Konsepsi
Manusia,
beraktivitas untuk mempertahankan hidupnya dengan melakukan kerja, agar
kebutuhan hidup terpenuhi. Aktivitas kerja manusia sangat bergantung dari apa
yang ada pada alam: air, udara, kayu, laut, tumbuhan, api, angin, arus
sungai/laut, panas bumi, gunung, mineral, tambang, dsb. Karena itulah, hubungan
manusia dan alam haruslah hubungan yang baik dan berkelanjutan, karena manusia
adalah makhluk yang bisa menciptakan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan
hidup, mengolah apa yang disediakan alam. Sehingga, inter-relasi manusia
dan alam dinyatakan oleh Doug Lorimer sebagai “Pengaruh alam atas manusia
semuanya terjadi secara spontan, tapi pengaruh masyarakat pada alam selalu
sebagai hasil dari aktivitas manusia demi kehidupannya, yang dilakukannya secara
sadar. Di samping memang bertujuan merubah alam, aktivitas manusia juga
memperoleh hasil-hasil yang tak terbayangkan sehingga, dalam banyak kasus,
kemudian menyebabkan manusia kehilangan banyak hal”.
Darwin(isme)
dan Marx(isme)
Adalah
dua arus pemikiran penting yang akan dibahas dalam buku ini meski, Darwinisme
lebih banyak dielaborasi hanya dalam wilayah sains-biologisme dan sosial
ekstrim yang dibongkar kemudian oleh dialektika materialisme alam yang
non-mekanis, non-reduksionis sehingga, meletakkan proses alam, biologisme dan
implikasi sosialnya dalam konteks dialektis. Namun begitu, konsepsi dialektika
alam Marx banyak dipengaruhi oleh Darwin dimana keduanya sedikit banyak saling
dipengaruhi filsafat alam materialis klasik seperti Epicurus. Konsekuensi logis dari
Darwin(isme) terhadap filsafat materialis Marx benar-benar penting untuk
dimaknai. Bahwa, kata Foster, antara mahluk hidup dan alam memiliki
inter-relasi (saling-hubungan) yang tidak otonom namun, merupakan sebuah
satu-kesatuan antara dialektis.
Selain
itu, masih dalam buku ini, kita tidak bisa melarikan diri dari bangunan
filsafat Materialisme Marx dan, tentunya, jangan terburu-buru pula ber-apriori
terhadap asal muasal azali penciptaan alam yang banyak dijelaskan oleh sains ketimbang penjelasan yang bersifatilahiah,
meski hal ini memang belum cukup membuktikan sebesar apa kasih sayang Marx
terhadap ekologi seperti yang dikatakan kaum ekologis. Namun, berangsur-angsur,
anggapan tersebut sepertinya mulai pudar dengan datangnya pembelaan dari ahli
geografi Italia, Massimo Quaini dalam bukunya Geography
and Marxism, kepada Marx yang menyatakan bahwa “Marx… mengecam
perampasan alam sebelum nurani ekologis borjuis tumbuh”. Karena, konsepsi
alienasi juga muncul ketika manusia melakukan aktifitas kerja, karena perilaku
manusia terhadap alam (dalam konsep kapitalisme) dipandang hanya sebagai
hubungan pemanfaatan untuk nilai tukar ekonomis (akumulasi modal).
Menjawab
intepretasi bahwa Marx kurang perhatian kepada Ekologi
JB
Foster bisa menjadi orang pertama yang sangat menolak dan menentang intepretasi
tersebut karena, menurut Foster, Marx begitu peduli lingkungan, dibuktikan
dengan menulis tentang Krisis Ekologi dan Langkah Penanggulangannya, juga
mendorong adanya diskursus ekologi dalam Grundrisse dan Manuskrip
Tentang Ekonomi dan Filsafat. Tentu itu saja belumlah cukup.
Mula-mula
Marx berkenalan dengan realita ekologi.
Seperti
ketika awal Marx merasa karir akademiknya tidak bisa diharapkan lagi seiring
dengan direpresinya seluruh unsur Hegelian Muda radikal di Prussia. Saat itu,
jurnalisme adalah pilihan berikutnya dari situasi yang menempa Marx. Rheinische Zeitung adalah Koran besar provinsi dimana
Marx menjadi redakturnya. Isu pertama yang dia tuliskandi Koran adalah tentang
perdebatan hukum atas pencurian kayu. Yang kemudian Marx mengembangkan analisa
tentang penghapusan hak-hak tanah atas petani kecil yang sebelumnya disebut
sebagai Tanah Bersama. Perangkat undang-undang tersebut muncul seiring dengan
pertumbuhan industri dan menguatnya gagasan sistem kepemilikian pribadi.
Padahal, ketika itu petani kecil secara tradisional memanfaatkan hutan dengan
mengambil kayu mati dan pohon tumbang untuk perapian dan memasak, hingga para
tuan tanah akhirnya melarang bahkan sekedar berburu atau melintas hutan, secara
hukum, petani kecil tersebut bisa dijerat dengan pasal pencurian, hukumannya
sama dengan pencurian kayu hidup. Perampasan hak ulayat rakyat semakin banyak
disebabkan munculnya kebutuhan dari para pemilik hutan untuk memberikan “nilai”
pada hutannya karena kini sudah terdapat pasarnya.
Marx
semakin meruncingkan kontradiksinya antara hak petani kecil dan pemilik tanah,
hingga disimpulkan telah terjadi monopoli pemilik hutan atas tanah. Para
“pencuri kayu”, karena kesalahannya, sesuai undang-undang, dijatuhkan hukuman
dengan melakukan kerja paksa kepada pemilik tanah. Semakin untunglah pemilik
tanah, memiliki pekerja tanpa diupah untuk mengolah tanahnya, dan ini, sekali
lagi, dilindungi oleh hukum negara borjuis.
Marx
terus mengkonfrontasikan tentang keberpihakan undang-undang yang makin condong
kepada kaum pemilik tanah. Kemudian Marx menyimpulkan benar, bahwa, manusia
miskin/tak bertanah (oleh system kepemilikan pribadi dan industri kapitalis)
dihapuskan segala hubungannya terhadap alam, dipaksa diputuskan hubungannya
dengan alam, bahkan hanya sekedar mempertahankan hidup.
Sampai
kemudian Marx menemukan gagasan dari Justus Von Liebig, seorang ilmuwan Tanah
abad 19 penulis Metabolic Rift atau Jurang
Metabolis yang menyebabkan
adanya dislokasi ekologis sehingga pedesaan dijadikan wilayah
untuk menopang industrialisasi. Dari gagasan Justus Von Liebig lah, Marx
mendapatkan perspektif tambahan dalam pertarungannya dengan Malthus dan David
Ricardo tentang perdebatan teoritik Tanah dan Sewa. Lebih lanjut lagi, Foster
mengajak kita menjadi seorang pecinta
lingkungan hidup yang menolak ide-ide
“antroposentris” dan “ekosentris”, bahwa, inti masalahnya lebih
mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dan alam, bagaimana kita
mengatur hubungan kita dengan alam.Kita harus mengetahui kandungan
instrinsik alami bumi dan tentu saja berusaha melindunginya. Tetapi kita juga
perlu memahami bahwa kita tidak dapat memungkiri fakta,kita telah merubah alam selama kita
hidup dan bekerja dalam bumi ini. Sampai tahap ini, tujuan utama kita
seharusnya adalah merubah alam tanpa merusaknya, membuat peraturan hubungan
kita dengan alam. Dengan begitu, kita jangan sampai jatuh seperti kaum anti-positivis
Marxisme barat yang memusuhi ilmu pengetahuan (tehnologi). Namun tidak juga
dalam semangat over-positifnya Uni Soviet yang begitu memuja ilmu pengetahuan
(tehnologi) sehingga menempatkannya dengan cara yang salah. Di sinilah, analisis ekologis jadi
salah kaprah, di satu sisi, ilmu
pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang untuk manusia, di sisi lain hermeneutis, adalah tradisi humanistik menolak ilmu
pengetahuan.
Alienasi
Manusia dan Alam
“Universalitas
Manusia”, kata Marx, adalah kunci dari keterasingan manusia. Dalam Early Writings, Marx
paling baik menjelaskan tentang alienasi (keterasingan) manusia buruh.
Menurutnya, pertama adalah manusia (buruh) terasing dari
obyek pekerjaannya, kedua,
proses kerjanya, ketiga,
keadaannya sebagai spesies manusia, dan keempat,
keterasingannya dari sesama manusia lain. Begitulah hubungan manusia dan alam
menurut Marx, sebagai satu-kesatuan tak terpisahkan ketika manusia melakukan
aktivitas kerja pemenuhan kebutuhan. Disebutkan juga bahwa “…alam merupakan
badan inorganic manusia karena alam bukanlah badan manusia, namun manusia hidup
dari alam sehingga secara fisik dan mental, terhubung dengan alam,
sederhananya, alam berhubungan dengan dirinya sendiri karena manusia bagian
dari alam”.
Kita membutuhkan materialisme, yang lebih rasional, yang
memandang permasalahan ekologis dengan imbang dan menggalang kepedulian untuk
mengatasi krisis lingkungan serta kebutuhan mempertahankannya dilihat dari
perspektif ekonomi-politik. Sampai pada tahap ini, Marx adalah salah seorang
pemikir yang meletakkan prinsip-prinsip dasar materialisme tipe tersebut, maka, pemikirannya masih sangat
penting bagi kita.
Darwin dan Marx bertemu dengan pandangan Teologi Alam
Persinggungan antara Evolusi dan Teologi Alam begitu penting
dan banyak dibahas dalamAutobiography-nya Charles Darwin karena, saat
dimana Darwin mengambangkan teorinya yang materialis, Natural Theology (Teologi Alam) William Paley sedang tumbuh
subur-suburnya dimana prasangka ilahiah menjadi argument yang lebih berpengaruh
ketimbang materialisme dan perspektif evolusionernya Darwin. Terhadap Natural Theology, Darwin mengomentari bahwa itu merupakan “argument
tua tentang desain alam” terlebih sejak “hukum seleksi alam ditemukan”.
Bertemu pula Darwin dengan aliran Naturalisme Pendeta yang
lain seperti Thomas Malthus dan pengikutnya, Thomas Chalmers. William Palley
banyak mengadopsi gagasan Malthus dalam karya Natural Theology. Yang paling mendapat tempat dalam gagasan
Palley adalah teori Malthus tentang Populasi (Essay on Population) yang
mengatakan bahwa “populasi penyebab dari kurangnya sarana bertahan hidup
(subsistensi)”, meskipun, populasi tersebut merupakan “takdir dari
rancangan penuh kasih pemeliharaan ilahiah”. Gagasan dari kedua aliran Naturalisme Pendeta
tersebut (William Paley dan Thomas Malthus) kemudian dibukukan oleh Thomas
Chalmers, didanai oleh Bangsawan Inggris dari Bridgewater bernama Henry
Egerton. Dan inilah upaya terbesar abad 19 dalam membangun dominasi teologi
alam atas dunia intelektual di semua bagian.
Naturalisme Pendeta dan Teologi Alam tak berkutik di hadapan
sistem Kepemilikan Pribadi (Kapitalisme)
Bahkan William Paley sekalipun mengakuinya. Abad 18 dalam
karyanya berjudul Principles of Moral and Political Philosophy (Prinsip Moral dan Filsafat Politik), Paley terus mempertahankan hubungan
kepemilikan yang ada, meski dimengerti bahwa itu tidak alamiah dan tidak adil.
Kepemilikan semacam itu, meski bukan sebagai anugerah alam tapi oleh otoritas
sipil, sebaiknya diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar, tidak
terbuka opsi untuk pengambil-alihan sebab, sudah ada “penunjukan oleh sorga”.
Karena, lanjut Paley, “dunia penuh dengan rancangan” namun, “rancangan tersebut
diarahkan untuk maksud baik”. Kemudian diterimalah pandangan bahwa makin
bertambah populasi, bertambah pula kebahagiaan masyarakat meskipun lambat-laun
populasi dibatasi oleh persediaan makanan seperti dikatakan dalam teori Malthus
tentang Populasi yang akhirnya merubah secara drastis pemikiran Paley. Sejak
munculnya artikel tanpa nama yang mengusulkan lebih konkrit tentang prinsip
populasi yaitu, jika populasi tidak dibatasi maka ia akan bertambah secara
deret geometri (1, 2, 4, 8, 16, 32, dst) sedangkan ketersediaan kebutuhan hidup
hanya bertambah secara deret aritmatika (1, 2, 3, 4, 5, 6, dst). Konsekuensinya
adalah, pembatasan alami tertentu atas lonjakan populasi agar ketersediaan
sarana kebutuhan hidup (subsistensi) bisa mencukupi. Namun, pembatasan alami
ini sederhananya berupa penderitaan atau kekejaman. Pembatasannya dibagi dua,preventif (membatasi kelahiran) dan positif (menambah jumlah kematian).
Jika
diamati, jalan keluar dari Teologi Alam semakin kabur dan jauh dari realitasnya,
inilah yang menyebabkan Marx menilai bahwa jalan keluarnya haruslah menggunakan
metode materialis-dialektik yang berkaitan dengan sejarah awalnya, agar
solusinya tidak jatuh menjauh dari inti problematikanya yaitu alam dan
kepemilikan pribadi atas hutan dan hasil produksinya.
Kritik
kepada Malthus
Teori
paling destruktif dan kasar yang pernah ada di bumi adalah teori Malthus maupun
Malthusianisme. Sembarangan dan barbar. Teori yang disusun untuk menekan
manusia menerima kekerasan hukum ekonomi-politik, penuh keputus-asaan. Teori
Populasi Malthus dijawab oleh Engels dengan mengembangkan penjelasan mengenai
“tentara cadangan industri” atau surplus relative pekerja yang menjadi bagian
dari konsep ekonomi-politik Marxian. Kesalahan Malthus menurut Engels adalah
ketika Malthus menegaskan bahwa “terlalu banyak manusia yang ada yang bisa
dipertahankan dari alat-alat subsistensi yang ada”, namun, kata Engels, “bukan
over populasi yang diperbandingkan dengan persediaan makanan/alat subsistensi
yang ada tapi, over populasi dibandingkan dengan lapangan pekerjaan”.
Tentara cadangan industri (pekerja yang menganggur) telah ada sepanjang waktu,
banyak atau sedikitnya tergantung seberapa besar pasar mendorong keberadaan
lapangan kerja. Dengan begitulah surplus populasi muncul.
Dari
sini pula konsep tentang proletariat hadir ketika Marxisme menjadi oposisi
Malthusian. Dijelaskan lebih lengkap oleh Engels dalam artikelnya tentang Kondisi Kelas Pekerja Inggrisdimana
seolah-olah kita dibukakan mata bahwa jurang pemisah kemiskinan dan gemerlapnya
dua kelas sangat dalam, situasinya seperti terpisah ribuan tahun. Antara kaum
pekerja di Manchaster (yang kumuh, penuh kelaparan dan penyakit) dengan kaum
borjuis di Manchaster (yang tinggal di Villa atas bukit dan segala fasilitasnya).
Kondisi
kumuh, penyakit, udara, limbah dan dampak lingkungan di kawasan industri sangat
mendapat perhatian Engels hingga dia mengumpulkan data dari dokter, ahli dan
pengamatannya sendiri kemudian memberikan analisis rinci tentang kesehatan
publik. Dari segala polusi itulah, penyakit yang ditimbulkan adalah kelainan
tulang, mata, keracunan timbal dan penyakit paru-paru hitam. Selain itu,
tingginya angka kematian akibat Tuberculosis dan Tifus.
Metabolisme:
proses pertukaran material, pertumbuhan dan pembusukan biologis
Marx
memakai metabolisme sebagai konsep untuk menggambarkan hubungan manusia
terhadap alam melalui proses kerja. Karena kerja adalah “…proses manusia dan alam dimana
melalui aksinya sendiri, memediasi, meregulasi dan mengontrol antara dirinya
sendiri dengan alam…menghadapi material alam sebagai kekuatan alam. Dia (proses
kerja) adalah kondisi universal bagi interaksi metabolis antara manusia dan
alam, syarat kekal yang diterapkan oleh alam bagi keberadaan manusia” (Capital,
Vol I).
Dalam
Bab V buku ini, konsepsi di atas menstimulasi Marx dalam mengajukan kritik
teoritisnya atas tiga prinsip ekonomi-politik borjuis yaitu: analisis ekstraksi surplus produksi
dari produsen secara langsung, teori
kapitalis tentang sewa tanah, dan teori
Malthusian yang mengaitkan keduanya. Lebih jauh lagi, akan mengkritik juga
tentang kerusakan alam dimana kritik tersebut telah mendahului pemikir-pemikir
ekologi sekarang, secara analisa, kritik Marx akan agrikultur kapitalis melalui
dua tahap, (1) kritik atas Malthus dan Ricardo, (2) pertimbangan mengenai revolusi kedua agrikultur terkait teori kimia tanah Justus von
Liebig yang mengharuskan Marx menganalisa kondisi yang mendasari hubungan
berkelanjutan terhadap bumi.
Seperti
pendapat kebanyakan menyangka pemahaman teori sewa tanah yang dimiliki Marx
berawal hanya dari David Ricardo, padahal, menurut JB Foster, pengertian
sewa-tanah yang didapat Marx lebih menguggulkan James Anderson, seorang ahli
ekonomi-politik Scotland karena Ricardo gagal memahami perkembangan historis
budidaya tanah.
Tentang
sewa tanah, menurut Anderson, merupakan sebuah
ganti rugi/biaya untuk penggunaan tanah lebih subur. Tanah, yang paling
tidak subur, untuk penanaman, hanya menghasilkan pengganti biaya produksi. Sedangkan, tanah yang lebih subur
menerima premi tertentu bagi hak eksklusif penanamannya. Besar kecilnya
premi tergantung kesuburan tanahnya. Premi inilah yang kemudian disebut sebagai
Sewa. Dalam aspek lain, tuntutan revolusi agricultural mengemuka seiring
banyaknya pemakaian pupuk kimiawi. Ketiga tahap revolusi agrikultura
dikemas Liebig dan Marx dengan singkat melalui proses budidaya tanah masyarakat
yang diseret oleh perkembangan ekonomi-politik. Pada revolusi pertama, dalam proses
beberapa abad yang gradual, ditandai dengan munculnya pengaplingan tanah dan
pemusatan pasar; perubahan taknis dalam pemupukan dengan kotoran binatang
(beriringan pula muncul manajemen peternakan), rotasi tanaman dan saluran air.
Berkebalikan dengan pertama, revolusi agricultural kedua (1830-1880) merusak tatanan tanah
sebelumnya dengan bertumbuhnya industri pupuk dan kimia tanah. Ketiga, pada abad 20,
penggantian tenaga hewan oleh mesin, pemisahan manajemen ternak terhadap
pemupukan hingga menjadi otonom, pengubahan generika tanaman/bibit dan
penggunaan asupan kimia lebih massif—penggunaan pupuk kimia ditambah dengan
pestisida.
Terjadilah
kerusakan tanah (penurunan kualitas tanah) yang menyebabkan sepanjang abad 19
isu kesuburan tanah menjadi mengemuka dalam masyarakat kapitalis Eropa dan
Amerika Utara. Setelah itu, yang muncul adalah isu polusi di perkotaan. Isu
tersebut menjadi kehawatiran luas masyarakat ditambah dengan naiknya permintaan
pupuk (kimia) menambah kepanikan atas kesuburan tanah. Fenomena nyata bisa
dilihat dari kotoran burung yang diimpor dari Peru pada tahun 1835. Tahun 1841
sebanyak 1.700 ton dan 220.000 ton pada 1847 (Lord Ernie, English Farming Past and Present).
Dalam
situasi-situasi tersebut, makin menegaskan bahwa konsep metabolisme Marx
mempunyai pengaruh atas alienasi manusia dan alam seperti yang ditulisnya dalam
Grundrisse dimana “bukanlah kesatuan kemanusiaan yang hidup dan aktif dengan
yang alami, kondisi-kondisi non-organik pertukaran metabolic mereka dengan
alam, dengan demikian penguasaan mereka akan alam yang butuh penjelasan, atau
hasil proses historis, tapi lebih pada keterpisahan antara kondisi-kondisi
non-organik eksistensi manusia ini dan eksistensi aktifnya, pemisahan yang
secara penuh hanya ditampilkan dalam relasi kerja upahan dan capital”.
Pemikiran
Marx tentang Darwin: relasi kerja manusia terhadap evolusi manusia
Setahun
setelah The Origin of Species terbit, Marx baru mempelajari secara
serius karya Darwin. Hingga dalam suatu kesempatan, Marx bercerita kepada
Lassale mengatakan bahwaDarwin telah memberikan basis sains bagi perjuangan
klas…meski dengan segala kekurangannya, Darwin secara langsung
memukul teleology dalam sains alam dengan penjelasan
rasional dan empiris.
Meski
tidak secara detail, Marx mengungkapkan adanya relasi Seleksi Alam dan survival
of the fittest ke dalam
perjuangan klas. Dalam Capital Vol. I, ditemukan jawabannya. Marx membuat teori
singkat tentang hubungan teori Darwin dengan perkembangan sejarah manusia lewat
perubahan produksi dan tehnologi. Perbandingan terhadap Darwin, disetujui oleh
Marx bahwa perkembangan organ-organ yang terspesialisasi dalam tumbuhan dan
binatang dengan peralatan yang terspesialisasi sesuai dengan bagaimana proses
manufaktur bersejarah melipatgandakan
penerapan-penerapan kerja, mengadaptasikannya terhadap fungsi eksklusif dan
khusus masing-masing jenis pekerjaan buruh (terpisahkan oleh pembagian kerja).
Sejarah
hanya dapat dilihat dari dua sisi: alam dan manusia
Untuk
selanjutnya, setelah kematian Marx, Engels-lah yang paling berperan meneruskan
gagasannya. Makin melapangkan hubungan antara Marxisme, Alam dan filsafat
materialis agar memahami alam secara dialektis dalam konsep materialis alam dan
materialis sejarah. Sehingga, Engels pun dalam tahun-tahun terakhir
kehidupannya memandang penting makna filsafat Epikurus yang menurut Marx,
dialah penemu keterasingan tertanam dalam konsep manusia dengan alam melalui
doktrin religi.
Beberapa
catatan
Di atas
segalanya, Foster merupakan pemikir yang memberikan sumbangan atas kehausan
kaum hijau dari perspektif materialis dimana konsepsi inter-relasi manusia dan
alam menjadi kunci untuk lolos dari antroposentrisme dan ekologisme. Terlebih,
kaum hijau sekarang banyak yang belum mengarah pada transaksional program
politik dalam memanfaatkan alat negara secara mandiri sebagai taktik
menyelamatkan lingkungan.
Hal itu
pula sekaligus sebagai input bagi Foster untuk lebih mengelaborasi tentang
bagaimana ke depan penyelamatan alam disukseskan oleh pemerintahan yang
ekologis. Lainnya, perlu dikonkritkan apa saja faktor yang mempengaruhi
pemikiran perjuangan klas (kemajuan tenaga produktif) Marx terhadap Darwin
dalam perspektif ekologi (gerakan) politik. Agar terjawab juga tuduhan kepada
Sosialisme sebagai penyumbang kerusakan alam karena dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk pemenuhan produksi bahkan dikuatkan dengan konsentrasi
tenaga produktif untuk mengolah alam. Meskipun pada tahun 2004 (setelah
penerbitan bukunya pertama kali) Foster memberikan pandangan bahwa program yang
diemban sosialisme adalah pen-sosialisasian-alam, bermakna: semakin kita menempatkan
alam dalam perlindungan manusia melalui proses demokratik yang menentukan
aturan ketahanan alam, keadaan akan membaik. Jika kita memandang kekayaan alam
sebagai kapital, kita membiarkan kontrol dan eksploitasi alam berada ditangan
perseorangan yang dapat merusak ketahanan alam.
Seruan-seruan
konfrontasi kepada sistem kepemilikan pribadi (apalagi kapitalisme dalam
berproduksi tidak menyiapkan keberlanjutan kehidupan) harus dimuarakan dalam
rangka perjuangan sosialisme mengonkritkan capaian masyarakat yang akan kita
tuju: asosiasi produsen. Sedangkan, kontradiksi manusia dan alam bukanlah
berwatak fundamental, meski begitu, pertentangan dengan alam akan terus ada,
tinggal bagaimana manusia menyiasati reaksi spontan alam kepada makhluk hidup.
Penutup
Buku
ini memiliki kekuatan mewariskan tradisi ekologis bagi perjuangan mengembalikan
manusia dari pengasingan kapitalis kepada alam. Menyediakan diskursus bagi
perkembangan teori ekologi dan filsafat, terutama dalam menghancurkan doktrin
idealis kaum borjuis yang menjual-belikan alam untuk kepentingan kepemilikan
individu (komoditifikasi alam).
Judul
Buku : Ekologi Marx,
Materialisme dan Alam
Penulis
: John Bellamy Foster
Penerjemah :
Pius Ginting
* Anggota Partai Pembebasan Rakyat
* Koordinator Departemen Pendidikan dan
Propaganda Kolektif Nasional Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
* Voulentir Eksekutif Nasional Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar