A. Pendahuluan
1. Pengertian
Politik
Politik berasal dari kata Yunani, Po’lis yang
dapat diartikan kota (city). Dalam perkembangan berikutnya
kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara.
Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di
dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya.[1] Dalam
bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang
dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijakan-kebijakan public.[2] Sedangkan Miriam
Budiardjo mendefinisikan politik (Politcs) adalah ”bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melakukan tujuan-tujuan itu”.[3]
Politik jelas berbicara tentang pengaturan menyangkut
hajat hidup manusia, kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan
kelompok-kelompok di dalamnya. Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai
peraturan (regulali), pengatur (ragulator) dan pelaksana (eksekutor/pemerintah)
adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah
pada tiap negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan mengeluarkan pelbagai
kebijakan publik sesuai dengan programnya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan
yang dikeluarkan itu, muatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan
terbaca.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan
atau peraturan yang keluar dalam suatu negara, merupakan produk politik dari
rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu.
Sebab, subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan
sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok
orang. Paling tidak, para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari
suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya,
baik itu mengenai ekonomi, hukum, lingkungan hidup, pendidikan dan lain
sebagainya
2. Perspektif Kristen
Politik dari perspektif Kristen adalah
suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari
cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya adalah apa kata
Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang
sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam
realitas? Atau dengan bertanya bagaimana konsep atau doktrin politik itu
mengalami ‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah
penjelajahan menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan. Dan jawaban dari
semua pertanyaannya tersebut merupalakan point teologi politik Kristen yang
pada akhirnya menjada landasan filosofi politik Kristen.
Perkatan politik (city) muncul dengan tegas
dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city…and
pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace
you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau
mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat
Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian penataan politik adalah tidak bisa
dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi
umat di dalam Kitab Yeremia itu, tidak serta merta dibarengi dengan suatu
bentuk atau sistem, apalagi menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik
yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong
atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya?
Tampaknya, Akitab tidak memberikan suatu paku mati,
konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari
politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi
keharusan dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang
sangat fundamental: to seek peace(mengupayakan kesejahteraan)
politik. Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem
politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi
satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.
B. Dasar Alkitab
Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada
tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri
menjadi entitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki
kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat
dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari
penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat
longgar.
Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni
keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-suku Isarel terbentuk atau membentuk diri
menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi
konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah itu
yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu
perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel.
Dinamika sosial, terutama primordialisme
kesukuan, yang umum terjadi di dalam konfederasi politik yang sangat
longgar, juga melanda Israel. Kenyataan itu yang kemudian direformasi
dalam sidang raya umat, yang kemudian terkenal dengan ‘reformasi Yorua’ di
Sikhem (Yosua 24). Kekentalan keterikatan pada suku dan keluarga yang telah mentradisi,
diubah dalam sidang raya ‘liga’ suku-suku itu. Kesatuan politik
berdasar garis darah (suku) dipecah dengan konsep baru: pembagian kekuasaan
secara territorial. Yosua menjadi pionir penataan politik yang hingga pada masa
modern masih dipakai. Itulah yang disepakati di Sikhem, sebagai bentuk baru
melalui pembagian sub-sub desa dan kota.
Dalam situasi ini – meskipun Israel belum merumuskan –
tampak jelas bahwa system politik Israel adalah teokrasi. Yahwelah yang menjadi
penguasa tunggal dan hanya perintah dan peraturan-Nya saja yang benar dan harus
ditaati
1. Pemaknaan Teokrasi
a. Pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi)
atas Israel tetap dipertahankan dan diakui. Yahwe sendiri
yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan
mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya,
Daud (16) yang berasal dari suku Efrata.
b. Perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan
dasar Israel(teokrasi), tetap dipertahankan. Meskipun aspirasi
gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik, namun hal itu
diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12:
17-19).
c. Fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas
tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan
advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.
d. Proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus.
Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan
Daud. Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri
lembaga Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung
dengan Yahwe (teokrasi).
e. Dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud
ke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo, anak
haram, hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui
persaingan internal keluarga. Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan
hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya
‘mezbah’ sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya,
teokrasi Israel bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya.
Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, berpusat pada Allah yang
sama: Yahwe.
2. Berasal dari Allah
Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang
perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan
bangsa dengan datangnya pemimpin adi daya untuk menaklukkan semua orang dan
memerintah atas seluruh dunia.[4] Namun,
pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah
terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran.
Kelahiran Yesus, - yang dimaknai sebagai awal
kehadiran gereja,- memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya
bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya, tetapi
hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak
mengenal Allah. Parapengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari
politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada
siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada
Allah.
Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia
politik dirumuskan Yohanes bin Zebedius, manakala kekaisaran imperium Romawi di
tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut
Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas
itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan
yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk
final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan
mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah:
orang kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau
ilah manapun, selain Tuhan.
Situasi yang mirip pada masa Dimitianus dialami
orang-orang kristen pada masa kekairan Nero. Namun ruang lingkupnya hanya
terbatas pada orang-orang kristen di Kota Roma. Penyiksaan terhadap orang
kristen bukan tidak disebabkan persoalan loyalitas, tetapi diskriminasi antara
kristen Yahudi dan non-Yahudi. Jadi merupakan perlakuan yang
diskriminatif Namun meskipun persoalannya sederhana, penyiksaan yang
dialami sangat kejam. Dijadikan obor, digulingkan ke dalam ter yang
panas dan diserahkan kepada anjing-anjing ganas dilakukan terhadap pengikut
Kristus.
Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman
yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan
muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal
dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13:
1b) ...’karena pemerintah adalah hamba Allah…’ (13:4a). Dalam garis pemikiran
itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’ dengan batasan yang jelas:
‘…barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah…’ (Roma
13:2).
C. Aksiologi Politik
Di atas telah duberi uraian singkat
tentang arti politik, yaitu sebagai upaya untuk menata masyarakat dalam
kehidupan sejahtera. Dalam hal ini politik merupakan bagian dari rencana Allah
untuk menata umat-Nya dalam suatu kota atau Negara untuk hidup damai dengan
sesama dan lingkungan.
Seyogyanya, orang Kristen punya tugas
yang serius berkenaan tatanan politik. Umat Tuhan berusaha untuk menjalankan
roda politik sebagaimana fungsi yang sesungguhnya dari politik itu sendiri.
Jangan heran jika roda politik yang sedang kita alama saat ini tidak sesuai
dengan makna dan fungsi sebagaimana mestinya, karena hampir tidak ada para
pakar teologi yang mau berkecipung secara konsisten dalam berpolitik.
D. Sikao Orang Kristen
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang
Kristen mempunayi sikap yang berbeda terhadap politik. Secara sederhana sikap
orang Kristen terhadap politik terbagi atas dua, pertama negative dan kedua
positif
1. Sikap Negatif
a. Sikap
Apolitik.
Sikap apolitik adalah tidak peduli dengan urusan politik karena
menganggap politik sebagai urusan duniawi yang kotor yang tidak perlu dicampuri
orang Kristen yang dianggap sebagai pribadi-pribadi yang mengurus hal-hal
rohani saja.
Walau sudah banyak orang Kristen yang meninggalkan persepsi
semacam ini, namun dalam batas tertentu masih ada sebagian orang Kristen yang
menganut pandangan demikian. Dalam
hal ini Richard Dauly mengatakan
walau gereja bukan kekuatan politik, tetapi kekuatan moral, namun sikap
apolitik terlalu ekstrim.[5]
b. Sikap
Ingin Meraih Kekuasaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak orang Kristen yang telah
berkecimpung di dunia politik. Dari tahun 1999 sampai pada tahun 2004 ada
banyak partai politik Kristen seperti partai PDKB (Partai Demokrasi Kasih
Bangsa), PDS (Partai Damai Sejahtera) diluar PARKINDO (Partai Kristen Idonesia)
yang telah lama berdiri mencoba meraih kekuasaan politik.
Hal ini di luar kontek menghakimi Richard Dauly mengatakan kelahiran berbagai partai
politik Kristen belakangan ini mungkin sebagian termasuk pada kategori yang
kedua yaitu kelompok yang ingin meraih kekuasaan politik.[6] Apa yang dikemukakan oleh Richard ini
mungkin benar dan mungkin juga salah. Penulis setuju apa yang dikatakan oleh
Richard bahwa mungkin saja sebagaian partai ini hanya sekedar meraih kekuasaan
politik.
Jika diperhatikan sepertinya sikap ini muncul karena pengalaman
pahit yang pernah dialamai oleh orang Kristen di Indonesia yang sedang
dimarginalkan bahkan dianiaya. Untuk membela nasib umat Kristen di Indonesia
penganut pandangan ini bermimpi untuk masuk dalam struktur kekuasaan dalam
rangka menentukan arah pemerintahan.[7]
c. Sikap Apatis
Merupaka sikap yang
dikembangkan oleh sebagian orang Kristen untuk tidak mau tahu urusan politik,
entah karena tidak tahu atau tahu tetapi tidak mau tahu
Sikap-sikap ini telah menjadi tembok pemisah anatara politik
dengan orang Kristen terkhus teolog. Dikira bahwa dengan memiliki sikap yang
demikian maka maslah selesai dan pemberitaan firman berjalan lancer. Secata
tidak disadari, sikap ini membawa kita menjauh dan tidak menjamah politik.
2. Sikap Positif
a.
Sikap Menjadi Garam dan Terang Dunia
Sikap seperti ini berpendapat bahwa
orang Kristen di Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang dunia yang
melalui iman kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara positif,
kritis, kreatif, dan realistis.
Sikap ini timbul akan
kesadaran tugas dan tanggung jawab sebagai anak Tuhan yang membawa damai. Tugas
dan panggilan sebagai orang percaya merupakan dasar bagi orang-orang yang
berpandangan seperti ini untuk berpartisipasi di dunia politik.
b. Tanggung
Jawab Sosial Umat Allah
Berbicara mengenai partisipasi orang Kristen di dalam negara
tidak hanya terbatas pada satu bidang, tetapi menyangkut banyak bidang yang
perlu diperhatikan untuk berpartisipasi. Di atas telah panjang lebar dibahas
mengenai tanggung jawab orang Kristen sebagai orang percaya di bumi Indonesia
ini.
Pada kesempatan ini akan dibicarakan tentang tanggung jawab
orang percaya dalam hal berbangsa dan bernegara. Keterlibatan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari hidup orang percaya.[8]
Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel diajarkan untuk tidak hanya
mementingkan upacara-upacara keagamaan, tetapi juga tanggung jawab sosial
mereka (lih Yes 1:10-17). Prinsip ini kemudian ditegaskan ulang dalam
Perjanjian Baru. Orang Kristen pada masa tersebut yang hidup di bawah
pemerintah Imperium Romawi yang tidak mengenal Allah, diingatkan akan
pentingnya tanggung jawab sosial mereka (Roma 13:1-4).[9] Tidak heran jika orang Kristen
berpartisipasi dalam hal sosial karena Allah yang disembah oleh orang Kristen
adalah Allah yang berdaulat atas seisi dunia, termasuk atas pemerintah suatu
bangsa (Roma 13:1).
Allah memakai
pemerintah manusia untuk menata kehidupan sosaial manusia. Dalam hal ini orang
Kristen terpanggil untuk berpartisipasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang
sesuai dengan kehendak Tuhan, yang mencerminkan kebenaran, kasih dan
keadilan-Nya.
Jadi tanggung
jawab sosial orang Kristen merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada
pemerintah negara dikaitkan dengan tatanan sosial yang telah menjadi program
pemerintahan. Yang dimaksud adalah tatanan sosial merupakan kegiatan pemerintah
untuk menata kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang olehnya orang Kristen
bisa mengambil bagian di dalamnya.
E. Konklusi
Melalui makalah
ini, kembali kita sebagai teolog disadarkan akan tugas yang tidak kalah
mulianya dengan tugas pelayanan lainnya, yaitu bidang politik. Saatnya kita
memikirkan dasar filosofi politik yang sesuai dengan Alkitab.
Sudah seharusnya kita memberi
kontribusi untuk merancang tatanan politik yang sesuai dengan fungsinya, yaitu
menata masyarakat unutk hidup damai dan sejahtera. Perlu ditekankan kembali
bahwa, politik merupakan tugas teolog, dan berpolitik merupakan bagian dari
pemeliharaan dan pengaturan Allah terhadap manusia ciptaan-Nya.
Politik berjalan sesuai fungsi yang
semestinya, hanya jika landasan filosofinya diletakkan dengan benar sesuai
dengan sumbernya, yaitu Allah. Selagi politik dibangun hanya karena kepentingan
pribadi/golongan maka roda politik akan menjadi ajang perebutan kekuasaan.
Dalam keadaan seperti inilah
seyogyanya teolog berperan meletakkan dasar filosofi politik yang berpusat
kepada Allah, dikerjakan menurut kebenaran-Nya dan dilakukan untuk kemuliaan-Nya.
Dengan tujuan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di berbagai aspek
kehidupan, dan tanpa diskrimanasi suku, agama, bahasa, status sosial dan status
ekonomi.
[8] Lea Santoso, Jimmi Kuswadi dan Staf Perkantas. Memulai Hidup Baru. (Jakarta:
Literatur Perkantas, 2008) cet. ke- 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar