PENDAHULUAN
Dunia dan segala isinya merupakan hasil ciptaan Allah. Pengungkapan ini
sangat jelas dicatat dalam Alkitab, melalui kesaksian yang menceritakan tentang
penciptaan langit dan bumi serta segala isinya, lalu kemudian Tuhan menciptakan
manusia pertama yang ditempatkan di taman Eden (Kejadian 1-2). Penciptaan yang
di lakukan oleh Tuhan dengan teramat baik mengandung maksud tersendiri bahwa
melalui penciptaan, Allah menghendaki manusia dan alam menjalin suatu hubungan
yang harmonis. Hubungan ini ingin memperlihatkan bahwa alam dan manusia sebagai
hasil ciptaanNya ingin memberikan pengakuan terhadap eksistensi Allah di tengah-tengah
ciptaanNya.
Sejarah perjalanan manusia di dunia telah menunjukan bahwa manusia dengan
keunggulan akal dan nalarnya telah berhasil menempatkan dirinya sebagai
pengatur dan penakluk alam. Sebagai mahluk yang bernalar maka manusia sering
menggunakan nalar dan mengembangkannya untuk meningkatkan berbagai hal yang
berhubungan dengan kesejahteraannya. Usaha ini dikenal dengan pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dengan kemajuan ini maka manusia berhasil
menciptakan mesin untuk dapat membantu produktivitas hasil dari sebuah
pekerjaan. Berbagai hasil alam pun diolah dan dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Manusia melakukan eksploitasi alam, tanpa melihat
keberadaan sumber daya alam yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan manusia,
akhirnya terjadilah Pencemaran lingkungan. Permasalahan lingkungan yang terjadi
saat ini bukan lagi menjadi masalah
yang asing bagi manusia. Berbagai masalah yang berhubungan dengan prilaku
manusia dengan alam dapat kita temui dan rasakan pada kehidupan kita sekarang ini..
Salah satu yang menjadi permasalahan yang sementara dihadapi oleh seluruh
manusia yang tinggal di planet bumi ini ialah naiknya suhu panas atau cuaca
panas sangat dominan dirasakan di berbagai tempat meskipun bukan musim panas.
Naiknya suhu panas ini dinamakan pemanasan global (global warming).
Pemanasan global sendiri merupakan suatu fenomena menghangatnya keadaan
atmosfer bumi, yang berdampak juga pada tanah, air yang juga menjadi hangat.
Pentingnya masalah ini membuat sekjen PBB Ban Kimon angkat bicara, menurutnya:
“Pemanasan global merupakan sesuatu yang tak
terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak sangat mengerikan”. [1]
Indonesia sangat rentan untuk terkena dampak langsung dari
pemanasan global. Perubahan suhu yang di akibatkan dari pemanasan global telah
terjadi di Indonesia di manapeningkatan suhu
udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990, sementara pada tahun 1998 suhu
udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu
rata-rata[2]. Perubahan suhu yang terjadi ini akan
membuka celah untuk terjadinya perubahan cuaca (anomali). Anomali cuaca akan
mengakibatkan orang akan sangat sulit untuk memprediksikan cuaca yang terjadi,
yang pasti peningkatan curah hujan juga akan terjadi secara signifikan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia
sangat berpeluang untuk kehilangan beberapa pulau akibat meningkatnya permukaan
air laut. Tadinya Indonesia memiliki 17.504 pulau tapi kini tinggal 17.480 pulau oleh sebab
naiknya air laut. Kehilangan aset 2.000 pulau akan luar
biasa dampaknya yang berujung pada penyempitan wilayah.[3] Maka di perlukan adanya usaha untuk
mengurangi bahkan menghentikan berbagai tindakan-tindakan manusia yang membuka
peluang untuk terjadinya pemanasan global yang lebih parah. Walaupun secara
langsung Indonesia hanya menerima “imbas” dampak pemanasan global dari
negara-negara maju.
Di sisi lain Indonesia cukup berperan dalam
menciptakan pemanasan global. Hal ini di karenakan lewat prilaku manusia yang
hanya mengejar keuntungan ekonomis, sehingga melakukan pembakaran hutan secara sengaja yang terjadi pada
tahun 1997-1998, di mana 80 % kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut.
Akibat kebakaran ini maka Indonesia menyumbang 0,8–2,57 Gigaton karbon yang di
lepaskan ke atmosfer. Angka ini setara dengan 13-14 % total emisi karbon dunia
yang di hasilkan dari bahan bakar fosil per tahun.[4]
Maka dari hal inilah penulis merasa tertarik
untuk melihat berbagai dampak yang terjadi di Indonesia sehubungan dengan
munculnya realitas pemanasan global, serta melakukan suatu kajian berdasarkan
pemahaman teologis yang Alkitabiah.
II. ISI
Sebelum menjelaskan mengenai berbagai dampak yang terjadi sehubungan dengan
realitas pemanasan global, maka akan lebih jelas lagi jika boleh memahami akan
realitas pemanasan global itu sendiri.
A. PEMANASAN
GLOBAL
Pemanasan global merupakan suatu istilah yang diambil dari kalimat bahasa
inggris yaitu ‘global warming’. Menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia
karangan John M. Echols dan Hassan
Shadily, bahwa kata global mengandung arti 1. sedunia, 2. sejagat.[5] Sedangkan
kata warming berasal dari kata warm yang mempunyai arti 1. Panas
(iklim panas; cuaca panas), 2. Hangat,[6] dari
pengertian di atas dapat
ditarik sebuah pemahaman bahwa global
warming adalah istilah yang
menggambarkan suatu keadaan dimana menghangatnya dunia, akibat naiknya suhu di
permukaan bumi. Di Indonesia sendiri fenomena ini di sebut dengan “pemanasan
global”.
Maka dari hal ini dapat ditarik sebuah pengertian bahwa pemanasan global
adalah fenomena dimana meningkatnya suhu di atmosfer bumi, Meningkatnya suhu
yang ada di atmosfer bumi ternyata membawa pengaruh peningkatan suhu pada
air laut, dan daratan
sebagai komponen alam yang ada di dalam bumi[7]. Meningkatnya panas di atmosfer bumi ini
tidak hanya terjadi seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur.
Meningkatnya panas di atmosfer bumi ini tidak hanya terjadi seketika,
melainkan terjadi secara berangsur-angsur, sehingga dapat dikatakan pemanasan
global adalah suatu proses
peningkatan suhu yang berkelanjutan yang diakibatkan oleh polusi udara, di mana
meningkatnya gas-gas (gas rumah kaca) yang berfungsi sebagai pencemar yang di
keluarkan pada umumnya oleh pabrik-pabrik industri, kendaraan bermotor, dan
berbagai prilaku manusia yang tidak “bersahabat” dengan alam.[8]
Efek rumah kaca merupakan suatu
mekanisme alami yang terjadi di bumi. mekanisme efek rumah kaca dapat di
jelaskan demikian. Ketika radiasi matahari masuk ke permukaan bumi, ia berubah
menjadi cahaya panas dan menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan memantulkan
sebagian dari panas ini sebagai radiasi gelombang panjang ke luar angkasa,
namun sayangnya tidak semua energi matahari ini yang terpantul ke luar angkasa
tetapi terperangkap di atmosfer bumi akibat gas-gas rumah kaca (gas yang
menyerap gelombang panas).[10] Gas
rumah kaca mulai diperkenalkan berdasarkan salah satu hasil keputusan Protokol
Kyoto[11]. Jenis gas yang paling banyak memberikan
emisi adalah CO2, CH4 , dan N2O, gas-gas
ini dihasilkan dari pembakaran bahan fosil di di sektor energi, transportasi,
dan industri, dan perubahan tata guna lahan hutan.
Gas rumah kaca yang paling banyak
adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan
air dari laut, danau dan sungai. Uap air adalah gas rumah kaca yang
timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek
rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas
manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada
skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya
temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik
akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengankelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya
konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang
mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah
uap air di atmosfer.[12]
Di bumi gas rumah kaca yang paling
utama ialah uap air yang menyebabkan sekitar 36-70 % efek rumah kaca ; Karbon
Dioksida (CO2) 9 – 26 % ; metana (CH4), 4-9 %; dan Ozon (CFC) 3-7 %.[13] Alasan
mengapa gas-gas ini disebut sebagai gas rumah kaca karena proses pemanasan yang
diakibatkan dari gas tersebut sama seperti yang terjadi di rumah-rumah kaca
yang digunakan untuk perkebunan di negara-negara Sub Tropika seperti di Eropa
dan Amerika Serikat, di mana biasanya para petani menggunakan rumah kaca saat
musim dingin telah tiba. Tanaman-tanaman yang di tanam dalam rumah kaca
tersebut akan tetap hidup dan tidak akan membeku oleh pengaruh musim dingin
tiba, hal ini dikarenakan kaca akan menghalangi panas matahari yang masuk dan
memantulkan kembali untuk keluar.
Berdasarkan gambaran di atas
dapat diibaratkan bahwa gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer bumi berfungsi
sebagaimana rumah kaca yang di gunakan oleh para petani di atas untuk menahan
panas yang di pancarkan oleh matahari. Efek rumah kaca sangat diperlukan agar
suhu bumi menjadi cukup hangat untuk di huni oleh manusia, sehingga di dalamnya
manusia dapat melakukan berbagai aktivitas, sehingga manusia tersebut dapat
bertahan hidup. Tanpa Efek rumah kaca maka kehidupan manusia dan segala mahluk
hidup yang ada di muka bumi akan terganggu karena suhu rata-rata bumi akan
menjadi -200C. Menurut 2 orang pakar kimia yang berasal dari Amerika
yaitu Ralp H. Petruci, dan William S. Harwood, dalam buku mereka yang berjudul General Chemistri Principles and
Modern Application, di mana mereka mengatakan bahwa:
“Efek rumah kaca sangat penting untuk menetapkan suhu yang layak bagi
kehidupan di bumi. Tanpa efek rumah kaca bumi secara permanen akan tertutup es,
dan perbedaan suhu antara siang hari dan malam hari di bumi tidak terlalu jauh
berbeda”[14].
Hal inilah yang dikatakan sebagai efek rumah kaca yang alami, di mana
Gas-gas rumah kaca di atmosfer telah tercipta secara alami tanpa campur tangan
manusia, atau dengan sendirimya gas-gas ini telah ada di atmosfer melalui
peristiwa-peritiwa alam seperti letusan Gunung berapi yang memancarkan gas
Karbondioksida ke Atmosfer
b. Lapisan Ozon
Saat ini telah munculnya gas-gas baru
yang tergolong sebagai gas rumah kaca, salah satunya adalah Chloro Fluoro Carbon (CFC)[15]. CFC menyerang lapisan ozon, akibatnya
kandungan Ozon di angkasa menipis dan mengakibatkan lubang di kutub utara dan
selatan, sehingga Ultraviolet (UV) mampu menerobos masuk ke atmosfer dan
menyebabkan kanker kulit. Ozon sendiri merupakan lapisan dari atmosfer yang
mengahalangi radiasi UV dari matahari, 70-80 % UV di saring oleh lapisan
ozon. maka, ketika lapisan
ozon menjadi lebih tipis akan membawa pengaruh yang besar pada seluruh mahluk
hidup (manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang ada di bumi ini. Para peneliti
lingkungan hidup menemukan bahwa lapisan ozon telah berlubang sebesar benua
Amerika. Menipisnya lapisan ozon di lapisan atas atmosfer (strotosfer) akan
lebih memberikan peluang terjadinya meningkatnya suhu.
B. DAMPAK
PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA
Indonesia pun tidak luput dari dampak
perubahan iklim. Kondisi sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis membuat
Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Untuk melihat lebih jauh lagi dampak yang telah terjadi dan yang akan terjadi
akibat perubahan Iklim di Indonesia, ada baiknya untuk penulis menjelaskan
sedikit mengenai posisi geografis Indonesia.
Letak Indonesia terbentang dari 6
derajat Lintang Utara (LU) sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 9 sampi
141 derajat Bujur Timur (BT), Indonesia memiliki jumlah total pulau terbesar di
dunia yaitu ± 17.500 pulau. Dari jumlah tersebut sekitar 6.000 pulau yang
berpenghuni, sedangkan sisanya pulau kosong yang menjadi habitat satwa
liar. Dari 6000 pulau itu
ada kurang lebih 110 juta jiwa atau 60% penduduk Indonesia yang bertempat
tinggal, 50 km dari garis pantai dan sangat rentan terhadap bahaya kenaikan
permukaan air laut. Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia tidak
mengherankan lagi apabila Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km (sekitar 14% dari garis
pantai dunia). Sementara luas laut mencapai 5,8 juta km2, mendekati
70 % luas keseluruhan wilayah Indonesia.[16] Maka
dengan posisi geografis yang seperti ini sehingga Indonesia sangat rentan
terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat sehingga dapat menimbulkan
kerugian baik material maupun nyawa.
a. Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Kenaikan temperatur yang terjadi akibat
pemanasan global bukan lagi menjadi masalah yang asing saat ini, telah banyak
bukti yang menunjukan bahwa telah terjadi kenaikan temperatur suhu di setiap
negara secara signifikan dan hal ini termasuk di Indonesia. Di Indonesia
sendiri telah mengalami peningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak
tahun 1990, sementara pada tahun 1998 suhu udara mencapai titik tertinggi,
yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata[17]. Dampak yang akan dihasilkan dari
perubahan suhu ini ialah munculnya berbagai gejala alam yang cukup asing di
masyarakat. Hal tersebut dapat penulis ungkapkan lewat bagian-bagian tulisan
berikut.
Dampak lain yang terjadi akibat
perubahan iklim ialah pola curah hujan yang tidak menentu. Anomali (perubahan)
curah hujan dapat dikatakan demikian yaitu saat suhu laut menjadi meningkat
akibat pemanasan global, maka sinar matahari yang tembus di atmosfer telah
melebihi batas normal karena efek rumah kaca. Sebagaimana besar sinar matahari
yang masuk langsung mengena pada air laut maka dengan sendirinya air akan
mengalami penguapan yang besar sehingga uap air tersebut terkumpul di udara dan
ketika uap air ini menjadi banyak maka dengan sendirinya akan terjadi hujan.
Namun dapat dipastikan kenaikan intensitas curah hujan telah terjadi di
berbagai negara, khususnya negara-negara yang dilintasi garis khatulistiwa atau
negara-negara yang memiliki Iklim tropis dan sub tropis. Selain itu analisa ini
dilengkapi dengan penelitian dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) yang
menyebutkan bahwa pada beberapa tahun terakhir ini telah menunjukan fenomena
peningkatan intensitas curah hujan tertinggi selama 30 tahun terakhir di
Indonesia[18]. Hal ini menandakan perubahan iklim yang
berdampak pada tingginya intensitas curah hujan bukan hanya melanda pada
beberapa negara bahkan melanda Indonesia sendiri yang dikenal dengan daerah
Tropis dengan tingkat hujan yang tinggi.
Curah hujan yang tinggi juga merupakan
salah satu faktor penyebab utama banjir. Masalah banjir di Indonesia sudah
bukanlah hal yang baru untuk dihadapi, karena peristiwa banjir sudah sering
menjadi polemik umum dari pemerintah untuk ditanggulangi. Masalah banjir di
Indonesia mengindikasikan adanya peningkatan baik intensitas dan frekuensinya.
Akibatnya kerugian yang ditimbulkan hal ini semakin meningkat. secara nasional
bencana banjir yang terjadi dari tahun 2001 - 2002 tercatat terdapat 92 bencana
banjir dengan kerugian yang ditimbulkannya adalah 146 orang meninggal, 389.919
jiwa mengungsi dan mengenangi pemukiman warga seluas 54.482 ha.[19]
b. Naiknya Permukaan Laut
Di Indonesia sendiri apabila terjadi
kenaikan air laut ke darat setinggi 1
meter saja maka kota-kota yang terletak di pesisir pantai akan tenggelam[20]. Banyak kota-kota tersebut yang merupakan
kota-kota besar dan merupakan ‘urat nadi’ Indonesia, misalnya Jakarta, Batam,
Banda Aceh, Padang, Bengkulu, Lampung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Samarinda,
Banjarmasin dan Manado. Gangguan atau terputusnya ‘urat nadi tersebut’ akan mengganggu
kondisi ekonomi, HANKAM, sosial dan politik.
Bagi Indonesia sebagai negara
kepulauan, memiliki dampak serius apabila terjadi kenaikan air laut sampai pada
ketinggian 5 – 7 Meter, maka 12
pulau kecil terdepan dari 92 pulau di wilayah Indonesia yang terancam hilang
terendam pasangnya air laut itu teridentifikasi meliputi Pulau Rondo, Pulau
Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Sebatik, Pulau Maratua, Pulau Fani, Pulau Mapia,
Pulau Enu, Pulau Asutubun, Pulau Dana, Pulau Raijua dan Pulau Mangudu[21]. Di samping itu kawasan pesisir merupakan
kawasan yang penting bagi kehidupan masyarakat yang bermukim di kawasan-kawasan
tersebut. Analisa terhadap kehilangan banyak pesisir pantai telah menjadi
bagian yang penting, karena di dalamnya bergantung kehidupan banyak orang.
Pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover (perhatian utama) pembangunan
nasional. Karakterisitik wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah:
1. Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat beraneka ragam
karakteristiknya.
2. Dihuni tidak kurang dari 110
juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius
50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal
bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. [22]
3. Terdapat 47 kota pantai mulai
dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi
pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan
kawasan pesisir.
4. Mengandung potensi sumber daya
kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60
cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar
pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui
dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi (natural biodiversity).
5. Wilayah ini merupakan sumber
daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya
yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, dari
keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat nasional
baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang
termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka
besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan
selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.[23]
Apabila kenaikan air laut yang cukup
tajam seperti sekarang, maka hal ini akan berpotensi menenggelamkan 50 meter
daratan garis pantai kepulauan Indonesia. Apabila panjang garis pantai
indonesia sekitar 81.000 Kilometer maka sekitar 405.00 hektar daratan Indonesia
akan tenggelam[24]. selain itu ribuan pulau kecil yang
berpenghuni maupun yang tidak akan berpenghuni akan lenyap dari peta Indonesia
akibat di telan air laut. 14.000 desa dianalisa akan merasakan dampak tersebut
pada tahun 2015. Selain itu ada ratusan ribu hektar tambak dan sawah di daerah
pasang surut akan hilang, abrasi pantai dan Intruisi air laut pun mengganggu
penduduk yang sebagian hidup di kawasan dataran rendah.[25]
Contoh lainnya dapat ditemukan di kota
Jakarta di mana setiap tahunnya kota Jakarta mengalami penurunan permukaan
Tanah sampai 0,8 sentimeter / tahun akibat pengambilan air tanah dan
pembangunan gedung bertingkat. Jika air laut sedang pasang maka gelombangnya
bisa mencapai 1-2 meter menghantam sepanjang pantai Jakarta, dan tentu saja
peristiwa ini mengganggu kegiatan masyarakat. Dapat dibayangkan apabila terjadi
peningkatan permukaan air laut yang cukup signifikan maka Kota Jakarta akan
tenggelam dan menjadi Kota Atlantis.[26]
Bahkan lebih jauh lagi anlisis dari
para ilmuwan menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan bagi negara kita jika tidak ada upaya pencegahan maka, kita akan kehilangan 2.000 pulau karena
air laut akan naik pada ketinggian 90 cm. Tadinya kita memiliki 17.504 pulau
tapi kini tinggal 17.480 pulau oleh sebab naiknya air laut. Kehilangan aset 2.000 pulau akan luar biasa dampaknya yang
berujung pada penyempitan wilayah.[27]
Kenaikan muka air laut juga akan
mengakibatkan perubahan arus laut, dan hal ini akan berpengaruh pada
tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah pesisir, salah satu tumbuhan yang terancam
ialah rusaknya ekosistem
mangrove. Pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus
mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha
(1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun
(1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.[28]Apabila keberadaan mangrove tidak dapat
dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya
penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak
adanya filter polutan, dan
zona budidaya pertanian pun akan terancam dengan sendirinya.
c. Sektor
Perikanan
Pemanasan global menyebabkan
memanasnya air laut sebesar 2-3oC. Dari memanasnya air laut tersebut
menyebabkan Alga (sumber makanan terumbu karang) akan mati karena tidak mampu
untuk beradaptasi dengan peningkatan suhu yang terjadi di air laut. Dengan
semakin menipisnya sumber makanan dari terumbu karang akhirnya terumbu karang
akan berubah warna menjadi putih dan mati (Coral bleaching).
Saat ini jumlah terumbu karang yang
ada di Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan. Padahal Indonesia
sendiri terkenal dengan kekayaan bahari yang begitu indah, di mana saat ini
terumbu karang di Indonesia terdapat 14.000 unit, dengan luas total 85.700 km2 atau Indonesia memiliki 14 %
dari terumbu karang yang ada di seluruh dunia. Di samping itu peristiwa El Nino[29] akan
lebih sering terjadi di Indonesia, sehingga akan semakin memicu peristiwa
pemutihan karang. Di Indonesia sendiri peristiwa El Nino sudah sangat sering
terjadi dengan dengan rentan waktu tidak normal, sehingga menyebabkan terumbu
karang 30% terumbu karang di Indonesia menjadi putih[30].
Pemutihan karang akan menyebabkan
punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya,
ikan kerapu, sunu, napoleon dan lain-lain) hal ini dikarenakan terumbu karang
yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan tersebut telah rusak dan tidak layak lagi
di huni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih
dari 1.650 jenis ikan karang, itu pun hanya terdapat di Indonesia bagian timur
saja dan belum terhitung di wilayah Indonesia lainnya. Akibat lebih jauh lagi ialah
terjadinya komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan-ikan yang tidak tergantung
pada terumbu karang (contohnya ikan Belanak, Bandeng, Tenggiri dan Teri) akan
sulit untuk berkembang, padahal ikan-ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis
yang lebih rendah jika di bandingkan dengan ikan-ikan yang hidup di terumbu
karang.
Memanasnya air di laut akan
mengakibatkan terganggunya kehidupan jenis ikan tertentu yang sangat sensitif
dengan naiknya suhu. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke daerah
lain yang lebih dingin dan sesuai dengan kebutuhan suhu ikan tersebut[31]. Akibatnya, nelayan lokal yang berharap
dengan keuntungan ekonomi dengan menangkap ikan tersebut akan mengalami
keterpurukan ekonomi, karena menurunnya hasil tangkapan ikan.
d. Sektor Pertanian
Saat pemanasan global terjadi secara
menyeluruh, maka tanaman juga akan berekasi menyerap Co2 karena banyaknya karbondioksida di
udara merupakan materi mentah bagi tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis
dan akan menjadi seimbang dengan gas yang dilepaskan saat materi dari tumbuhan
yang mati akan membusuk. Efek dari perubahan Iklim yang cepat akan berdampak
buruk atau baik tergantung pada jenis tumbuhan itu sendiri. Menurut Michael
Allaby dalam bukunya Living In
Green House. Ia menyebutkan
bahwa Biasanya tumbuhan merespon perubahan temperatur secara lebih lambat
daripada hewan dengan beberapa cara, salah satunya dengan tumbuhan mengkoloni
tempat baru dan akan mati ditempatnya yang lama, atau mereka akan melakukan
migrasi ke tempat Iklimnya yang lebih sesuai untuk pertumbuhannya. Migrasi ini
biasanya dilakukan oleh angin, burung, atau hewan lain yang secara sengaja atau
tidak sengaja membawa benih bijinya, tumbuhan
biasanya bermigrasi 1 km di dalam setahunnya. Jika temperatur semakin naik maka
kemungkinan banyak tumbuhan tidak dapat bermigrasi lebih cepat dan tidak bisa
beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi secara mendadak[32]. Tanaman pertanian sangat
bergantung pada kemampuan manusia dalam mengolah tanah dan mengantisipasi
perubahan Iklim, sehingga tanaman akan bermigrasi cepat seperti yang diinginkan oleh
para petani.
Pengaruh pemanasan global di Indonesia
sudah sangat dirasakan saat ini khususnya dalam hal pertanian dan persediaan
pangan, kita tidak bisa meramalkan kapan musim kemarau dan kapan musim hujan
dan tentu saja hal ini berpengaruh pada pangan. Di daerah tropis seperti
Indonesia kemungkinan gagal panen juga akan semakin besar. Saat musim tanam
sistem DAS (Daerah Aliran Sungai) maupun tanah tidak mampu menyimpan air
sehingga terjadilah banjir. Selain itu pola curah hujan yang berubah, misalnya
hujan yang biasanya turun dalam sebulan tetapi kenyataannya turun seminggu.
Beberapa contoh yang terjadi di Indonesia antara lain yaitu, di Pulau Jawa, Daerah Aliran Sungai
(DAS) Citarum, Jawa Barat. DAS Citarum dengan luas wilayah 6.080 km2 dan dengan
panjang sungai 269 km nyatanya tidak memberikan kontribusi baik untuk mengairi
areal persawahan yang dimilik oleh para petani. Hal ini dikarenakan sepanjang
DAS Citarum ada 11 juta jiwa bermukim dan 10.000 perusahaan yang memanfaatkan
Citarum. Akibatnya terlihat produktifitas padi Tahun 2005 adalah 9.787.217 ton
menjadi 9.418.572 ton pada Tahun 2006. Jadi ada penurunan sebesar 368.645 ton
padi. Hal serupa juga sama
dengan DAS Brantas di Jawa Timur. Tahun 2006 produksi padi sebesar 9.346.947
ton menjadi 9.126.356 ton pada Tahun 2007. Ada penurunan sebesar 220.519
ton. Dan di Jawa Tengah juga sama dari 8.729.291 ton (2006) menjadi 8.378.854
ton (2007), penurunan sebesar 350.436 ton[33].
Tak menentunya iklim di Indonesia
berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya Indonesia harus
melakukan impor beras dari negara lain. Menurut data dari Kementrian Lingkungan
Hidup tahun 1998, di mana tercatat bahwa pada tahun 1991 Indonesia mengimpor
sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang di impor menjadi
lebih dari satu juta ton. Sedangkan dari data dari Badan Pusat Statistik,
Produksi padi tahun 2001 menurun sebesar 3,5 % atau 2,9 juta ton dibanding
tahun 2000[34].
e. Kesehatan Manusia
Saat ini pemanasan global semakin
dirasakan, di mana suhu bumi dirasa semakin menghangat. Banyak prediksi para
Ilmuwan bahwa akan ada banyak orang yang akan meninggal karena gelombang panas,
seperti yang terjadi pada musim panas di Eropa tahun 2003 di mana kurang lebih
35.000 orang meninggal dunia[35].
Selain itu iklim yang makin menghangat
ini membuat wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah Tropis semakin meluas
dan kemungkinan dapat berpindah ketempat daerah yang dingin atau sub tropis
seperti Eropa dan Amerika. Wabah penyakit yang akan diakibatkan nyamuk ini
adalah Malaria atau Demam berdarah. Saat ini 45 % penduduk dunia tinggal di
daerah yang biasa terjadi wabah malaria, dan jika iklim dunia terus menghangat
maka presenatase tersebut akan menjadi 60 %[36].
Malaria sendiri adalah penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk pembawa parasit malaria yang disebut protozoan dari Plasmamodium. Ciri-cirinya,
apabila terjangkiti oleh penyakit ini maka akan mengalami demam yang tinggi,
koma dan dalam kasus yang fatal akan mengakibatkan kematian. Biasanya penyakit
ini ditularkan melalui gigitan nyamuk betina yang 60 % adalah nyamuk anopheles, dan menyerang
manusia pada malam hari, penyakit ini menjadi wabah yang menakutkan pada musim
hujan saat mereka mulai bereproduksi dan membutuhkan darah merah yang kaya
protein untuk memberi makan pada telur-telurnya.[37]
Di Indonesia sendiri penyakit malaria
ini sering mewabah di Sumatera dan irian Jaya yang menjadi sangat rawan
terhadap endemik malaria. Saat suhu rata-rata di Sumatera dan Irian Jaya naik
di antara 25o – 27o C, suhu tersebut merupakan suhu
ideal bagi pertumbuhan nyamuk malaria[38]. Indonesia sendiri bukanlah hal asing
tentang penyakit malaria, karena penyakit mematikan ini hampir terjadi setiap
tahun dan terjadi setiap musim hujan tiba, biasanya penderita penyakit demam
berdarah ini adalah orang yang tinggal diperkampungan kumuh. Kasus demam
berdarah di Indonesia telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun
terahkhir ini[39].
Balita, Anak-anak dan usia lanjut sangat rentan terhadap terkena
penyakit tropis tersebut. Hal ini terbukti berdasarkan data World Health Organitation (WHO) 2008 menyebutkan bahwa
tingginya angka kematian yang di sebabkan oleh malaria sebesar 1-3 juta per
tahun di mana 80 % di antaranya adalah balita dan Anak-anak. Dalam kasus
malaria di Jawa dan Bali telah mengalami kenaikan. Dari 18 kasus/100.000
penduduk pada tahun 1998, telah mengalami kenaikan menjadi 48 kasus/100.000
penduduk di tahun 2000, atau naik hampir 3 kali lipat dalam kurun waktu 3
tahun. Sementara di luar Jawa dan Bali terjadi peningkatan kasus sebesar 60%
dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu
16.290 kasus/100.000 penduduk[40].
Berdasarkan data dari Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, di perkirakan ada 15 juta penduduk Indonesia
menderita malaria dan 30 ribu diantaranya meninggal dunia. Jika pemerintah
tidak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, maka kasus malaria di
Indonesia akan naik dari 2.705 kasus pada tahun 1989, akan menjadi 3.246 kasus
pada tahun 2070.[41] Angka
dari prediksi tersebut masih akan bertambah karena mengingat perubahan iklim
tekah terjadi dan sewaktu-waktu akan terjadinya curah hujan yang tinggi
sehingga peluang untuk muncul nya nyamuk yang membawa penyakit tersebut akan
semakin tinggi.
f. Sosial Ekonomi
Pada tahun 2000 di Indonesia telah
terjadi 33 peristiwa bencana alam, mulai dari banjir, kebakaran hutan, dan
bencana angin topan. Dari semua bencana yang terjadi ini telah menelan kerugian
materi sebesar $150 milyar dan 690 nyawa hilang[42]. Kerugian yang akan dialami di Indonesia
jika terjadi kenaikan air laut setinggi 60 Cm adalah sebesar $11.307 juta per
tahunnya. Kerugian itu sendiri dari menyusutnya lahan persawahan, terendamnya
perkebunan, gagalnya hasil panen di tambak ikan, dan rusaknya hutan bakau.
Khusus di sektor pertanian di perkirakan akan mengalami kerugian sebesar 23
milyar per tahun akibat perubahan iklim. Sementara sektor pariwisata akan mengalami
kerugian sebesar 4 milyar rupiah per tahun.[43] Di
sektor kehutanan Indonesia, akan mengalami kerugian akibat kebakaran hutan
sebesar 5,96 trilyun rupiah atau 70% dari Pendapatan Domestik Bruto sektor
kehutanan. Hal tersebut terdiri dari atas hilangnya persediaan air, penyerapan
karbon, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kebakaran hutan tahun 1997
Indonesia telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari 1,2 trilyun rupiah
termasuk 2,5 juta hari kerja yang hilang. Sementara total kerugian ekonomi
akibat kebakaran hutan menurut Bappenas pada tahun 1997-1998 di perkirakan
mencapai US$ 9,3 milyar[44].
C. ANALISIS
TEOLOGIS
Dengan demikian kiranya menjadi jelas bagi kita, bahwa saat ini dampak
pemansan global sudah semakin dirasakan oleh seluruh mahluk hidup yang ada.
Harus di akui bahwa manusia juga sebagai “aktor” utama dalam menciptakan
masalah ini. Dengan keunggulan akal yang ada maka manusia melakukan eksploitasi
pada alam, sehingga pada akhirnya seluruh mahluk juga yang merasakan imbasnya.
Melalui permasalahan di atas, maka muncul satu pertanyaan teologis, yaitu
apakah Allah menghendaki keadaan ini terjadi di dunia yang telah Ia ciptakan
dengan sempurna atau teramat baik.
Alkitab sebagai sumber utama tolok ukur untuk orang Kristen atau lebih
tepat dikatakan sebagai firman Allah yang tertulis, sebenarnya tidak memberikan
ruang bagi manusia untuk melakukan eksploitasi alam secara tidak bertanggung
jawab, dan hal ini sangat jelas terlihat dalam Kejadian 1 : 26-28 di mana Allah
memberikan suatu mandat khusus pada manusia sebagai gambar Allah (imago dei) untuk
“berkuasa” pada ciptaanNya. Harus dipahami bahwa kata berkuasa harus dipahami
sebagai bentuk tindakan manusia dalam pengelolaan alam secara bertanggung
jawab. Manusia juga harus sadar bahwa dalam proses penciptaan, Allah terlebih
dahulu menciptakan Alam, sehingga manusia tidak mempunyai alasan untuk
melakukan eksploitasi yang merugikan pada alam (Kejadian 2 : 15). Hal ini
haruslah dipahami bersama, bahwa segala yang ada di muka bumi ini adalah milik
dari sang pencipta, dan manusia hanyalah pengembann tugas atau pelayan (Mazmur
24 : 1, 115 : 16).
Dengan demikian, sangat jelas bagi kita bahwa apa yang ada pada kita,
termasuk alam itu adalah ciptaan Allah dan di titipkan pada manusia untuk di
kelola secara bertanggung jawab, untuk itulah manusia harus menghilangkan
pemikiran yang egois, apalagi memanfaatkan alam hanya untuk kepentingan manusia
itu sendiri. alam juga memiliki “hak” untuk di jaga dan di lestarikan oleh
manusia, dan manusialah sebagai mahluk yang memiliki kelebihan dalam hal nalar,
wajib untuk menjaga kelestarian tersebut.
Maksud inilah yang hendak dikedepankan oleh Allah pada manusia dalam
berhubungan dengan alam, agar seluruh ciptaannya dapat hidup harmonis dengan
penuh kedamaian, sambil menantikan pengharapan baru yaitu keselamatan yang akan
didatangkan oleh Allah melalui anakNya Yesus Kristus, segala mahluk ciptaannya
menanti-nantikan pengharapan itu, karena dalam pengharapan itu terdapat
sukacita iman (Roma 8 : 19-25)
III. PENUTUP : KESIMPULAN DAN
SARAN
- KESIMPULAN
Di akhir karya ilmiah ini, maka akan penulis sajikan beberapa kesimpulan
penting sehubungan dengan topik yang telah penulis angkat ;
1. Pemanasan global adalah
fenomena meningkatnya suhu rata-rata yang ada dipermukaan bumi.
2. Pemanasan global terjadi akibat
akumulasi gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer, dan gas ini dihasilkan dari
aktivitas manusia di muka bumi, sehingga mengakibatkan perubahan iklim yang
juga berdampak pada perubahan keadaan alam yang ada, bahkan di segala sektor
kehidupan manusia.
3. Indonesia sebagai negara
kepulauan yang ada sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. salah satu
dampak yang paling nyata ialah akan hilangya beberpa pulau terluar dari wilayah
Indonesia, baik yang berpenghuni maupun tidak
4. Allah tidak menghendaki akan
adanya sikap manusia yang melakukan ekspoloitasi secara tidak bertanggung jawab
pada alam. Allah menghendaki agar manusia mampu menjaga keharmonisan dengan
sesama ciptaanNya yang lainnya
- SARAN
1. Perlunya penanaman pohon
kembali, untuk menghisap Co2 yang berlebihan di udara.
2. Agar dikembangkan suatu
sikap/pola hidup manusia yang bersahabat dengan alam, begitu juga dengan
perusahaan industri yang ada.
Sumber; http://www.awardspace.com/web-hosting-notice/error-404, by: Gerald Akerina
DAFTAR PUSTAKA
Armeil Meiviana y, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di
Indonesia,Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup, 2006
Arifin Arif, Hutan Mangrove : Fungsi dan
Manfaatnya Yogyakarta :
Kanisius, 2003
Dadang Rusbiantoro. Global
Warming For Beginnner :
Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Yogyakarta : O2,
2008
Gatut Susanta dan Hari Suthajo. Pemanasan
Global : Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Jakarta :
penebar plus, 2007
Handol John & Leo Nababan, Tragedi Bumi yang terluka: Menuntut
Tanggungjawab Moral & Rohani Umat Beragama. Jakarta: Gradasari Aksara, 2006.
hlm.
Murdiyarso Daniel, Protokol
Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Jakarta
: Kompas, 2003.
Ratag, Mesak (kepala bagian permodelan iklim. ed.). Perubahan Iklim: Basis Ilmiah dan
Dampaknya. Jakarta : Lembaga
Penerangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2002
Supardi Imam, Lingkungan Hidup dan Kelestariannya (Bandung: PT. Alumni : Bandung, 2003)
KAMUS
Ayu Rini. Ensiklopedi
Fenomena Alam. Yogyakarta : Pinus Book Publisher, 2008
Pusat Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1990
SITUS-SITUS INTERNET
http://handy.hagemman.com/index.ph
Http:www.Iptek.net.id
DOKUMEN-DOKUMEN
Antispasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknik Penata Ruang. Dirjen
Penata Ruang: Departemen Penata Ruang dan Prasarana wilayah Jakarta, Oktober
2002
Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2007
[2] Meiviana Armeily, Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia(Jakarta
: Kementrian Lingkungan Hidup, 2006). hlm.
20
[9] Efek Rumah kaca pertama kali di temukan oleh Joseph Fourier pada tahun
1984, dimana Efek Rumah kaca berdasarkan sebuah proses di mana atomosfer
memanaskan sebuah planet, seperti Mars, Venus, dan saturnus, Gatut Susanta
& Hari Suthajo, Op. Cit, hlm. 30
[11] Protokol Kyoto merupakan amandemen kebijakan terhadap konvensi rangka panjang kerja
PBB tentang perubahan Iklim, dari protokol ini maka dihasilkan ada 6 (enam) gas
rumah kaca yang ada di atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2),
Dinitrooksida (N2O), Metana (CH4), Sulfur-heksaflourida
(SF6), Hidroflourkarbon (HFCs). Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto: Implikasinya bagi
negara berkembang. Jakarta :
Kompas, 2003. hlm. 4
[15] John Handol & Leo Nababan, Tragedi
Bumi yang terluka: Menuntut Tanggungjawab Moral & Rohani Umat Beragama. Jakarta: Gradasari Aksara, 2006.
hlm. 49
[23] Antispasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penata Ruang, (Jakarta
: Dirjen Penata Ruang Departemen Penata Ruang dan Prasarana Wilayah, Oktober
2002) hlm. 2
[29] El Nino adalah sebuah fenomena alami di mana naiknya suhu permukaan air
alut di sebelah timur dan
tengah di kawasan tropis samudera pasifik. El nino muncul setiap 2-13 tahun
sekali, pada akhir tahun dan
berdampak pada menurunnya curah hujan sehingga menyebabkan terjadinya kemarau
yang panjang. Terutama di di kawasan Indonesia, Malasyia, Australia dan
sekitarnya. El Nino sangat berpotensi menyebabkan badai di lautan. Beberapa
Ilmuwan berpendapat bahwa perubahan Iklim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
terjadinya El Nino. Kondisi atmosfer yang panas akan menyebabkan kehadiran El
Nino lebih sering daripada biasanya. Rusbiantoro, Op.cit. hlm. 26 dan Armeily, Op.Cit. hlm. 7
[33]http://handy.hagemman.com/index.php dampak-pemanasan-global-bagi-indonesia. Dikunjungi 21 April 2008
[35] Anonim, http://www.epa.gov/climatechange/science/recentac.htm.
[37] Departemen Kesehatan RI, Profil
Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta.www.depkes.go.id.
Dikunjungi 30 April 2008