Selasa, 21 Juli 2015

Teologi Politik Kristen


A.    Pendahuluan


1. Pengertian Politik

Politik berasal dari kata Yunani, Po’lis  yang dapat diartikan kota (city). Dalam perkembangan berikutnya kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya.[1] Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan public.[2]  Sedangkan Miriam Budiardjo mendefinisikan politik (Politcs) adalah ”bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melakukan tujuan-tujuan itu”.[3]
Politik jelas berbicara tentang pengaturan menyangkut hajat hidup manusia, kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya. Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai peraturan (regulali), pengatur (ragulator) dan pelaksana (eksekutor/pemerintah) adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah pada tiap negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan mengeluarkan pelbagai kebijakan publik sesuai dengan programnya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, muatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan terbaca.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar dalam suatu negara, merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab,  subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak, para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya, baik itu mengenai ekonomi, hukum, lingkungan hidup, pendidikan dan lain sebagainya

2. Perspektif Kristen
Politik dari perspektif Kristen  adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya adalah apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam realitas? Atau dengan bertanya bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami ‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan. Dan jawaban dari semua pertanyaannya tersebut merupalakan point teologi politik Kristen yang pada akhirnya menjada landasan filosofi politik Kristen.
Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city…and pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian penataan politik adalah tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu. 
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam Kitab Yeremia itu, tidak serta merta dibarengi dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya?
Tampaknya, Akitab tidak memberikan suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi keharusan dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental: to seek peace(mengupayakan kesejahteraan) politik. Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.



B.      Dasar Alkitab

Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi entitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar.
Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-suku Isarel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel.
Dinamika sosial, terutama primordialisme kesukuan,  yang umum terjadi di dalam konfederasi politik yang sangat longgar, juga melanda Israel. Kenyataan itu yang kemudian direformasi dalam sidang raya umat, yang kemudian terkenal dengan ‘reformasi Yorua’ di Sikhem (Yosua 24). Kekentalan keterikatan pada suku dan keluarga yang telah mentradisi, diubah dalam sidang raya  ‘liga’ suku-suku itu. Kesatuan politik berdasar garis darah (suku) dipecah dengan konsep baru: pembagian kekuasaan secara territorial. Yosua menjadi pionir penataan politik yang hingga pada masa modern masih dipakai. Itulah yang disepakati di Sikhem, sebagai bentuk baru melalui pembagian sub-sub desa dan kota.
Dalam situasi ini – meskipun Israel belum merumuskan – tampak jelas bahwa system politik Israel adalah teokrasi. Yahwelah yang menjadi penguasa tunggal dan hanya perintah dan peraturan-Nya saja yang benar dan harus ditaati


1.    Pemaknaan Teokrasi 

a.         Pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan dan diakui.  Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya, Daud (16) yang berasal dari suku Efrata.
b.        Perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel(teokrasi), tetap dipertahankan.  Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik,  namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12: 17-19).
c.         Fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.
d.        Proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud. Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Yahwe (teokrasi).
e.         Dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud ke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan  Salomo, anak haram,  hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal keluarga.  Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya ‘mezbah’ sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel  bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, berpusat pada Allah yang sama: Yahwe.
           
2.        Berasal dari Allah

Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin adi daya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia.[4] Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran.
Kelahiran Yesus, - yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja,- memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan  politik teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal Allah. Parapengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.
Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin Zebedius, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang  kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan.
Situasi yang mirip pada masa Dimitianus dialami orang-orang kristen pada masa kekairan Nero. Namun ruang lingkupnya hanya terbatas pada orang-orang kristen di Kota Roma. Penyiksaan terhadap orang kristen bukan tidak disebabkan persoalan loyalitas, tetapi diskriminasi antara kristen Yahudi dan non-Yahudi. Jadi merupakan perlakuan yang diskriminatif  Namun meskipun persoalannya sederhana, penyiksaan yang dialami sangat kejam. Dijadikan obor, digulingkan ke dalam  ter yang panas dan diserahkan kepada anjing-anjing ganas dilakukan terhadap pengikut Kristus.
Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b) ...’karena pemerintah adalah hamba Allah…’ (13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’ dengan batasan yang jelas: ‘…barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah…’ (Roma 13:2).

C.      Aksiologi Politik

            Di atas telah duberi uraian singkat tentang arti politik, yaitu sebagai upaya untuk menata masyarakat dalam kehidupan sejahtera. Dalam hal ini politik merupakan bagian dari rencana Allah untuk menata umat-Nya dalam suatu kota atau Negara untuk hidup damai dengan sesama dan lingkungan.
            Seyogyanya, orang Kristen punya tugas yang serius berkenaan tatanan politik. Umat Tuhan berusaha untuk menjalankan roda politik sebagaimana fungsi yang sesungguhnya dari politik itu sendiri. Jangan heran jika roda politik yang sedang kita alama saat ini tidak sesuai dengan makna dan fungsi sebagaimana mestinya, karena hampir tidak ada para pakar teologi yang mau berkecipung secara konsisten dalam berpolitik.




D.     Sikao Orang Kristen

            Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Kristen mempunayi sikap yang berbeda terhadap politik. Secara sederhana sikap orang Kristen terhadap politik terbagi atas dua, pertama negative dan kedua positif

1.        Sikap Negatif

a.  Sikap Apolitik.
Sikap apolitik adalah tidak peduli dengan urusan politik karena menganggap politik sebagai urusan duniawi yang kotor yang tidak perlu dicampuri orang Kristen yang dianggap sebagai pribadi-pribadi yang mengurus hal-hal rohani saja.
Walau sudah banyak orang Kristen yang meninggalkan persepsi semacam ini, namun dalam batas tertentu masih ada sebagian orang Kristen yang menganut pandangan demikian.  Dalam hal ini Richard Dauly  mengatakan walau gereja bukan kekuatan politik, tetapi kekuatan moral, namun sikap apolitik terlalu ekstrim.[5]

b.  Sikap Ingin Meraih Kekuasaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak orang Kristen yang telah berkecimpung di dunia politik. Dari tahun 1999 sampai pada tahun 2004 ada banyak partai politik Kristen seperti partai PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa), PDS (Partai Damai Sejahtera) diluar PARKINDO (Partai Kristen Idonesia) yang telah lama berdiri mencoba meraih kekuasaan politik.
Hal ini di luar kontek menghakimi  Richard Dauly  mengatakan kelahiran berbagai partai politik Kristen belakangan ini mungkin sebagian termasuk pada kategori yang kedua yaitu kelompok yang ingin meraih kekuasaan politik.[6]  Apa yang dikemukakan oleh Richard ini mungkin benar dan mungkin juga salah. Penulis setuju apa yang dikatakan oleh Richard bahwa mungkin saja sebagaian partai ini hanya sekedar meraih kekuasaan politik.
Jika diperhatikan sepertinya sikap ini muncul karena pengalaman pahit yang pernah dialamai oleh orang Kristen di Indonesia yang sedang dimarginalkan bahkan dianiaya. Untuk membela nasib umat Kristen di Indonesia penganut pandangan ini bermimpi untuk masuk dalam struktur kekuasaan dalam rangka menentukan arah pemerintahan.[7]

c. Sikap Apatis
Merupaka sikap yang dikembangkan oleh sebagian orang Kristen untuk tidak mau tahu urusan politik, entah karena tidak tahu atau tahu tetapi tidak mau tahu

                Sikap-sikap ini telah menjadi tembok pemisah anatara politik dengan orang Kristen terkhus teolog. Dikira bahwa dengan memiliki sikap yang demikian maka maslah selesai dan pemberitaan firman berjalan lancer. Secata tidak disadari, sikap ini membawa kita menjauh dan tidak menjamah politik.

2.    Sikap Positif

a. Sikap Menjadi Garam dan Terang Dunia
 Sikap seperti ini berpendapat bahwa orang Kristen di Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang dunia yang melalui iman kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara positif, kritis, kreatif, dan realistis.
Sikap ini timbul akan kesadaran tugas dan tanggung jawab sebagai anak Tuhan yang membawa damai. Tugas dan panggilan sebagai orang percaya merupakan dasar bagi orang-orang yang berpandangan seperti ini untuk berpartisipasi di dunia politik.

b. Tanggung Jawab Sosial Umat Allah
Berbicara mengenai partisipasi orang Kristen di dalam negara tidak hanya terbatas pada satu bidang, tetapi menyangkut banyak bidang yang perlu diperhatikan untuk berpartisipasi. Di atas telah panjang lebar dibahas mengenai tanggung jawab orang Kristen sebagai orang percaya di bumi Indonesia ini.
Pada kesempatan ini akan dibicarakan tentang tanggung jawab orang percaya dalam hal berbangsa dan bernegara. Keterlibatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup orang percaya.[8]
Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel diajarkan untuk tidak hanya mementingkan upacara-upacara keagamaan, tetapi juga tanggung jawab sosial mereka (lih Yes 1:10-17). Prinsip ini kemudian ditegaskan ulang dalam Perjanjian Baru. Orang Kristen pada masa tersebut yang hidup di bawah pemerintah Imperium Romawi yang tidak mengenal Allah, diingatkan akan pentingnya tanggung jawab sosial mereka (Roma 13:1-4).[9] Tidak heran jika orang Kristen berpartisipasi dalam hal sosial karena Allah yang disembah oleh orang Kristen adalah Allah yang berdaulat atas seisi dunia, termasuk atas pemerintah suatu bangsa (Roma 13:1).
Allah memakai pemerintah manusia untuk menata kehidupan sosaial manusia. Dalam hal ini orang Kristen terpanggil untuk berpartisipasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang sesuai dengan kehendak Tuhan, yang mencerminkan kebenaran, kasih dan keadilan-Nya.
Jadi tanggung jawab sosial orang Kristen merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada pemerintah negara dikaitkan dengan tatanan sosial yang telah menjadi program pemerintahan. Yang dimaksud adalah tatanan sosial merupakan kegiatan pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang olehnya orang Kristen bisa mengambil bagian di dalamnya.

E.      Konklusi

Melalui makalah ini, kembali kita sebagai teolog disadarkan akan tugas yang tidak kalah mulianya dengan tugas pelayanan lainnya, yaitu bidang politik. Saatnya kita memikirkan dasar filosofi politik yang sesuai dengan Alkitab.
            Sudah seharusnya kita memberi kontribusi untuk merancang tatanan politik yang sesuai dengan fungsinya, yaitu menata masyarakat unutk hidup damai dan sejahtera. Perlu ditekankan kembali bahwa, politik merupakan tugas teolog, dan berpolitik merupakan bagian dari pemeliharaan dan pengaturan Allah terhadap manusia ciptaan-Nya.
            Politik berjalan sesuai fungsi yang semestinya, hanya jika landasan filosofinya diletakkan dengan benar sesuai dengan sumbernya, yaitu Allah. Selagi politik dibangun hanya karena kepentingan pribadi/golongan maka roda politik akan menjadi ajang perebutan kekuasaan.
            Dalam keadaan seperti inilah seyogyanya teolog berperan meletakkan dasar filosofi politik yang berpusat kepada Allah, dikerjakan menurut kebenaran-Nya dan dilakukan untuk kemuliaan-Nya. Dengan tujuan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di berbagai aspek kehidupan, dan tanpa diskrimanasi suku, agama, bahasa, status sosial dan status ekonomi.
           



        

[1] Saut Sirait, Politik dari Perspektif Kristen di Indonesia, 2009
[2] Ibid
[3]  Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:  PT Gramedia Pustaka Utama,  2006)  cet. ke
[5] www.pgi.or.id  diakses 12 Maret 2008.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Lea Santoso,  Jimmi Kuswadi dan Staf Perkantas. Memulai Hidup Baru. (Jakarta: Literatur Perkantas, 2008) cet. ke- 28.
[9] Ibid
Diposkan  oleh 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar