Rabu, 29 September 2021

ESKATOLOGIS PRETERIS DAN FUTURIS

  

ESKATOLOGIS PRETERIS DAN FUTURIS

(Study Teologis Dogmatis: Makna dan Implikasinya Bagi Jemaat Kristen)

I. Pendahuan

Pengharapan eskatologis (future) akan menentukan bagaimana cara hidup, berpikir, bahkan berteologi pada saat ini (present) karena disitulah terletak seluruh pengharapan iman Kristen.[1] Iman ke masa depan harus nampak dalam perbuatan hidup masa sekarang. Pengalaman iman akan keselamatan pribadi harus berjalan seiring dengan pengharapan eschaton, hanya dengan prinsip seperti itulah wujud dari kesatuan di dalam Tuhan. Pengharapan ekstaologi umat Kristen perlu dikaji lagi secara mendalam, jangan sampai doktrin eskatologi yang dipahami berada dalam perpektif yang salah sehingga menimbulkan kontradiksi antara iman dan sikap orang percaya dalam pengharapan eskatologi.

Dalam sebuah artikel Christianity Today, sistem eskatologi teologi Injili mendapat dua kritikan tajam. Pertama, doktrinnya  memiliki tendesi gnostik berfokus pada hal yang spiritual dan menolak hal-hal fisikal. Kedua, Doktrinnya lebih memilih memandang eschatos sebagai perjalanan kembali ke Taman Eden (dengan setting spiritual) daripada sebuah perjalanan menuju “Yerusalem yang baru”. Kegagalan ini menunjukkan bahwa sebenarnya banyak orang Kristen gagal melihat kaitan eschatos sebagai kontinuasi sekaligus penutup dari kisah-kisah sebelumnya dalam drama metanarasi kosmis Allah. Gagalnya melihat keutuhan metanarasi ini menyebabkan eskatologi dianggap sebagai suatu pelarian tanggung jawab daripada harapan untuk mengerjakan tanggung jawab orang percaya sehingga tergoda untuk mengerjakan hal-hal spiritual saja.[2] Sementara dalam iman kekristenan hal spiritual tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab moral.

Dimensi doktrin eskatologi adalah bersifat Presentris(kini) dan Futuris(masa akan datang). Dimensi  kekinian  dan  keakanan  dari  eskatologi  seringkali   dipahami secara  terpisah   dan  ekstrim,   sehingga  mengakibatkan pengabaian terhadap salah satu dimensi lainnya dalam   tugas dan panggilannya. Pendekatan berorientasi kekinian (present oriented), hanya berfokus   pada tugas masa kini dan cenderung mengabaikan dimensi keakanan dari Kerajaan Allah, demikian juga sebaliknya, pendekatan yang berorientasi pada dimensi keakanan (future oriented) umumnya telah mengabaikan dimensi kekinian. Fokus pengajaran ini selalu terpatok pada  peristiwa-peristiwa yang akan datang, sehingga praktek kekinian dari keberadaan. Kerajaan Allah  seringkali terabaikan dan menganggapnya kurang penting. Dimensi kekinian terasa bukan primar, sehingga meningkatkan tendensitas pada pengabaian aspek-aspek sosial, budaya, termasuk  lingkungan hidup.[3] Untuk memahami lebih dalam apa makna eskatologis presentris dan futuris dalam iman Kristen akan dibahas dalam kajian ini. Menurut penulis eskatologis prensentris  dan futuris seperti metafora “mata uang logam” dua sisi yang tidak terpisahkan. Dalam permbahasan ini akan dibahas bagaimana makna doktrin eskatologis yang bersifat Preterist, prensetris, dan futuris dalam jemaat Kristen.

 

II. Perpektif Teologi Eskatologis Preteris dan Futuris

2.1. Etimologi dan Esensi Eskatologis Preteris dan Futuris

Bahasa Inggris “preteris” berasal dari kata Latin praeteritus yang artinya “masa lalu” yang berkaitan dengan waktu. Secara dogmatis preteris dalah waktu yang sudah berlangsung. Sehubungan dengan itu makna eskatologis itu dipahami secara presentris, artinya hadiah, pemberian, hadir, sekarang, waktu kini[4], antara masa lalu dan masa depan, sedang terjadi atau dalam proses, keberadaan, kehadiran seseorang.[5] Sedangkan Futuris (future) berarti “masa depan” atau ilmu memperlajari masa depan.[6] Sejajar dengan istilah tersebut dalam bahasa ibrani disebut olam haze artinya zaman ini dan zaman akan datang disebut olam haba.[7] Dalam  nubuat  para  nabi Perjanjian Lama diperoleh kesan mengenai adanya dua periodisasi waktu: masa kini (Ibrnai: olam hazzeh, Yunani: aion houtos) dan masa depan (Ibrani: olam habba, Yunani: aion mellon). Yang dimaksud para nabi dalam nubuatan mereka tentang masa depan adalah saat kedatangan Mesias. Dengan demikian, masa kini sebagaimana yang ada dalam pemahaman para nabi adalah periode sebelum kedatangan sang Mesias. Para nabi sendiri sama sekali tidak membuat pembedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan yang kedua.

Dalam  persepsi  mereka  kedatangan  Mesias  sekaligus juga berarti berakhirnya sejarah dunia dan manusi.[8] Dalam Perjanjian Baru masa Mesianis seperti yang dinubuatkan oleh para nabi Perjanjian Lama digambarkan sebagai sebuah peristiwa rangkap dua: ada perbedaan antara kedatangan Mesias yang pertama dan yang kedua. Periode kedatangan Mesias yang pertama disebut masa kini. Sementara peristiwa kedatangan Mesias untuk kali kedua disebut sebagai masa depan. Itulah saat eskatologi, satu masa yang terdiri dari dua babak: Kedatangan Mesias dalam kerendahan dan kedatanganNya kembali dalam kemuliaan.

Dengan demikian ada dua pengertian yang berbeda mengenai masa kini dan masa depan. Dalam nubuatan kenabian, masakini adalah rentang waktu sejarah manusia sebelum kedatangan Mesias. Masa depan adalah ditandai dengan kedatangan Mesias. Bersamaan dengan itu berakhirlah juga sejarah. Pada tempat kedua, para rasul dan umat dalam Perjanjian Baru melihat periodisasi waktu secara berbeda.  Apa  yang  disebut  oleh  para  nabi  disebut sebagai masa kini, justru dianggap sebagai masa lalu oleh para rasul dan umat PB. Pada pihak lain apa yang oleh para nabi dan umat PL dinamakan masa depan justru dialami sebagai dua babak dari masa depan. Babak pertama adalah kedatangan Mesias dalam kerendahan. Babak  kedua  adalah  kedatangan  Mesias  dalam kemuliaan. Kedatangan dalam kerendahan itu disebut masa kini. Sedangkan kedatangan dalam kemuliaan adalah masa depan yang bersamaan dengan itu berakhirlah juga sejarah dunia. Di antara dua masa ini ada satu masa lagi, yakni kedatangan kembali Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Ini adalah masa gereja untuk memberitakan kebangkitan kepada segala makhluk Dua persepsi  ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Itu kelihatannya membingungkan meskipun sebenarnya tidak, mengingat perhatian utama kedua umat ini bukan pada zaman akhir an sich, pada dirinya. Perhatian utama umat dalam PL dan PB mengenai akhir zaman adalah pada kedatangan Mesias, Yesus Kristus. Akhir zaman menurut pengertian kedua umat ini berhubungan erat dengan kedatangan Mesias.Umat dan para nabi PL percaya bahwa kedatangan Mesias sama artinya dengan akhir zaman. Hal yang sama juga diyakini oleh umat dalam PB. Bedanya,  karena  umat  dalam  PL  berdiri  jauh  di  luar masa itu mereka menyangka bahwa kedatangan itumerupakan satu peristiwa tunggal. Sebaliknya, sebagai kaum yang mengalami langsung peristiwa kedatangan Mesias, umat dalam PB mengertai bahwa kedatangan itu bukan suatu peristiwa tunggal, melainkan satu peristiwa yang terdiri dari tiga tahap.

Gambarannya seperti seseorang yang melihat puncak sebuah gunung dari kejauhan. Yang nampak padanya hanya satu gunung. Tetapi apabila ia mendaki sendiri gunung itu, barulah ia sadar bahwa gunung itu terdiri dari beberapa puncak. Antara puncak yang satu dan puncak yang lain ada lembah panjang yang harus pula dilalui. Puncak yang hanya satu dalam penglihatan umat PL ternyata ada tiga dalam penglihatan umat PB. Itu juga yang terjadi dengan temuan umat PB tentang eskatologi.

Periode/babak pertama dari peristiwa kedatangan Mesias adalah peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Babak kedua adalah peristiwa pencurahan Roh   Kudus   oleh   Mesias yang  bangkit itu untuk menyertai umatNya. Babak ketiga adalah kedatangan kembali sang Mesias di dalam kemuliaan untuk mewujudkan   pemerintahan   yang   abadi   di   antara manusia. Untuk membantu memahami periodisasi sejarah dunia yang rada membingungkan ini, Karl Barth membuat sebuah konstruksi yang sangat berguna untuk menolong dan memahami persoalan ini dengan lebih baik. Percakapan tentang waktu bisa kita lakukan dari tiga sudut pandang. Pertama, waktu dari sudut pandang Allah atau waktu Allah. Allah memiliki waktu sendiri yang  berbeda  dengan  waktu manusia.  Waktu  Allah  itu disebut eternal present, masa kini yang kekal. Artinya, waktu Allah itu tidak memiliki masa lalu, masa kini dan masa depan.

Kedua, hal waktu dari sudut padang manusia atau waktunya manusia. Ini adalah waktu yang diciptakan Allah dan diberikan kepada manusia. Waktu manusia ini memiliki tiga babak yang susul-menyusul, atau merupakan realita yang terus mengalir: masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu hanya bisa diingat, masa kini sangat singkat yang digambarkan kitab Mazmur sebagai bunga yang pagi hari berkembang, sore hari lisut dan  lalu  kemudian  gugur  ke  tanah.  Sedangkan  masa depan adalah realita yang masih diharapkan atau dicita-citakan.

Ketiga, perihal tentang waktu dari sudut padang Yesus Kristus, yakni waktu keselamatan (salvation historyHeilgeschiedenis). Karl  Barth membagi  heilgeschiedenis dalam  tiga  periode: masa  lalu,  masa  kini  dan  masa  depan.  Titik tolak pembagian ini adalah peristiwa Kebangkitan Yesus Kristus. Masa yang terbentang antara Paskah dan Pentakosta Barth namakan sebagai the eternal present, masa kini yang kekal. Ini adalah titik pusat dari waktu manusia.  Ia  juga  identik  dengan  waktu  yang  Allah miliki bagi diriNya dan waktu di dalam mana Allah berdiam. Masa antara Paskah dan Pentakosta itu sesungguhnya adalah kekekalan. Itu adalah the heart of all time.[9] Dalam berbicara tentang periodisasi waktu  ini para nabi dan rasul berdiri dalam rentang waktu Paskah sampai Pentakosta. Dari situ mereka mulai berbicara tentang masa lalu, masa kini dan masa depan.[10] Masa lalu adalah saat di mana orang percaya sudah berdiam di dalam Allah meskipun belum ada. Masa kini adalah saat berlansungnya proses hidup dalam iman, kasih dan pengharapan akan Allah. Masa kini, yakni antara kenaikan dan kedatangan kembali Yesus kristus adalah waktu kesabaran Allah, sekaligus adalah waktu untuk mendengar dan memperdengarkan Injil.[11]Masa depan adalah saat kehidupan ada dalam tangan Allah meskipun sudah berakhir hidupnya dari dunia ini.[12]

Dari perspektif Paskah yang disebut masa lalu adalah rentangan waktu yang mendahului kebangkitan Yesus Kristus. Masa itu terbentang ke belakang, yakni dari peristiwa kebangkitan Yesus ke peristiwa penciptaan langit dan bumi. Itu adalah periode di mana segenap ciptaan menanti peristiwa kedatangan Mesias, yakni kebangkitanNya. Masa ini adalah periode di mana Allah berada dalam perjalanan menjumpai manusia berdosa untuk menawarkan keselamatan.

Dari perspektif kebangkitan Yesus Kristus, yang disebut masa kini adalah rentangan yang berlangsung antara kenaikan Yesus Kristus ke sorga sampai kedatanganNya kembali. Inilah masa di mana orang-orang percaya diberi mandat oleh Allah untuk memberitakan kepada dunia dan semua manusia tentang dimulainya zaman baru dan kemanusiaan baru, supaya dunia dan semua manusia boleh ambil bagian dalam gerakan   pembaharuan   dan   perubahan   dunia   dan manusia  yang  sudah  diwujudkan  Allah  lewat kebangkitan Yesus Kristus. Merujuk pada judul buku ketiga  ini,  masa  kini  adalah  masa  di  mana  manusia berada dalam perjalanan menjumpai Allah untuk masuk dalam persekutuan dengan Dia.

Sedangkan yang disebut masa depan adalah waktu yang baru akan datang bersamaan dengan kedatangan  kembali  Yesus  Kristus.  Inilah  waktu  di mana Allah akan memberi nilai kepada semua aktivitas dan  karya  manusia.  Mereka  yang  selama  hidup  masa kini melakukan karya yang sejalan dengan tuntutan hidup di zaman  baru demi  mempromosikan kemanusiaan baru akan diundang ambil bagian dalam persekutuan  yang   kekal dengan Allah. Sedangkan mereka yang menjalani hidup dalam semangat permusuhan dengan kaidah-kaidah di zaman baru itu akan ditolak oleh Allah ke dalam  kegelapan yang paling gelap, yang di dalamnya hanya terdapat ratap dan kertak gigi" (Mt. 8:12).

 

Dilihat dari  perspektif  kebangkitan  Yesus  eskaton  bukan baru akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Eskaton sudah mulai sejak kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati dan akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Artinya waktu yang terbentang ke depan sejak peristiwa Paskah adalah bagian dari eskaton  yang merupakan  the beginning of the great consummatumest.[13]

Jadi dapat dipahami bahwa eskatologis dalam Injil tidak hanya menyangkut masa depan, tetapi jelas juga mengenai masa lalu, dan masa kini.[14] Teologi Paulus juga secara hakiki bersifat eskatologis. T. Jacob, mengatakan  titik pangkal teologi Paulus adalah kebangkitan Kristus. Sifat eskatologis kebangkitan Kristus, khususnya berhubungan dengan iman orang kristiani, yang ditegaskan Paulus di dalam Roma 3:21-26. Kebangkitan Kristus mempunyai arti keselamatan (Roma 4:25). Maka dengan tegas Paulus dapat berkata bahwa kita hidup pada waktu, di mana zaman terakhir telah tiba (1 Kor. 10:11). Kendati segala realitas, diterima dengan iman, Paulus selalu menekankan juga pengharapan. Ia berani berbicara mengenai Allah pengharapan (Roma 15:13). Roh Kudus diberikan dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan (2 Kor. 1:22), oleh Roh, dan oleh karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapankan (Gal. 5:5), kita menantikan pernyataan Tuhan kita Yesus Kristus . Pengarapan di sediakan di sorga (Kol. 1:5). Sebab Kristus adalah pengharapan akan kemuliaan (Kol. 1:27). Dalam Roma 8:25, Paulus menjelaskan pengharapan itu: jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikan dengan tekun (bnd. 15:4). Dari teologi Paulus ialah bahwa dalam zaman ini sudah terlaksana zaman yang akan datang, karena kebangkitan Kristus.[15]

Topik Parousia Yesus tidak terlepas dari dimensi Kerajaan Allah. Pemahaman Kerajaan Allah tidaklah berarti menunjuk pada suatu tempat atau suatu komunitas yang diperintah oleh Allah yang konkritnya bisa dijabarkan sebagai aktivitas Allah. Ia bukanlah suatu otoritas tersembunyi tapi penampakan kekuasaan yang tidak berdasar pada bentuk formal, tapi fungsi.[16]  Pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah seringkali menggunakan istilah basileia (yunani) yang berarti pemerintahan Allah sebagai Raja dan bukan wilayah kekuasaan.[17] Istilah Kerajaan Allah menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas yang absolut. Meski kerajaan Allah berlu direalisasikan secara sempurna pada zaman ini, namun kerajaan Allah masa akan datang akan diwujudkana melalui pembaharuan dalam “bumi yang baru” (2 Pet 3:12-13), Bumi yang sempurna dan lengkap. Jika kerajaan Allh ada disini dan masa akan datang, maka kehidupan orang percaya juga akan sesuai dengan kehidupan historis Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah sama kemaren, hari ini, dan untuk semua dalam keabadian, dan semua orang percaya satu dengan kehidupanNya dan masa depanNya dengan hidup masa kini sesuai dengan kehendak kerajaaan Allah yang akan terwujud di masa depan.[18] Semua istilah eskatologi diatas menekankan eskatologi yang berisfat preteris, presentris dan juga futuris.

2.2. Pandangan Para teolog tentang eskatologi Preterist, Presentris dan Futuris

Meskipun perspektif Parousia Yesus, masing-masing ahli teolog Biblika mempunyai pendapat yang berbeda. C.H.Dodd menekankan Kerajaan Allah telah terwujud secara utuh di dalam dunia sejalan dengan kedatangan Yesus.[19] CH. Doodd degan berat sebelah menitik beratkan segi presentris dan berbicara tetang realized eschatology (Eskatologi yang sudah terwujud), dasar dogmatis yang digunakan adalah Luk 11:20 dan juga Mateus 12:28. Masa eskhaton telah diwujudkan dalam kedatang Yesus.[20]Namun masih menantikan penyempurnaanya dalam drama penyudahan sekajarah masa akan datang.[21] Eskatologi Yesus, Paulus dan Yohanes dipahami bersifat preteris. Namun karena harapan ini tidak terwujud dan tidak terpenuhi, maka jemaat baru menyusun suatu eskatologi yang futuris (bnd, Mrk 13, Wah). Namun hal itu dipahami bentuk eskatolgi yang bukan khas Kristen, namun apokaliptik Yahudi. [22]Hal berbeda dikemukakan, W. Panenberg mengatakan bahwa tentunya tidak tepat bila Kerajaan Allah telah terwujud sepenuhnya karena bila itu terjadi, maka keadaan dunia akan berbeda.[23] Albert Schweitzer kemudian penggagas ide Kerajaan Allah yang futuris. Menurut Schweitzer, pengharapan eskatologi Yesus sama dengan kebanyakan penulis apokaliptik sejaman-Nya. Yesus percaya Allah segera campur tangan dalam hidup manusia melalui kedatangan Anak Manusia yang akan terjadi tidak lama lagi (Mat. 10:23).[24] Namun Schweitzer tidak benar-benar konsiten menekankan eskatologis presentris, sebab masih mepertahakan “pengaharapan terhadap hidup”.[25]Teolog yang menjembatani pemahaman (antara eskatologi futuris dengan yang fresentris) dicetuskan oleh J.Jeremias yang menyimpulkan: eskatologi berada dalam proses perealisasian dirinya. Ia menyatakan bahwa di dunia ini masih belum ada suatu eskatologi yang benar-benar real. Tindakan penciptaan berada pada garis awal proses itu dan ia terus bergerak tiada henti sampai pada suatu batas yang tidak berujung. Eskatologi tidak lain adalah perjalanan waktu yang menuju kekekalan. Dalam dimensi ekstalogis inilah kesatuan hidup orang percaya dengan Allah yang diwujudkan melalui solidaritas hidup bersama, dalam teologi Paulus disebut :”terlibat dan menyatu dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus”. Mereka menjadi orang-orang pilihan yang bila saat Parousia itu tiba, kendati mereka sudah mati, mereka tetap menerima anugerah Allah. Saat berada di dalam dunia, orang percaya yang terhisap di dalam Kristus itu akan masuk dalam suatu keadaan yang berbeda dengan sekitarnya; mereka semakin bertumbuh dalam pengenalan akan Allah dan menjadi sama seperti Kristus, selalu diubah dan disempurnakan.[26] Parousia menekankan kedatangan Yesus kembali untuk menyempurnakan seluruh janji keselamatan yang pernah dibuat Allah sejak dahulu kala (1 Tes. 5:8-9), menghukum mereka yang jahat dan menegakkan Kerajaan-Nya di dunia. Secara eskatologis keselamatan itu berlaku universal dan tidak hanya dirasakan oleh sekelompok orang atau bangsa tertentu. Ia meliputi seluruh sejarah manusia. Kedatangan Yesus kembali juga mengandung dua maksud: di satu sisi membawa keselamatan tapi pada sisi lain membawa penghukuman.[27] Padangan Cullman sendiri berorientasi pada kedua pola eskaton, yaitu sudah genap realisasinya, belum kelihatan sempurnannya. Ibarat sebuah “perang”makan hari kemengan sudah tiba, tetapi gencatan senjata belum dilaksanakan oleh keduabelak pihak sehingga masih terjadi konplik disana sini. Artinya hari kemenagan sudah tiba dengan kedatangan dan karya Kristus tetapi pihak lain, dosaa masih berpengaruh, maut belum ditiadakan, dan seluruh dunia tampaknya memang belum dikuasasi oleh kemengan Tuhan Yesus Kristus. Namun dalam Kristus, sebagai pusat sejarah, masa lamapau terpenuhi dan masa depan dimulai. Kedatang Kristus menyebakan peralihan zaman. Keselamatan orang percaya sudah mulai terwujud dan kelas akan disempurnakan.[28] Paul Althaus, mengatakan eschatology itu bersifat kekekalan, penyelesaian, parosia Kristus dan itu supra temporal, eskatologi tidak dipahamai waktu secara krologis, namun escaton itu terjadi setiap saat, eskatolgi tidak dipahai secara historis. Dengan demikian setiap waktu adalah adalah memiliki akhirnya, dan sepanjang waktu, bukan hanya yang terakhir kali namun terus menerus berakhir dan berproses pada keabadian (bnd. Rom 13:12).[29] Jadi Althaus lebih menekan eskatolgis Presentris pada awalnya, namun kemudian Altahus juga mengemukakan eskatologis bersifat ganda yakni eskatologis telah hadir masa kini dimana kehidupan kekal telah menjadi milik orang percaya pada masa kini, namun hari Tuhan akan kehidupan kekal itu adalah pengharapan dalam kehidupan orang percaya.[30] Hal yang berbeda dikemukan Rudolf Bulmann yang mengatakan eskatologi eksistensialis, menekankan moment kekekalan. Sejarah tidak hanya diartikan sebagai rentetan zaman yang berturutturut, namun sejarah lebih mengartikan kesejarah eksistensi manusia. Manusia boleh hidup dari kasih karunia Tuhan dan memang sudah mengalami saat eskatologi meskia  masih tetap hidup di dunia ini. Artinya, eksistensi eskatolgis bukanlah suatu milik yang tersedia tetap melainkan yang harus diwujudkan senantiasa dengan baru melalui keputusan iman yang setiap saat baru pula (Pil 3:12).[31]

 

2.3. Apakah Yesus Seorang Preterist atau Futuris?

Thomas menjelaskan ada tiga jenis preterist/preterism yang diberi label: (1).Sedang, (2) Moderat, (3), esktrim. Preterisme lama menyatakan bahwa tribulation adalah terjadi dalam tiga ratus tahun masa awal pertama kekristenan saat Tuhan menghakimi dua “musuh” yakni orang-orang Yahudi pada tahun 70 dan orang Roma pada tahun 313 M, namun penganutnya masih mencari masa depan kedatangan kedua. Preterism Moderat mengakui bahwa kesengsaraan dan sebagian besar nubuatan Alkitab telah digenapi dalam peristiwa-prtitiwa yang terjadi sekitar kehancuran Yerusalem dan bait Allah pada tahun 70 sM, namun masih berpegang pada masa depan kedatangan kedua, dalam kebangkitan fisik yang sudah mati, mengakhiri sejarah dunia dan membangun surga baru yang sempurna dan bumi baru. Pandangan Preterism esktrim percaya kedatangan Kristus yang kedua, dan mengatakan bahwa kebangkitan orang percaya semua sudah berlalu. Secara praktis semua tujuan nubuat Alkitab telah terpenuhi dan kini umat percaya berada di luar millennium dan bahkan meyakini pada masa kini telah berada di surga dan bumi yang baru. Aliran ini  percaya bahwa jika ada akhir dari sejarah masa ini itu tidak tercatat dalam Alkitab.[32] Mengacu pada penetapan tanggal pernulisan kitab Wahyu nampkanya gereja pada akhir abad pertama dan kedua adalah menganut paham preteris. Namun meskipun demikian diskusi semacam itu tidak menjadi dasar untuk membuktikan selamanya bahwa Yesus adalah seorang futuris, ia sangat menentang dan bahkan menutut bahwa Dia bukan peretrist. Sebab dalam Teks Matius 10:23 menegaskan dukungan preterisme, “Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain; karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang”. Teks tidak memiliki parallel synoptic dan tidak ada kesulitan dalam terjemahan, namun interpretasinya menghadirkan tantangan besar.[33]  Yesus dalam mengutus para muridnya dan memberikatahukan apa yang harus mereka lakukan dan beritakan “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat”. Dari pernyataan Yesus tersebut setidaknya ada beberapa kemungkinan yang dapat dibedakan:[34]

a.       Yesus berarti segera datang atau Tuhan akan segera datang atau menjadi dekat, maka Yesus mengatakan “pergilah..” Namun masalahanya utama dalam pandangan ini adalah penganiayaan dalam ay 16-23 tidak dialami sampai Yesus mati dan bangkit.

b.      Frasa “ Anak Manusia datang” (Mat 24:30), paling banyak komptibel dengan tampilan parousia masa depan.

c.       Anak manusia datang adalah gambaran eskatologis (Dan 7:13)

d.      Secara hermeneutik dan secara teologis arti “anak manusia datang” memiliki makna eskatologi belum selesai dan masih berlangsung hingga memasuki parosuia.

e.       Berita pemberitaan Injil memungkinkan untuk menjangkau orang yang bukan Yahudi (Lih Mat 28:19, Mark 13:10), dimana Tuhan tidak akan meningakan Israel dalam rencana keselamatan. Kristus bermaksud untuk membangun komunkasi sevara bijak denga Israel pada kedatangan yang pertama (Mat 1:21) dan akan dilanjutkan samapai Ia kembali pada kedatanganNya yang kedua.

 Jadi interpretasi futuristic tentang “kedatangan: dalam Mat 10:23, secara kontekstual, gramatikal, hermeneutik, dan secara teologis lebih masuk akal. Artinya makna yang terkandung dalam teks tersebut dalam konteksnya  secara sederhana bahwa penginjilan Israel tidak akan selesai sebelum akhir zaman, yang datang dengan datangnya Anak manusia…Paulus dalam sudut pandangan teologinya mengungkapkan hal sama bahwa “keselamatan semua Israel” akan disempurnakan pada saat “pembebas” akan datang dari Sion (Rom 11:25-27).[35]Kehadiran Yesus memperlihatkan bahwa “waktunya telah genap” (Mark. 1:15), artinya dengan pelayanan Yesus masa penantian itu sudah berakhir dan hari yang dijanjikan Allah telah tiba. Pembuktian penggenapan waktu itu juga terlihat melalui tindakan pengusiran setan, mujizat kesembuhan, pemulihan orang-orang berdosa dan penerimaan terhadap orang-orang yang diasingkan.[36] Dalam hal inilah Yesus dimaknai kedatangan Yesus secara Futuris akan menyempurnakan keselamatan yang sesungguhnya. Penulis lebih setuju memahami eksistensi Yesus dalam pandangan moderat untuk memahami eskatologi yang bersifat preteris dan futuris meskipun kedua istilah tersebut sangat paradoks.

 

2.4. Paradoksal Eskatologi Presentris dan Futuris Dalam Jemaat Kristen

Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk memahami pengajaran Rasul Paulus. Salah satu pintu masuk dalam pengajarannya adalah dari sisi “eskatologis”. Nampaknya hampir seluruh bagian surat-surat Paulus, sarat dengan konsep eskatologis. Ridderbos, mengatakan karya Kritus hanya bisa dipahami jika bertitik tolak dari pemahaman eskatologis, sehingga pemahamannya tentang Kristus selalu dikaitkan dengan eskatologi.[37] Maka, kedatangan Kristus merupakan penggenapan waktu, sebab waktu dunia ini telah berakhir, mulainya kedatangan Allah yang menentukan yang telah lama dinanti-nantikan, waktu atas segala waktu, hari keselamatan yang telah genap untuk dinyatakan dalam eskatologis.[38]  Lebih dalam dikatakan Ridderbos bahwa “seluruh eskatologi Paulus diarahkan oleh: telah, dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus”.[39] Artinya, kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena “genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus dalam memulai karya-Nya dan yang percaya bagiNya adalah berada dalam zaman baru. Teologi Paulus tidak berhenti pada “penyataan” Allah di dalam Kristus. Paulus mengajarkan bahwa “peristiwa Kristus” (kematian dan kebangkitan-Nya) mencakup aspek “futuris”, bersifat keakanan. Maka, hal ini hanya dapat dimengerti dengan bertolak dari “paradoksal eskatologi”. Aspek future yang dimaksudkan dapat dirumuskan dalam kata “pengharapan”. Pengharapan akan “pemenuhan” karya Kristus berada dalam paradoks, anatara aspek yang sudah dan masih merupakan suatu penantian kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena “genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru yang Ia bawa. Paradoks antara “yang sudah” dan “yang belum” itu ditemukan dalam tulisan-tulisan Paulus tentang penyelamatan. Setipa orang percaya telah diterimaoleh Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus diterima secara defenitif (Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus (Rm. 3:24, 1Kor. 1:30), tetapi pembebasan seluruh hidupnya masih sedang dinantikan (Rm. 8:23), meskin sudah menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal mewarisi kerajaan masih merupakan masa depan juga (1Kor. 15:50). Oleh sebab itu berada “bersama Kristus” memiliki sisi yang sudah (sudah mati dan dikuburkan bersama Kristus) dan belum (akan bersama Kristus di surga). Disinilah iman Kristen memahami makna baptisan dalam dimensi eskatologis  dimana orang yang dibaptis telah mengambil bagian dalam kematian Kristus, tetapi hal mendapat bagian dalam kebangkitan Kristus masih merupakan anugerah masa depan.[40]

 

2.5. Eskatologi Kristen Diantara Apokalitik dan Gnosis

 

Teologi Paulus mengakomodir dua konsep ekstaologi dalam pemikiran apokaliptik dan Gnosis. Pemikiran apokaliptik menekan hal futuris sedangkan Helenis cenderung menekankan menikmakti keselamatan kekinian yang dihayati dalam ibadat. Eskatologi kekinian Paulus digunakan dari cara-cara pikiran helenisme, misalnya dalam interpertasi tentang eskatolgis baptisan (Rom 6:3). Namun untuk menjelaskan masa depan Allah “hari Tuhan”( 1 Tes 5:2; 1 Kor 1:8; Plp 1:6) Paulus menggunakan  eskatolgi apokalitik. Rentetan peristiwa pada parousia secara jelas digambarkan dengan alat-alat teologis dan apokaliptik ( 1 Tes 4:15-17). Jadi cara pemikiran Apokaliptik itu turut membantu, agar pengertian Kristen tentang tindakan Allah dalam sejarah tidak dilepaskan, sebab dalam teolgi Paulus eskaton sudah mulai oleh sebab Kristus telah mati dan bangkit, maka ekatologi tidak hanya berisifat futuris semata.[41] Pemberitaan eskatolgi Paulus menyifatkan eksistensi orang Kristen berada dalam ketegangan. Disatu pihak keselamatan sudah terwujud (Prensetris) dan dipihak lain, kedudukan orang Kristen yang sebenarnya sebagai anak-anak Allah belum kelihatan dalam dunia (segi futuris).[42]

Zaman yang penuh penanti-nantian oleh orang Yahudi adalah zaman mesianis, dengan harapan agar kekurangan yang dialami selama zaman ini akan diatasi pada zaman yang baru. Kedatangan Mesias bagi orang Yahudi adalah akhir dari penderitaan yang mereka alami dan hingga kini, hal tersebut masih merupakan penantian. Bagi jemaat Kristen, zaman yang bagi orang Yahudi adalah zaman mesianis telah dimulai dengan kedatangan Kristus. Pemahaman teologi Paulus, zaman baru yang telah dimulai dengan kedatangan Kristus, yang menghadirkan zaman yang akan datang ke dalam zaman sekarang. Pemahaman ini diadopsi oleh Paulus dari pandangan rabbinisme. Sebab pengajaran rabbinisme, alam ini (olam hazeh) merupakan antitesis/perlawanan dari zaman yang akan datang (olam haba ), tetapi dalam pemahaman Paulus zaman ini masih ada, dan zaman yang akan datang tetap ada.[43] Sehingga dalam skema keselamatan zaman ini adalah sudah lewat tetapi masih merupakan realitas juga.[44] Ketegangan antara apa yang sudah dan yang belum sering dirumuskan dengan istilah already but not yet (Jerman: urzeit-enzeit). Dari teologi Paulus, dipahami bahwa keselamatan yang telah dianugerahkan adalah suatu penantian yang akan terus diharapkan oleh orang percaya. “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Rm. 8:19), dan orang percaya diselamatkan dalam pengharapan, sehingga pengharapan demikian bukan lagi pengharapan, sebab apa yang diharapkan saat ini telah ada (Rm. 8:24). Dalam konteks inilah orang percaya hidup, hidup dalam penantian tersebut. Kehidupan orang percaya dalam zaman yang penuh ketegangan ini disertai dengan sejumlah kesukaran, kesakitan, orang percaya masih akan mengalami kematian akibat dosa. Meskipun karya Kristus telah selesai, pengaruh si jahat beserta “kroni-kroninya” masih tetap eksis. Orang percaya berada dalam zaman akhir tetapi zaman akhir itu belum berakhir, berada dalam zaman yang baru, namun puncak dari zaman baru belum tiba. Menurut Hoekema, “Ketegangan antara yang sudah dan yang belum merupakan ciri dari ‘tanda-tanda zaman’, menyangkut peristiwa-peristiwa sebelum Kristus kembali.”[45]Jadi, hal-hal di atas merupakan ‘pengantar’ ke dalam zaman penggenapan segala sesuatu. Dua titik yang mengantarai kehidupan Kristen saat ini yaitu salib dan kebangkitan Kristus sebagai permulaan zaman akhir dan titik pusat sejarah (titik awal), dan parousia sebagai titik akhir. Tumpang tindih dua zaman terjadi dalam masa antara tersebut dipahami sebagai eskatologi presentris dan futuris dalam dogma Kristen.[46]

 

III. Makna eskatologis preteris dan Futuris dalam kehidupan jemaat

3.1. Eskatologis Dalam Peranan Roh Kudus

Eksistensi dan ciri kehidupan yang eskatologis orang Kristen jemaat mula-mula adalah menerima Roh Kudus dan memahami zaman eskatologi sudah mulai (Kis 2:4, 17). Roh Kudus merupakan tanda yang nyata untuk awal eskaton. Dalam seluruh pasal Rom 8, Paulus memasyurkan “pemberian Roh Kudus” yang mewujudkan kuasa kebangkita Yesus dan memerdekan manusia dari kuasa-kuasa dunia (bnd. Gal 4). Jadi manusia selaku anak Allah hidup dalam status eskatologis yang sudah dimulai pada masa kini.[47] Karya Roh Kudus bukan hanya menekankan lahir baru namun firman yang menerangin intelek juga secara langsung dan segera memasukkan kasih sayang baru kedalam kehidupan orang percaya. Sehingga orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus hidupnya telah menjadi baru, manusia spiritual dimana yang lama telah berlalu dan menjadi baru (2 Kor 5:17, Gal 3:2,4:6)

Selain itu, Paulus dalam seluruh karyanya tidak mengabaikan oknum ketiga Tritunggal ini. Berkaitan dengan pembahasan dalam bagian ini, peran Roh kudus tidak dapat diabaikan. Dalam keselamatan kita, Roh Kudus berperan sebagai peneguh iman kita. Kehidupan Kristen dalam zaman yang penuh ketegangan ini bukanlah tidak ada pengharapan. Paulus tidak mengatakan bahwa apa yang diharapkan adalah sesuatu yang tidak pasti. Kepastian pengharapan Kristen ditandai dengan kehadiran Roh Kudus pada saat ini. Sebab kehadiran Roh Kudus merupakan bukti “kehadiran zaman yang akan datang”. [48]

Harus diakui bahwa janji-janji yang telah diberikan melalui perantaraan nabi Yeremia dan Yehezkiel menghantarkan kepada perjanjian yang baru. Janji akan Roh Kudus lebih jelas dalam Yoel 2: 28-30, sehingga Paulus melihat ini sebagai tibanya zaman mesianis oleh pencurahan Roh Kudus (Kis. 2). Roh Kudus adalah bukti yang pasti, bahwa zaman yang akan datang telah tiba, dan menjadi jaminan terhadap perwujudannya yang sempurna di masa yang akan datang. Kiasan “jaminan” (2 Kor. 1:21-22; 5:5; Ef. 1:14) menegaskan kewajiban akan pelunasannya. Kiasan “jaminan” ini lebih jelas dalam Efesus 1:14, “Roh Kudus itu adalah jaminan bagi kita, sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah”. Inilah jaminan yang Allah berikan bagi orang percaya pada masa kini. Kiasan lain yang digunakan Paulus adalah “buah sulung” (Rm. 8:23; 1Kor. 15:20, 23), dan “kiasan materai” (2 Kor. 1:21-22; Ef. 1:13; 4:30). Ketiga kiasan ini menurut Gordon Fee, “menekankan Roh Kudus baik sebagai bukti masa kini mengenai penyataan-penyataan masa yang akan datang atau sebagai jaminan mengenai kemuliaan terakhir”. [49] Roh Kudus sebagai ‘jaminan”. Paulus mengatakan karunia Roh Kudus disebut “buah sulung” (Rom 8:19-23; 2 Kor 1:22; 5:5; ). Jadi pemberian Roh Kudus menandai pendahuluan keselamatan eskatologis bagi orang percaya, dan sekaligus mendorong pengaharapan ke arah terakhir penggenapan kemuliaanya masih dinantikan(futuris). Pengharapan itu juga terdapat diantara segenap mahluk lainnya. Karena mahlu itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke adala  kemerdekanan kemuliaan anak-anak Allah. Jadi eskatologis Paulus bersifat luas tidak hanya dibatasi pengharapan ity pada masa depan manusia semata, namun seluruh kosmos akan melihat hari Pemuliaan Tuhan dan “segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa (Fpl 2:11).[50]

Di antara teologi biblis tentang Roh Kudus, teologi Paulus paling kaya dan beragam. Paulus mengungkapkan bahwa Bapa menunjukkan kepada kita kasih-Nya yang tak terlampaui dengan menyerahkan Anak-Nya (Rm. 8:32, 39) sampai pada salib – pusat dan titik balik seluruh pewartaan Paulus (1 Kor. 1; Flp. 2:8) –. Dan salib berarti: “dibuat menjadi dosa karena kita” (2 Kor. 5:21; Rm. 8:3). Kebenaran ini mencakup segala sesuatu. Paulus tidak hanya mewartakannya, tetapi juga hidup sendiri di tengah dan di dalamnya, yaitu sejauh ia telah menjadi penyerahan kebapaan melulu demi orang-orangnya, semata-mata keikutsertaan dalam derita dengan Sang Putra, dan dimampukan untuk menjadi demikian karena “kasih Allah telah dicurahkan dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm. 5:5). Sorotan kasih ini membuatnya berkeyakinan bahwa kebangkitan serta kemuliaannya (doxa) tak terpisahkan dari salib; bahwa kelemahan pada salib (2 Kor. 13:4) secara niscaya bermuara dalam kekuatan (dynamis) kebangkitan. Melalui kebangkitan-Nya yang dipandang Paulus secara khusus sebagai karya Roh Allah (Rm. 1:4; 8:11). [51] Mengikuti Kristus ini hanya dapat berarti bahwa kita oleh Roh yang dikaruniakan kepada kita sebagai “jaminan” (2 Kor. 5:5) yang “datang dari Tuhan”, makin lama makin “diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya” (2 Kor. 3:18). Berkat dicurahkannya Roh Kudus di dalam hati kita, berkat “dibaptisnya” kita (1 Kor. 12:13) dalam Roh itu maka sampailah kita baik kepada pemahaman kebenaran ilahi maupun kepada kehidupan di dalamnya.

Selanjutnya, Nico Syukur Dister mengungkapkan beberapa hal tentang Roh Kudus sesuai kesaksian surat-surat Paulus sebagai berikut:[52] Roh Kudus memperlihatkan diri sebagai Interpretator. Pemahaman ini tidak terlepas dari keputusan untuk melalui pembaptisan yang merupakan karya Roh, membuka diri bagi penerangan oleh Roh itu juga. Kepada orang beriman yang telah dibaptis, Paulus memberitakan “hikmat yang bukan dari dunia ini” yaitu bahwa “tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat dalam diri Allah selain Roh Allah”; dan bahwa “kita tidak menerima roh dunia, tetapi Roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu apa yang dikaruniakan Allah kepada kita”. Apa yang tersembunyi di dalam Allah, rahasia Allah, itu kita wartakan bukan dengan perkataan hikmat manusia, melainkan sebagaimana “diajarkan oleh Roh” (1 Kor. 2:5-13).[53] Roh juga berperan sebagai “ Introduktor ” ke dalam hidup menurut kebenaran. Cara hidup semacam itulah yang akan memperdalam dan mematangkan pemahaman yang sebenarnya, yakni Jikalau seseorang dengan mengikuti Kristus secara sungguh-sungguh “mengikatkan diri pada Tuhan, ia menjadi satu roh dengan Dia” (1 Kor. 6:17), sebab “jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus” (Rm. 8:9). Kristus memberikan diri-Nya kepada kita melalui dan di dalam Roh-Nya.[54]  Dalam pesan etikanya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengungkapkan bahwa Roh Kudus akan menghasilkan buah-buah roh yang baik seperti: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Ini menjadi kebalikan dari apa yang disebut Paulus sebagai hidup di dalam daging dengan membuahkan percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.[55] Yang paling hakiki dalam ajaran Paulus tentang Roh Kudus ialah interpretasi yang dibuat oleh Roh mengenai wahyu Allah dalam Kristus. Roh menafsirkan wahyu itu dalam sabda nubuat, tetapi lebih-lebih dalam seluruh eksistensi orang beriman sebagaimana secara teladan menjadi jelas dalam eksistensi Paulus sendiri: “Aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!” (1 Kor. 4:16), “sama seperti aku menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1; Flp. 3:17), khususnya di mana kesusahan harus dikaitkan dengan “sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1 Tes. 1:6). Masing-masing orang beriman seharusnya menjadi teladan baik bagi sesamanya maupun bagi jemaat seluruhnya, sebab Roh Kudus mengajar kesempurnaan baik dalam orang perorangan maupun dalam Gereja seluruhnya. [56]

 

3.2. Eskatologis Karunia Roh                                 

Ketegangan eskatologis secara khusus sangat terasa dalam hal karunia Roh. Bagi Paulus, pemberian Roh merupakan permulaan proses penyelamatan. Penerimaan Roh telah menjadikan orang percaya sebagai anak-anak Allah, dan menyebut seruan: “ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15). Teks yang menjadi dasar argumentasi ini adalah Roma 12:3-8; 1 Korintus 12-14; dan Efesus 4:7-16. Karunia-karunia rohani adalah bersifat eskatologis yang secara khusus mengandung dialektika sudah/belum. Karunia-karunia Roh merupakan tanda bahwa zaman eskaton telah mulai yang harus dihidupi dalam kasih dan bersifat keabadian. Hidup dalam karunia Roh inilah dimaknai eskatologis presentris akan disempurnakan pada zaman yang akan datang(futuris).[57]

3.3  Eskatologis Kebangkitan orang mati

 

Paulus mengungkapkan adanya kebangkitan orang mati semata-mata lahir dari kenyataan yang amat diyakininya bahwa Yesus benar-benar telah bangkit. Peristiwa kebangkitan Yesus menjadi bagian yang hakiki dari pemberitaan tentang eskatologi Paulus karena bagi Paulus sendiri kehadiran Yesus menandai suatu peristiwa eskatologis. Dengan demikian kematian dan kebangkitan Yesus memperkuat keyakinan Paulus bahwa eskaton itu telah terwujud pada masa kini (presentris).[58]  Sejarah telah mencapai penggenapannya dalam peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus, dengan demikian tujuan akhir Allah telah terjadi dalam sejarah.[59]  Telos eskaton Allah tidak lain adalah penyelamatan dan penebusan seluruh umat manusia melalui pekerjaan Yesus; penggenapan itu telah terjadi pada saat ini (2 Kor. 6:2).

            Paulus menghubungkan kematian[60] dengan akibat tindakan Adam yang membawa manusia ke dalam dosa. Dengan memadukan ide-ide dari tradisi Yahudi-Perjanjian Lama, Paulus mengatakan bahwa dosalah yang membawa manusia kepada kematian; upah dosa adalah maut/kematian (Roma 1:32). Sejalan dengan itu pula berkali-kali Paulus tegaskan bahwa ada hubungan yang erat antara dosa dan masalah kedagingan : “Jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati” (Roma 8:13). Sebagaimana halnya tanaman, kehidupan yang berada dalam daging terus bertumbuh dan menghasilkan buah kedagingan, yaitu kematian.[61] Yesus adalah “yang sulung dari semua yang dibangkitkan”, artinya bersamaan dengan kebangkitan Yesus telah tersedia kebangkitan yang lain yaitu kebangkitan orang mati. tetapi sebelum masuk pada pembahasan mengenai kebangkitan orang mati, ada baiknya jika terlebih dulu ditelusuri arti “mati” atau “kematian” menurut pemahaman Paulus.

            Akan tetapi upah dosa yang membawa pada kematian itu telah dikalahkan melalui peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Kenyataan bahwa “kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, sekali untuk selamanya” (Roma 6:10) dan bahwa “maut tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma 6:9) memperlihatkan betapa peristiwa Kristus itu telah mengalahkan kuasa “masa lalu” (Roma 5:12-21). Dengan demikian “…manusia lama kita telah disalibkan bersama-sama dengan Kristus” dan “tubuh dosa kita telah hilang kuasanya” (Roma 6:6). Jadi, “….siapa yang sudah mati, ia telah bebas dari dosa (ay. 7) dan pernyataan ini berparalel dengan “kebaruan manusia”[62]. Kematian dan kebangkitan Yesus membuat manusia menjadi “ciptaan baru” dan sifat-sifat lama manusia telah ditanggalkan.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, tergambar bahwa kematian dalam PB bukanlah sebagai proses yang alamiah, tetapi sebagai peristiwa sejarah yang mengakibatkan manusia masuk ke dalam keberdosaannya. Pernyataan tentang kematian Kristus di kayu salib merupakan cerita keselamatan dan selalu berhubungan dengan kebangkitan dan kemenangan atau hidup baru bagi orang-orang percaya. Intinya adalah bahwa Allah sendiri merendahkan diri dan menanggalkan kemuliaanNya dalam kematian, yang justru dalam kematian itu, Ia menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang hidup.[63] Kematian Kristus adalah keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10 ; Ibr. 2:9-10), kematian Kristus adalah bagi Hukum Taurat ( Rom. 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21), dan bagi kematian kita (2 Tim. 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala keberadaan keilahian yang dipahami di dalam sistem metafisik kuno dunia.[64] Kematian bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup kepada kehidupan bersama Allah.[65] Untuk itu, maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri: (i)Kematian adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang kompleks. (ii)Kematian adalah suatu hukuman, hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-ff). (iii) Kematian adalah panggilan untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukuman tapi juga kabar sukacita, bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23).    Ada juga ”kematian jasmani” yang bertitik tolak pada Kej. 3:19, kembali lagi menjadi debu/tanah. Roh dan nafas Allah ditarik kembali; debu kembali menjadi tanah atau tubuh dan roh kembali kepada Allah (Pengk. 12:7).[66] Orang yang mati di dalam Tuhan dikatakan orang yang berbahagia (Why. 14:13). Kematiannya sementara karena akan disusul dengan kebangkitan. Percaya dalam kebangkitan adalah sangat sederhana dan justru sama seperti hidup dari salib sebagai peristiwa keselamatan, salib merupakan simbol bukti sejarah kebangkitan melalui kenaikkan Kristus dari kematian. Melalui peristiwa keselamatan ini, maka Allah ditinggikan karena Anak-Nya yang tunggal telah mati demi keselamatan manusia.[67]

            Berlandaskan argumentasi di atas, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan oleh manusia bahkan kematianpun tidak lagi dianggap sebagai bencana. Orang percaya telah “ada di dalam Kristus” sehingga saat matipun mereka tetap “bersama dengan Kristus”. Benarlah apa yang dikatakan dalam Roma 8:38-39 bahwa “…baik maut maupun hidup, malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah yang ada sekarang maupun yang akan datang, kuasa-kuasa di atas maupun di bawah, atau pun suatu mahluk lain tidak ada yang dapat memisahkannya dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus”. Orang percaya telah menerima kemurahan Allah bahkan menjadi satu dengan semua yang dialami oleh Yesus. Itulah sebabnya Paulus memakai istilah “tidur” saat menjelaskan tentang keadaan orang mati[68] (Lih. 1 Tes. 4:13; 1 Kor. 15:16 dst) karena ia yakin bahwa pada satu saat orang-orang yang tidur ini akan “dibangunkan”. Di dalam tempat persinggahan sementara itu semua orang mati tidak lagi memakai tubuh jasmaniahnya, tetapi mengenakan tubuh kebangkitan dan mengalami transformasi eksistensi dari keadaan yang fana menuju pada yang kekal.

3.4. Gereja sebagai komunitas Eskatologis

Orang percaya dikatakan sebagai umat eskatologis. Sesuai dengan pemahaman bahwa kehadiran Roh Kudus adalah fakta eskatologis, dan gereja sebagai umat Allah yang baru diciptakan oleh Roh Kudus, atau buah dari karya Roh Kudus. [69] Sebagai umat Kerajaan Allah dan pewaris kerajaan itu, gereja dapat dikatakan sebagai produk dari kuasa masa yang akan datang itu. Ridderbos menuliskan dua hal tentang makna integral yang Paulus pahami dari gereja: (a) Gereja adalah kelanjutan dan penggenapan umat Allah yang di dalam Abraham telah Allah pilih bagi diri-Nya. (b) Istilah baru yang ia berikan untuk menyebut keberadaan dan karakter gereja, yaitu sebagai tubuh Kristus.[70] Unsur atau pokok pertama menonjolkan sejarah keselamatan dan poin kedua menonjolkan aspek kristologis, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.

Idiosinkrasi (kekhususan) pengertian Paulus tentang umat Allah (umat eskatologis) tidak disingkapkan oleh pengertian sebagai kontinuitas dengan Israel (sekalipun hal itu benar), tetapi hanya dalam pengertian “kesatuan dengan Kristus”. Kesatuan dengan Kristus (satu tubuh) tidak boleh dipahami secara metafisis. Kesatuan dengan Kristus harus dipahami dalam pengertian kesatuan iman. [71] Maka gereja sebagai “jemaat Allah” dan “tubuh Kristus” adalah tempat di mana Allah dan Roh dalam Kristus hadir.[72]

Istilah yang berkaitan dengan itu yang kerap kali digunakan oleh Paulus untuk mengungkapkan eksistensi orang percaya yaitu “di dalam Kristus”. Rumusan ini mengandung dua ide dasar: umat percaya dan keselamatan berada di dalam Kristus. Salah satu faktor yang disebutkan Chamblin yang mengendalikan penggunaan istilah ini adalah faktor kristologis . Dalam pandangan Paulus, Kristus adalah pribadi yang “korporat”. Relasi Kristus dengan orang percaya merupakan kesatuan dari persekutuan, bukan suatu persatuan (union). Individualitas masing-masing tetap terjaga. [73] Berada “di dalam Kristus” adalah berada di dalam zaman yang baru, dan sebagai umat eskatologis, orang percaya hidup dalam zaman itu.

 

3.5. Pergumulan Umat Eskatologis

Sebagai umat eskatologis, orang percaya menjadi berbagian di dalam kematian dan kebangkitan Kristus oleh iman kepada-Nya. Manusia menjadi sama dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rm. 6:1-14). Persatuan dengan Kristus merupakan fase baru dalam kehidupan Kristen untuk memulai pergumulan yang baru. Adalah benar bahwa Kristus telah mematahkan kuasa maut (1Kor. 15:54-57), tetapi orang percaya berada dalam perjuangan yang terus-menerus melawan dosa. Hal ini tidak akan berhenti dalam hidup di dunia ini. Orang percaya (dalam hal ini) dipanggil untuk setia. Suatu perdebatan dalam dua aliran gereja (Calvinisme vs Arminian) yang tidak bisa didamaikan hingga sekarang, menyangkut pergumulan orang percaya dalam hidup di dunia ini. Pengikut Calvin menyatakan bahwa pergumulan orang percaya pada saat ini akan mencapai akhir pada kedatangan Kristus kembali, dengan kata lain tidak ada kesempurnaan dalam hidup di dunia ini. Kebalikannya, bahwa dalam hidup di dunia ini orang percaya dapat mencapai kesempurnaan (Arminian).

Memahami konsep eskatologi Perjanjian Baru (terutama pemahaman Paulus tentang keselamatan) akan membawa pemahaman bahwa pergumulan orang percaya tidak semakin “tipis” tetapi terus meningkat. Melihat lingkungan sekitar akan menjawab perbedaan ini bahwa kuasa si jahat kian menjadi-jadi. Pergumulan Kristen saat ini, tidak serta-merta disebabkan oleh si jahat, tetapi sebagai aspek lain dari persatuan dengan Kristus, orang percaya terus berjuang melawan dosa dan bahkan hidup orang percaya merupakan medan pertempuran antara Roh Kudus dan dosa. Peperangan melawan dosa menyaksikan eskatologi “yang sudah” dan “yang belum”.[74]

3.6. Identitas Baru dan Ketaatan Baru dalam eksistensi Eskatologis Preteris, Presentris dan futuris

Identitas yang baru (indikatif) menuntut suatau ketaan yang baru pula (imperatif). [75] Menurut Ridderbos, Paulus mendasarkan imperatif pada indikatif, imperatif mengikuti indikatif sebagai kesimpulannya. “Imperatif didasarkan pada realitas yang diberikan oleh indikatif, merujuk kepadanya, dan dimaksudkan untuk membawanya kepada pertumbuhan yang sepenuhnya.” [76] Inti pokok dalam bagian ini adalah bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah, dalam karya-Nya melalui Kristus, dilanjutkan oleh orang yang percaya kepada-Nya di dalam praktek hidup sehari-hari. Maka pergumulan umat eskatologi akan nyata aspek imperatif. Bagaimana orang percaya menanggapi pergumulan hidup, adalah bersinambung dengan apa yang telah Tuhan nyatakan dalam Yesus Kristus. “Bagi Paulus bukanlah reaksi manusia yang melengkapi karya Allah, melainkan menurut Dia, perbuatan-perbuatan manusia pun digerakkkan oleh dan didasarkan dalam Allah”,  demikian dikatakan oleh Hank ten Napel. [77]

Di tengah pergumulan “umat eskatologis” dalam dunia ini, aspek moral adalah bukti hidup dalam eksistensi baru, aeon baru, yang telah dibawa oleh Kristus. Hidup baru adalah mencerminkan iman dan pertobatan. Dua aspek ini tidak dapat dipisahkan artinya bahwa apa yang diimani berkaitan dengan keselamatan yang diterima dari allah menjadi nyata dalam suatu gaya yang baru. Nisbah antara karya Allah (keselamatan) dengan praktiknya dirumuskan dengan istilah “indikatif” dan “imperatif”. Aspek indikatif dan imperatif ini merupakan realitas antara dua zaman yang saling bersinggungan (yang sudah dan yang belum). Demikianlah pengertian yang diberikan oleh George E. Ladd: Perkara yang indikatif adalah penegasan terhadap apa yang telah dilaksanakan Allah dalam memperkenalkan zaman yang baru; yang imperatif adalah nasihat untuk mempraktikkan kehidupan yang baru itu di dalam kerangka dunia yang lama. Yang baru itu tidak secara utuh terwujud secara spontan dan bukannya tidak dapat ditolak. Yang baru itu terwujud dalam diakletis dengan yang lama. Karena itu, perkara indikatif yang sederhana sekali pun tidaklah cukup; harus ada yang imperatif, yaitu tanggapan manusia terhadap kehendak Allah.[78] Dalam beberapa surat-surat Paulus lainnya, aspek indikatif selalu beriringan dengan imperatif. Contohnya Roma 6; Paulus berkata bahwa “kita telah mati bagi dosa” (indikatif) (ay. 11), akan tetapi pada ayat 12, Paulus berkata juga, “hendaknya dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu”. Atau “telah mengenakan Kristus” (Gal. 3:27) dan ditempat lain ia berkata “kenakanlah Kristus” (Rm. 13:14). Lebih jelas di dalam Roma 12:15-21, dan banyak dalam bagian lain mengungkapkan hal ini.

Artinya, indikatif dalam fungsinya, akan “mati” tanpa imperatif. Hal ini nyata dalam pergumulan Paulus yang ia gambarkan dalam Roma 7 (14-26). Ia mengenal kehendak Allah, ia tahu itu, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Dalam hal ini aspek imperatif bersifat negatif. Aspek imperatif diganti dengan ketidaktahuan akan perbuatan yang ia lakukan. Kehidupan umat beriman dalam praktek hidup baru tidaklah pasif tetapi militan, inilah gambaran hidup orang beriman. Iman yang benar adalah bersifat aktif. Sehingga “relasi aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas”.[79] Dengan demikian aspek yang “sudah dan belum” akan nyata dalam hidup orang-orang Kristen pada masa kini. Hidup dalam dunia ini, sebagai dunia yang jahat, tetapi norma hidup, patokan, tujuan dan hasrat orang percaya diarahkan kepada hal-hal yang bersifat kekal yang sekarang telah nyata

3.7. Pengaharapan Eskatologi

Harapan eskatologis Paulus berkaitan dengan Kristus dibarengi dengan pengharapan dari aspek “yang belum” sebagai kegenapan “aspek yang sudah”, sebagai penyelesaian karya penyelamatan kaum beriman. Proses penyelamatan umat manusia telah dimulai dengan salib dan kebangkitan Kristus, dan keikutsertaan orang beriman dengan-Nya dilambangkan dalam baptisan. Pengharapan Kristen pada akhirnya akan diselesaikan oleh Tuhan dan hal ini merupakan kepastian. Ketegangan saat ini adalah ketegangan yang memiliki batas waktu. Dengan demikian pergumulan Kristen akan mencapai akhir. Kepastian pengharapan Kristen ditandai oleh kebangkitan Kristus sebagai buah sulung.

Kebangkitan Kristus tidak dapat dipisahkan daripada kematian-Nya, demikianlah Ridderbos[80]dan Chamblin menyatakan,[81] yang mana kedua aspek ini merupakan inti pemberitaan Paulus sebab melalui peristiwa ini tujuan penyelamatan Allah mencapai sasarannya. Ajaran Paulus yang sangat jelas dengan ini adalah dalam 1 Korintus 15:3-4, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.”

Pemberitaan Paulus dalam hal ini adalah bahwa Kristus telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan. Berita ini adalah sesuai dengan tradisi yang juga diterima oleh Paulus. Berita yang berdasarkan tradisi tersebut adalah mempunyai kesesuaian dengan Kitab Suci sebagai penggenapan janji, kepenuhan waktu yang Allah berikan sebelumnya dinyatakan. Pemberitaan Paulus tentang kebangkitan adalah berdasarkan fakta historis (harafiah). Sehingga tubuh Yesus yang telah bangkit adalah sepenuhnya substansial dan material. Chamblin sangat tepat mengungkapkan ini, “Yesus dibangkitkan dalam tubuh, tubuh yang sepenuhnya substansial dan material. Tubuh yang telah mati dikuburkan, dan tubuh yang telah dikuburkan telah dibangkitkan.”[82] Inilah yang menjadi dasar kekristenan yang diberitakan Paulus yaitu fakta kebangkitan itu dan mendorong Paulus berkata, “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan” (1Kor 15:13). Fakta kebangkitan Yesus juga menyatakan suatu sisi lain pemberitaan Paulus. Kebangkitan bukanlah suatu refleksi teologis Paulus yang mendalam melainkan suatu penyataan ilahi, yang dengan demikian penerobosan aeon baru dalam pengertian yang nyata.[83]

Kebangkitan Kristus adalah juga merupakan “yang sulung” (Rm. 8:29; 1Kor. 15:20; Kol. 1:18). Dalam Roma 8:29, dikatakan bahwa kebangkitan-Nya merupakan “yang sulung di antara banyak saudara”. Yang sulung harus dipahami sebagai orde kedudukan atau orde dignitas, tetapi bukan hanya itu, Kristus mendahului saudara-saudara-Nya yang lain. Ia “mendahului mereka, membukakan jalan kepada mereka, dan mengaitkan masa depan mereka dengan masa depan-Nya”.[84] Dengan demikian yang beriman dan yang telah dipersatukan dengan Kristus akan menyusul-Nya, akan dibangkitkan (hal ini dibicarakan dalam pokok parousia). Memahami hal ini membuka jalan pada pengertian bahwa pengharapan Kristen adalah suatu fakta. Pengharapan Kristen bukanlah pengharapan dalam angan-angan. Dengan demikian akan dan telah tergenapilah firman yang dinyatakan, “Allah yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan orang beriman oleh kuasa-Nya” (1Kor. 6:14, bnd. 2Kor. 4:14; 1Tes. 4:14).[85]

Kesimpulan

Pengharapan eskatologis (future) akan menentukan bagaimana cara hidup, berpikir, bahkan berteologi pada saat ini (present) karena disitulah terletak seluruh pengharapan iman Kristen. Itulah seluruh eskatologi yang diarahkan oleh: telah, dan masih akan, terealisasinya karya Allah di dalam Kristus. Pengharapan akan “pemenuhan” karya Kristus berada dalam paradoks, anatara aspek yang sudah dan masih merupakan suatu penantian kedatangan Kristus juga tidak hanya oleh karena “genapnya waktu” tetapi merupakan permulaan zaman baru oleh intervensi Kristus dalam memulai karya-Nya dan yang percaya baginya adalah berada dalam zaman baru yang Ia bawa. Paradoks antara “yang sudah” dan “yang belum” dalam arti setiap orang percaya telah diterima oleh Allah (Rm. 5:1), namun ia masih harus diterima secara defenitif (Rm. 3:30). Pembebasan sudah terjadi melalui Kristus (Rm. 3:24, 1Kor. 1:30), tetapi pembebasan seluruh hidupnya masih sedang dinantikan (Rm. 8:23), meskin sudah menjadi ahli waris (Gal. 4:1-7), namun hal mewarisi kerajaan masih merupakan masa depan juga (1Kor. 15:50). Maka eksistensi ekstalogis preterist, presentris dan futuris ditandai dengan ciri-ciri: Hidup dalam karunia Roh, iman akan kebangkitan orang yang mati, hidup dalam komunitas eskatologis sebagai indentitas baru, hidup dalam ketaatan dan hidup dalam pengharapan eskatologis.

Dilihat dari  perspektif  kebangkitan  Yesus  eskaton  bukan baru akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Eskaton sudah mulai sejak kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati dan akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Orang Kriten hendaknya memaknai dalam pemahaman eskaton adalah masa kini adalah saat berlansungnya proses hidup dalam iman, kasih dan pengharapan akan Allah. Masa kini, yakni antara kenaikan dan kedatangan kembali Yesus kristus adalah waktu kesabaran Allah, sekaligus adalah waktu untuk mendengar dan memperdengarkan Injil. Masa depan adalah saat kehidupan ada dalam tangan Allah meskipun  sudah berakhir hidupnya dari dunia ini.

 

 

 

 

KEPUSTAKAAN

 

Alwell. Walter A

1986    Evangelical Dictionary of Theology, (Michigan: Baker Book House

Bultmann. R.

1955    Theology of The New Testament, New York: Charles Scribner’s Son

Barth. Karl

1960    Church Dogmatic, Vol.III.2, The Doctrin of Creation, Edinburgh: T&T Clark Ltd

 

Beker. J.Christiaan

1980    Paul The Apostle, Philadelphia : Fortress Press

 

Bildstein. Walter J. 

1972    Secularization The Theology of Jhon A. T. Robinson, A Radical Response, (Romae: Pontificiam Universitatem S. Thomae De Urbe

 

Beyer. Ulrich

2000    Garis-garis Besar Eskatologi dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia

 

Braaten. Carl E.

1974    Eschatology and Ethics, Minnesota : Augburgh Publishing House

 

Bolkestein. M.H.

1999    Kerajaan yang Terselubung , Jakarta; BPK. Gunung Mulia

Bavinc, J.H.

1939    The International Standard Bible Encyclopedia Vol. III, James Orr,(ed), Wm.Eerdmanas Publishing, co.

Berkhof. Luis  

1949    Systematic Theology. London: The Banner of Truth Trust

Carson. D.A.  

1984    “Matthew” The Exposito’s Bible Commentry, vol 8 (Gran Rapids: Zondervan

 

Drane. John

1996    Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPK. Gunung Mulia

David. Wenham, 

1955    Paul : Follower of Jesus or Founder of Chriatianity, Grand Rapids : William B. Eerdmans Pblishing Company

 

Ice. Thomas and Kenneth L. Gentry,

1997    The Great Tribulation: Past on Future? Gran Rapids: Kregel

 

Fee. Gordon D

2004    Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, Malang: Gandum Mas

 

G. Kittel,

1977    Theological Dictionary of The New Testament Vol. III, (WB Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan

Green. Chifford (peny.),

1998    Karl Barth: Teolog Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (Jakarta: BPK Gunung Mulia

 

Hadiwijono. H.

1982    Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 1982),

Kummel. W.G.

1957    Promise and Fulfillment : The Eschatology of Jesus, Chatam : W&J Mackay & Co, Ltd

Jurgen. Moltmann

            1967    Theology of Hope. London: SCM Press Ltd

 

Jacob. Tom

1983    Paulus Hidup, karya dan Teologinya, Jogyakarta; Kanisius & Jakarta; BPK.

Gunung Mulia

 

Leon-Du Four, Xavier

19901  Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1990), 268

Ladd. George E

2002    Teologi Perjanjian Baru, Jld. 2, (Bandung: Kalam hidup

 

Ladd. George Eldon

1991    A Theology of The New Testament, Cambridge : Lutterworth Press

Marxsen. Willi

2003    Pengantar Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta

 

Moltmann. Jurgen

1996    The Coming Of God, Christian eschatology, London, SCM Presss Ltd

Nuban Timo. E.I.    

2011    The Eschatological Dimension in Karl  Barth‟s   Thinking  and  Speaking  about   the Future. Kampen: Drukkerij van den Berg.

Niesel. J.T.

2009    Tafsiran Injil Matius 23-28, Jakarta: BPK Gunung Mulia

 

Norman Perrin,

1967    Rediscovery The Teaching of Jesus, London : SCM. Press

Napel. Hank ten

2006    Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru , Jakarta: BPK Gunung

Niftrik. G.C. van & Boland. B.J.  

1958    Dogmatika Masakini. Jakarta: BPK Gunung Mulia

 

 

 

Mayhue. Richard L.

2003    Jesus: A Preterist Or A Futurist? The Master’s Seminari Jurnal (Spring 2003)

Pieper. Francis

1950    Christian Dogmatis Vol. I, Missouri: Concordia Publishing Hous Saint Louis

Pate. C. Marvin

2004    The End of the Age Has Come , (Malang: Gandum Mas

 

Ridderbos. Herman

1997    Paul : An Outline of His Theology, Grand Rapids : William B.Eerdmans Publishing Company

Riedel. K.

1951    Kamus Istilah Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK-GM,

 

Ridderbos. Herman

2008    Paulus: Pemikiran Utama Teologinya , (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 40-41

 

Syukur Dister, Nico

2004    Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta

 

Schweitzer. Albert

1931    The Mysticism of paul Thought, London : A & C Black

 

Wenham. David

1995    Paul : Follower of Jesus or Founder of Chriatianity, Grand Rapids : William B. Eerdmans Pblishing Company

 

Sumber Artikel, Jounal, Internet:

Eric. Jacobsen,

We Can’t Go Back to the Garden: Critiquing Evangelicals’ Over-Ruralized Eschatology, http://www.christianitytoday.com/thisourcty/ruralizedeschatology, diaskes 7 Desember 2018.

 

Kadarmanto. Mulyo

Gereja Sebagai Komunitas Eskatologis Menuju Oikonomia Lingkungan Hidup: Perspektifreformed, STULOS  13/2   (September  2014)  195-228

 

http://darwintzegavdm.blogspot.com/2012/04/eskatologi-paulus-harapan umat.html? Diakses 7 Desember 2018.

https://kamus lengkap.com/ingris-indonesia/arti-kata present, diakses 03 Desember 2018

https://martika.com/arti, present.html, diakses 03 Desember 2018

http://idm.wikipedia.org/wiki/future, diakses 03 Desember 2018.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar