ESKATOLOGIS PRETERIS DAN FUTURIS
(Study Teologis Dogmatis: Makna dan
Implikasinya Bagi Jemaat Kristen)
I. Pendahuan
Pengharapan eskatologis (future)
akan menentukan bagaimana cara hidup, berpikir, bahkan berteologi pada saat ini
(present) karena disitulah terletak seluruh pengharapan iman
Kristen.[1] Iman ke masa depan harus nampak dalam perbuatan hidup masa sekarang.
Pengalaman iman akan keselamatan pribadi harus berjalan seiring dengan
pengharapan eschaton, hanya dengan prinsip seperti itulah wujud dari kesatuan
di dalam Tuhan. Pengharapan ekstaologi umat Kristen perlu dikaji lagi secara
mendalam, jangan sampai doktrin eskatologi yang dipahami berada dalam perpektif
yang salah sehingga menimbulkan kontradiksi antara iman dan sikap orang percaya
dalam pengharapan eskatologi.
Dalam sebuah artikel Christianity
Today, sistem eskatologi teologi Injili mendapat dua kritikan tajam. Pertama,
doktrinnya memiliki tendesi gnostik berfokus pada hal
yang spiritual dan menolak
hal-hal fisikal. Kedua, Doktrinnya lebih memilih memandang eschatos sebagai
perjalanan kembali ke Taman Eden (dengan setting spiritual)
daripada sebuah perjalanan menuju “Yerusalem yang baru”. Kegagalan ini
menunjukkan bahwa sebenarnya banyak orang Kristen gagal melihat kaitan eschatos sebagai
kontinuasi sekaligus penutup dari kisah-kisah sebelumnya dalam drama metanarasi
kosmis Allah. Gagalnya melihat keutuhan metanarasi ini menyebabkan
eskatologi dianggap sebagai suatu pelarian tanggung jawab daripada harapan
untuk mengerjakan tanggung jawab orang percaya sehingga tergoda untuk
mengerjakan hal-hal spiritual saja.[2]
Sementara dalam iman kekristenan hal spiritual tidak bisa dipisahkan dari
tanggungjawab moral.
Dimensi doktrin eskatologi adalah
bersifat Presentris(kini) dan Futuris(masa akan datang). Dimensi kekinian
dan keakanan dari
eskatologi seringkali dipahami secara terpisah
dan ekstrim,
sehingga mengakibatkan pengabaian terhadap salah satu
dimensi lainnya dalam tugas dan panggilannya.
Pendekatan berorientasi kekinian (present oriented), hanya berfokus pada tugas masa kini dan cenderung
mengabaikan dimensi keakanan dari Kerajaan Allah, demikian juga sebaliknya,
pendekatan yang berorientasi pada dimensi keakanan (future oriented) umumnya telah mengabaikan dimensi kekinian. Fokus
pengajaran ini selalu terpatok pada
peristiwa-peristiwa yang akan datang, sehingga praktek kekinian dari
keberadaan. Kerajaan Allah seringkali
terabaikan dan menganggapnya kurang penting. Dimensi kekinian terasa bukan
primar, sehingga meningkatkan tendensitas pada pengabaian aspek-aspek sosial, budaya,
termasuk lingkungan hidup.[3]
Untuk memahami lebih dalam apa makna eskatologis presentris dan futuris dalam
iman Kristen akan dibahas dalam kajian ini. Menurut penulis eskatologis
prensentris dan futuris seperti metafora
“mata uang logam” dua sisi yang tidak terpisahkan. Dalam permbahasan ini akan
dibahas bagaimana makna doktrin eskatologis yang bersifat Preterist, prensetris,
dan futuris dalam jemaat Kristen.
II. Perpektif Teologi Eskatologis Preteris
dan Futuris
2.1. Etimologi dan Esensi Eskatologis
Preteris dan Futuris
Bahasa Inggris “preteris” berasal
dari kata Latin praeteritus yang
artinya “masa lalu” yang berkaitan dengan waktu. Secara dogmatis preteris dalah
waktu yang sudah berlangsung. Sehubungan dengan itu makna eskatologis itu
dipahami secara presentris, artinya hadiah, pemberian, hadir, sekarang, waktu
kini[4], antara
masa lalu dan masa depan, sedang terjadi atau dalam proses, keberadaan,
kehadiran seseorang.[5] Sedangkan
Futuris (future) berarti “masa depan” atau ilmu memperlajari masa depan.[6] Sejajar
dengan istilah tersebut dalam bahasa ibrani disebut olam haze artinya zaman ini dan zaman akan datang disebut olam haba.[7] Dalam
nubuat para nabi Perjanjian
Lama diperoleh kesan mengenai adanya dua periodisasi waktu: masa kini (Ibrnai: olam hazzeh, Yunani: aion houtos) dan masa depan (Ibrani:
olam habba, Yunani: aion mellon). Yang dimaksud para
nabi dalam nubuatan mereka tentang masa depan adalah
saat
kedatangan Mesias. Dengan demikian, masa kini
sebagaimana yang ada dalam pemahaman para
nabi adalah periode
sebelum kedatangan sang Mesias. Para nabi sendiri sama sekali
tidak membuat pembedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan
yang kedua.
Dalam
persepsi mereka
kedatangan
Mesias sekaligus
juga
berarti berakhirnya sejarah dunia dan manusi.[8] Dalam Perjanjian Baru masa Mesianis seperti yang dinubuatkan oleh
para nabi Perjanjian Lama digambarkan sebagai sebuah peristiwa rangkap dua: ada perbedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan
yang
kedua. Periode kedatangan Mesias
yang
pertama disebut masa kini.
Sementara peristiwa kedatangan Mesias untuk kali kedua disebut sebagai masa
depan.
Itulah saat eskatologi, satu masa yang terdiri dari dua
babak: Kedatangan Mesias dalam kerendahan
dan kedatanganNya kembali dalam kemuliaan.
Dengan demikian ada dua pengertian yang berbeda mengenai masa kini
dan masa depan. Dalam
nubuatan kenabian, masakini adalah rentang waktu sejarah manusia sebelum
kedatangan Mesias. Masa
depan adalah ditandai dengan kedatangan Mesias. Bersamaan
dengan itu berakhirlah juga sejarah. Pada tempat kedua, para rasul dan umat dalam Perjanjian
Baru melihat periodisasi waktu
secara berbeda. Apa yang
disebut oleh
para
nabi disebut
sebagai masa kini, justru dianggap sebagai masa lalu oleh para
rasul dan umat PB. Pada pihak lain apa yang oleh
para nabi dan umat PL dinamakan masa depan justru
dialami sebagai dua babak dari
masa
depan. Babak
pertama adalah kedatangan Mesias
dalam kerendahan.
Babak kedua adalah
kedatangan
Mesias
dalam kemuliaan. Kedatangan
dalam kerendahan itu disebut masa kini. Sedangkan kedatangan
dalam kemuliaan adalah masa depan yang bersamaan dengan itu
berakhirlah juga sejarah dunia. Di antara dua masa ini
ada
satu masa lagi, yakni kedatangan kembali
Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Ini adalah masa gereja untuk memberitakan kebangkitan kepada
segala makhluk Dua persepsi
ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Itu kelihatannya membingungkan meskipun sebenarnya tidak, mengingat perhatian utama
kedua umat ini bukan pada zaman akhir an sich,
pada dirinya. Perhatian utama umat dalam PL dan
PB mengenai akhir zaman adalah pada
kedatangan Mesias, Yesus Kristus. Akhir zaman menurut pengertian kedua umat
ini berhubungan erat dengan kedatangan Mesias.Umat dan para nabi PL percaya bahwa
kedatangan Mesias sama artinya dengan akhir zaman.
Hal yang sama juga diyakini oleh umat dalam PB. Bedanya,
karena
umat dalam
PL berdiri jauh di
luar masa itu mereka
menyangka bahwa kedatangan
itumerupakan satu peristiwa tunggal. Sebaliknya, sebagai kaum yang mengalami langsung
peristiwa kedatangan Mesias, umat dalam PB mengertai bahwa kedatangan itu
bukan suatu peristiwa tunggal, melainkan satu peristiwa yang terdiri dari tiga
tahap.
Gambarannya
seperti seseorang yang
melihat
puncak sebuah gunung
dari
kejauhan. Yang nampak
padanya hanya satu gunung. Tetapi apabila ia
mendaki
sendiri gunung itu, barulah ia sadar bahwa gunung itu
terdiri dari beberapa puncak. Antara puncak yang
satu dan puncak yang lain ada lembah panjang
yang harus
pula dilalui. Puncak yang
hanya satu dalam penglihatan umat PL ternyata ada tiga dalam penglihatan umat
PB. Itu juga yang terjadi dengan temuan
umat PB tentang eskatologi.
Periode/babak pertama dari peristiwa kedatangan Mesias adalah peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Babak kedua adalah peristiwa pencurahan Roh Kudus
oleh Mesias yang bangkit
itu untuk menyertai
umatNya.
Babak ketiga
adalah kedatangan
kembali sang Mesias di dalam kemuliaan untuk
mewujudkan pemerintahan yang abadi di antara manusia. Untuk membantu
memahami periodisasi sejarah dunia yang rada
membingungkan ini, Karl Barth membuat sebuah konstruksi yang sangat
berguna untuk
menolong dan memahami persoalan ini dengan lebih baik.
Percakapan tentang waktu bisa kita lakukan dari
tiga sudut pandang. Pertama,
waktu dari sudut pandang Allah atau waktu Allah.
Allah memiliki waktu
sendiri yang
berbeda dengan
waktu manusia.
Waktu Allah
itu disebut eternal present, masa kini yang kekal. Artinya,
waktu Allah itu tidak memiliki masa lalu, masa kini dan
masa
depan.
Kedua, hal waktu dari sudut padang manusia atau
waktunya manusia. Ini adalah waktu yang
diciptakan
Allah dan diberikan kepada manusia. Waktu manusia ini memiliki tiga babak yang susul-menyusul, atau merupakan realita yang terus mengalir: masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu hanya bisa diingat,
masa kini sangat singkat yang
digambarkan kitab Mazmur
sebagai bunga yang pagi
hari
berkembang,
sore hari lisut dan lalu
kemudian
gugur ke tanah.
Sedangkan masa depan adalah realita yang masih diharapkan atau dicita-citakan.
Ketiga, perihal
tentang waktu dari
sudut
padang Yesus Kristus, yakni waktu keselamatan
(salvation
history–Heilgeschiedenis). Karl Barth membagi
heilgeschiedenis dalam
tiga periode: masa lalu,
masa kini dan
masa depan. Titik tolak pembagian ini adalah peristiwa Kebangkitan
Yesus Kristus. Masa
yang terbentang antara Paskah
dan Pentakosta Barth namakan sebagai the eternal present,
masa kini yang kekal.
Ini
adalah titik pusat dari waktu manusia. Ia
juga identik dengan
waktu yang
Allah
miliki bagi diriNya dan
waktu di dalam mana Allah berdiam. Masa antara
Paskah dan Pentakosta itu sesungguhnya adalah kekekalan.
Itu adalah the heart of all
time.[9] Dalam berbicara tentang periodisasi waktu ini
para nabi dan rasul berdiri dalam rentang waktu Paskah
sampai Pentakosta. Dari
situ
mereka mulai berbicara tentang masa lalu, masa kini dan masa depan.[10]
Masa lalu adalah saat di mana orang percaya sudah berdiam di dalam
Allah meskipun belum ada. Masa kini adalah saat berlansungnya
proses hidup dalam iman,
kasih dan pengharapan akan Allah. Masa kini, yakni antara kenaikan dan
kedatangan kembali Yesus
kristus adalah waktu kesabaran Allah, sekaligus adalah waktu
untuk mendengar dan memperdengarkan Injil.[11]Masa
depan adalah saat kehidupan
ada dalam tangan Allah meskipun
sudah berakhir hidupnya dari dunia
ini.[12]
Dari perspektif Paskah yang disebut
masa lalu adalah rentangan
waktu yang mendahului
kebangkitan Yesus Kristus. Masa itu terbentang
ke belakang, yakni
dari peristiwa kebangkitan Yesus ke peristiwa penciptaan langit dan bumi. Itu
adalah periode di mana segenap ciptaan menanti peristiwa kedatangan
Mesias, yakni kebangkitanNya. Masa ini adalah periode di mana Allah berada dalam perjalanan menjumpai manusia berdosa untuk menawarkan keselamatan.
Dari perspektif kebangkitan Yesus Kristus, yang disebut masa kini adalah rentangan yang
berlangsung antara
kenaikan Yesus Kristus ke sorga
sampai
kedatanganNya kembali. Inilah masa di
mana
orang-orang percaya
diberi mandat oleh Allah untuk
memberitakan kepada dunia dan
semua manusia
tentang
dimulainya zaman baru dan kemanusiaan baru, supaya dunia dan semua manusia boleh ambil bagian dalam
gerakan pembaharuan dan perubahan dunia
dan manusia yang
sudah
diwujudkan Allah lewat kebangkitan Yesus Kristus. Merujuk pada judul buku ketiga
ini,
masa kini adalah masa
di mana manusia berada
dalam perjalanan
menjumpai Allah untuk
masuk
dalam persekutuan
dengan Dia.
Sedangkan
yang disebut masa depan
adalah waktu yang baru akan datang bersamaan
dengan kedatangan kembali
Yesus Kristus. Inilah waktu
di mana Allah akan memberi nilai kepada semua aktivitas
dan
karya manusia. Mereka
yang selama
hidup masa
kini melakukan karya yang sejalan dengan tuntutan hidup di
zaman baru demi mempromosikan
kemanusiaan baru akan diundang ambil bagian dalam persekutuan yang kekal
dengan Allah. Sedangkan
mereka
yang
menjalani hidup dalam semangat permusuhan dengan kaidah-kaidah di zaman baru
itu akan ditolak oleh Allah ke
dalam
kegelapan yang paling gelap,
yang
di dalamnya hanya terdapat ratap
dan
kertak gigi" (Mt.
8:12).
Dilihat
dari perspektif kebangkitan Yesus
eskaton bukan baru akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Eskaton sudah mulai sejak kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati
dan akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan
kembali
Yesus Kristus. Artinya waktu yang terbentang ke
depan sejak peristiwa Paskah adalah bagian dari eskaton yang merupakan the beginning
of the great consummatumest.[13]
Jadi
dapat dipahami bahwa eskatologis
dalam Injil tidak
hanya menyangkut masa depan, tetapi jelas juga mengenai masa lalu, dan masa kini.[14] Teologi Paulus juga secara hakiki bersifat eskatologis. T. Jacob, mengatakan titik pangkal teologi Paulus adalah
kebangkitan Kristus. Sifat eskatologis kebangkitan Kristus, khususnya
berhubungan dengan iman orang kristiani, yang ditegaskan Paulus di dalam Roma
3:21-26. Kebangkitan Kristus mempunyai arti keselamatan (Roma 4:25). Maka dengan
tegas Paulus dapat berkata bahwa kita hidup pada waktu, di mana zaman terakhir
telah tiba (1 Kor. 10:11). Kendati segala realitas, diterima dengan iman,
Paulus selalu menekankan juga pengharapan. Ia berani berbicara mengenai Allah
pengharapan (Roma 15:13). Roh Kudus diberikan dalam hati kita sebagai jaminan
dari semua yang telah disediakan (2 Kor. 1:22), oleh Roh, dan oleh karena iman,
kita menantikan kebenaran yang kita harapankan (Gal. 5:5), kita menantikan
pernyataan Tuhan kita Yesus Kristus . Pengarapan di sediakan di sorga (Kol.
1:5). Sebab Kristus adalah pengharapan akan kemuliaan (Kol. 1:27). Dalam Roma
8:25, Paulus menjelaskan pengharapan itu: jika kita mengharapkan apa yang tidak
kita lihat, kita menantikan dengan tekun (bnd. 15:4). Dari teologi Paulus ialah
bahwa dalam zaman ini sudah terlaksana zaman yang akan datang, karena
kebangkitan Kristus.[15]
Topik Parousia Yesus tidak terlepas dari dimensi Kerajaan Allah. Pemahaman Kerajaan Allah tidaklah berarti
menunjuk pada suatu tempat atau suatu komunitas yang diperintah oleh Allah yang
konkritnya bisa dijabarkan sebagai aktivitas Allah. Ia bukanlah suatu otoritas
tersembunyi tapi penampakan kekuasaan yang tidak berdasar pada bentuk formal,
tapi fungsi.[16] Pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah seringkali menggunakan istilah basileia
(yunani) yang berarti pemerintahan Allah sebagai Raja dan bukan wilayah
kekuasaan.[17] Istilah Kerajaan Allah menegaskan
bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas yang absolut. Meski kerajaan Allah
berlu direalisasikan secara sempurna pada zaman ini, namun kerajaan Allah masa
akan datang akan diwujudkana melalui pembaharuan dalam “bumi yang baru” (2 Pet
3:12-13), Bumi yang sempurna dan lengkap. Jika kerajaan Allh ada disini dan
masa akan datang, maka kehidupan orang percaya juga akan sesuai dengan
kehidupan historis Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah sama kemaren, hari ini,
dan untuk semua dalam keabadian, dan semua orang percaya satu dengan
kehidupanNya dan masa depanNya dengan hidup masa kini sesuai dengan kehendak
kerajaaan Allah yang akan terwujud di masa depan.[18] Semua
istilah eskatologi diatas menekankan eskatologi yang berisfat preteris, presentris
dan juga futuris.
2.2. Pandangan Para teolog tentang eskatologi Preterist, Presentris dan
Futuris
Meskipun
perspektif Parousia
Yesus, masing-masing ahli teolog Biblika mempunyai pendapat yang berbeda. C.H.Dodd menekankan Kerajaan Allah telah terwujud secara utuh
di dalam dunia sejalan dengan kedatangan Yesus.[19] CH. Doodd degan berat sebelah
menitik beratkan segi presentris dan berbicara tetang realized eschatology (Eskatologi
yang sudah terwujud), dasar dogmatis yang digunakan adalah Luk 11:20 dan juga
Mateus 12:28. Masa eskhaton telah diwujudkan dalam kedatang Yesus.[20]Namun
masih menantikan penyempurnaanya dalam drama penyudahan sekajarah masa akan
datang.[21]
Eskatologi Yesus, Paulus dan Yohanes dipahami bersifat preteris. Namun karena
harapan ini tidak terwujud dan tidak terpenuhi, maka jemaat baru menyusun suatu
eskatologi yang futuris (bnd, Mrk 13, Wah). Namun hal itu dipahami bentuk
eskatolgi yang bukan khas Kristen, namun apokaliptik Yahudi. [22]Hal
berbeda dikemukakan, W.
Panenberg mengatakan bahwa tentunya tidak tepat bila Kerajaan Allah telah
terwujud sepenuhnya karena bila itu terjadi, maka keadaan dunia akan berbeda.[23] Albert Schweitzer kemudian penggagas ide Kerajaan Allah yang
futuris. Menurut Schweitzer, pengharapan eskatologi Yesus sama dengan
kebanyakan penulis apokaliptik sejaman-Nya. Yesus percaya Allah segera campur
tangan dalam hidup manusia melalui kedatangan Anak Manusia yang akan terjadi
tidak lama lagi (Mat. 10:23).[24] Namun Schweitzer tidak benar-benar
konsiten menekankan eskatologis presentris, sebab masih mepertahakan
“pengaharapan terhadap hidup”.[25]Teolog
yang menjembatani pemahaman (antara eskatologi futuris dengan yang fresentris) dicetuskan oleh J.Jeremias yang
menyimpulkan: eskatologi berada dalam proses perealisasian dirinya. Ia menyatakan bahwa
di dunia ini masih belum ada suatu eskatologi yang benar-benar real. Tindakan
penciptaan berada pada garis awal proses itu dan ia terus bergerak tiada henti
sampai pada suatu batas yang tidak berujung. Eskatologi tidak lain adalah
perjalanan waktu yang menuju kekekalan. Dalam
dimensi ekstalogis inilah kesatuan hidup orang percaya dengan Allah yang diwujudkan melalui
solidaritas hidup bersama, dalam teologi Paulus disebut :”terlibat dan menyatu dengan
peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus”. Mereka menjadi orang-orang pilihan
yang bila saat Parousia itu tiba, kendati mereka sudah mati, mereka tetap
menerima anugerah Allah. Saat berada di dalam dunia, orang percaya yang
terhisap di dalam Kristus itu akan masuk dalam suatu keadaan yang berbeda
dengan sekitarnya; mereka semakin bertumbuh dalam pengenalan akan Allah dan
menjadi sama seperti Kristus, selalu diubah dan disempurnakan.[26] Parousia menekankan kedatangan Yesus kembali untuk menyempurnakan seluruh janji
keselamatan yang pernah dibuat Allah sejak dahulu kala (1 Tes. 5:8-9),
menghukum mereka yang jahat dan menegakkan Kerajaan-Nya di dunia. Secara eskatologis keselamatan itu berlaku universal dan tidak hanya dirasakan
oleh sekelompok orang atau bangsa tertentu. Ia meliputi seluruh sejarah
manusia. Kedatangan Yesus kembali juga mengandung dua maksud: di satu sisi
membawa keselamatan tapi pada sisi lain membawa penghukuman.[27] Padangan Cullman sendiri
berorientasi pada kedua pola eskaton, yaitu sudah genap realisasinya, belum
kelihatan sempurnannya. Ibarat sebuah “perang”makan hari kemengan sudah tiba,
tetapi gencatan senjata belum dilaksanakan oleh keduabelak pihak sehingga masih
terjadi konplik disana sini. Artinya hari kemenagan sudah tiba dengan
kedatangan dan karya Kristus tetapi pihak lain, dosaa masih berpengaruh, maut
belum ditiadakan, dan seluruh dunia tampaknya memang belum dikuasasi oleh
kemengan Tuhan Yesus Kristus. Namun dalam Kristus, sebagai pusat sejarah, masa
lamapau terpenuhi dan masa depan dimulai. Kedatang Kristus menyebakan peralihan
zaman. Keselamatan orang percaya sudah mulai terwujud dan kelas akan
disempurnakan.[28] Paul Althaus, mengatakan eschatology itu bersifat kekekalan,
penyelesaian, parosia Kristus dan itu supra temporal, eskatologi tidak
dipahamai waktu secara krologis, namun escaton itu terjadi setiap saat,
eskatolgi tidak dipahai secara historis. Dengan demikian setiap waktu adalah
adalah memiliki akhirnya, dan sepanjang waktu, bukan hanya yang terakhir kali
namun terus menerus berakhir dan berproses pada keabadian (bnd. Rom 13:12).[29]
Jadi Althaus lebih menekan eskatolgis
Presentris pada awalnya, namun kemudian Altahus juga mengemukakan eskatologis
bersifat ganda yakni eskatologis telah hadir masa kini dimana kehidupan kekal
telah menjadi milik orang percaya pada masa kini, namun hari Tuhan akan
kehidupan kekal itu adalah pengharapan dalam kehidupan orang percaya.[30]
Hal yang berbeda dikemukan Rudolf Bulmann yang mengatakan eskatologi
eksistensialis, menekankan moment kekekalan. Sejarah tidak hanya diartikan
sebagai rentetan zaman yang berturutturut, namun sejarah lebih mengartikan
kesejarah eksistensi manusia. Manusia boleh hidup dari kasih karunia Tuhan dan
memang sudah mengalami saat eskatologi meskia
masih tetap hidup di dunia ini. Artinya, eksistensi eskatolgis bukanlah
suatu milik yang tersedia tetap melainkan yang harus diwujudkan senantiasa
dengan baru melalui keputusan iman yang setiap saat baru pula (Pil 3:12).[31]
2.3. Apakah Yesus Seorang Preterist atau Futuris?
Thomas
menjelaskan ada tiga jenis preterist/preterism yang diberi label: (1).Sedang,
(2) Moderat, (3), esktrim. Preterisme lama menyatakan bahwa tribulation adalah
terjadi dalam tiga ratus tahun masa awal pertama kekristenan saat Tuhan menghakimi
dua “musuh” yakni orang-orang Yahudi pada tahun 70 dan orang Roma pada tahun
313 M, namun penganutnya masih mencari masa depan kedatangan kedua. Preterism
Moderat mengakui bahwa kesengsaraan dan sebagian besar nubuatan Alkitab telah
digenapi dalam peristiwa-prtitiwa yang terjadi sekitar kehancuran Yerusalem dan
bait Allah pada tahun 70 sM, namun masih berpegang pada masa depan kedatangan
kedua, dalam kebangkitan fisik yang sudah mati, mengakhiri sejarah dunia dan membangun
surga baru yang sempurna dan bumi baru. Pandangan Preterism esktrim percaya
kedatangan Kristus yang kedua, dan mengatakan bahwa kebangkitan orang percaya
semua sudah berlalu. Secara praktis semua tujuan nubuat Alkitab telah terpenuhi
dan kini umat percaya berada di luar millennium dan bahkan meyakini pada masa
kini telah berada di surga dan bumi yang baru. Aliran ini percaya bahwa jika ada akhir dari sejarah
masa ini itu tidak tercatat dalam Alkitab.[32]
Mengacu pada penetapan tanggal pernulisan kitab Wahyu nampkanya gereja pada
akhir abad pertama dan kedua adalah menganut paham preteris. Namun meskipun
demikian diskusi semacam itu tidak menjadi dasar untuk membuktikan selamanya
bahwa Yesus adalah seorang futuris, ia sangat menentang dan bahkan menutut
bahwa Dia bukan peretrist. Sebab dalam Teks Matius 10:23 menegaskan dukungan preterisme,
“Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang
lain; karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai
mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang”. Teks tidak memiliki
parallel synoptic dan tidak ada kesulitan dalam terjemahan, namun
interpretasinya menghadirkan tantangan besar.[33] Yesus dalam mengutus para muridnya dan memberikatahukan
apa yang harus mereka lakukan dan beritakan “Pergilah dan beritakanlah:
Kerajaan Sorga sudah dekat”. Dari pernyataan Yesus tersebut setidaknya ada beberapa
kemungkinan yang dapat dibedakan:[34]
a. Yesus berarti segera datang atau
Tuhan akan segera datang atau menjadi dekat, maka Yesus mengatakan “pergilah..”
Namun masalahanya utama dalam pandangan ini adalah penganiayaan dalam ay 16-23
tidak dialami sampai Yesus mati dan bangkit.
b. Frasa “ Anak Manusia datang” (Mat
24:30), paling banyak komptibel dengan tampilan parousia masa depan.
c. Anak manusia datang adalah gambaran
eskatologis (Dan 7:13)
d. Secara hermeneutik dan secara
teologis arti “anak manusia datang” memiliki makna eskatologi belum selesai dan
masih berlangsung hingga memasuki parosuia.
e. Berita pemberitaan Injil memungkinkan
untuk menjangkau orang yang bukan Yahudi (Lih Mat 28:19, Mark 13:10), dimana
Tuhan tidak akan meningakan Israel dalam rencana keselamatan. Kristus bermaksud
untuk membangun komunkasi sevara bijak denga Israel pada kedatangan yang
pertama (Mat 1:21) dan akan dilanjutkan samapai Ia kembali pada kedatanganNya
yang kedua.
Jadi interpretasi futuristic tentang
“kedatangan: dalam Mat 10:23, secara kontekstual, gramatikal, hermeneutik, dan
secara teologis lebih masuk akal. Artinya makna yang terkandung dalam teks
tersebut dalam konteksnya secara
sederhana bahwa penginjilan Israel tidak akan selesai sebelum akhir zaman, yang
datang dengan datangnya Anak manusia…Paulus dalam sudut pandangan teologinya
mengungkapkan hal sama bahwa “keselamatan semua Israel” akan disempurnakan pada
saat “pembebas” akan datang dari Sion (Rom 11:25-27).[35]Kehadiran
Yesus memperlihatkan bahwa “waktunya telah genap” (Mark. 1:15), artinya
dengan pelayanan Yesus masa penantian itu sudah berakhir dan hari yang
dijanjikan Allah telah tiba. Pembuktian penggenapan waktu itu juga terlihat
melalui tindakan pengusiran setan, mujizat kesembuhan, pemulihan orang-orang
berdosa dan penerimaan terhadap orang-orang yang diasingkan.[36] Dalam hal inilah Yesus dimaknai kedatangan Yesus secara Futuris akan
menyempurnakan keselamatan yang sesungguhnya. Penulis lebih setuju memahami
eksistensi Yesus dalam pandangan moderat untuk memahami eskatologi yang
bersifat preteris dan futuris meskipun kedua istilah tersebut sangat paradoks.
2.4. Paradoksal Eskatologi Presentris dan Futuris Dalam
Jemaat Kristen
Berbagai pendekatan telah dilakukan
untuk memahami pengajaran Rasul Paulus. Salah satu pintu masuk dalam
pengajarannya adalah dari sisi “eskatologis”. Nampaknya hampir seluruh bagian
surat-surat Paulus, sarat dengan konsep eskatologis. Ridderbos, mengatakan
karya Kritus hanya bisa dipahami jika bertitik tolak dari pemahaman
eskatologis, sehingga pemahamannya tentang Kristus selalu dikaitkan dengan
eskatologi.[37] Maka, kedatangan
Kristus merupakan penggenapan waktu, sebab waktu dunia ini telah berakhir,
mulainya kedatangan Allah yang menentukan yang telah lama dinanti-nantikan,
waktu atas segala waktu, hari keselamatan yang telah genap untuk dinyatakan
dalam eskatologis.[38] Lebih dalam dikatakan Ridderbos bahwa “seluruh
eskatologi Paulus diarahkan oleh: telah,
dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus”.[39] Artinya,
kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena “genapnya waktu” tetapi
merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus dalam memulai karya-Nya
dan yang percaya bagiNya adalah berada dalam zaman baru. Teologi Paulus tidak
berhenti pada “penyataan” Allah di dalam Kristus. Paulus mengajarkan bahwa
“peristiwa Kristus” (kematian dan kebangkitan-Nya) mencakup aspek “futuris”, bersifat keakanan. Maka, hal
ini hanya dapat dimengerti dengan bertolak dari “paradoksal eskatologi”. Aspek
future yang dimaksudkan dapat dirumuskan dalam kata “pengharapan”. Pengharapan
akan “pemenuhan” karya Kristus berada dalam paradoks, anatara aspek yang sudah dan
masih merupakan suatu penantian kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena
“genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus
dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru
yang Ia bawa. Paradoks antara “yang sudah” dan “yang belum” itu ditemukan dalam
tulisan-tulisan Paulus tentang penyelamatan. Setipa orang percaya telah
diterimaoleh Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus diterima secara defenitif
(Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus (Rm. 3:24, 1Kor. 1:30),
tetapi pembebasan seluruh hidupnya masih sedang dinantikan (Rm. 8:23), meskin sudah
menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal mewarisi kerajaan masih merupakan
masa depan juga (1Kor. 15:50). Oleh sebab itu berada “bersama Kristus” memiliki
sisi yang sudah (sudah mati dan dikuburkan bersama Kristus) dan belum (akan
bersama Kristus di surga). Disinilah iman Kristen memahami makna baptisan dalam
dimensi eskatologis dimana orang yang
dibaptis telah mengambil bagian dalam kematian Kristus, tetapi hal mendapat
bagian dalam kebangkitan Kristus masih merupakan anugerah masa depan.[40]
2.5. Eskatologi Kristen Diantara
Apokalitik dan Gnosis
Teologi Paulus mengakomodir dua
konsep ekstaologi dalam pemikiran apokaliptik dan Gnosis. Pemikiran apokaliptik
menekan hal futuris sedangkan Helenis cenderung menekankan menikmakti
keselamatan kekinian yang dihayati dalam ibadat. Eskatologi kekinian Paulus
digunakan dari cara-cara pikiran helenisme, misalnya dalam interpertasi tentang
eskatolgis baptisan (Rom 6:3). Namun untuk menjelaskan masa depan Allah “hari
Tuhan”( 1 Tes 5:2; 1 Kor 1:8; Plp 1:6) Paulus menggunakan eskatolgi apokalitik. Rentetan peristiwa pada
parousia secara jelas digambarkan dengan alat-alat teologis dan apokaliptik ( 1
Tes 4:15-17). Jadi cara pemikiran Apokaliptik itu turut membantu, agar
pengertian Kristen tentang tindakan Allah dalam sejarah tidak dilepaskan, sebab
dalam teolgi Paulus eskaton sudah mulai oleh sebab Kristus telah mati dan
bangkit, maka ekatologi tidak hanya berisifat futuris semata.[41] Pemberitaan
eskatolgi Paulus menyifatkan eksistensi orang Kristen berada dalam ketegangan.
Disatu pihak keselamatan sudah terwujud (Prensetris) dan dipihak lain,
kedudukan orang Kristen yang sebenarnya sebagai anak-anak Allah belum kelihatan
dalam dunia (segi futuris).[42]
Zaman yang penuh penanti-nantian oleh
orang Yahudi adalah zaman mesianis, dengan harapan agar kekurangan yang dialami
selama zaman ini akan diatasi pada zaman yang baru. Kedatangan Mesias bagi
orang Yahudi adalah akhir dari penderitaan yang mereka alami dan hingga kini,
hal tersebut masih merupakan penantian. Bagi jemaat Kristen, zaman yang bagi
orang Yahudi adalah zaman mesianis telah dimulai dengan kedatangan Kristus. Pemahaman
teologi Paulus, zaman baru yang telah dimulai dengan kedatangan Kristus, yang
menghadirkan zaman yang akan datang ke dalam zaman sekarang. Pemahaman ini
diadopsi oleh Paulus dari pandangan rabbinisme. Sebab pengajaran rabbinisme,
alam ini (olam hazeh) merupakan antitesis/perlawanan dari zaman yang akan
datang (olam haba ), tetapi dalam pemahaman Paulus zaman ini masih ada,
dan zaman yang akan datang tetap ada.[43]
Sehingga dalam skema keselamatan zaman ini adalah sudah lewat tetapi masih
merupakan realitas juga.[44] Ketegangan
antara apa yang sudah dan yang belum sering dirumuskan dengan istilah already
but not yet (Jerman: urzeit-enzeit).
Dari teologi Paulus, dipahami bahwa keselamatan yang telah dianugerahkan adalah
suatu penantian yang akan terus diharapkan oleh orang percaya. “Sebab dengan
sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rm.
8:19), dan orang percaya diselamatkan dalam pengharapan, sehingga pengharapan
demikian bukan lagi pengharapan, sebab apa yang diharapkan saat ini telah ada
(Rm. 8:24). Dalam konteks inilah orang percaya hidup, hidup dalam penantian
tersebut. Kehidupan orang percaya dalam zaman yang penuh ketegangan ini
disertai dengan sejumlah kesukaran, kesakitan, orang percaya masih akan
mengalami kematian akibat dosa. Meskipun karya Kristus telah selesai, pengaruh
si jahat beserta “kroni-kroninya” masih tetap eksis. Orang percaya berada dalam
zaman akhir tetapi zaman akhir itu belum berakhir, berada dalam zaman yang
baru, namun puncak dari zaman baru belum tiba. Menurut Hoekema, “Ketegangan antara yang sudah dan yang belum merupakan
ciri dari ‘tanda-tanda zaman’, menyangkut peristiwa-peristiwa sebelum Kristus
kembali.”[45]Jadi,
hal-hal di atas merupakan ‘pengantar’ ke dalam zaman penggenapan segala
sesuatu. Dua titik yang mengantarai kehidupan Kristen saat ini yaitu salib dan
kebangkitan Kristus sebagai permulaan zaman akhir dan titik pusat sejarah
(titik awal), dan parousia sebagai titik akhir. Tumpang tindih dua zaman
terjadi dalam masa antara tersebut dipahami sebagai eskatologi presentris dan
futuris dalam dogma Kristen.[46]
III. Makna eskatologis preteris dan Futuris dalam kehidupan jemaat
3.1. Eskatologis Dalam Peranan Roh Kudus
Eksistensi dan ciri kehidupan yang
eskatologis orang Kristen jemaat mula-mula adalah menerima Roh Kudus dan
memahami zaman eskatologi sudah mulai (Kis 2:4, 17). Roh Kudus merupakan tanda
yang nyata untuk awal eskaton. Dalam seluruh pasal Rom 8, Paulus memasyurkan
“pemberian Roh Kudus” yang mewujudkan kuasa kebangkita Yesus dan memerdekan
manusia dari kuasa-kuasa dunia (bnd. Gal 4). Jadi manusia selaku anak Allah
hidup dalam status eskatologis yang sudah dimulai pada masa kini.[47] Karya
Roh Kudus bukan hanya menekankan lahir baru namun firman yang menerangin
intelek juga secara langsung dan segera memasukkan kasih sayang baru kedalam
kehidupan orang percaya. Sehingga orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus hidupnya
telah menjadi baru, manusia spiritual dimana yang lama telah berlalu dan
menjadi baru (2 Kor 5:17, Gal 3:2,4:6)
Selain itu, Paulus dalam seluruh
karyanya tidak mengabaikan oknum ketiga Tritunggal ini. Berkaitan dengan
pembahasan dalam bagian ini, peran Roh kudus tidak dapat diabaikan. Dalam
keselamatan kita, Roh Kudus berperan sebagai peneguh iman kita. Kehidupan
Kristen dalam zaman yang penuh ketegangan ini bukanlah tidak ada pengharapan.
Paulus tidak mengatakan bahwa apa yang diharapkan adalah sesuatu yang tidak
pasti. Kepastian pengharapan Kristen ditandai dengan kehadiran Roh Kudus pada
saat ini. Sebab kehadiran Roh Kudus merupakan bukti “kehadiran zaman yang akan
datang”. [48]
Harus diakui bahwa janji-janji yang
telah diberikan melalui perantaraan nabi Yeremia dan Yehezkiel menghantarkan
kepada perjanjian yang baru. Janji akan Roh Kudus lebih jelas dalam Yoel 2:
28-30, sehingga Paulus melihat ini sebagai tibanya zaman mesianis oleh
pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Roh Kudus adalah bukti yang pasti, bahwa zaman
yang akan datang telah tiba, dan menjadi jaminan terhadap perwujudannya yang
sempurna di masa yang akan datang. Kiasan “jaminan” (2 Kor. 1:21-22; 5:5; Ef.
1:14) menegaskan kewajiban akan pelunasannya. Kiasan “jaminan” ini lebih jelas
dalam Efesus 1:14, “Roh Kudus itu adalah jaminan bagi kita, sampai kita
memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah”.
Inilah jaminan yang Allah berikan bagi orang percaya pada masa kini. Kiasan
lain yang digunakan Paulus adalah “buah sulung” (Rm. 8:23; 1Kor. 15:20, 23),
dan “kiasan materai” (2 Kor. 1:21-22; Ef. 1:13; 4:30). Ketiga kiasan ini
menurut Gordon Fee, “menekankan Roh
Kudus baik sebagai bukti masa kini mengenai penyataan-penyataan masa yang akan
datang atau sebagai jaminan mengenai kemuliaan terakhir”. [49] Roh
Kudus sebagai ‘jaminan”. Paulus mengatakan karunia Roh Kudus disebut “buah
sulung” (Rom 8:19-23; 2 Kor 1:22; 5:5; ). Jadi pemberian Roh Kudus menandai
pendahuluan keselamatan eskatologis bagi orang percaya, dan sekaligus mendorong
pengaharapan ke arah terakhir penggenapan kemuliaanya masih
dinantikan(futuris). Pengharapan itu juga terdapat diantara segenap mahluk
lainnya. Karena mahlu itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan
kebinasaan dan masuk ke adala kemerdekanan
kemuliaan anak-anak Allah. Jadi eskatologis Paulus bersifat luas tidak hanya
dibatasi pengharapan ity pada masa depan manusia semata, namun seluruh kosmos
akan melihat hari Pemuliaan Tuhan dan “segala lidah mengaku Yesus Kristus
adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa (Fpl 2:11).[50]
Di antara teologi biblis tentang Roh
Kudus, teologi Paulus paling kaya dan beragam. Paulus mengungkapkan bahwa Bapa
menunjukkan kepada kita kasih-Nya yang tak terlampaui dengan menyerahkan
Anak-Nya (Rm. 8:32, 39) sampai pada salib – pusat dan titik balik seluruh
pewartaan Paulus (1 Kor. 1; Flp. 2:8) –. Dan salib berarti: “dibuat menjadi
dosa karena kita” (2 Kor. 5:21; Rm. 8:3). Kebenaran ini mencakup segala
sesuatu. Paulus tidak hanya mewartakannya, tetapi juga hidup sendiri di tengah
dan di dalamnya, yaitu sejauh ia telah menjadi penyerahan kebapaan melulu demi
orang-orangnya, semata-mata keikutsertaan dalam derita dengan Sang Putra, dan
dimampukan untuk menjadi demikian karena “kasih Allah telah dicurahkan dalam
hati kita oleh Roh Kudus” (Rm. 5:5). Sorotan kasih ini membuatnya berkeyakinan
bahwa kebangkitan serta kemuliaannya (doxa) tak terpisahkan dari salib; bahwa
kelemahan pada salib (2 Kor. 13:4) secara niscaya bermuara dalam kekuatan (dynamis)
kebangkitan. Melalui kebangkitan-Nya yang dipandang Paulus secara khusus
sebagai karya Roh Allah (Rm. 1:4; 8:11). [51] Mengikuti
Kristus ini hanya dapat berarti bahwa kita oleh Roh yang dikaruniakan kepada
kita sebagai “jaminan” (2 Kor. 5:5) yang “datang dari Tuhan”, makin lama makin
“diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya” (2 Kor. 3:18). Berkat dicurahkannya
Roh Kudus di dalam hati kita, berkat “dibaptisnya” kita (1 Kor. 12:13) dalam
Roh itu maka sampailah kita baik kepada pemahaman kebenaran ilahi maupun kepada
kehidupan di dalamnya.
Selanjutnya, Nico Syukur Dister
mengungkapkan beberapa hal tentang Roh Kudus sesuai kesaksian surat-surat
Paulus sebagai berikut:[52] Roh
Kudus memperlihatkan diri sebagai Interpretator.
Pemahaman ini tidak terlepas dari keputusan untuk melalui pembaptisan yang
merupakan karya Roh, membuka diri bagi penerangan oleh Roh itu juga. Kepada
orang beriman yang telah dibaptis, Paulus memberitakan “hikmat yang bukan dari
dunia ini” yaitu bahwa “tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat dalam diri
Allah selain Roh Allah”; dan bahwa “kita tidak menerima roh dunia, tetapi Roh
yang berasal dari Allah, supaya kita tahu apa yang dikaruniakan Allah kepada
kita”. Apa yang tersembunyi di dalam Allah, rahasia Allah, itu kita wartakan
bukan dengan perkataan hikmat manusia, melainkan sebagaimana “diajarkan oleh
Roh” (1 Kor. 2:5-13).[53] Roh
juga berperan sebagai “ Introduktor ”
ke dalam hidup menurut kebenaran. Cara hidup semacam itulah yang akan
memperdalam dan mematangkan pemahaman yang sebenarnya, yakni Jikalau seseorang
dengan mengikuti Kristus secara sungguh-sungguh “mengikatkan diri pada Tuhan,
ia menjadi satu roh dengan Dia” (1 Kor. 6:17), sebab “jika orang tidak memiliki
Roh Kristus, ia bukan milik Kristus” (Rm. 8:9). Kristus memberikan diri-Nya
kepada kita melalui dan di dalam Roh-Nya.[54] Dalam pesan etikanya kepada jemaat di
Galatia, Paulus mengungkapkan bahwa Roh Kudus akan menghasilkan buah-buah roh
yang baik seperti: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera,
kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
Ini menjadi kebalikan dari apa yang disebut Paulus sebagai hidup di dalam
daging dengan membuahkan percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan
berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri
sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan
sebagainya.[55] Yang paling
hakiki dalam ajaran Paulus tentang Roh Kudus ialah interpretasi yang dibuat
oleh Roh mengenai wahyu Allah dalam Kristus. Roh menafsirkan wahyu itu dalam
sabda nubuat, tetapi lebih-lebih dalam seluruh eksistensi orang beriman
sebagaimana secara teladan menjadi jelas dalam eksistensi Paulus sendiri: “Aku
menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” (1 Kor. 4:16), “sama seperti aku
menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1; Flp. 3:17), khususnya di mana kesusahan
harus dikaitkan dengan “sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1 Tes. 1:6).
Masing-masing orang beriman seharusnya menjadi teladan baik bagi sesamanya
maupun bagi jemaat seluruhnya, sebab Roh Kudus mengajar kesempurnaan baik dalam
orang perorangan maupun dalam Gereja seluruhnya. [56]
3.2. Eskatologis Karunia Roh
Ketegangan eskatologis secara khusus
sangat terasa dalam hal karunia Roh. Bagi Paulus, pemberian Roh merupakan
permulaan proses penyelamatan. Penerimaan Roh telah menjadikan orang percaya
sebagai anak-anak Allah, dan menyebut seruan: “ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15).
Teks yang menjadi dasar argumentasi ini adalah Roma 12:3-8; 1 Korintus 12-14;
dan Efesus 4:7-16. Karunia-karunia rohani adalah bersifat eskatologis yang
secara khusus mengandung dialektika sudah/belum. Karunia-karunia Roh merupakan
tanda bahwa zaman eskaton telah mulai
yang harus dihidupi dalam kasih dan bersifat keabadian. Hidup dalam karunia Roh
inilah dimaknai eskatologis presentris akan disempurnakan pada zaman yang akan
datang(futuris).[57]
3.3 Eskatologis Kebangkitan orang mati
Paulus mengungkapkan adanya
kebangkitan orang mati semata-mata lahir dari kenyataan yang amat diyakininya
bahwa Yesus benar-benar telah bangkit. Peristiwa kebangkitan Yesus menjadi
bagian yang hakiki dari pemberitaan tentang eskatologi Paulus karena bagi Paulus
sendiri kehadiran Yesus menandai suatu peristiwa eskatologis. Dengan demikian
kematian dan kebangkitan Yesus memperkuat keyakinan Paulus bahwa eskaton itu telah terwujud pada masa kini (presentris).[58] Sejarah telah mencapai penggenapannya dalam peristiwa
kematian dan kebangkitan Yesus, dengan demikian tujuan akhir Allah telah
terjadi dalam sejarah.[59] Telos eskaton Allah tidak lain adalah penyelamatan dan
penebusan seluruh umat manusia melalui pekerjaan Yesus; penggenapan itu telah
terjadi pada saat ini (2 Kor. 6:2).
Paulus
menghubungkan kematian[60]
dengan akibat tindakan Adam yang membawa manusia ke dalam dosa. Dengan
memadukan ide-ide dari tradisi Yahudi-Perjanjian Lama, Paulus mengatakan bahwa
dosalah yang membawa manusia kepada kematian; upah dosa adalah maut/kematian
(Roma 1:32). Sejalan dengan itu pula berkali-kali Paulus tegaskan bahwa
ada hubungan yang erat antara dosa dan masalah kedagingan :
“Jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati” (Roma 8:13). Sebagaimana
halnya tanaman, kehidupan yang berada dalam daging terus
bertumbuh dan menghasilkan buah kedagingan, yaitu kematian.[61] Yesus adalah “yang sulung dari semua yang dibangkitkan”, artinya
bersamaan dengan kebangkitan Yesus telah tersedia kebangkitan yang lain yaitu
kebangkitan orang mati. tetapi sebelum masuk pada pembahasan mengenai
kebangkitan orang mati, ada baiknya jika terlebih dulu ditelusuri arti “mati”
atau “kematian” menurut pemahaman Paulus.
Akan
tetapi upah dosa yang membawa pada kematian itu telah dikalahkan melalui
peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Kenyataan bahwa “kematian-Nya adalah
kematian terhadap dosa, sekali untuk selamanya” (Roma 6:10) dan bahwa “maut
tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma 6:9) memperlihatkan betapa peristiwa
Kristus itu telah mengalahkan kuasa “masa lalu” (Roma 5:12-21). Dengan
demikian “…manusia lama kita telah disalibkan bersama-sama dengan Kristus” dan
“tubuh dosa kita telah hilang kuasanya” (Roma 6:6). Jadi, “….siapa yang sudah
mati, ia telah bebas dari dosa (ay. 7) dan pernyataan ini berparalel dengan
“kebaruan manusia”[62]. Kematian dan kebangkitan Yesus
membuat manusia menjadi “ciptaan baru” dan sifat-sifat lama manusia telah
ditanggalkan.
Dari pembahasan-pembahasan di atas,
tergambar bahwa kematian dalam PB bukanlah sebagai proses yang alamiah, tetapi
sebagai peristiwa sejarah yang mengakibatkan manusia masuk ke dalam
keberdosaannya. Pernyataan tentang kematian Kristus di kayu salib merupakan
cerita keselamatan dan selalu berhubungan dengan kebangkitan dan kemenangan
atau hidup baru bagi orang-orang percaya. Intinya adalah bahwa Allah sendiri
merendahkan diri dan menanggalkan kemuliaanNya dalam kematian, yang justru
dalam kematian itu, Ia menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang hidup.[63]
Kematian Kristus adalah keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10 ; Ibr. 2:9-10),
kematian Kristus adalah bagi Hukum Taurat ( Rom. 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21),
dan bagi kematian kita (2 Tim. 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala
keberadaan keilahian yang dipahami di dalam sistem metafisik kuno dunia.[64] Kematian
bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan
hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup
kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup kepada kehidupan bersama
Allah.[65] Untuk
itu, maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri: (i)Kematian
adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur
kehidupan keseluruhan yang kompleks. (ii)Kematian adalah suatu hukuman,
hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-ff). (iii) Kematian adalah panggilan
untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukuman tapi juga kabar
sukacita, bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23). Ada juga ”kematian jasmani” yang bertitik
tolak pada Kej. 3:19, kembali lagi menjadi debu/tanah. Roh dan nafas Allah
ditarik kembali; debu kembali menjadi tanah atau tubuh dan roh kembali kepada
Allah (Pengk. 12:7).[66] Orang
yang mati di dalam Tuhan dikatakan orang yang berbahagia (Why. 14:13).
Kematiannya sementara karena akan disusul dengan kebangkitan. Percaya dalam
kebangkitan adalah sangat sederhana dan justru sama seperti hidup dari salib
sebagai peristiwa keselamatan, salib merupakan simbol bukti sejarah kebangkitan
melalui kenaikkan Kristus dari kematian. Melalui peristiwa keselamatan ini,
maka Allah ditinggikan karena Anak-Nya yang tunggal telah mati demi keselamatan
manusia.[67]
Berlandaskan
argumentasi di atas, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan oleh manusia
bahkan kematianpun tidak lagi dianggap sebagai bencana. Orang percaya telah
“ada di dalam Kristus” sehingga saat matipun mereka tetap “bersama dengan
Kristus”. Benarlah apa yang dikatakan dalam Roma 8:38-39 bahwa “…baik maut
maupun hidup, malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah yang ada sekarang
maupun yang akan datang, kuasa-kuasa di atas maupun di bawah, atau pun suatu
mahluk lain tidak ada yang dapat memisahkannya dari kasih Allah yang ada dalam
Kristus Yesus”. Orang percaya telah menerima kemurahan Allah bahkan menjadi
satu dengan semua yang dialami oleh Yesus. Itulah sebabnya Paulus memakai
istilah “tidur” saat menjelaskan tentang keadaan orang mati[68]
(Lih. 1 Tes. 4:13; 1 Kor. 15:16 dst) karena ia yakin bahwa pada
satu saat orang-orang yang tidur ini akan “dibangunkan”. Di dalam tempat persinggahan sementara
itu semua orang mati tidak lagi memakai tubuh jasmaniahnya, tetapi mengenakan
tubuh kebangkitan dan mengalami transformasi eksistensi dari keadaan yang fana
menuju pada yang kekal.
3.4. Gereja sebagai komunitas Eskatologis
Orang percaya dikatakan sebagai umat
eskatologis. Sesuai dengan pemahaman bahwa kehadiran Roh Kudus adalah fakta
eskatologis, dan gereja sebagai umat Allah yang baru diciptakan oleh Roh Kudus,
atau buah dari karya Roh Kudus. [69]
Sebagai umat Kerajaan Allah dan pewaris kerajaan itu, gereja dapat dikatakan
sebagai produk dari kuasa masa yang akan datang itu. Ridderbos menuliskan dua
hal tentang makna integral yang Paulus pahami dari gereja: (a) Gereja adalah
kelanjutan dan penggenapan umat Allah yang di dalam Abraham telah Allah pilih
bagi diri-Nya. (b) Istilah baru yang ia berikan untuk menyebut keberadaan dan
karakter gereja, yaitu sebagai tubuh Kristus.[70] Unsur
atau pokok pertama menonjolkan sejarah keselamatan dan poin kedua menonjolkan
aspek kristologis, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.
Idiosinkrasi (kekhususan) pengertian
Paulus tentang umat Allah (umat eskatologis) tidak disingkapkan oleh pengertian
sebagai kontinuitas dengan Israel (sekalipun hal itu benar), tetapi hanya dalam
pengertian “kesatuan dengan Kristus”. Kesatuan dengan Kristus (satu tubuh)
tidak boleh dipahami secara metafisis. Kesatuan dengan Kristus harus dipahami
dalam pengertian kesatuan iman. [71]
Maka gereja sebagai “jemaat Allah” dan “tubuh Kristus” adalah tempat di mana
Allah dan Roh dalam Kristus hadir.[72]
Istilah yang berkaitan dengan itu
yang kerap kali digunakan oleh Paulus untuk mengungkapkan eksistensi orang
percaya yaitu “di dalam Kristus”. Rumusan ini mengandung dua ide dasar: umat
percaya dan keselamatan berada di dalam Kristus. Salah satu faktor yang
disebutkan Chamblin yang mengendalikan penggunaan istilah ini adalah faktor
kristologis . Dalam pandangan Paulus, Kristus adalah pribadi yang “korporat”.
Relasi Kristus dengan orang percaya merupakan kesatuan dari persekutuan, bukan
suatu persatuan (union). Individualitas masing-masing tetap terjaga. [73] Berada
“di dalam Kristus” adalah berada di dalam zaman yang baru, dan sebagai umat eskatologis,
orang percaya hidup dalam zaman itu.
3.5. Pergumulan Umat Eskatologis
Sebagai umat eskatologis, orang
percaya menjadi berbagian di dalam kematian dan kebangkitan Kristus oleh iman
kepada-Nya. Manusia menjadi sama dengan Kristus dalam kematian dan
kebangkitan-Nya (Rm. 6:1-14). Persatuan dengan Kristus merupakan fase baru
dalam kehidupan Kristen untuk memulai pergumulan yang baru. Adalah benar bahwa
Kristus telah mematahkan kuasa maut (1Kor. 15:54-57), tetapi orang percaya
berada dalam perjuangan yang terus-menerus melawan dosa. Hal ini tidak akan
berhenti dalam hidup di dunia ini. Orang percaya (dalam hal ini) dipanggil
untuk setia. Suatu perdebatan dalam dua aliran gereja (Calvinisme vs Arminian)
yang tidak bisa didamaikan hingga sekarang, menyangkut pergumulan orang percaya
dalam hidup di dunia ini. Pengikut Calvin menyatakan bahwa pergumulan orang
percaya pada saat ini akan mencapai akhir pada kedatangan Kristus kembali,
dengan kata lain tidak ada kesempurnaan dalam hidup di dunia ini. Kebalikannya,
bahwa dalam hidup di dunia ini orang percaya dapat mencapai kesempurnaan
(Arminian).
Memahami konsep eskatologi Perjanjian
Baru (terutama pemahaman Paulus tentang keselamatan) akan membawa pemahaman
bahwa pergumulan orang percaya tidak semakin “tipis” tetapi terus meningkat.
Melihat lingkungan sekitar akan menjawab perbedaan ini bahwa kuasa si jahat
kian menjadi-jadi. Pergumulan Kristen saat ini, tidak serta-merta disebabkan
oleh si jahat, tetapi sebagai aspek lain dari persatuan dengan Kristus, orang
percaya terus berjuang melawan dosa dan bahkan hidup orang percaya merupakan
medan pertempuran antara Roh Kudus dan dosa. Peperangan melawan dosa
menyaksikan eskatologi “yang sudah” dan “yang belum”.[74]
3.6. Identitas Baru dan Ketaatan Baru dalam eksistensi Eskatologis
Preteris, Presentris dan futuris
Identitas yang baru (indikatif)
menuntut suatau ketaan yang baru pula (imperatif). [75] Menurut
Ridderbos, Paulus mendasarkan imperatif pada indikatif, imperatif mengikuti
indikatif sebagai kesimpulannya. “Imperatif didasarkan pada realitas yang
diberikan oleh indikatif, merujuk kepadanya, dan dimaksudkan untuk membawanya
kepada pertumbuhan yang sepenuhnya.” [76]
Inti pokok dalam bagian ini adalah bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah,
dalam karya-Nya melalui Kristus, dilanjutkan oleh orang yang percaya kepada-Nya
di dalam praktek hidup sehari-hari. Maka pergumulan umat eskatologi akan nyata
aspek imperatif. Bagaimana orang percaya menanggapi pergumulan hidup, adalah
bersinambung dengan apa yang telah Tuhan nyatakan dalam Yesus Kristus. “Bagi
Paulus bukanlah reaksi manusia yang melengkapi karya Allah, melainkan menurut
Dia, perbuatan-perbuatan manusia pun digerakkkan oleh dan didasarkan dalam
Allah”, demikian dikatakan oleh Hank ten
Napel. [77]
Di tengah pergumulan “umat
eskatologis” dalam dunia ini, aspek moral adalah bukti hidup dalam eksistensi
baru, aeon baru, yang telah dibawa
oleh Kristus. Hidup baru adalah mencerminkan iman dan pertobatan. Dua aspek ini
tidak dapat dipisahkan artinya bahwa apa yang diimani berkaitan dengan
keselamatan yang diterima dari allah menjadi nyata dalam suatu gaya yang baru.
Nisbah antara karya Allah (keselamatan) dengan praktiknya dirumuskan dengan
istilah “indikatif” dan “imperatif”. Aspek indikatif dan imperatif ini
merupakan realitas antara dua zaman yang saling bersinggungan (yang sudah dan
yang belum). Demikianlah pengertian yang diberikan oleh George E. Ladd: Perkara
yang indikatif adalah penegasan terhadap apa yang telah dilaksanakan Allah
dalam memperkenalkan zaman yang baru; yang imperatif adalah nasihat untuk
mempraktikkan kehidupan yang baru itu di dalam kerangka dunia yang lama. Yang
baru itu tidak secara utuh terwujud secara spontan dan bukannya tidak dapat
ditolak. Yang baru itu terwujud dalam diakletis dengan yang lama. Karena itu,
perkara indikatif yang sederhana sekali pun tidaklah cukup; harus ada yang
imperatif, yaitu tanggapan manusia terhadap kehendak Allah.[78] Dalam
beberapa surat-surat Paulus lainnya, aspek indikatif selalu beriringan dengan
imperatif. Contohnya Roma 6; Paulus berkata bahwa “kita telah mati bagi dosa”
(indikatif) (ay. 11), akan tetapi pada ayat 12, Paulus berkata juga, “hendaknya
dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu”. Atau “telah mengenakan Kristus”
(Gal. 3:27) dan ditempat lain ia berkata “kenakanlah Kristus” (Rm. 13:14).
Lebih jelas di dalam Roma 12:15-21, dan banyak dalam bagian lain mengungkapkan
hal ini.
Artinya, indikatif dalam fungsinya,
akan “mati” tanpa imperatif. Hal ini nyata dalam pergumulan Paulus yang ia
gambarkan dalam Roma 7 (14-26). Ia mengenal kehendak Allah, ia tahu itu, tetapi
ia tidak sanggup melakukannya. Dalam hal ini aspek imperatif bersifat negatif.
Aspek imperatif diganti dengan ketidaktahuan akan perbuatan yang ia lakukan.
Kehidupan umat beriman dalam praktek hidup baru tidaklah pasif tetapi militan,
inilah gambaran hidup orang beriman. Iman yang benar adalah bersifat aktif.
Sehingga “relasi aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas”.[79]
Dengan demikian aspek yang “sudah dan belum” akan nyata dalam hidup orang-orang
Kristen pada masa kini. Hidup dalam dunia ini, sebagai dunia yang jahat, tetapi
norma hidup, patokan, tujuan dan hasrat orang percaya diarahkan kepada hal-hal
yang bersifat kekal yang sekarang telah nyata
3.7. Pengaharapan Eskatologi
Harapan eskatologis Paulus berkaitan
dengan Kristus dibarengi dengan pengharapan dari aspek “yang belum” sebagai
kegenapan “aspek yang sudah”, sebagai penyelesaian karya penyelamatan kaum
beriman. Proses penyelamatan umat manusia telah dimulai dengan salib dan
kebangkitan Kristus, dan keikutsertaan orang beriman dengan-Nya dilambangkan
dalam baptisan. Pengharapan Kristen pada akhirnya akan diselesaikan oleh Tuhan
dan hal ini merupakan kepastian. Ketegangan saat ini adalah ketegangan yang
memiliki batas waktu. Dengan demikian pergumulan Kristen akan mencapai akhir.
Kepastian pengharapan Kristen ditandai oleh kebangkitan Kristus sebagai buah
sulung.
Kebangkitan Kristus tidak dapat
dipisahkan daripada kematian-Nya, demikianlah Ridderbos[80]dan
Chamblin menyatakan,[81] yang
mana kedua aspek ini merupakan inti pemberitaan Paulus sebab melalui peristiwa
ini tujuan penyelamatan Allah mencapai sasarannya. Ajaran Paulus yang sangat
jelas dengan ini adalah dalam 1 Korintus 15:3-4, “Sebab yang sangat penting
telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia
telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga,
sesuai dengan Kitab Suci.”
Pemberitaan Paulus dalam hal ini
adalah bahwa Kristus telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan. Berita ini
adalah sesuai dengan tradisi yang juga diterima oleh Paulus. Berita yang
berdasarkan tradisi tersebut adalah mempunyai kesesuaian dengan Kitab Suci
sebagai penggenapan janji, kepenuhan waktu yang Allah berikan sebelumnya
dinyatakan. Pemberitaan Paulus tentang kebangkitan adalah berdasarkan fakta
historis (harafiah). Sehingga tubuh Yesus yang telah bangkit adalah sepenuhnya
substansial dan material. Chamblin sangat tepat mengungkapkan ini, “Yesus
dibangkitkan dalam tubuh, tubuh yang sepenuhnya substansial dan material. Tubuh
yang telah mati dikuburkan, dan tubuh yang telah dikuburkan telah
dibangkitkan.”[82] Inilah
yang menjadi dasar kekristenan yang diberitakan Paulus yaitu fakta kebangkitan
itu dan mendorong Paulus berkata, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka
Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Fakta kebangkitan Yesus juga
menyatakan suatu sisi lain pemberitaan Paulus. Kebangkitan bukanlah suatu refleksi
teologis Paulus yang mendalam melainkan suatu penyataan ilahi, yang dengan
demikian penerobosan aeon baru dalam pengertian yang nyata.[83]
Kebangkitan Kristus adalah juga
merupakan “yang sulung” (Rm. 8:29; 1Kor. 15:20; Kol. 1:18). Dalam Roma 8:29,
dikatakan bahwa kebangkitan-Nya merupakan “yang sulung di antara banyak
saudara”. Yang sulung harus dipahami sebagai orde kedudukan atau orde dignitas,
tetapi bukan hanya itu, Kristus mendahului saudara-saudara-Nya yang lain. Ia
“mendahului mereka, membukakan jalan kepada mereka, dan mengaitkan masa depan
mereka dengan masa depan-Nya”.[84] Dengan
demikian yang beriman dan yang telah dipersatukan dengan Kristus akan
menyusul-Nya, akan dibangkitkan (hal ini dibicarakan dalam pokok parousia).
Memahami hal ini membuka jalan pada pengertian bahwa pengharapan Kristen adalah
suatu fakta. Pengharapan Kristen bukanlah pengharapan dalam angan-angan. Dengan
demikian akan dan telah tergenapilah firman yang dinyatakan, “Allah yang
membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan orang beriman oleh kuasa-Nya” (1Kor.
6:14, bnd. 2Kor. 4:14; 1Tes. 4:14).[85]
Kesimpulan
Pengharapan eskatologis (future)
akan menentukan bagaimana cara hidup, berpikir, bahkan berteologi pada saat ini
(present) karena disitulah terletak seluruh pengharapan iman
Kristen. Itulah seluruh
eskatologi yang diarahkan oleh: telah,
dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus. Pengharapan
akan “pemenuhan” karya Kristus berada dalam paradoks, anatara aspek yang sudah dan
masih merupakan suatu penantian kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena
“genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus
dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru
yang Ia bawa. Paradoks antara “yang sudah” dan “yang belum” dalam arti setiap
orang percaya telah diterima oleh Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus
diterima secara defenitif (Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus
(Rm. 3:24, 1Kor. 1:30), tetapi pembebasan seluruh hidupnya masih sedang
dinantikan (Rm. 8:23), meskin sudah menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal
mewarisi kerajaan masih merupakan masa depan juga (1Kor. 15:50). Maka
eksistensi ekstalogis preterist, presentris dan futuris ditandai dengan
ciri-ciri: Hidup dalam karunia Roh, iman akan kebangkitan orang yang mati,
hidup dalam komunitas eskatologis sebagai indentitas baru, hidup dalam ketaatan
dan hidup dalam pengharapan eskatologis.
Dilihat dari
perspektif kebangkitan Yesus
eskaton bukan baru akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Eskaton sudah mulai sejak kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati
dan akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan
kembali
Yesus Kristus. Orang Kriten hendaknya memaknai dalam
pemahaman eskaton adalah masa kini adalah saat berlansungnya proses hidup dalam
iman, kasih dan pengharapan akan Allah. Masa kini, yakni antara kenaikan dan
kedatangan kembali Yesus kristus adalah waktu kesabaran Allah, sekaligus adalah
waktu untuk mendengar dan memperdengarkan Injil. Masa depan adalah saat
kehidupan ada dalam tangan Allah meskipun
sudah berakhir hidupnya dari dunia ini.
KEPUSTAKAAN
Alwell.
Walter A
1986 Evangelical Dictionary of Theology,
(Michigan: Baker Book House
Bultmann. R.
1955 Theology
of The New Testament, New York: Charles Scribner’s Son
Barth. Karl
1960 Church Dogmatic, Vol.III.2,
The Doctrin of Creation, Edinburgh: T&T Clark Ltd
Beker. J.Christiaan
1980 Paul
The Apostle, Philadelphia : Fortress Press
Bildstein. Walter J.
1972 Secularization The Theology
of Jhon A. T. Robinson, A Radical Response, (Romae: Pontificiam
Universitatem S. Thomae De Urbe
Beyer. Ulrich
2000 Garis-garis
Besar Eskatologi dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Braaten. Carl
E.
1974 Eschatology and Ethics, Minnesota :
Augburgh Publishing House
Bolkestein. M.H.
1999 Kerajaan yang Terselubung , Jakarta;
BPK. Gunung Mulia
Bavinc, J.H.
1939 The
International Standard Bible Encyclopedia Vol. III, James Orr,(ed),
Wm.Eerdmanas Publishing, co.
Berkhof.
Luis
1949 Systematic Theology.
London: The
Banner of Truth Trust
Carson. D.A.
1984 “Matthew”
The Exposito’s Bible Commentry, vol 8 (Gran Rapids: Zondervan
Drane. John
1996 Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPK.
Gunung Mulia
David. Wenham,
1955 Paul : Follower of Jesus or Founder of Chriatianity, Grand
Rapids : William B. Eerdmans Pblishing Company
Ice. Thomas and Kenneth L.
Gentry,
1997 The
Great Tribulation: Past on Future? Gran Rapids: Kregel
Fee. Gordon D
2004 Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, Malang:
Gandum Mas
G.
Kittel,
1977 Theological Dictionary of The New Testament
Vol. III, (WB Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan
Green.
Chifford (peny.),
1998 Karl Barth: Teolog Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Hadiwijono. H.
1982 Iman
Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 1982),
Kummel. W.G.
1957 Promise and Fulfillment : The Eschatology of
Jesus, Chatam : W&J Mackay & Co, Ltd
Jurgen. Moltmann
1967 Theology
of Hope. London: SCM Press Ltd
Jacob. Tom
1983 Paulus
Hidup, karya dan Teologinya,
Jogyakarta; Kanisius & Jakarta; BPK.
Gunung
Mulia
Leon-Du
Four, Xavier
19901 Ensiklopedi
Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1990), 268
Ladd.
George E
2002 Teologi Perjanjian Baru, Jld. 2, (Bandung: Kalam hidup
Ladd. George Eldon
1991 A Theology of The New Testament,
Cambridge : Lutterworth Press
Marxsen.
Willi
2003 Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung
Mulia, Jakarta
Moltmann. Jurgen
1996 The Coming Of God, Christian eschatology,
London, SCM Presss Ltd
Nuban Timo. E.I.
2011 The Eschatological Dimension in Karl Barth‟s
Thinking and Speaking
about the Future. Kampen:
Drukkerij van den Berg.
Niesel. J.T.
2009 Tafsiran Injil Matius 23-28,
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Norman Perrin,
1967
Rediscovery The Teaching of Jesus, London : SCM. Press
Napel. Hank ten
2006 Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika
Perjanjian Baru , Jakarta: BPK Gunung
Niftrik. G.C. van
& Boland. B.J.
1958 Dogmatika Masakini. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Mayhue. Richard L.
2003 Jesus: A Preterist Or A Futurist? The
Master’s Seminari Jurnal (Spring 2003)
Pieper.
Francis
1950 Christian Dogmatis Vol. I, Missouri:
Concordia Publishing Hous Saint Louis
Pate.
C. Marvin
2004 The End of the Age Has Come , (Malang:
Gandum Mas
Ridderbos. Herman
1997 Paul : An Outline of His Theology, Grand
Rapids : William B.Eerdmans Publishing Company
Riedel.
K.
1951 Kamus Istilah Teologi Perjanjian Baru,
(Jakarta : BPK-GM,
Ridderbos.
Herman
2008 Paulus: Pemikiran Utama Teologinya ,
(Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 40-41
Syukur
Dister, Nico
2004 Teologi
Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta
Schweitzer. Albert
1931 The Mysticism of paul Thought, London : A & C Black
Wenham. David
1995 Paul : Follower of Jesus or Founder of Chriatianity, Grand
Rapids : William B. Eerdmans Pblishing Company
Sumber Artikel, Jounal, Internet:
Eric. Jacobsen,
We Can’t Go Back to the
Garden: Critiquing Evangelicals’ Over-Ruralized Eschatology, http://www.christianitytoday.com/thisourcty/ruralizedeschatology, diaskes 7 Desember 2018.
Kadarmanto.
Mulyo
Gereja Sebagai Komunitas Eskatologis Menuju Oikonomia Lingkungan Hidup: Perspektifreformed, STULOS
13/2 (September 2014)
195-228
http://darwintzegavdm.blogspot.com/2012/04/eskatologi-paulus-harapan
umat.html? Diakses 7 Desember 2018.
https://kamus lengkap.com/ingris-indonesia/arti-kata present, diakses 03
Desember 2018
https://martika.com/arti, present.html,
diakses 03 Desember 2018
http://idm.wikipedia.org/wiki/future, diakses 03 Desember 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar