Di dalam
sejarah peradaban manusia, terdapat tiga revolusi yang telah mengubah pola
kehidupan bermasyarakat selamanya, baik dari segi produksi, distribusi, maupun
konsumsi. Yang pertama adalah Revolusi Agraria pada masa prasejarah, yang kedua
adalah Revolusi Industri pada abad ke-18, dan yang ketiga adalah revolusi yang
berhubungan dengan pengolahan minyak bumi pada paruh abad ke-19.
Revolusi Agraria adalah
berubahnya metode pencarian makanan dan pekerjaan yang dulunya pemburu dan
pengumpul makanan menjadi petani dan penggarap kebun/ladang. Revolusi ini
memungkinkan manusia untuk memproduksi makanan lebih dari yang ia butuhkan,
sehingga terjadi surplus. Dari sana berkembanglah penimbunan, perdagangan, dan
pemukiman yang lebih besar.
Revolusi Industri
ditandai dengan proses otomatisasi produksi, terutama tenaga kerja manusia
digantikan dengan mesin yang berakibat pada penggunaan batu bara dalam jumlah
besar serta berlanjut pada pencarian sumber energi alternatif yang lebih mudah
diperoleh serta lebih "ramah lingkungan", karena seperti yang kita
ketahui proses penambangan batu bara sering kali memakan korban jiwa selain juga
menimbulkan dampak polusi yang sangat hebat.
Penemuan cara penyulingan
"minyak batu" (petroleum) menjawab kebutuhan tersebut. Minyak bumi
dapat dihasilkan lebih cepat daripada batu bara dengan polusi yang relatif
lebih kecil dibandingkan batu bara. Namun penggunaan minyak bumi secara luas,
terutama sejak Perang Dunia II, baik pada kendaraan bermotor maupun
pabrik-pabrik, telah menghasilkan polusi yang luar biasa besarnya sebagai
timbal balik dari segala fasilitas yang dapat dinikmati oleh manusia saat ini.
Adalah tugas kita,
terkhusus sebagai anak-anak Tuhan, untuk mengelola bumi dan memanfaatkan sumber
daya alamnya secara bertanggung jawab. Kita perlu memikirkan tidak hanya
kepentingan sesaat saja, tetapi juga untuk berpikir ke depan, untuk anak-anak
serta generasi-generasi yang akan datang supaya mereka tidak hidup di
tengah-tengah dunia yang rusak akibat polutan-polutan yang telah kita
tinggalkan serta sumber daya yang telah kita habiskan. Jadilah orang Kristen
yang mencintai lingkungan.
Kiranya artikel di bawah
ini menolong Anda untuk menyadari bahwa dari awal penciptaan, Tuhan telah
memanggil manusia untuk mengelola dan memelihara alam ciptaan-Nya sesuai dengan
rancangan-Nya yang ajaib. Menyimpang dari rancangan-Nya akan menyebabkan
malapetaka. Apakah rancangan-Nya itu? Selamat menyimak artikel yang diambil
dari Jurnal Pelita Zaman dan ditulis oleh Robert P. Borrong di bawah ini.
In Christ, Redaksi Tamu
e-Reformed,
Kusuma Negara
http://reformed.sabda.org/
Penulis:
Robert P. Borrong
Edisi:
114/VIII/2009
Tanggal:
28-8-2009
Isi:
I. Pengantar
Akhir-akhir ini,
perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian
lingkungan hidupnya semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang
semakin banyak dan pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau
planet bumi sedang sakit atau rusak. Sakit atau rusaknya planet bumi itu
disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan
cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan
pengelolaan lingkungan mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja
maupun tidak sengaja.
Sebenarnya proses perusakan
lingkungan sudah berjalan lama, yaitu sejak dimulainya proses industrialisasi.
Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang
dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk
diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia.
Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola
secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi
semakin gencar tak terkendali. Alam tidak lebih dari benda mekanis yang hanya
bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai
sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup
mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan mulai mengglobal tiga dekade
yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu
manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya "non-
renewable resources") semakin menipis.
Pengelolaan alam secara
mekanistik yang diikuti pula oleh pertumbuhan demografi yang terus melaju
sehingga pada akhir dekade 1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk
dunia". Kenyataan itu mendorong digerakkannya pembangunan yang
berorientasi pada "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan
pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran saja,
tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat manusia yang
semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah
menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan pertanian. Perusakan ini
diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan
pertanian, digunakan pupuk kimia, dan untuk menjaga panen dari serangan hama,
digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat.
Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk
meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi.
Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan
mengancam kehidupan manusia sendiri.
Dari keterangan di atas,
menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit
atau rusak datang dari manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan
mengonsumsi sumber- sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu
melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran atau
proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber- sumber secara masal, intensif,
dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah
lagi, yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri,
sehingga ia seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran
untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia,
dengan mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya terhadap alam. Apa kata
teologi atau etika Kristen?
II. Dasar Teologis Etika
Lingkungan
Dalam cerita penciptaan
dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu
berarti bahwa manusia memunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan
hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan
sebagai gambar Allah ("Imago Dei") dan yang diberikan kewenangan untuk
menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia
adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi, ia
diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani
secara seimbang.
1. Kesatuan Manusia
dengan Alam
Alkitab menggambarkan
kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia:
"Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7),
seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala
burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut
"adam". Nama itu memunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah,
"adamah", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan
warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut
"homo", yang juga memunyai makna yang berkaitan dengan
"humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan
dengan bumi, memunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia:
manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari
menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19;
Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup
saling bergantung -- sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia
merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.
2. Kepemimpinan Manusia
Atas Alam
Walaupun manusia dengan
alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan
manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan
segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan
bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan
memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai kuasa yang
lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja"
di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah
yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di
dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra
Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah
kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang
terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu
Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak
boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan "care-taker".
Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau
pelestarian alam.
Kata
"mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani
"abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka
manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari
ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam
seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan
memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan
kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola ("abudah")
dan memelihara ("samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan
atau kepemimpinannya pada manusia.
3. Kegagalan Manusia
Memelihara Alam
Alkitab mencatat secara
khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama
seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah
(Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya
rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan
alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama
ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya".
Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk
dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan
(utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi
tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal
melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
Akar perlakuan buruk
manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang
terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput
duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi
oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan
materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara teologis, dapat dikatakan bahwa
akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia
yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental
loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi
kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain,
manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah dari "a needy
being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam melaksanakan
tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam
mengendalikan dirinya, khususnya keinginan- keinginannya.
4. Hubungan Baru
Manusia-Alam
Alkitab, khususnya
Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia
ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia,
yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman
(logos) penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil
bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui
pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang
mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia
(kosmos) ini (Kol. 1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan
hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan
hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden
(Firdaus) telah dipulihkan.
Apa yang dibayangkan
dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan di
antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi
dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristen, hubungan baru manusia
dengan alam bukan saja hubungan "dominio" (menguasai) tetapi juga
hubungan "comunio" (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah
berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu "air, angggur,
dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru
manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik
harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam.
Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam.
Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan
ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why. 21:1-5) yang menjadi
tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam
langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.
III. Norma Etika
Lingkungan
Akhir-akhir ini, etika
lingkungan biasanya dibagi atas dua atau tiga bagian yang antroposentris,
ekosentris, dan biosentris. Bahkan Robert Elliot mengemukakan lima konsep,
yaitu yang disebutnya "human centered ethics", "animal centered
ethics", "life centered ethics", "everything centered
ethics", dan "ecological holism ethics". Saya hanya akan
mengikuti tiga pandangan yang saya kemukakan di atas. Pandangan pertama, yaitu
antroposentris, adalah pandangan yang telah lama dianut oleh umat manusia yang
beranggapan bahwa alam atau lingkungan hanya memunyai nilai alat (instrumental
value) bagi kepentingan manusia. Pandangan antroposentris ini sering
dihubungkan dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas
maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat menganut
pandangan mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Hanya
manusia yang subjek, sedangkan alam atau lingkungan adalah objek. Maka alam
diteliti, dieksplorasi, lalu dieksploitasi. Maka etika antroposentris ini tidak
sejalan dengan etika Kristen yang menekankan adanya kontinuitas antara manusia
dengan alam (adam-adamah, homo-humus).
Pandangan yang kedua
adalah biosentris. Penganut pandangan ini berpendirian bahwa semua unsur dalam
alam memunyai nilai bawaan (inherent value), misalnya kayu memunyai nilai
bawaan bagi kayu sendiri sebagai alasan berada. Jadi kayu tidak berada demi
untuk kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki
nilai inheren lepas dari kepentingannya bagi manusia. Manusia dan
makhluk-makhluk hidup lainnya memunyai hubungan kontiunitas, maka manusia dan
lingkungan memunyai tujuannya masing-masing. Maka tiap makhluk memunyai hak
mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang melekat padanya. Pandangan ini
misalnya dianut oleh Paul Taylor, Peter Singer, dan Albert Schweitzer.
Pandangan ketiga, yaitu
ekosentris, berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau sebagai sistem
tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka lingkungan harus diperhatikan
karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh
ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang
Indonesia, yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi
memiliki nilai hakiki (intrinsic value) yang harus dihormati oleh manusia. Maka
alam atau lingkungan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi memunyai
nilainya yang luhur yang harus dijaga, dihormati, dan dianggap suci.
Kita akan mencoba melihat
pandangan-pandangan ini berdasarkan kesaksian Alkitab sebagaimana yang
dikemukakan di bagian II di atas. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
etika lingkungan tidak bersifat antroposentris, tetapi juga tidak sekadar
bersifat biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya,
bahkan seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya
dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang- menopang, dan saling
membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari perspektif teologi Kristen, mestinya
bersifat teosentris, artinya berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga
dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber
di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita (antroposentris), bukan pula
karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti hak asasi manusia (biosentris),
juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang memiliki nilai
intrinsik (ekosentris); kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup
karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan
untuk hormat dan kemuliaan- Nya.
Kalau kita memelihara
lingkungan sekadar karena diperlukan untuk menopang hidup manusia, kita akan
jatuh ke dalam materialisme, nilai etis yang telah terbukti merusak lingkungan.
Kalau kita memelihara lingkungan karena sekadar kecintaan kita pada lingkungan
yang memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam romantisisme,
nilai etis yang cenderung utopis. Kita perlu memelihara lingkungan hidup kita
sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan
lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan
yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda syukur kita atas
pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan Yesus
Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah.
Bagaimana menjabarkan ibadah ini, norma-norma berikut kiranya perlu
dikembangkan sebagai penjabaran etika lingkungan yang bersifat teosentris,
dengan menunjukkan solidaritas dengan semua makhluk, dengan sesama (termasuk
generasi penerus) dalam kasih dan keadilan.
1. Solidaritas dengan
Alam
Karena manusia dengan
lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh
Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor.
5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider
(sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan
penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai
penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk
dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena- mena, tidak dirusak, tidak
dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak
boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan
cara itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara
ekosistem . Contoh konkret: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau
limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor, dan sebagainya) agar tidak
mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran/polusi mestinya dicegah,
diminimalisir, dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau rusak. Kita
bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.
Sikap solider dengan alam
dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai (respek) terhadap
alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang
dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi
cerminan kemuliaan Allah. Menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan
Sang Penebus. Contoh konkret misalnya tidak membabat hutan sembarangan sebab
membabat hutan dapat memusnahkan aneka ragam spesies dalam hutan. Contoh lain,
tidak menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah
lainnya. Sebaliknya, usaha menghargai dapat dilakukan melalui usaha-usaha
kreatif mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk dan lingkungan hidup
misalnya dengan tidak hanya penghijauan, pembudidayaan, tetapi juga usaha
pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur rusak. Pokoknya, sikap
solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan dengan pola hidup berdisiplin dalam
menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem secara konstan.
2. Pelayanan yang
Bertanggung Jawab (Stewardship)
Alam adalah titipan dari
Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya,
tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada
manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-
sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka pemanfaatan/penggunaan sumber-
sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan
dengan memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan
lingkungan, yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan
memerhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.
Memanfaatkan alam adalah
bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan oleh Tuhan
kepada manusia (Mat. 25:14-30 par.). Allah telah memercayakan alam ini untuk
dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan
dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam
mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan
sebagai deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan
semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga
salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang akan
mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang memerhatikan
kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga karang untuk
ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan
pengurasan sumber alam secara tanpa batas.
Panggilan untuk
memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban
talenta akan mendorong kita melestarikan sumber- sumber alam, sekaligus
melakukan keadilan terhadap sesama. Contoh konkret: manusia menghemat
menggunakan sumber-sumber alam (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan
sebagainya) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain
secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan
seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air, energi, kayu, dan
sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4R -- "reduce",
"reuse", "recycle", "replace" (atau mengurangi,
menggunakan ulang, mendaur ulang, dan mengganti) sumber- sumber alam yang kita
pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar kita memakai
lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih
berguna kalau didaur. Tidak jarang pula yang dibuang itu sekaligus merusak
lingkungan, misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu,
bahan-bahan yang merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan
tidak dibuang sembarangan.
3. Pertobatan dan
Pengendalian Diri
Kerusakan lingkungan
berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang
dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara
teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis
etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan.
Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan
krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya pelestarian
lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian
diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan
hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang
penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan
dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
Materialisme adalah akar
kerusakan lingkungan hidup. Maka materialisme menjadi praktik penyembahan alam
(dinamisme modern). Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan
bahkan disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme
(cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap
sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24 par.; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi,
alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan material. Maka supaya alam dapat
dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan
mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam
arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada
Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias
materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud
kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu
penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.
IV. Kesimpulan
Alam atau lingkungan
hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan dan
dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk
menopang hidupnya. Dengan kata lain, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi
ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi bukan hanya
kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh
makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Alam
ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh ciptaan lainnya. Alam ini
rumah kita. Kata-kata "ekonomi", "ekumene", dan
"ekologi" berakar dalam kata Yunani "oikos" yang artinya
rumah. "Ekonomi" berarti menata rumah; itulah tugas pengelolaan
kebutuhan hidup. "Ekumene" berarti mendiami rumah; itulah tugas
penataan kehidupan yang harmonis. "Ekologi" berarti
mengetahui/menyelidiki rumah; itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap
alam.
Manusia adalah penata
dalam rumah bersama ini. Pertama, ia adalah pengelola ekonomi, tetapi ia lebih
dikuasai oleh kerakusan. Karena itu, diperlukan pembaruan/pertobatan dan
pengendalian diri supaya timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab
terhadap lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian
lingkungan kiranya dapat pula dirumuskan dalam pola 4R -- "repent",
"restraint", "respect", "responsible" (atau
bertobat, menahan diri, menghormati, dan bertanggung jawab). Ibadah yang sejati
adalah ibadah yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam hidup
yang nyata.
Dalam menata kehidupan
bersama, umat Kristen harus bermitra dengan semua orang, bahkan dengan semua
makhluk. "Ekumene" berarti bekerja bersama membangun kehidupan di
atas planet ini. Tugas itu adalah tugas bersama semua orang dan seluruh
ciptaan. Maka tugas orang Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan
iman dan pengharapan kepada Allah, memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya
dengan terus-menerus menjaga dan memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan
kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Optimalisasi ibadah itu dinyatakan
dalam bentuk disiplin, penghematan, dan pengendalian diri.
Kepustakaan
Berkhof, Hendrikus.
Christian Faith. Grand Rapids: Eermands, 1997.
Bhagat, Shantilal P.
Creation in Crises: Responding to God Covenant. Illionis: Bredren, 1990.
Birch, Charles. et. al.
eds. Liberating Life: Contemporary Approach to Ecological Theology. Maryknoll:
Orbis, 1990.
Derr, Thomas Sieger.
Ecology and Human Liberation. Geneva: WCC, 1973.
Drummond, Celia-Dianne. A
Handbook in Theology and Ecology. London: SCM Press, 1996.
Pojman, Louis P. ed.
Environmental Ethics. Oxford: Blackwell, 1993.
Stott, John. Issues
Facing Christian Today. London: Marshall Morgan and Scott, 1984.
Wolf, H. W. Antropology
of the Old Testament. Philadelphia: Fortress, 1981.
Sumber:
Diambil dan disunting
seperlunya dari:
Kusuma Negara
http://reformed.sabda.org/
Nama jurnal
|
:
|
Jurnal Pelita Zaman; Volume 13 No.
1, 1998
|
Penulis
|
:
|
Robert P. Borrong
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan Pengembangan Pelayanan
Kristen Pelita Zaman, Bandung 1998
|
Halaman
|
:
|
8--18
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar