“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’” – Ibrani 13:4-5
Sungguh menarik bahwa orang
Ibrani menempatkan uang dan tempat tidur dalam pernikahan secara berdampingan.
Saya ragu kalau hal ini sekadar kebetulan, karena kebanyakan konselor sekarang
ini menempatkan uang dan hubungan seks di dekat bagian atas dari daftar
persoalan di dalam pernikahan. Kesepakatan dalam perkara uang dan keharmonisan
di tempat tidur dalam pernikahan tampaknya tidak bisa dicapai dengan mudah.
Fokus kita dalam bab ini adalah tentang hubungan seks dalam pernikahan, bukan
tentang uang.
“Hendaklah kamu semua penuh
hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur.”
Artinya, biarlah hubungan seks tetap terjaga murni, bersih, bebas dari kecemaran.
Semua perkataan sepert “tidak ternoda”, “murni”, “bersih”, “tanpa kecemaran”
hanyalah metafora yang dapat dilihat atau dapat diraba untuk tuntutan amoral,
yaitu jangan berbuat dosa dengan hubungan seks dalam pernikahan. Tetapi, apa
dosa itu? Dosa adalah perbuatan atau perilaku apa saja yang tidak berkenan di
hadapan Tuhan. Saya pikir akan sangat menolong bila kita berfokus pada sifat
dosa yang utama karena ini berkaitan dengan kekuatan positif yang besar di
dalam kehidupan Kristen, yaitu iman. Ibrani 11:6 mengatakan, “Tetapi tanpa iman
tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.” Hal ini menyiratkan dua hal, yaitu:
1.
Karena dosa adalah apa saja yang tidak berkenan di hadapan Tuhan
dan karena tanpa iman Anda tidak dapat berkenan kepada Allah, maka apabila Anda
tidak memiliki iman, segala sesuatu yang Anda lakukan adalah dosa, karena
segala yang Anda lakukan tidak berkenan di hadapan Tuhan.
2.
Hal ini sangat menunjukkan bahwa pasti ada suatu koneksi yang
dekat yang mungkin merupakan hubungan sebab-akibat di antara tidak adanya iman
dan dosa. Roma 14:23 menegaskan adanya hubungan seperti itu. Dikatakan, “Segala
sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Dengan kata lain, sifat yang
utama dari perbuatan dan perilaku yang kita namakan dosa adalah bahwa perbuatan
dan perilaku itu tidak ditimbulkan atau dimotivasi oleh hati yang beriman. Hal
yang membuat suatu perilaku atau perbuatan tidak berkenan kepada Allah adalah
bahwa perilaku atau perbuatan itu tidak bertumbuh dari iman di dalam Tuhan.
Dosa adalah jahat karena kegagalannya untuk menjadi produk dari iman.
Iman, Dosa, dan Hubungan Seks
di Dalam Pernikahan
Kita perlu menjelaskan
bagaimana halnya bahwa perbuatan kita berasal “dari iman” atau bukan dari iman.
Pertama-tama, iman apakah yang menghasilkan perilaku dan perbuatan yang bukan
dosa? Ibrani 11:1 mengatakan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita
harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dengan kata
lain, iman adalah keyakinan yang kita rasakan dalam hal-hal yang baik yang
sudah Tuhan janjikan akan dilakukan-Nya bagi kita besok dan sampai kepada
kekekalan. Kita tidak dapat melihat hal-hal itu, tetapi iman adalah dasar bahwa
janji-janji yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Ibrani 11:6 mengatakan,
“Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa
berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah
memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”
Dengan kata lain, iman yang
berkenan kepada Allah adalah datangnya kita kepada Dia dengan keyakinan bahwa,
sekalipun barangkali tidak sesuai dengan apa yang kelihatan, Ia akan memberi
upah kepada kita dengan segala hal baik yang sudah Ia janjikan.
Sekarang, bagaimana iman
seperti itu dapat menghasilkan perilaku dan perbuatan yang bukan dosa? Mari
kita lihat kembali Ibrani 13:5, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan
cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Cinta akan uang adalah hasrat
yang tidak berkenan kepada Allah; ini dosa. Di dalam 1 Timotius 6:10 dikatakan,
“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.” Penangkal untuk cinta yang
penuh dosa ini dan semua kejahatan yang tumbuh darinya adalah rasa cukup.
“Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Tetapi penulis ayat ini tidak
membiarkan kita sampai di sini untuk memulai rasa cukup. Ia melanjutkan dengan
memberikan dasar bagi rasa cukup itu “Karena Allah telah berfirman: ‘Aku
sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan
meninggalkan engkau.’” Dasar bagi rasa cukup itu adalah janji Allah akan
pertolongan dan persekutuan yang tidak akan terhenti. Janji itu diambil dari
Ulangan 31:6, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan
gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai
engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”
Maka penulis surat kepada orang
Ibrani mengatakan bahwa Allah telah membuat janji-janji yang menenangkan,
meyakinkan dan membangkitkan pengharapan di dalam firman-Nya bahwa apabila kita
memiliki iman di dalam janji-janji ini, kita akan merasa cukup. Dan rasa cukup
itu akan menjadi penangkal terhadap cinta uang yang merupakan akar dari segala
jenis kejahatan.
Sekarang kita bisa melihat
dengan lebih jelas bagaimana sebuah perbuatan atau perilaku datang “dari iman”
atau bukan. Apabila kita tidak memiliki iman, apabila kita tidak percaya akan
janji Tuhan yang mengatakan “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan
Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”, maka kita akan merasa gelisah
dan tidak aman, sehingga kuasa uang yang menipu untuk membeli rasa aman dan
damai sejahtera akan begitu memikat, sehingga akan mulai menghasilkan
kejahatan-kejahatan yang lain di dalam diri kita. Kita akan cenderung mencuri,
atau berbohong dalam hal pajak pendapatan, atau mencari-cari alasan supaya kita
tidak usah memberi dengan berlimpah kepada gereja, atau dengan seenaknya
melupakan hutang kita kepada teman, atau tidak mau mengeluarkan uang sedikit
pun untuk membuat rumah yang kita sewa menjadi lebih indah, dan sebagainya, dan
sebagainya. Kejahatan yang berasal dari cinta uang tidak ada habisnya. Dan
alasan kejahatan-kejahatan ini merupakan dosa adalah karena semuanya tidak
berasal dari iman.
Kalau kita mempunyai iman pada
janji, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak
akan meninggalkan engkau”, maka kita akan bebas dari kegelisahan dan perasaan
tidak aman karena mengejar lebih banyak uang, dan kita akan memperoleh
kemenangan atas dosa yang diakibatkan oleh cinta uang. Apabila Anda merasa
cukup di dalam Kristus, dan berada di dalam janji Tuhan bahwa Ia akan selalu
menolong Anda dan menyertai di samping Anda, maka desakan untuk mencuri dan
berbohong dalam hal pajak pendapatan, dan menahan pemberian, atau mengabaikan
hutang, dan menekan penyewa yang kurang mampu akan lenyap. Sebaliknya, akan
muncul pekerjaan sehari-hari yang jujur, akurasi yang lengkap pada pajak
pendapatan, kemurahan hati kepada gereja, kesetiaan untuk melunasi hutang, dan
memperlakukan orang-orang yang menyewa kepada Anda dengan perlakuan seperti
yang Anda inginkan untuk Anda dapatkan dari mereka. Maka semua perilaku yang
baru ini bukanlah dosa melainkan kebenaran, karena berasal dari iman kepada
janji Tuhan yang memberikan pengharapan.
Sekarang, seandainya saja Anda
kehilangan kontak antara semua ini dan hubungan seks di dalam pernikahan, mari
kita kembali dan mengambil benang merahnya. Ibrani 13:4 mengatakan, “Hendaklah
kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan
tempat tidur.” Ini berarti, “hendaknya kita menjaga agar tempat tidur tanpa
dosa; jadi, jangan berbuat dosa dalam hubungan seks Anda.” Sekarang kita sudah
melihat bahwa dosa adalah apa saja yang bukan berasal dari iman. Dosa adalah
apa yang Anda rasakan dan pikirkan dan lakukan ketika Anda tidak mengikuti
firman-Nya dan tinggal di dalam janji-janji-Nya. Jadi, perintah di dalam Ibrani
13:4 dapat dinyatakan seperti ini: Jagalah agar hubungan seks Anda bebas dari
segala perbuatan dan perilaku yang tidak berasal dari iman di dalam firman
Allah. Atau, jika ingin dikatakan secara positif: Milikilah perilaku dan
lakukan perbuatan di dalam hubungan seks dalam pernikahan Anda yang bertumbuh
dari rasa puas yang berasal dari keyakinan kepada janji-janji Allah.
Mengapa mencari kepuasan seks
di dalam pernikahan?
Tetapi sekarang mendadak timbul
masalah. Ada orang yang mungkin bertanya, “Kalau saya sudah merasa cukup di
dalam iman saya kepada janji-janji Allah, mengapa saya masih harus mencari-cari
kepuasan seks?” Ini sebuah pertanyaan yang bagus. Dan jawaban pertamanya
adalah, “Mungkin Anda tidak usah mencari-cari kepuasan seks; mungkin Anda
sebaiknya melajang saja.” Inilah yang dinasihatkan Paulus di dalam 1 Korintus
7:6-7. Ia mengatakan, “Hal ini kukatakan sebagai kelonggaran, bukan perintah,
supaya setiap orang menikah dan mendapatkan kepuasan seksual. Apa yang
kukatakan adalah bahwa nafsu seks adalah baik, dan bagi orang yang memiliki
hasrat yang terus mendesak, pernikahan adalah tempat yang terbaik untuk
mendapatkan kepuasan.” Tetapi di ayat 7 ia mengatakan, “Aku berharap bahwa
semua orang seperti aku (lajang). Tetapi masing-masing memiliki karunianya yang
khas dari Tuhan, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.” Ayat ini
benar-benar luar biasa. Paulus berharap bahwa semua orang melajang seperti
dirinya: bebas dari segala kerumitan dalam kehidupan berkeluarga dan dari
desakan kuat dari keinginan untuk menikah. Tapi ia tahu, itu bukan kehendak
Tuhan: “Masing-masing mendapat karunianya sendiri dari Tuhan.” Tuhan
menghendaki agar ada orang yang menikah dan ada pula yang melajang. Dia tidak
memberi kepada semua orang kondisi seperti Paulus; ada yang diberinya seperti
Petrus, yang membawa istrinya dalam perjalanan misionarisnya (1 Korintus 9:5).
Jadi, jawaban pertama untuk pertanyaan, “Jika saya puas dengan iman kepada
janji-janji Tuhan, mengapa saya harus mencari kepuasan seks?” adalah,
“Barangkali sebaiknya Anda tidak menikah. Mungkin Tuhan menghendaki Anda untuk
melajang.” Tetapi ada jawaban kedua untuk pertanyaan ini, yaitu kenyamanan yang
Tuhan janjikan akan diberikan-Nya bukan berarti akhir dari semua hasrat,
terutama hawa nafsu jasmani. Bahkan Yesus, yang iman-Nya sempurna pun merasa
lapar dan menginginkan makanan dan juga merasa lelah dan ingin istirahat. Nafsu
seks pun ada dalam kategori ini. Kebahagiaan karena iman tidak membawa pergi
semuanya seperti hilangnya rasa lapar dan lelah. Lalu, apa artinya kebahagiaan
atau kepuasan dalam hubungannya dengan hawa nafsu seks yang terus
berkelanjutan? Saya pikir ada dua artinya, yaitu:
1.
Apabila pemuasan terhadap hasrat itu disangkal dengan melajang,
maka penyangkalan itu akan digantikan dengan pertolongan Tuhan dan persekutuan
melalui iman dalam porsi yang berlimpah-limpah. Di dalam Filipi 4:11–13 Paulus
berkata, “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar
mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu
apa itu kelimpahan… Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku.” Paulus belajar untuk menjadi puas (kenyang) dalam
kelaparan; jadi, kita pun bisa belajar untuk menjadi puas apabila Tuhan
menentukan untuk tidak memberikan pemuasan seksual kepada kita.
2.
Arti lain dari pemuasan dalam hubungannya dengan hawa nafsu seks
adalah: andaikata pemuasan tidak disingkirkan dari kita melainkan diberikan
kepada kita di dalam pernikahan, kita pun akan mencarinya dan menikmatinya
hanya dengan cara yang merefleksikan iman kita. Dengan kata lain, meskipun
pemuasan atas iman tidak mengakhiri rasa lapar kita, keletihan kita, maupun
nafsu seksual kita, pemuasan ini tidak mengubah cara kita dalam memuaskan
hasrat tersebut. Iman tidak membuat kita berhenti dari makan, tetapi iman
menghentikan kita dari kebiasaan makan terlalu banyak; iman tidak membuat kita
berhenti dari tidur, tetapi menjaga kita untuk tidak menjadi pemalas yang suka
banyak tidur. Iman tidak menghentikan hawa nafsu seks, tetapi… Tetapi apa?
Inilah yang akan kita jawab pada bagian selanjutnya dari bab ini, walaupun
tempat yang tersedia hanya memungkinkan jawaban yang sangat sedikit.
Iman Memercayai bahwa Seks Itu
Karunia yang Baik dari Allah
Pertama-tama, ketika telinga
iman mendengar firman dari 1 TImotius 4:4 bahwa “Karena semua yang diciptakan
Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan
syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” – ketika
telinga iman mendengar hal ini, telinga pun percaya. Dan iman pun menghormati
tubuh dan hawa nafsunya sebagai karunia Allah yang baik. Iman tidak akan
memperkenankan pasangan yang sudah menikah untuk berbaring-baring di atas
ranjang lalu berkata kepada satu sama lain, “Apa yang kita lakukan ini kotor,
karena sama dengan apa yang mereka lakukan di dalam film-film porno.”
Sebaliknya, iman justru akan berkata, “Allah menciptakan perbuatan ini, dan ini
baik, dan ini “dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal
kebenaran” (1 Tim. 4:3). Dunialah yang telah merampas karunia Allah dan
menyelewengkannya dengan penyalahgunaan. Tetapi itu adalah hak anak-anak Allah,
jadi iman tidak akan membiarkan kita memandangnya sebagai duniawi atau cemar.
“Biarlah ranjang pernikahan terus dihormati oleh semuanya dan ranjang
pernikahan tidak dijadikan tercemar.”
Iman Membebaskan dari Perasaan
Bersalah di Masa Lalu
Yang kedua, iman meningkatkan
sukacita dari hubungan seksual di dalam pernikahan, karena iman membebaskan
dari perasaan bersalah di masa lampau. Saya lihat banyak orang yang, terutama
sudah menikah tetapi melihat ke belakang kepada perbuatan di masa lalu, seperti
percabulan, perzinahan, inses, perilaku homoseks, bertahun-tahun tenggelam
dalam kebiasaan masturbasi, dikuasai oleh pornografi, bercumbu dengan banyak
pasangan (berganti-ganti pasangan), atau bercerai. Dan apa yang perlu saya katakan
kepada kita semua adalah: Apabila di dalam hati Ada tertanam dengan setulusnya,
oleh karena kasih karunia Allah, yang melontarkan Anda pada belas kasihan Tuhan
demi pengampunan, maka Ia akan memerdekakan Anda dari perasaan bersalah di masa
lalu.
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada
di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1).
“Tetapi kalau ada orang yang
tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya
diperhitungkan menjadi kebenaran” (Roma 4:5).
“Berbahagialah orang yang
diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang
kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!”
(Mazmur 32:1-2).
“Tidak dilakukan-Nya kepada
kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal
dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya
kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat,
demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita” (Mazmur 103:10-12).
“Jika kita mengaku dosa kita,
maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan
menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yoh. 1:9).
Tidak ada perlunya bagi seorang
anak Tuhan untuk membawa perasaan berdosa ke ranjang pernikahan. Namun itu
membutuhkan iman yang solid karena Setan suka membuat kita merasa tidak
diampuni karena kebusukan di dalam hidup kita di masa lalu. “Lawanlah dia
dengan iman yang teguh” (1 Petrus 5:9). “Dalam segala keadaan pergunakanlah
perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah
api dari si jahat” (Efesus 6:16) – iman kepada Anak Allah yang mengasihi Anda
dan memberikan diri-Nya kepada Anda (Galatia 2:20), yang demi kepentingan Anda
dibuat menjadi dosa yang mana seharusnya Andalah yang menanggung dosa itu – dan
datang dengan kebenaran Allah (2 Korintus 5:21), yang menanggung dosa Anda di
dalam tubuh-Nya di atas kayu salib (1 Petrus 2:24). Berpeganglah pada
pengampunan Anda, dan ambillah bersama Anda ke ranjang pernikahan.
Kristus mati untuk dosa Anda
sehingga Anda bisa memiliki hubungan seksual yang bebas dari perasaan bersalah
di dalam pernikahan. Sekarang izinkan saya menjelas sesuatu yang sudah saya
katakana sebelumnya, yaitu bahwa sekalipun perasaan bersalah karena dosa kita
dapat dicuci bersih, bekas-bekas goresan itu tetap ada. Saya bayangkan satu
pasangan yang akan bertunangan duduk bersama di sebuah taman. Si pria menengok
kepada di wanita sambil berkata, “Ada yang harus kukatakan kepadamu. Dua tahun
yang lalu aku melakukan hubungan seks dengan seorang wanita lain. Aku jauh dari
Tuhan waktu itu, dan hanya satu malam itu saja. Aku sudah berkali-kali
menangisi kejadian satu malam itu. Aku percaya Tuhan sudah mengampuniku dan
kuharap kau pun bisa mengampuniku.” Pada minggu-minggu selanjutnya, tanpa air
mata, wanita itu mengampuni pria tadi, dan mereka pun menikah. Dan pada malam
pertama, mereka berbaring bersama, dan ketika pria itu memandangi istrinya, air
mata mengembang di mata istrinya dan si pria pun berkata, “Ada apa?” Dan si
istri menjawab, “Aku tak bisa tahan untuk tidak memikirkan perempuan itu, yaitu
ia berbaring di sini di tempatku sekarang.” Dan bertahun-tahun kemudian, ketika
kebugaran tubuh istrinya sudah terkikis, suami ini dalam kesembronoan imajinasinya
mundur ke belakang kepada satu malam yang menjeratnya itu. Itulah yang saya
maksud dengan goresan bekas luka. Dan kita semua mempunyai bekas luka seperti
itu. Kita semua sudah berbuat dosa, dan meskipun diampuni, kita telah membuat
kehidupan kita di saat sekarang lebih bermasalah daripada andaikata kita tidak
berbuat dosa.
Tetapi saya tidak ingin memberi
kesan bahwa Kristus tidak berkuasa atas bekas-bekas luka seperti itu. Mungkin
saja Ia tidak menyingkirkan semua masalah yang ditimbulkan oleh bekas-bekas
luka itu, tetapi Ia sudah berjanji untuk bekerja bahkan pada semua masalah ini
demi kebaikan kita apabila kita mengasihi Dia dan terpanggil sesuai dengan
kehendak-Nya.
Perhatikan contoh pasangan yang
baru saja saya ceritakan di atas. Saya lebih suka berpikir bahwa akan ada akhir
yang menyenangkan dan membahagiakan. Akhirnya mereka sampai pada suatu hubungan
seksual yang memuaskan karena mereka telah bekerja, menggarapnya secara terbuka
dengan doa yang konstan dan mengandalkan kasih karunia Tuhan. Mereka
membicarakan semua perasaan mereka. Tidak ada apa pun yang disimpan lgi. Mereka
saling percaya satu sama lain dan saling membantu satu sama lain, dan mereka
menemukan jalan mereka menuju kepada damai sejahtera dan keharmonisan seksual,
dan di atas semua itu, mereka mendapatkan dimensi yang baru dari kasih karunia
Allah.
Kristus mati bukan hanya supaya
di dalam Dia kita memiliki hubungan seksual dalam pernikahan yang bebas rasa
bersalah, tetapi juga supaya selanjutnya Ia, bahkan melalui bekas-bekas luka kita,
memberikan kebaikan-kebaikan rohani.
Iman Menggunakan Seks sebagai
Senjata Melawan Setan
Sekarang hal ketiga yang dapat
kita katakan tentang iman dan hubungan seksual di dalam pernikahan adalah bahwa
iman menggunakan seks untuk melawan Setan. Lihat 1 Korintus 7:3-5.
Suami harus memberikan kepada
istrinya hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan suami istri dan demikian juga
istri harus memberikan hak seperti itu kepada suami. Karena istri tidak
menguasai tubuhnya sendiri, tetapi suaminya; begitu juga suami tidak menguasai
tubuhnya sendiri, tetapi istrinya. Jangan saling menolak satu sama lain,
kecuali barangkali dengan kesepakatan untuk suatu jangka waktu tertentu, supaya
Anda dapat merenung sendiri dalam doa, tetapi kemudian berkumpul bersama lagi,
agar Setan tidak mencobai Anda lewat kekurangan Anda dalam penguasaan diri.
Di dalam Efesus 6:16, Paulus
mengatakan supaya kita menangkis Setan dengan perisai iman. Di sini ia
berbicara kepada orang-orang yang sudah menikah, “Tangkislah Setan dengan
hubungan seks yang cukup. Jangan ‘berpuasa’ terlalu lama, tetapi segeralah
berkumpul kembali, supaya Setan tidak memiliki pijakan kaki.” Nah, yang mana
ini? Apakah kita memagari diri kita sendiri dari Setan dengan perisai iman atau
perisai seks?
Jawaban bagi orang-orang yang
sudah menikah adalah bahwa iman memanfaatkan hubungan seks sebagai sarana kasih
karunia. Bagi orang-orang yang Tuhan tuntun ke dalam pernikahan, hubungan seks
adalah sarana yang sudah Tuhan tetapkan untuk mengalahkan godaan dosa (yakni
dosa percabulan, dosa berfantasi, dosa membaca bacaan-bacaan porno, dan
sebagainya). Iman akan dengan rendah hati menerima karunia seperti itu dan
membalasnya dengan ucapan syukur.
Sekarang perhatikan satu hal
lain di dalam 1 Korintus 7:3-5. Ini sangat penting. Di dalam ayat 4 Paulus
mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas tubuh lawannya
masing-masing. Pada waktu dua orang menjadi satu, tubuh mereka saling diberikan
kepada pasangannya. Masing-masing memiliki hak untuk mengklaim tubuh
pasangannya demi mendapatkan kepuasan seksual. Namun apa yang benar-benar perlu
kita perhatikan adalah apa yang diperintahkan Paulus di dalam ayat 3 dan 5
sehubungan dengan hak yang saling menguntungkan ini. Ia tidak mengatakan,
“Jadi, rebut klaimmu! Ambil hakmu!” Ia mengatakan, “Suami, berikan kepada
istrimu haknya! Istri, berikan kepada suamimu haknya!” (ayat 3). Dan di dalam
ayat 4, “Jangan saling menolak satu sama lain.” Dengan kata lain, ia tidak
mendorong suami maupun istri yang ingin mendapatkan kepuasan seksual untuk
merebutnya tanpa memperhatikan kepentingan pasangannya. Sebaliknya, ia mendesak
agar suami dan istri selalu siap untuk memberikan tubuh mereka ketika yang lain
menginginkannya.
Saya mengambil kesimpulan dari
hal ini dan dari pengajran Yesus secara umum bahwa hubungan seks yang
menyenangkan dan memuaskan di dalam pernikahan akan tergantung pada
masing-masing pasangan dalam kehendaknya untuk memberikan kepuasan kepada
pasangannya. Jika masing-masing bersukacita dalam membuat pasangannya bahagia,
maka ratusan masalah akan dapat diselesaikan.
Suami-suami, jika Anda bahagia
dalam memberi kepuasan kepada istri Anda, Anda akan peka terhadap apa yang ia
butuhkan dan inginkan. Anda akan belajar bahwa persiapan untuk mendapatkan
kepuasan dalam hubungan seks pada pukul 10 malam sudah dimulai dengan kata-kata
lembut pada pukul 7 pagi dan terus berlanjut sepanjang hari dalam bentuk
kebaikan dan sikap hormat. Dan ketika tiba waktunya, Anda tidak akan maju
seperti sebuah tank, tetapi Anda akan mengetahui irama istri Anda dan
membawanya naik dengan terampil. Kecuali istri Anda memberi sinyal, Anda akan
berkata, “Klimaks istri saya, bukan klimaks saya, adalah sasarannya.” Dan Anda
akan mendapati dalam jangka panjang bahwa jauh lebih diberkati memberi daripada
menerima.
Istri-istri, tidak selalu,
tetapi sering kali suami Anda menginginkan hubungan seks lebih sering daripada
Anda sendiri. Martin Luther mengatakan dua kali seminggu sudah bisa menjadi
pelindung yang cukup terhadap penggoda. Saya tidak tahu apakah Katie selalu
siap setiap kali atau tidak. Tetapi, biarpun Anda tidak siap, berikanlah. Saya
tidak mengatakan kepada para suami, “Ambil saja kalau begitu.” Sebenarnya, demi
istri Anda, Anda bisa saja melangkah keluar. Tujuannya adalah saling melampaui
dalam hal memberi apa yang dibutuhkan pasangannya. Bagi Anda berdua, jadikan
ini sebagai sasaran untuk saling memuaskan satu sama lain sepuas-puasnya.
“Semoga pernikahan dijalankan
dengan saling menghormati semuanya, dan jaga agar ranjang pernikahan tidak
tercemar.” Yaitu dengan cara tidak berbuat dosa di dalam hubungan seks Anda.
Dan itu berarti berperilaku dan berbuat hanya dengan tindakan yang berasal dari
iman di dalam janji-janji Tuhan yang memberi pengharapan. Kita semua harus
sering bertanya kepada diri sendiri, “Apakah segala yang saya rasakan atau
lakukan berakar di dalam penggenapan iman atau di dalam perasaan tidak aman
yang menggelisahkan dari seorang yang tidak percaya?” Ini akan menolong Anda
dalam ratusan keputusan etis, baik kecil maupun besar.
Saya sudah mencoba
memperlihatkan dampak iman pada tiga aspek hubungan seks di dalam pernikahan.
Pertama, iman memercayai Tuhan ketika Ia mengatakan bahwa hubungan seks di
dalam pernikahan itu baik dan bersih dan harus diterima dengan ucapan syukur
oleh mereka yang percaya dan mengenal kebenaran. Kedua, iman meningkatkan
sukacita dari hubungan seks di dalam pernikahan karena iman membebaskan dari perasaan
bersalah di masa lampau. Iman memercayai janji bahwa Kristus mati bagi semua
dosa kita, bahwa di dalam Dia kita akan dapat menikmati hubungan seks di dalam
pernikahan yang bebas dari rasa bersalah. Dan yang terakhir, iman menggunakan
senjata hubungan seks untuk melawan Setan. Hubungan seks yang saling memuaskan
pasangan satu sama lain akan menjadi pukulan yang sangat keras pada kepala ular
tua itu. Saya hanya ingin memuji Tuhan ketika berpikir bahwa di atas semua
sukacita yang dihasilkan dari sisi seksual di dalam pernikahan, sisi seksual
ini juga terbukti merupakan senjata yang menakutkan bagi musuh lama kita.
Oleh John Piper Mengenai Pernikahan
Bab 4 buku Mempersiapkan Diri untuk Menikah: Bantuan bagi Pasangan
Kristen
Terjemahan
oleh Yahya Kristiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar