurut tradisi Perjanjian Lama, sebab apa yang disampaikan oleh Yesus
bersumber dari Perjanjian Lama (bdk. Mat. 5:17-19). Lagi pula, konsep kerajaan
Allah itu tentu tidak asing bagi kalangan Yudaisme saat itu yang memang erat
memegang Perjanjian Lama.
Pada
umumnya, para ahli setuju bahwa konsep kerajaan Allah yang berkembang dalam
Yudaisme bukan dalam makna area kekuasaan
atau sebuah teritorial dengan seorang
raja yang memerintah di atasnya.[14] Kerajaan Allah juga tidak boleh dipahami
dalam pengertian modern seperti halnya kekaisaran Jepang atau konsep kerajaan
Inggris (Kingdom), karena frasa ini bertendensi simbolik saja. Sekarang ini,
seorang Ratu di kerajaan Inggris atau Kaisar di Jepang, tidak lagi mempunyai kuasa
apapun untuk memerintah. Kekuasaan politik atau militer sepenuhnya terletak
dalam tangan seorang Perdana Menteri. Ia hanya menjadi penguasa simbolik untuk
mempertahankan tradisi kuno yang sudah hampir terkikis habis oleh tuntutan
sistem demokrasi-liberal modern. Ambiguitas inilah yang menyebabkan banyak
kalangan yang kurang sepakat dengan istilah Kingdom of God,
dan lebih setuju dengan terminologi Reign of God.[15]
Kata
Ibrani untuk kerajaan adalah malkuth.
Seorang ahli Perjanjian Baru, C. H. Dodd
mengatakan bahwa malkuth merupakan
kata benda abstrak yang dapat berarti: kemerajaan
(kingship), kuasa pemerintahan
(kingly rule), pemerintahan (reign) atau kedaulatan (sovereignty). [16]
Secara sederhana, ia mengartikan the
malkuth of God (kerajaan Allah) sebagai: “God reigns as King” atau
bertakhtanya Allah sebagai raja.[17]
Dengan
demikian, frasa kerajaan Allah dapat diartikan, “. . . the idea of God, and the
term ‘kingdom’ indicates that spesific aspect, attribute or activity of God, in
which He is revealed as King or sovereign Lord of His people, or of the
universe which He created.”[18]
Kaufmann Kohler, seorang teolog
Yahudi memberikan definisi lain namun serupa (dan menguraikan secara lebih
jelas tentang King of the universe yang dipaparkan Dodd), “Reign or sovereignty
of God as contrasted with the kingdom of the worldly powers. The hope that God
will be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expound
in prophecy and song.” (Kedaulatan
atau pemerintahan dari Tuhan seperti yang dibandingkan dengan kerajaan
kuasa-kuasa duniawi. Tuhan itu adalah harapan dan menjadi Raja di atas semua
bumi, bila semua pemujaan berhala akan dibuang, apakah menguraikan terperinci
di dalam nyanyian dan nubuatan)[19]
Dari
dua definisi ini terlihat satu pengertian yang sama bahwa kerajaan Allah sama
sekali tidak menunjuk kepada sebuah lokasi atau tempat yang istimewa dan penuh
dengan kebahagiaan (seperti gambaran surga yang banyak dipahami orang Kristen
selama ini) melainkan menunjuk kepada pemerintahan Allah atas umat-Nya dan atas
semesta ciptaan-Nya, yang berbeda bahkan bertolak belakang dari pemerintahan
dunia ini. Dalam hal ini dapat dipahami pandangan John Meier, seorang teolog Katolik, yang mempertegas bahwa definisi
ini berlaku untuk menunjukkan relasi yang erat antara Allah sebagai Raja dengan
umat sebagai hamba-hamba yang diperintah-Nya, bukan dalam pengertian suatu
cakupan teritorial, “Hence his action upon and his dynamic relationship to
those ruled, rather than any delimited territory, is what is primary.”[20]
Dalam
sejarahnya, konsep the kingship of YHWH
mengalami perkembangan yang signifikan. Sejarah the kingship of YHWH sebenarnya
telah ditulis sejak Taurat. [21]
Melalui pujian umat dalam Keluaran 15:18, setelah mereka berhasil lolos dari
kejaran bala tentara Mesir lewat peristiwa spektakuler yang dilakukan YHWH di
depan mata mereka, termaktub dengan jelas pengakuan bahwa hanya Dia yang layak
untuk memerintah mereka selama-lamanya. Pengakuan mereka ini kemudian
ditahbiskan lewat kovenan Sinai, di
mana mereka diangkat dari antara segala bangsa menjadi “kingdom of priest (kerjaan imam),” kerajaan imam, kerajaan di mana
Allah memerintah dan umat patuh serta melayani-Nya (Kel. 19:4- 6; bdk. Ul.
33:5).[22]
Dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Umat
ternyata meminta raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:6-22).[23]
Tindakan demikian sama saja dengan pemberontakan terhadap sistem teokrasi
mutlak yang telah dideklarasikan Allah di Sinai melalui Musa, hamba-Nya.[24]
Perjalanan berikutnya menyebutkan Tuhan “memaklumi” hal ini (1Sam. 12), namun
aturan main yang ditetapkan adalah sang raja terpilih tidak punya kedaulatan
atas umat.
Dalam
hal ini, ditenemukan satu masalah pelik yang ada di balik konsep kerajaan
Allah. Apakah ada dua kerajaan di dalam kerajaan Allah: kerajaan yang bersifat
spiritual-teokratis (dipimpin oleh YHWH) dan kerajaan yang bersifat
politis-monarkis (dipimpin oleh raja-manusia)? Masalah ini tidak mudah namun
menjadi titik berangkat penting yang pada akhirnya membawa kita memahami makna
kerajaan Allah versi Yesus.[25]
Masalah
ini hanya dapat dipecahkan jika kita kembali melihat dua ayat yang sudah
disebutkan sebelumnya: Keluaran 19:4-6 dan Ulangan 17:14-20. Di dalam Keluaran
19:4-6, Allah mendeklarasikan kerajaan Allah yang diistilahkan-Nya: kerajaan
imam.[26]
Dalam hal ini kita setuju dengan komentar John
I. Durham terhadap Keluaran 19:6 yang menyatakan bahwa makna kerajaan imam
ini tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang melekat dan melatarbelakangi
konsep ini yakni “harta kesayangan” dan “bangsa yang kudus,” yang merupakan
dwitunggal penting dalam kovenan YHWH dengan Israel.[27]
Sebagai “harta kesayangan,” Israel “. . . become uniquely Yahweh’s prized
possession by their commitment to him in covenant,”[28]
dan sebagai “bangsa yang kudus,” Israel: . . . then represents a third
dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are to be a
people set apart, different from all other people by what they are and are
becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant
with Yahweh changes a people.[29]
Dengan
demikian, sebagai kerajaan imam, Israel, “. . . was always supposed to be: a
kingdom run not by politicians depending upon strength and connivance but by
priests depending on faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling
nation.”[30]
Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa maksud YHWH mendirikan kerajaan-Nya [31]
di tengah-tengah Israel, bukan untuk membentuk suatu dinasti monarki-ekslusif
(apalagi fasis) yang paling jaya, paling kuat dan paling superior tanpa dapat
ditandingi bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti eskpansi militer model
Nebukadnezar dari Babel, Koresy dari Persia atau Aleksander Agung dari Yunani.
Ia menghimpun dan mengangkat Israel
untuk masuk dalam kerajaan-Nya hanya demi satu tujuan: menjadi model atau
patron bagi bangsa-bangsa kafir di sekitarnya tentang bagaimana hidup taat dan
beriman kepada YHWH agar mereka pun pada akhirnya hanya me-Rajakan-Nya. Dari
pembahasan ini, ada tiga poin pokok yang menjadi inti kerajaan imam versi
Sinai: pertama, YHWH sebagai
inisiator; kedua, kekudusan sebagai
fokus utama dan ketiga, Israel
sebagai umat kesayangan YHWH, yang tujuan utamanya bukan untuk membentuk suatu
umat yang ekslusif dan superior tetapi suatu umat yang inklusif, di mana
kerajaan itu pada akhirnya tidak hanya mencakup Israel tapi seluruh kosmos.
Konsep
ini makin lengkap jika mencermati Ulangan 17:14-20. Pandangan yang dapat
dirumuskan bahwa bagian ini menegaskan antisipasi YHWH akan kemungkinan
terbentuknya suatu bentuk pemerintahan monarki dalam umat.[32]
Dengan demikian, YHWH tidak sepenuhnya menolak konsep raja-manusia,[33]
tetapi YHWH menetapkan aturan main yang jelas, sebab kecenderungan terjadinya
pelanggaran terhadap ketetapan kerajaan imam yang telah dideklarasikan di Sinai
sangat besar. Ayat 16-17 menjelaskan tiga hal yang dapat mengancam kerajaan
imam-Nya: pertama, jangan memelihara
banyak kuda. Sudah menjadi kenyataan bahwa saat itu kuda merupakan lambang atau
simbol kekuatan militer. Kejayaan suatu bangsa salah satunya diukur dari berapa
banyak pasukan berkuda yang dimiliki (bdk. Kel. 14:23; 2Taw. 16:8; Mzm. 20:7;
Hab. 1:8). Durham, melalui kutipannya terhadap
pandangan Mowinckel, bahkan mengatakan bahwa pasukan berkuda merupakan simbol
perlawanan kepada Allah.[34]
Kedua,
jangan beristri banyak. Larangan ini tidak dapat dimengerti jika dipandang dari
pandangan orang modern yang sering mengaitkan hal ini dengan persoalan
moral-etis sebuah pernikahan. Dalam konteks politik dunia timur dekat kuno saat
itu, perkawinan berkaitan dengan ikatan politik satu bangsa dengan bangsa lain
dan ikatan politis saat ini tidak semata bertendensi relasi diplomatis seperti
sekarang ini, tetapi pasti ada unsur perkawinan religius (bdk. dengan kegagalan
Salomo [1Raj. 11:4-8]). Christensen
menjelaskan ekses buruk dari pola ini dengan sangat baik, “. . . which has been
a center for political power and intrigue from its inception.”[35]
Ketiga, jangan mengumpulkan emas dan
perak yang banyak. Larangan ini bertujuan menghindarkan Israel dari bersandar pada kekuatan
ekonomi seperti yang kerap dilakukan bangsa-bangsa kafir.
Jadi,
jelas ketiga larangan yang diajukan YHWH sebagai prasyarat rajamanusia berdasar
pada tiga hal yang berpotensi menggagalkan Israel menjadi sebuah kerajaan
imam, yakni kekuatan militer, politik dan ekonomi.[36]
Berbagai
hal yang selama ini dianggap “keberhasilan” Salomo (1Raj. 10:14-28) nampaknya
justru merupakan awal dari kegagalannya. Perhatikan konteks selanjutnya dari
bagian ini 1Raja-raja 11-12. Penilaian positif yang diberikan kitab
penulis-penulis kitab Deuteronomistik kepada harta kekayaan Salomo selalu hanya
dikaitkan dengan perhatian yang serius dari Salomo untuk membangun Bait Allah.
Emas dan perak dalam arti positif senantiasa dikaitkan dengan persembahan untuk
Bait Allah (bdk. 2Taw. 9:24). Dalam perjalanan kerajaan Israel Selatan,
beberapa raja jatuh karena tiga persoalan ini, misalnya: Yoas yang jatuh karena
menyerahkan emas dari rumah Tuhan demi jaminan keamanan dari Hazael, raja Aram
(2Raj. 12:17-18); Raja Asa mengeluarkan emas dan perak untuk mengadakan
persekutuan militer dengan Benhadad, raja Aram (2Taw. 16:2-3); Hizkia yang
mempertontonkan emas, perak, persenjataan dan berbagai hartanya pada para
utusan Babel untuk kerjasama membangun kerjasama politik dan militer demi
mencegah ancaman Asyur (2Raj. 20:12- 21).
Atas
dasar ini baru dapat dipahami dengan lebih tepat perasaan tertolak YHWH dalam 2
Samuel 8:7, tatkala umat meminta seorang rajamanusia. Jika ditelusuri lebih
jauh sebenarnya mereka inginkan bukan sekadar seorang rajamanusia, tetapi lebih
jauh mereka ingin menginstitusionalisasi
suatu kerajaan monarki baru yang ekslusif, yang pada akhirnya mengizinkan
pembangunan kekuatan militer, politik dan ekonomi yang kuat demi kelanggengan
eksistensi diri.[37]
Sikap ini tentu sama saja dengan menolak konsep kerajaan imam yang telah
dideklarasikan-Nya bagi mereka. Pasca kejatuhan Saul, YHWH ingin merestorasi
cita-cita kerajaan imam ini melalui Daud dan keturunan-Nya. Formulasi janji
YHWH kepada Daud dalam 2 Samuel 7:1-17, tetap memuat inti deklarasi kerajaan
imam Sinai yakni ketaatan kepada-Nya (2Sam. 7:14) dan jangan lupa, konteks
bagian ini adalah rencana pembangunan Bait Allah yang menjadi sentral ibadah
umat, persis seperti Sinai yang merupakan pusat ibadah umat ketika berada di padang gurun setelah keluar
dari Mesir (bdk. Kel. 3:12, “. . . kamu akan beribadah kepada Allah di gunung
ini”). Da[at juga dibandingkan dengan respons Daud dalam 2 Samuel 7:22-26 yang
turut menyatakan bahwa Israel
ada untuk-Nya dan bukan sebaliknya; dengan kata lain Daud hanya mengagungkan
eksistensi-Nya sebagai sang Raja sebenarnya.[38]
Formulasi
yang sama juga termaktub dalam 1Raja-raja 9:5-6. Khusus dalam bagian ini, ada
satu konteks menarik yang dipaparkan. Janji peneguhan kerajaan Salomo dibarengi
dengan syarat ketaatan mutlak dari Salomo dan semua keturunannya kelak (1Raj.
9:6). Ketidaktaatan mereka akan membawa: pertama,
kehancuran kerajaan; kedua,
pembuangan (9:7) dan ketiga,
kehancuran Bait Allah sebagai pusat ibadat (yang baru saja diresmikan) (9:8).
Indahnya, semua ini disimpulkan dalam pengulangan kisah kovenan Sinai sebagai
perekat utama, “Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan Tuhan, Allah
mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir. . . .” (9:9).
Dari sini, dapat disimpulkan: pertama,
Raja sesungguhnya adalah YHWH. Setiap raja Israel harus takluk dan tunduk di
bawah otoritas-Nya. Ia adalah pengendali
sejati dari sejarah Israel;
kedua, setiap tindakan atau sikap
yang hendak “mengkudeta” kerajaan imam yang ditetapkan-Nya akan dibayar dengan
sangat mahal. Hukuman pasti tiba: hancurnya kerajaan, pembuangan dan robohnya
Bait Allah. Kebalikannya, khususnya pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan,
umat benar-benar akan diyakinkan bahwa kerajaan Allah telah hadir, dan Ia
kembali bertakhta di Sion, melalui tiga tanda konkret: (1) restorasi dinasti
Daud (hadirnya Mesias);[39]
(2) dibangunnya kembali bait Allah dan; (3) kembalinya umat dari pembuangan
untuk menyembah Dia yang berimbas pada konsekuensi musuh-musuh pasti akan
ditaklukkan. Dari penelusuran ini, dilihat ada progresifitas konsep dari
kovenan Sinai kepada perjanjian dengan Daud dan Salomo. Namun, di sisi yang lain ada kecenderungan yang
berbahaya bagi umat dari perkembangan konsep ini. Hal yang paling berbahaya
adalah mulai munculnya nasionalisme sempit karena salah menafsir tiga poin
pokok di atas.
Sehubungan
dengan itu maka dapat disebutkan bahwa setiap idealisme pada masa Daud, dan
seterusnya pada masa pasca-pembuangan, harus dilihat dari cita-cita kerajaan
Allah kovenan Sinai. Penekanan ketiga dari kerajaan imam Sinai, Israel
sebagai umat kesayangan YHWH, sering dipandang sebagai poin penting untuk
melegalisasi perang suci (mungkin seperti pasukan crusade Kristen), apalagi
setelah berulang kali mengalami kepahitan pasca-pembuangan. Dari stand-point
ini baru dapat dimengerti dengan jelas kontroversi seputar pertentangan Yesus
dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.
III. KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN BARU
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kerajaan Allah dalam Perjanjian Lama merupakan panggilan imamat
bagi Israel
untuk masuk dalam ketaatan mutlak kepada YHWH dan menjadi model bagi
bangsa-bangsa kafir. Bukan itu saja, mereka bahkan dipanggil menjadi agen utama
ilahi untuk menunjukkan kepada bangsa-bangsa kafir bagaimana hidup me-rajakan
Dia dalam kesucian dan kekudusan agar mereka pada akhirnya juga hanya menyembah
YHWH. Wright menyatakan hal ini
dengan kalimat yang sangat indah: . . . the creator God had purposed from the
beginning to address and deal with the problems within his creation through Israel.
Israel was not just to be an
“example” of a nation under God; Israel was to be the means through
which the world would be saved.[40]
Konsekuensinya
sederhana: Israel
dipanggil untuk meninggalkan segala bentuk upaya mengikuti pola-pola kerajaan
kafir yang ada hanya demi kelanggengan eksistensi dan institusi mereka; dan
sebenarnya inilah berita kerajaan Allah yang Yesus bawa: bertobat dari segala agenda-agenda kelompok atau golongan dalam
menghadirkan kerajaan Allah yang sebenarnya hanya mengikuti pola-pola bangsa
kafir.[41]
Sayangnya, pada masa Yesus cita-cita kerajaan imam ini terdistorsi. Berbagai
kalangan bermunculan dan berupaya untuk menafsirkan makna kerajaan Allah
berdasarkan cita-cita golongan mereka. Tujuannya satu: kelanggengan eksistensi
kerajaan Israel.
Golongan yang pertama adalah mereka yang bergerak dalam perjuangan secara
revolusioner. Konteks pembuangan dan penjajahan yang dialami umat Israel
secara silih berganti membuat menjamurnya gerakan-gerakan ini. Kelompok yang
kebanyakan dimoderasi oleh kaum Zelot ini menggencarkan cita-citanya dengan
mencaplok doktrin kerajaan Allah untuk mendapatkan dukungan luas. Semboyan
mereka adalah, “No King but God!”[42]
Golongan kedua adalah kaum esenit yang terkenal dengan gaya hidup asketisnya yang mempunyai
penafsiran sendiri terhadap kerajaan Allah. Mereka terlalu menekankan aspek
ritual dan kesucian etis sehingga akhirnya mereka menjadi kaum escapist yang
“suka” melarikan diri dari dunia nyata. Wright
menamakan golongan ini dengan sebutan kelompok quietist yang memiliki semangat, “. . . separate yourself from the
wicked world and wait for God to do whatever God is going to do.”[43]
Bagi mereka, kerajaan Allah ada dalam dimensi keheningan dan kesendirian jauh
dari orang-orang kafir, sesat dan berdosa.[44]
Golongan
terakhir berasal dari kalangan istana, Herodes. Orang ini punya “penyakit” messianic syndrome sehingga rela untuk
melakukan kompromi-kompromi politik kotor. Dengan modal uang banyak dan posisi
strategis, ia membangun segala sesuatu yang diperlukan (kota benteng, istana dan Bait Allah yang
megah) untuk melegalisasi dirinya sebagai the
coming king. Lahirnya golongan-golongan ini membuat konsep kerajaan imam
YHWH di Sinai ditinggalkan. Ketiga konsep yang umum berkembang di Palestina pada
zaman Yesus seperti di atas tidak sejalan dengan konsep kerajaan imam Sinai.
Itu sebabnya tidak satu pun dari pola itu sejalan dengan pandangan Yesus. Yesus
memberikan pemaknaan yang kontras dan beroposisi dari konsep kerajaan Allah
yang umum dianut saat itu. Ia mengajak setiap pendengar dan pengikut-Nya untuk
melihat kembali makna kerajaan imam yang telah dideklarasikan YHWH bagi Israel dan memanggil mereka untuk percaya dan
bertobat serta mengikut Dia untuk menjadi Israel
yang sejati (the real Israel):
Israel
yang memancarkan ketaatan mutlak kepada YHWH.[45]
Beberapa
tindakan dan perkataan Yesus dapat merepresentasikan semangat kerajaan imam
Sinai ini adalah:[46]
Pertama, Yesus merepresentasikan
tindakan YHWH sebagai inisiator perjanjian.[47]
Dalam teologi perjanjian di dunia timur dekat kuno, tujuan perjanjian (kovenan)
adalah ketaatan. [48]
Poin ini sangat tampak dari ajakan berulang-ulang yang disampaikan-Nya untuk
taat kepada-Nya.[49]
Dalam hal ini, Yesus mengasosiasikan tindakan yang biasa dilakukan YHWH pada
masa lampau kepada Israel
dengan tindakan-Nya. [50]
Kedua, Yesus merepresentasikan
tindakan YHWH untuk membentuk suatu umat yang kudus bagi-Nya. Salah satu
tindakan yang sangat tampak adalah peristiwa penyucian Bait Suci sebagai pusat
ibadat umat.[51]
Hal lain yang memuat berita pembentukan umat yang kudus adalah berita
pembenaran dan penghakiman yang berulang-ulang ditekankan Yesus.[52]
Ketiga, Yesus menunjukkan diri
sebagai YHWH yang datang untuk mengasihi kembali umat-Nya dengan tujuan supaya
umat menyampaikan kasih itu kepada segala bangsa.[53]
Ide ini biasanya dikaitkan dengan kontras terang (umat Allah)[54]
dengan gelap (umat Iblis).[55]
Dan menariknya, Yesus kembali mengasosiasikan diri-Nya sebagai terang, julukan
yang hanya pantas disandang YHWH.[56]
Pokok tentang kerajaan imam ini, kemudian juga disampaikan oleh Petrus (1Pet.
2:9). Dalam konteksnya, jelas Petrus ingin menyatukan konsep kerajaan imam
dengan pribadi Yesus (lih. ay. 4-8).[57]
Dari
pembahasan ini, penulis berkesimpulan bahwa berita kerajaan Allah yang
disampaikan Yesus yang menuai banyak kontroversi dari orangorang sezaman-Nya,
tidak hanya disebabkan karena berita itu berbeda dengan berita kerajaan Allah
yang umum berkembang saat itu. Lebih jauh, Yesus sedang mendeklarasikan diri
sebagai Sang Pembawa kerajaan Allah itu sendiri, dan konsekuensi logisnya jelas
bahwa berita kerajaan Allah itu tidak dapat dilepaskan dari pribadi Sang
Pembawa, seperti yang dikatakan Wright, “Equally important, it [kingdom of God]
could never be divorced from the person and deeds of the proclaimer.”[58]
Kesimpulannya jelas: Yesus adalah YHWH sendiri; Dia adalah Sang Raja yang
kekal, yang harus ditaati! Maka benarlah kata-kata Marcion seperti yang penulis kutip di atas, “In evangelio est Dei
regnum Christus ipse” (dalam injil, kerajaan Allah adalah Kristus sendiri).
Konsep kerajaan Allah tidak pernah berbicara tentang sebuah teritorial
atau daerah dengan sebuah sistem politik dan struktur birokratis di dalamnya.
Kesimpulan penulis dari pembahasan ini ialah bahwa kerajaan Allah yang dimulai
dengan deklarasi kerajaan imam Sinai berfokus pada Pribadi Agung yang
dinobatkan sebagai Raja, Yesus Kristus. Di dalam Dia, seluruh perjalanan
sejarah dunia mencapai klimaksnya. Di dalam Dia, surga dan bumi yang dulunya
terpisah karena dosa dan pemberontakan manusia, disatukan kembali. Di dalam
Dia, Allah berkenan menerima manusia kembali untuk menjadi umat-Nya yang kudus.
Di dalam Dia, umat baru itu: sebuah imamat rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri, dipanggil untuk meninggalkan apa pun juga, untuk taat
dan menyaksikan kebesaran kemuliaan-Nya kepada segala makhluk dan seluruh isi
semesta ini.
IV. PENAMPAKAN
KERAJAAN ALLAH DALAM ASPEK KEKINIAN DAN
MASA YANG AKAN DATANG
Di dalam Injil dapat
dilihat bahwa Yesus datang untuk menyampaikan berita bahwa kerajaan Allah sudah
dekat (Matius 4:17, Markus 1:2-3, 14-15, Lukas 4:14-21, 43). Gordon Fee dalam tulisannya “The Kingdom
of God”, mengatakan bahwa: “kesaksian universal dari tradisi Injil Sinoptik
adalah bahwa tema yang benar-benar utama dalam misi dan pesan Yesus adalah
‘kabar baik kerajaan Allah’.[59]”
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selama ini adalah apa yang dimaksud
Yesus dengan “Kerajaan Allah” itu. Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus
melalui aspek-aspek :
a)
Soteriologis, kerajaan Allah menyatakan mengenai Allah
yang menyelamatkan berpangkal dari keadaan dosa, sesuatu yang negatif, dan
Allah datang untuk mengatasinya. Namun keselamatan yang dimaksud Yesus bukan
hanya keselamatan yang bersifat rohani tetapi juga jasmani, untuk semua orang
tanpa membedakan, dan dengan mendahulukan mereka yang paling menderita/jauh
dari keselamatan.
b)
Kristologis, kerajaan Allah berhubungan erat dengan
seorang pribadi yang bernama Yesus (Luk 11:20)
c)
Eskatologis, kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus
sudah dimulai tetapi belum penuh
d)
Teologis, kerajaan Allah dimaklumkan dengan gambaran
tentang Allah yang baru. Allah adalah abba (bapa tercinta).
e)
Religio-politis, basilea uteum, kata yang
dipakai untuk kerajaan Allah yang diberitakan Yesus sama dengan kata yang dipakai
imperium Romawi untuk menyebut kerajaan Romawi.
Yang menarik perhatian
adalah gambaran kerajaan Allah dari aspek eskatologis. Pertanyaan mengenai apa
makna kerajaan Allah itu melahirkan pertanyaan selanjutnya, yaitu apakah
kerajaan Allah itu sudah hadir saat ini, ataukah itu merupakan sesuatu yang ada
di masa depan, yang masih harus dinantikan. Berpikir bahwa kerajaan Allah itu
sudah hadir saat ini menimbulkan masalah ketika bertemu dengan teks-teks
Perjanjian Baru yang berbicara mengenai kedatangan akhir zaman, yang masih akan
terjadi (Mat 24:36, Mrk 13:32), dan juga ketika bertemu dengan kenyataan bahwa
manusia masih saja bergumul dalam penderitaan dan dosa-dosanya, yang seharusnya
sudah tidak ada lagi karena kerajaan Allah sudah hadir. Akan tetapi, berpikir
bahwa kerajaan Allah belum hadir dan merupakan suatu pengharapan yang akan
terjadi di masa depan, menimbulkan masalah juga ketika bertemu dengan teks-teks
Perjanjian Baru yang menyatakan sukacita kedatangan atau hadirnya kerajaan
Allah dalam kehidupan pelayanan Yesus. Oleh karena itu, ungkapan “akhir zaman
belum tiba tetapi zaman akhir sudah tiba” memberikan jawaban bagi pergumulan
teologis. Kerajaan Allah dikatakan oleh Fee
juga, merupakan “both a future event and a present reality”, suatu peristiwa
yang akan terjadi di masa depan dan juga suatu realita masa kini [60] .
Kerajaan Allah telah
dinyatakan (inaugurated) dalam Yesus Kristus, namun
pemenuhan/penggenapan sempurnanya merupakan sesuatu yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Dengan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa kerajaan
Allah tidak bisa didentikkan dengan suatu keadaan di masa kini, seperti
misalnya suatu teokrasi, atau bahkan gereja, karena pemenuhan/penggenapannya
bukanlah pada masa sekarang ini. Namun dengan pengertian ini juga, ada alasan
untuk bersukacita dalam keselamatan yang diberikan oleh Allah bagi manusia, dan
juga bersukacita dalam pengharapan akan penggenapan janji Allah akan
kerajaan-Nya, yaitu ketika “Ia akan menghapus segala air mata dari mata
mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau
ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”
(Wahyu 21:4). Dengan pengertian ini justru membuat sukacita menjadi penuh,
karena menyadari bahwa kita hidup dalam “time between times”, di belakang dan
di masa kini adalah pernyataan kerajaan Allah dan di masa depan adalah
pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah.
Dengan memperoleh
pengertian mengenai “kapan” kerajaan Allah hadir di dunia ini, membawa kita
pada pemahaman berharga yang sangat membantu kita dalam pergumulan untuk memahami kerajaan
Allah yang diberitakan Yesus. Memahami bahwa akhir zaman belum tiba tetapi
zaman akhir sudah tiba, memberikan pengertian kepada kita mengenai pentingnya
sikap aktif untuk berpartisipasi dalam karya kerajaan Allah di dunia ini.
Artinya setiap orang yang percaya pada kebenaran eskatologis kerajaan Allah ini
akan menjadi orang yang terus memperjuangkan perubahan menuju
pemenuhan/penggenapan kerajaan Allah itu.
Dari sini kita memahami
bahwa kerajaan Allah bukanlah tentang apa yang Allah lakukan/kerjakan sementara
manusia menanti dengan pasif, dan bukan juga tentang apa yang harus manusia
kerjakan/perjuangkan sementara Allah menyaksikannya dari jauh. Kerajaan Allah,
seperti yang dikatakan Bruce Chilton dan J.I.H. McDonald dalam Jesus and
Ethics, adalah performative[61].Itu
adalah performance Allah di mana kita dengan aktif turut serta
berpartisipasi.
Dalam sukacita kerajaan
Allah yang sudah hadir di tengah dunia, dan dalam pengharapan akan pemenuhan
kerajaan Allah yang akan datang, kita dipanggil untuk turut aktif
berpartisipasi/mengambil bagian dalam karya kerajaan Allah itu. Memahami
panggilan ini membawa kita kepada pemahaman baru mengenai aspek-aspek lain dari
kerajaan Allah yang diberitakan Yesus yang disebutkan di depan tadi. Dalam
aspek soteriologis misalnya, kita dapat bersukacita karena keselamatan sudah
datang, namun kita juga tidak bisa berpuas diri dan berpangku tangan saja,
melainkan dipanggil untuk turut berpartisipasi memberitakan tentang Yesus
Kristus yang membawa berita kerajaan Allah yang menyelamatkan itu. Berita itu
harus disampaikan kepada semua orang, dengan memulai dari mereka yang terjauh
dari keselamatan, yaitu mereka yang paling menderita. Namun berita itu juga
bukan sekedar berita rohani/spiritual, tetapi juga berita keselamatan jasmani,
karena itu kita tidak bisa menutup mata terhadap penderitaan jasmani yang
dialami oleh sesama manusia di sekitar saya. Membawa kerajaan Allah kepada
mereka melalui tindakan nyata juga merupakan wujud partisipasi saya dalam
kerajaan Allah yang sudah hadir dan akan datang itu.
V. KESIMPULAN DAN REFLEKSI MASA KINI
Dari
pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa istilah kerajaan Allah
pertama-tama harus dilihat kembali dalam konteks dari mana istilah itu berasal
yakni Yudaisme yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari Perjanjian Lama
sebagai sumber utama tradisi Yudaisme. Kedua, dalam pemahaman Yudaisme,
kerajaan Allah tidak pernah secara khusus berbicara dan mengacu dengan “dunia
lain” yang tidak punya kait-mengait dengan dunia kita saat ini. Bertitik tolak
dari Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh
Yesus sendiri dalam Matius 6:10, “datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di sorga.” Dengan demikian, kerajaan Allah juga berbicara tentang masa kini dan sekarang, bukan hanya esok dan masa akan datang.
Oleh
sebab itu kerjaan Allah langsung menghubungkan dengan hal kehendak Allah.
Ketika Yohanes Pembabtis memproklamirkan kerjaan itu, maka penekanannya dalah
perwujudan tindakan Allah yang berdaulat ditengah-tengah uman manusia. Maka
pemahaman kerajaan Allah bukan berorientasi pada ruang lingkup, tempat allah,
namun pemahaman Kerajaan sebagai suatu yang bersifat dinamis.[62]
Sejalan
dengan pembahasan sebelumnya, kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik
(bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh
dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut
disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil
untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap
aspek itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya
menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari
makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa kerajaan Allah
pertama-tama dan terutama berbicara tentang citacita eskatologis bahwa Kristus
adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan
menyembah-Nya (Fil. 2:10-11; Kol. 1:15-18).
[1] Jürgen Moltmann, Jesus Christ For Today’s World, Fortress, Minneapolis: 1994, hlm. 7.
[2] Hans Küng, On Being a Christian, Doubleday, New York:
1975, hlm. 214
[3] Jon Sobrino, Christology at the Crossroads, Orbis,
Maryknoll: 1984, hlm. 41. Lih. juga Gustavo Gutiérrez, The Truth Shall Make You
Free: Confrontation , Orbis, Maryknoll: 1991, hlm. 117
[4] Choan-Seng Song, Jesus and the Reign of God, Fortress, Minneapolis: 1993, hlm. 4
[5] Ibid.
[6] Walter
Rauschenbusch, A Theology for the Social Gospel, Abingdon, Nashville: 1945, hlm. 131. Nampaknya salah
satu kekeliruan Agustinus yang menyamakan kerajaan Allah dengan gereja, “Then
it must be out of His present kingdom, the Church, that they are gathered. . .
. Therefore the Church even now is the kingdom
of God, and the kingdom of Heaven.
. . .” (The City of God [trans.; New York: The Modern Library, 1950] 725, 726)
[7] David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of
Christianity, Eerdmans, Grand Rapids:
1995, hlm. 35.
[8] N. T.
Wright, The Challenge of Jesus: Rediscovering Who Jesus Was and Is , InterVarsity,
Downers Grove: 1999, hlm. 34. Walter Rauschenbusch, misalnya, melihat kerajaan
Allah sebagai konsep yang harus dibedakan dari Gereja (lih. A Theology, hlm. 132-138). Agustinus di pihak lain justru
mengasosiasikan kerajaan Allah dengan Gereja. Pandangan yang sama dengan
Agustinus, yang menyamakan kerajaan Allah dengan Gereja dapat pula dilihat dari
pandangan tokoh-tokoh Dispensasionalisme seperti John Walvoord yang menyatakan,
“Concerning this, Jesus said, ‘The Kingdom of Heaven is like a mustard seed. .
. . The church, like a mustard seed, had a small beginning.
[9] Untuk
Mengenang Perempuan Itu: Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asalusul
Kekristenan (terj.; Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995) 165.
[10] Ibid.
164.
[11] Kegagalan fatal dari banyak kalangan Injili sekarang ini dalam menjelaskan
definisi kerajaan Allah adalah kecenderungan sempit untuk menyamakan kerajaan
Allah sebagai suatu lokasi tempat tinggal orang-orang percaya setelah mati
(surga) untuk hidup kekal. Ini banyak ditemui dalam metode-metode penginjilan
masa kini. Ayat-ayat tentang kerajaan Allah dikutip secara sembrono untuk
mendukung teologi “hidup kekal” ini. Dikutif dari; http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24 Maret 2010
[12] “The Reign of Forceful Grace” dalam Jacob Neusner dan Bruce
Chilton, Jewish- Christian Debates: Kingdom, Messiah, Fortress, Minneapolis: 1998, hlm. 135
[14] Lih.
ambiguitas yang muncul dari kata Inggris
Kingdom dalam buku C. H.
Dodd, The Parables of the Kingdom, Charles Scribner’s, New York: 1961, hlm. 21.
[15]James Dunn cenderung memakai terminologi Kingdom of God
karena memang kata Yunani dari istilah ini, basileia,
secara literal berarti Kingdom. Secara filosofis, John Meier sebenarnya lebih setuju
dengan istilah reign, rule, kingship atau kingly power dari pada kingdom. Ia
menggunakan istilah kingdom hanya demi alasan praktis. Alasan utama yang ia
kemukakan saat memakai frasa ini adalah karena frasa ini sudah sangat umum digunakan
dalam banyak buku dan artikel. Selain itu, penggunaan istilah lain akan
membingungkan bagi “pendatang
baru” yang ingin berdiskusi
dengan topik ini. Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerajaan Allah, Pematang Siantar, 24 Maret 2010
[16] C. H. Dodd, Op.Cit, hlm. 21. Reign dapat diterjemahkan
“pemerintahan”, sovereignty dapat diterjemahkan “kedaulatan” tetapi dua kata
berikutnya kingship dan kingly rule sulit dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] “Kingdom of God”
dalam Jewish Encyclopaedia (ed. Cyrus Adler, et al.; London: Funk & Wagnals, 1901)
7.502-503
[20] Lih.
juga definisi serupa yang diberikan oleh Sanders, “We should all agree that
‘kingdom’ is a concept with a known core of meaning: the reign of God, the
‘sphere’ (whether geographical, temporal or spiritual) where God exercises his
power” Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi
Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24
Maret 2010
[21]Nampaknya,
Chilton agak sedikit keliru saat ia
memetakan kerajaan Allah dengan hanya memakai kitab Mazmur sebagai dasarnya, di
mana ia mengatakan, “In Psalms we must reckon with a much more nuanced
application of a language of kingship to God than the modern fixation on
eschatology would allow” . Meier mengatakan bahwa memang banyak pakar yang
mengikuti pola Sigmund Mowinckel, yang menamakan Mazmur 47, 93, 96, 97, 98 dan
99 sebagai “royal enthroment psalms.” Namun, dapat disetujui pandangan Meier yang kemudian menyatakan bahwa, “Yet,
the theme of God’s kingship over Israel is by no means restricted to
the Book of Psalms” . Martin Selman turut
mencatat bahwa kebiasaan hanya melihat enthronment Psalms mengakibatkan
timbulnya pemisahan antara konsep kerajaan Allah (kingdom of God) dengan
Kingship of YHWH “. . . it is usually tacitly assumed that there is no real
distinction between statements that Yahweh is King and that he has a kingdom.
As a result, little attention has been given to those passages which contain
specific mention of Yahwe’s kingdom. This failure to reckon with a separate concept
is particularly evident in the case of the Psalms, where discussion has tended
to be limited to the cultic implications of the so called ‘Enthronement Psalms”
Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi
Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24 Maret
2010
[22]
Sehubungan dengan catatan kaki 21, penulis setuju dengan Meier yang menyatakan
bahwa secara mengejutkan banyak mazmur-mazmur yang mengetengahkan locus atau
tema bahwa YHWH adalah Raja, ternyata meminjam ide ini dan ide-ide lain seputar
peristiwa kovenan Allah dengan Israel dalam Pentateukh (A Marginal Jew 2:245).
Penulis mencatat beberapa di antaranya: Mazmur 68:9, 18, 25, 35-36; 89:10-11
(kata “Rahab” dalam ayat ini menunjuk kepada bangsa Mesir; bdk. Yes. 27:1;
30:7; 51:9); 93:4; 95:8-11; 99:6-9. Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24 Maret 2010
[23]Bdk.
dengan penolakan Gideon untuk memerintah Israel
saat orang Israel
memintanya untuk memerintah mereka (Hak. 8:23). Menariknya, Tuhan sepertinya
sudah mengantisipasi hal ini melalui peraturan yang ditulis dalam Ulangan
17:14-20. Merupakan hal yang keliru untuk menyatakan bahwa kebiasaan untuk
mengangkat seorang raja-manusia adalah kebiasaan bangsa-bangsa kafir tanpa
melihat motif dan filosofi di balik pengangkatan raja tersebut. Dale Patrick
menyatakan bahwa, “There was a rather general understanding in the ancient Near
that the authority of a ruler was circumscribed by divine and natural law.”
Contoh yang ia kemukakan adalah meskipun ada hukum-hukum yang memakai nama
penguasa, namun perlu dicatat bahwa Code Hammurabi, hukum tertinggi Babilonia
modern, dinyatakan sebagai sebuah pewahyuan dari dewa Shamash, raja langit dan
bumi (“The Kingdom of God in the Old Testament” dalam The Kingdom of God in
20th-Century Interpretation [ed. Wendell Willis; Peabody: Hendrickson, 1987]
74-75). Nel memaparkan bahwa acuan dewa (ilah) sebagai raja merupakan hal yang
lumrah dalam negara-negara tetangga Israel
seperti Mesir, Mesopotamia dan Siria. Sebagai
contoh, Marduk disebut sebagai raja di kisah penciptaan Babilonia; Amun-Re
disebut sebagai “king of gods” dan “king of heavens” (“$lm” dalam NIDOTTE 2.960). Dikutif
dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerajaan
Allah, Pematang Siantar, 24 Maret 2010
[24]Ibid. “The Kingdom of God” 74.
[25] Dalam
hal ini, penulis kurang setuju dengan analisa Selman untuk mengatasi kesulitan
ini yang sekadar menyimpulkan bahwa, “The kingdom of God is frequently thought
to be manifest through human beings” tanpa memberikan argumentasi yang jelas
terhadap kesimpulan ini (“The Kingdom of God” 183).
[26] Untuk
melihat perbebatan seputar terminologi kerajaan imam lihat John I. Durham,
Exodus (WBC; Waco: Word, 1987) 263. Penulis menemukan konsep yang sama dengan
yang dianut oleh teolog Yahudi terkenal Jacob Neusner yang dalam membandingkan
konsep kerajaan Allah Kristen dengan Yahudi mengatakan, “Christianity’s kingdom
of God concerns personal obedience in the private life; the Torah’s kingdom of
Heaven speaks to the formation of a kingdom of priests and a holy people, a
light to the nations, a community that embodies the Torah and realizes God’s
will not in some one place but in every circumtances subject to God’s plan and
will” (“A Judaic Response to Forceful Grace” dalam Jewish-Christian Debates 155
[27] Ibid. Kegagalan
terbesar dalam melihat konsep ini adalah terjadi karena kebanyakan ahli
memisahkan makna kerajaan imam dari dua konteks ini.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31]
Pernyataan ini jangan sampai disalahpahami bahwa kerajaan Allah baru berdiri
seiring dengan deklarasi Israel
sebagai “warga” pertama dari kerajaan ini. Dalam hal ini, penulis sepakat
dengan pernyataan Selman, “The Old Testament never speaks of a beginning of
Yahweh’s kingship, but only of Israel coming to acknowledge that kingship for
herself as she entered into covenant with her God” (“The Kingdom of God” 182) .
[32] Duane L. Christensen yang melalui komentarnya terhadap ay.
14 menyatakan bahwa, “The law of he king acknowledges that a time will come
when the people of Israel
will desire a king. . . .” (Deuteronomy 1:1-21:9 [WBC; Nashville: Thomas Nelson, 2001) 383.
[33] Christensen membahasakannya dengan lebih baik, “This is not a
command but a concession. . . .” (ibid. 384).
[34] Durham mengutip pandangan Mowinckel dalam mengomentari Ul. 15:1, yang
mengatakan, ”. . . and the phrase ‘horses and chariots’ is the standing OT
phrase characterizing human military forces as against God’s . . . .” (Exodus
205)
[35] Duane L. Christensen, Op.Cit, hlm. 384.
[37] Konteks
bagian ini, di mana dua anak Samuel yang diharapkan menjadi pemimpin yang
tangguh bagi mereka ternyata gagal dalam moralitas (8:1-5) padahal di pihak
lain Filistin terus merongrong ekstistensi bangsa ini sejak masa hakim-hakim,
tentu menjadi dasar kuat untuk mendukung asumsi ini. Lih. juga penafsiran P.
Kyle McCarter Jr. terhadap perikop ini dalam bukunya 1 Samuel (AB; New York:
Doubleday, 1980) 159-160. Lih. juga analisis Gerhard Von Rad yang menyatakan
bahwa, “In Israel
the monarchy arose under Philistine pressure”(“%l,m, and tWkl.m : in OT” dalam TDNT
1.565). Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi
Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24
Maret 2010
[38] Ini
semangat yang ada dalam kitab-kitab Deuteronomic history yang kebanyakan adalah
hasil refleksi umat pasca pembuangan (lih. 1Taw. 17:14).
[39] Bdk.
dengan Mzm. 2:6-9.
[40] N. T.
Wright, Op. Cit, The Challenge of Jesus, hlm. 35.
[41] Wright
secara baik membandingkan kata “bertobat” yang diucapkan Yesus dengan yang
pernah diteriakkan Josephus saat menjadi komandan pasukan Roma untuk meredakan beberapa
gerakan pemberontak di Galilea, “metano_sein kai pistos emoi
genesesthai”—repent and believe in me. Kata-kata ini tentu tidak dimaksudkan
agar para pemberontak mengakui dosa-dosa yang berkaitan dengan perilaku
moral-etis, seperti yang selama ini selalu dipahami kalangan Kristen. Ia
menyatakan maksud ungkapan ini sebagai berikut, “So when he confronted the
rebel leader, he says that he told him to give up his own agenda and to trust
him, Josephus, instead” (The Challenge of Jesus 43-44).
[42] Wright,
Jesus 204.
[43] N. T.
Wright, Op. Cit, The Challenge of Jesus 37.
[44] Tentu
mereka akan sangat marah ketika melihat Yesus justru memperuntukkan kerajaan
Allah itu bagi mereka yang tertindas, kaum berdosa dan kalangan marginal.
[45] Wright
menyimpulkan, “The kingdom of God, he said, is at hand. In other words, God was
now unveiling his age-old plan, bringing his sovereignty to bear on Israel and
the world as he had always intended bringing justice and mercy to Israel and
the world” .ibid.
[46] Bertil E. Gärtner dengan sangat baik mencatat tiga hal berkaitan
dengan tindakan Yesus yang merepresentasikan tindakan YHWH kepada Israel:
pertama, pengampunan Yesus atas dosa; kedua, Yesus menyatakan diri-Nya lebih
besar dari Musa; ketiga, Yesus berkuasa atas Setan; keempat, Yesus memiliki
otoritas sebagai hakim; kelima, Yesus sendiri adalah manifestasi dari kehadiran
kerajaan Allah (“The Person of Jesus and the Kingdom of God,” Theology
Today 40/2 [April 1970] 32-34). Dikutif dari: http://www.seabs./journal/ Teologi Kerjaan Allah, Pematang Siantar, 24 Maret 2010
[47] Bdk.
Lukas 22:20 (lih. “Cawan ini adalah perjanjian baru. . . .”; bdk. Yer. 31:31).
Bdk. dengan penafsiran istilah “perjanjian baru” dari penulis Ibrani (8:8-12;
10:16-17). Lih. Yesaya 42: 6 yang ada dalam konteks bahwa sang Mesias yang akan
membawa perjanjian baru itu. Lih. juga Yohanes 13:34.
[48]
Pandangan menarik dikatakan oleh Sanders yang mengemukakan bahwa jumlah dua
belas dari murid Yesus bukan tanpa makna. Itu adalah simbol restorasi Israel
yang mewakili dua belas suku, umat baru yang taat (lih. Jesus and Judaism
118-119).
[49] Mat.
28:20. Perintah ini khususnya banyak terdapat dalam Injil Yohanes (14:15,
23-24, 15:10).
[50] Contoh
yang paling konkret di mana Ia mempersonalisasi kerajaan Allah di dalam
diri-Nya tampak dari ucapan dalam Matius 11:29, ”. . . pikullah kuk. . . .”
Ajakan Yesus ini mirip dengan definisi kerajaan Allah yang dipahami oleh
tradisi rabinik, the yoke of Torah (lih.
Neusner, “Living under the Yoke of the Kingdom of Heaven”
dalam Jewish-Christian Debates 101). Wright meyatakan bahwa ayat ini
mengontraskan the yoke of the law dengan the yoke of the kingdom (Jesus 302).
Wright memberikan penguatan terhadap asumsi penulis bahwa ayat ini menunjuk
kepada maksud Yesus mempersonalisasi kerajaan Allah dalam diri-Nya dengan
menyatakan, “Instead of being under Torah itself, the summons was now to be
under Jesus” (Ibid.).
[51] Matius
21:12-13; Markus 11:12-19; Lukas 19:45-48; Yohanes 2:13-16. Literatur PL sering mengaitkan kekudusan
dengan Bait Allah, misalnya: 1Tawarikh 29:3; 2:6; Yesaya 6:1-3.
[53] Lukas
19:41-44. Lihat juga perumpamaan dalam 18:12-14; tiga perumpamaan dalam
15:1-32. Lih. 1Petrus 2:9, “. . . imamat yang rajani . . . supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. . . .” Bdk. dengan
referensi PL yang dipakai Petrus untuk mengembangkan idenya yakni Yesaya
43:20-21, “. . . umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan
kemasyhuran-Ku.”
[54] Hal ini
juga tertuang dalam keyakinan kaum esenit di Qumran,
bahwa mereka adalah anak terang (children of light). Sayangnya, mereka menganut
konsep sempit dengan memaknai kesucian asketis. Akhirnya, terang mereka tidak
dinikmati semua orang tapi untuk eksistensi diri mereka sendiri.
[55] Matius 5:13-16 (perhatikan konteks bagian ini yang berbicara
tentang kerajaan Allah [4:23])
[56] Lukas
2:32; Markus 4:21-25 dan Lukas 8:16 adalah perumpamaan yang ada dalam konteks
kerajaan Allah. Dalam kaitan dengan konteks pelita dan terang ini, Wright
memberikan komentar yang indah yang mengaitkan perumpamaan ini langsung dengan
Yesus, “The best explanation of this is in terms of a combination of themes:
the coming of YHWH to his people, the coming of the kingdom, and of course the
coming of Jesus himself. . . .” (Jesus 239-240 ). Lih. juga Yohanes 1:4-9;
8:12. Bdk. dengan ungkapan Perjanjian Lama yang mengasosiasikan pelita/terang
dengan YHWH (lih. 2Sam. 22:29; Ayb. 29:3; Mzm. 27:1 dan Mi. 7:8).
[57] Dalam
bagian ini terkandung tiga pokok kerajaan imam: Mesias yang menjadi
representasi YHWH sebagai inisiator, umat yang kudus, dan umat kepunyaan
(kesayangan) Allah.
[59] Gordon Fee, “The Kingdom of God” dalam Murray
Dempster et al (ed.), Called and Empowered: PentecostalPerspectives on
Global Mission. Peabody, Massachussets: Hendrickson, 1992, hlm. 8
[60] Fee, “The Kingdom of God”, hlm. 11
[61] Bruce
Chilton and J.I.H McDonald, Jesus and the Ethics of the Kingdom, Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans: 1987, hlm.19-20
[62] Donal Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 1995,
hlm, 23-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar