Suatu
Refleksi Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam Upaya Memperbaharui dan
Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang Firman Allah.
I. Definisi Budaya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu
citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang
memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
“individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang
dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya
yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu
kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
II. Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memPengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
III.
Ciri-ciri Kebudayaan.
Ciri-ciri khas
kebudayaan adalah:
A. Bersifat historis. Manusia
membuat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju yang diwariskan secara
turun temurun;
B. Bersifat geografis. Kebudayaan
manusia tidak selalu berjalan seragam, ada yang berkembang pesat dan ada yang
lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan) yang nyaris berhenti kemajuannya.
Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan kemudian berkembang pada
komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan kebangsaan/ras. Kemudian
kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regiona, dan makin meluas dengan
belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo (duniawi) dalam era informasi
dimana terjadi saling melebur dan berinteraksinya kebudayaan-kebudayaan;
C. Bersifat
perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan,
manusia selalu berusaha melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia terbentur
pada nilai, nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan?
Sampai batas mana?
IV. Hubungan Antara Gereja dan Kebudayaan.
Dalam sejarah gereja, hubungan antara
gereja dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun
demikian, hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model melainkan
beranekaragam, tergantung pada sejauhmana kita memahami apa itu gereja dan apa
itu budaya.
Menurut
H.Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa dan
Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan
gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus
dan keabudayaan, sebagai berikut :
a.
Kristus bertentangan dengan kebudayaan (Christ against Culture).
Dalam
sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap
kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi
kekristenan dan gereja.
b.
Kristus dari kebudayaan (Christ of Culture).
Sikap
ini berkeyakinan bahwa Kristuslah yang memiliki kebudayaan. Oleh karena itu
orang beriman harus berusaha menyesuaikan diri (toleran) dengan kebudayaan.
c.
Kristus di atas kebudayaan (Christ above Culture).
Dalam
pemahaman seperti ini, Kristus dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan
kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang
kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
d.
Kristus dan kebudayaan dalam paradoks (Christ and Culture in paradox).
Sikap
ini berkeyakinan bahwa orang kristen, gereja hidup dalam dua “dunia” yang
berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang
kristen, gereja hidup dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup
dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
e.
Kristus pembaharu kebudayaan (Christ transforming Culture).
Apa
yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini)
masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan,
walaupun untuk kepentingan masakini mesti dikritisi dengan bijak sebab konteks
telah berubah dan perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi
dan berkembang.
V.
Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan.
Ada 5
macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni:
1.Antagonistis
atau oposisi
Sikap
antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat
pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan.Sebab
akibatnya, sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua
ungkapannya. Gereja dan umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak
ungkapan kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang ; 1. MenghinaTuhan 2.
Menyembah berhala dan 3. Yang merusak kemanusiaan.
2.
Akomodasi atau persetujuan
Kebalikan
dari sikap antagonis adalah mengakomodasi, menyetujui atau menyesuaikan diri
dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap demikian
ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi
atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua
agama sama saja.
3.
Dominasi atau sintesis
Dalam
gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia menganggap
bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuatcitra ilahinya
merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masihmemiliki kehendak
bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir
sekalipun, umat bias melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan
kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan
oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
4.
Dualisme atau pengutuban
Yang dimaksud dengan
sikap dualistis atau pengutuban terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak
memisahakan iman dari kebudayaan ialah ; terdapatpada kehidupan kaum beriman
kepercayaan kepada karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap
berdiri didalam kebudayaan kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah
hati manusia berdosa menjadi manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti
menghadapi kebudayaan.
5.Pengudusan
atau pertobatan
Sikap
pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima, tetapi
sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak
menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan
selama hasil hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi
sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu
atau keempat sikap budaya yang salah satu itu, umat beriman harus menggunakan
firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu, sehingga terjadi transformasi
budaya kearah budaya yang, memuliakan
Allah.
IV. Refleksi: Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak
Dalam Upaya Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang
Firman Allah.
Kebudayaan
adalah prestasi atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam alam ini.
Kemampuan untuk berprestasi/berkarya ini merupakan sikap hakiki yang hanya ada
pada manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu sejak
penciptaan, manusia telah diberi amanat kebudayaan (Kej 1:26-30)
Namun
kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan manusia hanya mampu menghasilkan
kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah dan hanya demi kemuliaan diri
manusia sendiri (dari God-centered menjadi man-centered)
Manusia
lalu berusaha untuk mengisi keadaan kosong dalam hatinya dengan kebudayaan
(agama, ilmu dan teknologi, seks, hiburan, harta, kesalehan, kedudukan tinggi,
dll.) Namun kebudayaan manusia tidak akan pernah dapat memulihkan keadaan
manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Pemulihan keadaan manusia dan
kebudayaannya terjadi ketika Anak Allah yang Tunggal turun ke dalam dunia untuk
menebus dosa manusia.
Awal
kedatangan Injil Ke Tanah (Jiwa) Batak
Begitu lama suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah
Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu
yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para
missionaris dari Eropah untuk memperkenalkan Injil kepada kakek-nenek (ompung)
dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima
Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada
dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah
Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup.Mereka berpindah dari gelap
kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian
kepada kehidupan yang kekal.Injil telah dating dan merasuk ke Tanah Batak!
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan. Raja dan
.Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo
matang” menjadi “putih” (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi
pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti,
hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus
itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”.
Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus
kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah Batak dan hidup sebagai masyarakat
agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaris itu
juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu
dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah
menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat
mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya
melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga
dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang.
Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan
mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Jurusiamat. Anak Allah yang hidup.
Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal,
pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama
seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu. kita yang sekarang pun mengalami
bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo
matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi
Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang
yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status
sosial tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal
3:28) tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
Firman telah menjadi manusia sama seperti kita dan
tinggal diantara kita (Yoh 1 :14). ltu dapat diartikan bahwa Firman itu juga
telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan
berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa,
memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol,
ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk lndonesia dan
modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa
kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos
Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya – jaman
dahulu – tortor dan gondang adalah merupakan ritual atau upacara keagamaan
tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur
bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor
dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun
kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (
sekaligus batak- Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati
serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan
musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu, namun
dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi
sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai
sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan
langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan
Roh kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih
sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan
tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa bangsa
eropah yang belum mengenal Kristus namun diberi isi yang baru, yaitu perayaan
kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur paskah, santa claus dll.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika
yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam
apakah daging-daging sapi yang dijual pasar (sebelumnya dipersembahkan di
kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan
“boleh” namun sebagian lagi mengatakan “tidak”. Rasul paulus memberi nasihat
yang sangat bijak. *Makanan tidak mendekatkan atau Menjauhkan kita dari Tuhan.
(l Kor 8:1-11). Keadaan Yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah
orang Kristen boleh memakan segalanya. (1 kor 14:15) Rasul Paulus memberi
nasihat “Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran,
damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (l Kor14:17). Kita boleh menarik
analogi dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos.
Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala,
namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh kudus.
Selanjutnya kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan,
minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan
sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di
hadapan Tuhan, Tenunan ulos batak, dengan batik jawa atau brokat prancis sama
saja nilainya dihadapan Kristus. Taganing (gondang, atau gondrang), orgel
adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. Keduanya dapat dipakai
untuk memuliakan Allah.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya
hubungan iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh
orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh
kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki memperbaiki realitas social, konomi,
politik dan budaya yang ada. Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil
bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos dll)
namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan
kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani.
Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu
saja kepada tuntutan budaya itu. Agar dapat menggarami dan menerangi budaya
(tortor. gondang dan ulos dll) kita tidak bersikap ekstrim: baik menolak atau
menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen, kita hanya
tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya. Sebaliknya
kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat
mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya
sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya batak
itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang
buruk? Mana yang harus dipertahankan (dilestarikan) dan mana yang harus
di ubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, dan yang tidak relevan dengan
kekristenan?
Kita mengakui dengan jujur bahwa sebelum datangnya
kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah,
ternak. dan manusia). menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek
moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk
Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita
mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa
yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama
kita.Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai
reflector atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita
yang beriman Kristen, gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya
hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur atau
permohonan kita kepada Allah bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan
Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan
gondang sangat terikat kepada aturan-aturan pra-Kristen yang membelenggu:
misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka
tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh
bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau
tidak menikah, memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak
memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga dihadapan Tuhan dan telah
ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (1 pet 1:19).Oleh: Uhum,s Laoshi Tampoe*
Bahan
Bacaan:
1. Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat
dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK-GM, Jakarta 2003
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Edisi ketiga), Balai Pustaka, Jakarta 2005
3. Mangapul Sagala, Injil dan Adat Batak, Yayasan
Bina Dunia, Jakarta 2008
4. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, Petra
Jaya, Jakarta 1995
5. _______, Ensiklopedi Umum, Yayasan
Kanisius, Yogyakarta 1973
6. R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia,
Vorkink - Van Hoeve, Bandung
7. John B. Pasaribu, Adat Batak: Saluran Kasih Sesama
Umat Manusia, Yayasan Borbor, Jakarta 2003
8. I. Simanjuntak, “Pesta Adat
Di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama Kristen“, dalam: Pemikiran tentang Batak(Editor:
B.A. Simanjuntak), Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986
9. J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan,
BPK-GM, Jakarta, 1960
10. E.H.
Tambunan, Sekelumit Mengenai
Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Tarsito, Bandung 1982
11. Bnd.
A. Ginting Suka, Hubungan
Agama dan Budaya dalam Kristen Protestan dalamwww.bergaul.com/pages/dump/getfile.php?id=15075, dikunjungi tanggal 2 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar