Selasa, 09 Oktober 2012

Markus 9:30-37


Bahan sermon jamita Partangiangan
Markus 9:30-37

1.      Dalam konteks Markus 9, yang dipermasalahkan oleh murid-murid adalah soal siapa yang terhebat di antara mereka. Ironisnya, hal itu terjadi setelah Yesus memberitahukan untuk kedua kalinya bahwa Ia akan menuju salib. Setelah peristiwa itu, Yesus mengajar mereka bahwa yang ingin menjadi pemimpin harus menjadi hamba, dan Yesus merangkul seorang anak kecil sebagai model. Dalam Lukas 22:26, Yesus kembali menekankan bahwa yang memimpin hendaklah menjadi pelayan. Selama pelayanan-Nya di dunia, Yesus dengan keras menegur para ahli Taurat dan orang Farisi, yang pada saat menjabat sebagai pemimpin jemaat “suka duduk di tempat terhormat” (Matius 23:6-7).
2.      Kristus yang bisa menghindar.  Dalam Markus 9:30 dikatakan bahwa ketika melewati Galilea bersama para muridNya, Tuhan Yesus tidak mau diketahui orang , karena Ia mau mengajar murid-muridNya tentang kematian dan kebangkitanNya. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sangat mementingkan tujuan utamaNya datang ke dalam dunia ini, serta rencana mempersiapkan para saksi mata, jauh-jauh hari sebelum Ia meninggalkan dunia ini. Tuhan Yesus tidak mengutamakan popularitas. Pada dasarnya Tuhan Yesus tidak suka menonjolkan diri;  Ia dapat “menyembunyikan diri” selama tigapuluh tahun, sebelum memulai tugas besarNya. Segala sesuatu dilakukanNya sesuai rencana bapaNya, sehingga tatkala ibuNya berkata tentang pesta kawin di Kana yang kehabisan anggur, maka jawab Tuhan Yesus:”Mau apakah  engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Yesus juga pernah menyingkir seorang diri ke gunung ketika orang banyak akan memaksaNya menjadi raja mereka (Yohanes 6:15). Jika dihubungkan dengan masalah pertengkaran, maka seni menghindar termasuk pelajaran yang sangat penting. Dari pada menimbulkan rasa tidak puas dari orang banyak, lebih baik menghindar saja. Kita diajari Kristus agar pandai-pandai membaca situasi, menimbang dan memahami kecenderungan orang.  Dalam hidup ini banyak pertengkaran dan salah paham terjadi gara-gara kita tidak pandai membawa diri, menempatkan diri dan menghindarkan diri. Ikut mencampuri urusan orang lain juga potensial menghadirkan pertengkaran. Kita sudah dilengkapi Allah sejak bayi dengan kepekaan dan hikmat. Dalam Yakobus 3:17 dikatakan: “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.”   
3.      Pertengkaran bisa muncul di mana saja!  Dalam pergaulan dengan  masyarakat luas, ketika  kita  merasa tersinggung karena dihina atau hak kita diinjak-injak. Di tempat kerja  kita, dengan teman sejawat, dengan  karyawan , bahkan dengan majikan kita sendiri kita bisa bertengkar hebat yang biasanya berakhir dengan putus hubungan kerja! Pertengkaran dalam  rumah tangga sepertinya yang paling banyak terjadi.  Kedengarannya agak aneh, tapi nyata. Aneh sebab orang yang serumah dengan kita itu sebetulnya adalah  merupakan sesama terdekat, tapi justeru dengan mereka yang seharusnya kita sayang , kita malah bertengkar dan berkelahi!
4.      Tidak mengerti tapi segan bertanya, menunjukkan bahwa mereka bukanlah murid yang baik. Cuek, malas, tidak bergairah dan kurang serius! Itu yang kita baca tentang  sikap para murid  terhadap penegasan Tuhan Yesus yang paling penting, untuk mereka pahami dan yakini (Markus 9:32). Kematian Kristus yang akan disusul dengan kebangkitanNya harus selalu melekat  dalam ingatan dan hati mereka. Dengan demikian pengabdian mereka menjadi berbobot, dan segala jerih lelah mereka terasa ringan. Sikap para murid yang perlu ditegur dan diperbaiki itu  menjadi cermin untuk kesalahan kita selama ini, sebab kita juga sering sok mengerti padahal tidak atau salah pemahaman terhadap ajaran Tuhan. Konsep yang kliru tentunya menghasilkan kiprah yang salah pula. Pada saat kita mulai membaca satu bagian Alkitab yang sudah terkenal, sering kita merasa sudah paham padahal jika dibaca dengan cermat maka kita akan menemukan banyak hal baru yang sangat penting untuk hidup kita.
5.      Bertanya juga meskipun sudah tahu. Itu yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap murid-muridNya ( Markus 9:33 ). Pastilah dengan nada sedih sebab Ia mengetahui apa yang sesungguhnya telah terjadi, bahwa mereka bukan memperbincangkan hal biasa tetapi mereka tadi telah bertengkar. Dan yang mereka lakukan adalah pertengkaran yang tidak baik! Lho, apa ada pertengkaran yang baik?  Jangan heran, kadang terjadi pertengkaran yang baik di antara orang-orang yang tulus hati. Saya mempunyai sebuah cerita unik dari negeri Cina, seperti ini: Ada dua orang bertetangga yang mengadakan transaksi jual beli sebidang tanah. Setelah dilakukan pembayaran, maka sang pembeli langsung menggarap tanahnya dengan cangkul. Dia terkejut menemukan satu peti-besi berisi uang mas dan perhiasan. Cepat-cepat dia memanggil tetangga yang menjadi mantan pemilik tanah itu untuk menyerahkan peti yang menurut dia bukan menjadi haknya, sebab dia hanya membeli sebidang tanah. Tetapi di luar dugaan tetangganya tidak mau menerima peti itu sebab dia merasa sudah menjual tanah berikut cacing, batu, rumput dan apa pun yang ada di atas atau di dalamnya! Saat pertengkaran itu memuncak, tetangga yang lain telah menghadirkan Bapak Kepala Desa. Nasehatnya sangat adil dan melegakan, sehingga mendapat tepuk tangan tanda setuju dari penduduk desa yang menyaksikan! Apakah nasehat yang menjadi solusi yang sangat pas dan jitu itu? Kepala Desa mengusulkan supaya mereka berdua berbesanan saja, lalu harta benda itu dipakai untuk biaya pesta pernikahan, dan sisanya digunakan sebagai modal kerja bagi keluarga yang baru! Saya yakin pertengkaran seperti itu akan membuat Tuhan tersenyum geli, haru dan bangga! Jika sudah mengetahui tetapi masih bertanya juga, adalah karena Tuhan Yesus mau memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk berterus terang,  tapi mereka bungkam seribu bahasa mungkin karena merasa bersalah atau malu sebab mereka telah mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka.
6.      Mengapa mempertengkarkan yang terbesar?  Tujuannya sudah jelas, yaitu ingin dihormati, ingin menguasai yang lain dan diangkat sebagai wakil mereka. Jika sampai telah terjadi pertengkaran di antara mereka berarti banyak yang merasa berhak dan yang menginginkan pengakuan dan kedudukan itu. Berarti mereka telah melupakan pelajaran Tuhan Yesus melalui lisan maupun peneladanan. Dalam Markus 9:35 Tuhan Yesus berkata:” Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Dengan demikian Tuhan Yesus tidak melarang orang ingin menjadi yang terdahulu. Boleh dan tidak salah bahkan sangat dianjurkan, asal prosedur dan proses yang ditempuhnya harus menurut petunjuk Tuhan, yaitu bersedia menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan dari semuanya. Dengan lain kata seorang pemimpin adalah seorang yang rendah hati dan bersedia melayani. Di dalam Kerajaan Tuhan kebesaran seseorang diukur dari seberapa besar kesediaannya melayani. Maka jika para murid bertengkar ingin menjadi yang terbesar, semestinya mereka berebut untuk menjadi pelayan mereka dan semua orang. Lalu Tuhan Yesus menegaskan ajaranNya dengan menghadirkan seorang anak dan menghimbau mereka (dan kita) untuk bisa menyambutnya, sebab akan diakui sebagai menyambut Tuhan. Seorang anak kecil di sini mewakili orang-orang yang tidak memiliki kekuatan untuk membalas budi. Kebesaran dan pelayanan kita harus bisa tertuju kepada kelompok orang yang terkecil, yang tak bisa membalas karena keterbatasannya. Yang sangat miskin, tertindas dan bahkan tidak mengetahui kalau kitalah yang sudah mengulurkan tangan kepada mereka! Dengan demikian kita sudah menjadi alat yang kecil tapi hidup, di dalam tangan Tuhan yang maha besar untuk menolong sesama kita. Tak jarang yang kita tolong  adalah seorang hamba Tuhan yang sedang tertekan dan menderita seperti yang dialami oleh nabi Yeremia pada zaman dulu (Yeremia 11:18-20).
7.      Pandangan Yesus berbeda dari pandangan dunia yang menganggap bahwa kebesaran ditentukan oleh seberapa banyak orang yang melayani kita. Dunia memang mencari kebesaran dalam bentuk kuasa, popularitas, dan kekayaan. Ambisi dunia adalah menerima perhatian dan penghargaan. Lalu salahkah berambisi menjadi orang besar? Bukan demikian. Yesus ingin meluruskan pandangan bahwa kebesaran adalah menjadi orang pertama, sementara orang lain menjadi nomor dua, tiga, dan seterusnya. Kebesaran sejati bukan menempatkan diri di atas orang lain supaya kita dimuliakan. Kebesaran adalah menempatkan diri kita untuk melayani dan menjadi berkat bagi sesama. Misalnya seorang dokter. Ia dianggap besar bukan karena ia seorang spesialis yang bekerja di rumah sakit mahal. Atau karena ia sering menjadi pembicara di seminar-seminar kesehatan. Ia dianggap besar bila ia juga menyediakan waktunya untuk menangani orang miskin.
8.      Hasrat menjadi yang terbesar dapat mengancam keefektifan kita sebagai murid Tuhan. Hasrat untuk dimuliakan seharusnya tidak dimiliki seorang pengikut Yesus. Apa solusinya? Milikilah hati seorang hamba. Bersiaplah mengutamakan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Ingatlah bahwa Yesus rela dianggap tak berarti dan memikul salib bagi kita. “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10)
9.      Jadilah sebagai orang Kristen yang Rendah hati, bukan mengutamakan keinginan diri sendiri (egos) tetapi hendaknya masing-masing melayani satu dengan yang lain dengan rasa tanggungjawab meneladani model pelayanan Tuhan Jesus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar