Perusakan bumi dapat dikatakan dimulai sejak adanya revolusi
industri, di mana mesin-mesin uap dipakai untuk menggatikan tenaga
manusia. Sejak saat itulah mesin-mesin (yang menghasilkan polusi) semakin
bertambah jumlahnya. Selain itu, ditambah dengan perkembangan alat
transportasi seperti mobil dan motor sehingga menambah jumlah kadar polusi di
udara. Belum lagi penemuan lemari es dan minyak wangi yang menggunakan
bahan yang menyebabkan berlubangnya ozon. Semuanya ini diciptakan manusia
untuk memuaskan dirinya tanpa melihat dampak yang terjadi pada alam. Namun, ada
sebagian manusia yang mulai sadar dan mulai mengembangkan teknologi yang baik
untuk alam. Mereka mulai melihat dampak yang terjadi pada alam akibat ulah
manusia. Banyak usaha-usaha yang telah dilakukan untuk menghindari
perusakan yang lebih parah lagi. Melalui peringatan hari bumi inilah
manusia harus sadar bahwa merekalah sang penghancur alam. II. Manusia dan
Kebutuhannya Pada Kejadian 1: 26 dikatakan bahwa manusia berkuasa atas segala
isi bumi. Ini dapat dikatakan bahwa segala isi bumi merupakan kebutuhan
manusia. Apakah hal yang menjadi kebutuhan manusia? Kebutuhan
(need) harus dibedakan dengan keinginan (demand).[1] Keinginan manusia
dapat dikatakan tak terbatas, mengapa karena pastilah manusia menginginkan
makanan yang lezat, mobil mewah, dan rumah mewah. Ini berbeda dengan
kebutuhan manusia, yang berarti sesuatu yang dibutuhkan manusia agar tetap
eksis pada dunia ini. kebutuhan manusia pada dasarnya adalah:[2]
1. Makanan dan zat asam (oksigen) senagai sumber
energi untuk menjalankan segala aktifitasnya. 2.
sistem perlindungan yaitu pakaian dan tempat berlindung 3.
penyaluran nafsu seksual Namun, manusia seakan tidak pernah puas apabila hanya
mendapatkan kebutuhan saja, sehingga mereka mencoba mencari cara untuk
memuaskan keinginan mereka. Mereka mulai mengembangkan teknologi yang
dapat memenuhi kebutuhan mereka. Perkembangan teknologi pertama adalah
alat-alat batu yang digunakan oleh zaman pithecanthropus.[3] Sejak saat
itulah, perkembangan teknologi yang dibuat manusia semakin pesat dan menemukan
penemuan baru mulai dari mobil, motor, AC, kereta api, pesawat, dll.[4]
Perkembangan manusia pada zaman modern ini semakin merusak alam demi
kepentingan pribadi maupun kelompok. Negara-negara dengan ekonomi bebas
berkembang ke arah pemasaran dalam arti penciptaan kebutuhan. Banyak
barang dibuat hanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.[5] Selain
itu, penemuan teknologi digunakan manusia untuk mengeksploitasi alam untuk
memenuhi kebutuhannya sebagai contoh Freeport di Papua. Ilmu pengetahuan
dan teknologi bukanlah penyebab alam ini hancur melainkan karena manusia yang
menggunakannya sebagai alat untuk memenuhi keinginan mereka.[6]
III. Akibat Eksploitasi Manusia terhadap Alam Pada zaman sekarang,
manusia menggunakan kekuasaannya untuk mengeksploitasi alam
sebesar-besarnya. Hutan merupakan salah satu contoh yang dieksploitasi
manusia. Di Indonesia, FAO menyebutkan bahwa setiap tahun rata-rata 1,871
juta hektar hutan di Indonesia hancur atau sekitar 2 persen dari luas hutan
yang tersisa yaitu 88,495 juta hektar.[7] Greenpeace juga menyatakan
bahwa Indonesia merupakan Negara yang kehilangan hutan paling tinggi di dunia.[8]
Hutan-hutan di Indonesia ditebang dan dibakar oleh manusia (perusahaan) untuk
memenuhi keuntungannya sendiri.[9] Manusia mengeksploitasi hutan tanpa
memikirkan ekosistem yang ada di hutan tersebut. Sehingga ekosistem di
hutan punah akibat ulah manusia. Eksploitasi manusia tidak hanya terjadi di
darat saja melainkan air dan udara juga dieksploitasi manusia untuk kepentingan
dirinya sendiri. Terumbu karang yang dapat dikatakan sebagai hujan
tropisnya samudera[10] semakin berkurang akibat ulah manusia yang melakukan
reklamasi tanah, meledakan bom di air untuk mendapatkan ikan-ikan. Selain
itu, pemanasan global akibat rumah kaca juga menyebabkan suhu air laut naik
sehingga terumbu karang tidak dapat menyesuaikan diri dan rusak.[11] Di
Indonesia, pencemaran air laut juga terjadi akibat pembuangan limbah
industri. Pembuangan limbah ini menyebabkan air sungai dan laut tercemar
bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia seperti merkuri.[12] Di udara,
manusia menyebabkan terjadinya pemanasan global dengan banyaknya karbondioksida
yang dihasilkan dari asap kendaraan dan asap pabrik. Amerika Serikat
merupakan penghasil karbondioksida terbesar di dunia, disusul Uni Eropa dan
Cina.[13] Sungguh disayangkan, Amerika Serikat menolak
penandatanganan protokol Tokyo dengan alasan akan merugikan industri
mereka. Pencemaran udara ini mengakibatkan mencairnya gletser sehingga
naiknya permukaan laut sehingga banyak pulau-pulau yang tenggelam.[14]
Yang paling terancam naiknya air laut adalah Negara-negara dengan pantai yang rendah,
terutama delta-delta subur yang berpenduduk padat, diantaranya adalah
Indonesia.[15] Pengeksploitasian manusia terhadap alam ini dapat
dikatakan salah satunya adalah akibat meledaknya jumlah populasi manusia.
Jumlah penduduk dunia pada akhir abad 20 meningkat 78 juta setiap tahun maka,
penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 7,8 Miliar pada tahun 2025 dan 8,9
Miliar pada tahun 2050.[16] di Indonesia, laju pertumbuhan penduduk terus
bertambah naik terutama di Pulau Jawa yang berpenduduk 60 % dari seluruh
penduduk Indonesia.[17] Laju pertumbuhan penduduk tidak dapat diimbangi dengan
ekosistem sehingga menyebabkan banyaknya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi
dan alam tidak mampu untuk memenuhinya. IV. Pengembangan IPTEK yang Ramah
Lingkungan Persoalan mengenai masalah perubahan iklim akibat pemanasan global
sudah menjadi masalah yang fundamental di setiap Negara di dunia. Banyak
negara mulai mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan untuk mengurangi
dampak rumah kaca akibat polusi kendaraan dan industri. Perkembangan
teknologi ini merupakan kemajuan yang sangat berarti demi kepentingan manusia.
Para ilmuwan berusaha untuk mencari tenaga alternatif menggantikan bahan bakar
yang tidak dapat dibaharui (bensin, minyak bumi, diesel) contohnya adalah
tenaga matahari, biogas, panas bumi, dan angin.[18] Namun permasalahan
yang muncul untuk menggunakan energi alternatif seperti tenaga matahari adalah
masalah biaya. Dengan menggunakan energi matahari, maka tidak akan ada
asap yang timbul. Pembangkit listrik juga mulai digunakan, terutama di
USA, dan Jerman.[19] Zat biogas digunakan untuk mengganti bahan bakar
minyak, bensin. Di Austria, Biogas didapatkan dari rap kol lewat proses
penjadian gas, dipergunakan untuk mesin-mesin pertanian, traktor-traktor.[20]
Panas bumi juga dapat dijadikan energi alternatif, keuntungan menggunakan
energi ini adalah bersih, tidak membawa pencemaran alam, selalu dan di
mana-mana tersedia, mudah diatur, tidak diperlukan pengangkutan, tidak
diperlukan tempat besar.[21] Banyak perusahaan yang berpendapat bahwa strategi
perlindungan alam merugikan mereka. Namun, argumentasi tersebut mulai
ditolak oleh para ahli ekonomi, misalnya Thomas Dylick dari Universitas St.
Gallen. Sarana-sarana ekologis, menurutnya membawa keuntungan karena
penggunaan bahan mentah berkurang.[22] Oleh karena itu perkembangan
teknologi yang ramah lingkungan ini tidak menghambat profit melainkan
menguntungkan dan juga menyehatkan. V. Hubungan Teologi Kristen dengan
Masalah Ekologi Menurut David Kinsley ada empat permasalahan pokok dalam
hubungan teologi Kristen dengan lingkungan hidup:[23]
1. Teologi Kristen/Alkitab dianggap menjadi dasar
pandangan yang berdampak negatif terhadap perkembangan spiritualitas
lingkungan. 2. Teologi Kristen/Alkitab mempunyai
kecenderungan ekologis yang kuat dan menjadi sumber penting yang membangun
kehidupan sporotualitas lingkungan 3. Teologi
Kristen dan Alkitab bersifat ambigu terhadap isu-isu lingkungan
4. teologi Kristen dan Alkitab tidak menentukan
kedudukan aktualnya terhadap isu-isu lingkungan tetapi ada tema tertentu atau
pasal tertentu dalam Alkitab yang mendukung pandangannya terhadap lingkungan
hidup. Di sini dapat kita lihat bahwa Teologi Kristen mempunyai dua hal yaitu
pandangan yang mendukung ekologi dan tidak mendukung ekologi. Pandangan
yang antiekologi dibagi menjadi bagian yaitu desakralisasi alam,
antroposentrisme, dan dualisme.[24] Desakralisasi alam merupakan penolakan
kekristenan terhadap dunia kafir yang memandang bahwa alam ini sakral dan
dipenuhi oleh roh-roh.[25] Penolakan ini bukan hanya terjadi pada kekristenan
melainkan juga pada Yudaisme yang melihat alam sebagai salah satu ruang lingkup
di mana Allah secara personal bertemu dengan manusia dan di mana ia dipanggil
untuk menjalankan tanggung jawab.[26] Jadi alam tidak pernah dilihat
sebagai sesuatu yang khusus melainkan sebagai objek manusia untuk menjalankan
perintah Allah seperti pada Kejadian 1:28. dalam Kekristenan alam
dijadikan objek sebagai cara untuk memperlihatkan pada dunia kafir bahwa alam
itu tidak suci dan tidak mempunyai daya magis.[27] Antroposentrisme mengajarkan
bahwa manusia itu diangkat Allah untuk berkuasa atas dunia ini.[28]
Biasanya ayat-ayat yang dipakai adalah Kejadian 1:26-29; Kejadian 9:1-3, dan
Mazmur 8:5-8. Pada ayat-ayat ini, dunia diberikan Allah kepada
manusia. Oleh karena itulah, ayat-ayat ini sengaja dikutip untuk
membenarkan pengeksploitasian alam oleh manusia. Dualisme. Banyak orang
Kristen yang merendahkan alam dan materi pada umumnya.[29] Kekristenan meliht
baha dunia ini tidak mempunyai sesuatu yang spiritual lagi. Manusia
dianggap sebagai makhluk yang dekat dengan Allah karena itu manusia yang paling
tinggi sedangkan alam itu rendah. Segala sesuatu yang ada di dunia menjadikan
manusia sebagai pusatnya.[30] Sejahrawan UCLA, Lynn White berpendapat bahwa
karena akar (krisis ekologis) sebagian besar religius, obatnya pada hakikatnya
adalah religius.[31] Menurutnya, Kristianitas adalah agama paling
antroposentrik sehingga dunia telah melihat Kristianitas mengajarkan bahwa
kehendak Allah kepada manusia adalah untuk mengeksploitasi alam untuk
tujuan-tujuannya sendiri.[32] Penyelesaian White adalah kembali ke
pandangan Santo Fransiskus “mencoba menggantikan ide pemerintahan manusia tanpa
batas atas ciptaan dengan ide kesamaan semua ciptaan.”[33] Fransiskus
memandang bahwa semua ciptaan yang bukan manusia sebagai saudara laki-laki dan
saudara perempuan.[34] Santo Fransiskus melihat bahwa alam itu harus
dihargai dan dihormati. Krisis ekologi diciptakan oleh manusia yang kurang
menghargai ciptaan dan menganggap alam meupakan di bawah kekuasaannya.
Disinilah peran teologi harus terlihat di mana teologi ekologi menggali kembali
refleksi mengenai hubungan Allah dengan ciptaanNya dan peran manusia sebagai
citra dan mitra Allah dalam alam semesta. Penafsiran-penafsiran yang
salah mengenai kekuasaan manusia harus dikaji ulang karena banyak bagian
Alkitab ynag menghargai alam seperti Mazmur 148:1-13. inilah peran
teologi yaitu memanusiakan manusia untuk mengharagi ciptaan Allah dengan cara
mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan. VI. Simpulan dan Refleksi
Teologis Manusia sang penghancur alam. Kata-kata ini akan terus berlanjut
apabila manusia semakin banyak merusak alam tanpa memerhatikan keseimbangan.
Jika manusia tidak mulai berubah maka suatu saat manusia tidak akan dapat
tinggal lagi di bumu, di mana bumi akan semakin rusak dan tak dapat
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi manusia. Maka kita harus bersyukur
kalau masih ada manusia yang peduli kepada alam dengan melakukan berbagai cara
yaitu mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan, pertemuan tingkat dunia
yang membahas alam, dsb. Manusia tidak diciptakan Allah untuk bertindak
sewenang-wenang terhadap alam. Manusia memang penguasa alam tetapi harus
berperilaku sebagai penguasa yang sesuai kehendak Allah yang menunjuk manusia
sebagai mitraNya. Allah menciptakan segala suatunya baik (Kejadian
1:31). Oleh karena itulah. Manusia harus mengingat bahwa segala ciptaan
itu diciptakan Tuhan baik, maka manusia harus merawatnya dengan sebaik-baiknya.
[1] Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip
Masalah Pencemaran Lingkungan (Surabaya: Grasha Indonesia, 1977), 15. [2]
Ibid., 17 [3] Franz Dahler & Eka Budianta, Pijar Peradaban Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 2004 cet-5), hal 167. [4] Ibid., 171. [5] Ibid., 181.
[6] Robert Patannang Borrong, Environmental Ethics and Ecological Theology:
Ethics as Integral Part of Ecosphere from an Indonesian Perspective
(Amsterdam:Vrije Universiteit, 2005), 17. [7] Kompas, 5 Mei 2007 hal 12 dengan
judul “Deplu Pertanyakan Data FAO” [8] Borrong, Op. Cit., 2. [9] Dahler, Op.
Cit., 192. [10] Lester R. Brown, Masa Depan Bumi (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), hal 106. [11] Ibid., 104. [12] Borrong, Op. Cit., 9. [13]
Kompas, 23 April 2007 hal 39 dengan judul “Dewan Keamanan dan Perubahan Iklim
Global” [14] Bernadette West, Panduan Pemberitaan Lingkungan Hidup (Jakarta
Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal 155. [15] Ibid. [16] Dahler, Op. Cit., 189.
[17] Borrong, Op. Cit, 16. [18] Dahler, Op. Cit., 215. [19] Ibid., 218. [20]
Ibid. [21] Ibid., 219. [22] Ibid., 220. [23] Robert P. Borrong, Teologi dan
Ekologi: Peran Pendidikan Teologi dalam Mengembangkan Teologi Ekologi (Jakarta:
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1998), 8. [24] Ibid., 10. [25] Ibid. [26] Mary
Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.), Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup
(Yogyakarta: Kanisius, 2007 cet-5), 64. [27] Borrong, Op. Cit., 11. [28]
Ibid.,12. [29] Ibid., 14. [30] Ibid., 15. [31] Tucker, Op. Cit., 262. [32] Ibid.
[33] Ibid. [34] Borrong, Op. Cit., 23. Posted by David Roestandi at 14.57
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar