Selasa, 21 Juli 2015

Teologi Politik dalam Pandangan J.b.Metz


Pengertian
01. Pengertian Sukularisasi
Istilah sekularisasi berasal dari kata Latin saecularis yang berarti keduniawian atau zaman kini. Kata sekularisasi ditujukan sebagai proses di mana sesuatu atau pribadi manusia ditentukan dari sudut pandang dunia. Secara historis kata sekularisasi dipakai dalam beberapa terminology yang berbeda, antara lain: pertama, sekularisasi diartikan sebagai penyitaan barang-barang milik Gereja untuk kepentingan duniawi terutama oleh Negara. Dalam hokum kanonik, sekularisasi juga diartikan sebagai permohonan dari seorang religious untuk melepaskan kedudukannya sebagai religious dan hidup di luar komunitas biara. Kedua, sekularisasi berarti sebuah proses di mana aneka elemen hidup manusia (termasuk pandangan hidup, adat-istiadat, struktur social, pemikiran dan pribadi manusia sebagai individu memperoleh otonomi dan berdiri sendiri, lepas dari dominasi Gereja atau agama. Ketiga, sekularisasi merupakan dorongan utama bagi manusia untuk hidup menurut program-program duniawi.
Pada awalnya sekularisasi atau sekularisme dicetuskan pada abad 19 sebagai slogan atau gerakan untuk memusuhi Gereja terutama oleh kaum positivism dan materialism. Positivisme merupakan sebuah kenyataan sikap yang ditujukan pada ilmu pengetahuan dan teroti. Titik tolak positivisme adalah bahwa objek dan kebenaran ilmu pengetahuan harus dibuktikan secara indrawi atau dapat diverifikasi. Sedangkan materialism adalah suatu sikap hidup dan suatu keterangan atas dunia yang didasarkan atas materi. Aliran ini memandang materi sebagai pemenuahan kebutuhan manusia (Karl Rahner (ed),Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi; London: Burns and dates, 1981, hlm. 1255).
Sampai saat ini, fenomena sekularisasi dapat dilihat dari sosio-politik , gejala sekularisasi dalam sosio-budaya, dan gejala sekularisasi dalam sosio-Religius.
01. Gejala Sekularisasi dalam Sosio-Politik
Hubungan antara Gereja dan Negara memiliki garis yang sama yakni manusialah sebagai tujuan pengabdiannya. Keduanya sama sekali tidak dapat digantikan satu sama lain atau yang satu mengklaim diri lebih superior dari yang lain. Masing-masing, antara Gereja dan Negara, memiliki otonominya sendiri. Karena itu Gereja tidak berwenang untuk menghakimi dunia dengan segala peradabannya (1Kor 5:12).Dalam pluralisme masyarakat yang semakin diterima bahwa Gereja atau agama mana pun harus mengakui otonomi Negara dalam hal-hal secular dan Negara pun harus memberikan kesemapatan kepada Gereja untuk mewartakan berita penyelamatan. Gereja harus menjadi suara hati masyarakat dalam melaksanakan keadilan dan cinta kasih. Karena itu, sebagai orang Katolik kita patut mentaati pemerintah sebab diakui juga bahwa wewenang Negara pun berasal dari Allah (Rom 13:1-2). Pemerintah sebagai penuasa duniawi berkewajiban menciptakan dan mengusahakan kesejahteraan hidup bagi manusia. Untuk itu, struktur Negara dengan perangkat hukumnya tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada Gereja dan sebaliknya Gereja tidak berwenang memaksakan kehendaknya kepada Negara. Dalam artian, bahwa Negara bukanlah suatu institusi sacral melainkan suatu ciptaan Allah yang sekuler.
02. Gejala Sekularisasi dalam Sosio-Budaya
Pada point hubungan antara Gerja dan Negara menjadi pokok yang paling banyak dibicarakan dalam proses sekularisasi sampai abad XX. Persoalan sekularisasi terus merembes dalam setiap bidang hidup manusia, misalnya pendidikan, kesenian, pelayanan social dan sebagainya.Pada abad pertengahan, antar iman dan ilmu pengetahuan dianggap mempunyai kesatuan batiniah. Bahkan ilmu Filsafat dianggap sebagai hamba teologi. Penilian semacam ini sangat keliru karena teologi berada pada ranah refleksi iman sementara filsafat sebagai idiologi yang mau mencakup segala kenyataan yang ada bahkan yang mungkin akan ada. Ilmu memiliki system dan prinsip-prinsip sendiri dan iman serta wahyu tidak perlu mencapurinya. Keduanya berbeda dan iman tidak bisa memgantikan filsafat atau pun sebaliknya. Tohok Gereja yang pemikirannya patut dicatat dalam menentukan dan menempatkan struktur filsafat terpisah dari iman atau teologi adalah Thomas Aquinas.
Dengan pisahan seperti ini, antara iman dan ilmu pengetahuan, maka orang beriman semakin menghargai kemampuan kodratnya dalam dinamika hidupnya. Manusia dengan segala bakat dan kekuatan yang ada dalam dirinya dipanggil untuk mengembangkan kemanusiaannya dan hidupnya sendiri. Namun J.B.Metz menilai bahwa antara ilmu pengetahuan modern dan iman sebenarnya tidak ada pertentangan. Sejauh ilmu pengetahuan itu dijiwai oleh Kekristenan, maka ilmu pengetahuan dapat membawa kebenaran yang memerdekaan (Yoh 8:32). Yang menjadi pokok persoalan adalah bahwa jika ilmu pengetahuan/ logos yang asali dari Allah digunakan oleh manusia untuk menyombongkan diri apalagi untuk menindas yang lain. Jadi antara ilmu pengetahuan dan iman terjadi hubungan dialektis, artinya saling mempertanyakan, saling mengkritik dan dengan demikian saling menyuburkan.
03. Gejala Sekularisasi dalam Sosio-Religius
Agama merupakan salah satu gejala yang paling tua, sama tua dengan sejarah bangsa manusia sendiri. Sebelum lahirnya aga-agama monoteis, sudah ada banyak pandangan dan kepercayaan akan adanya dewa-dewi dan pelbagai kekuatan roh di alam yang diyakini sangat menentukan nasib hidup manusia.
Namun sejak manusia dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perjalanan selanjutnya, mulai ada sikap lain terhadap agama. Pandangan teosentris dan ksmosentris mulai diganti dengan antroposentris. Kepercayaan dengan pelbagai mitologi mulai ditelanjangi kebenarannya dan ditolak oleh manusia secular karena kendali rasionalitasnya. Alam yang sacral di-demitologikan sehingga kehilangan unsure sacral dan tabunya. Dan salah satu pengeraknya adalah agama Kristen sebagai agama monoteis dan rasional telah mengeser kepercayaan animis dan mengantikannya dengan agama baru. Walaupun ini sebagai langakah pemurnian iman kepercayaan akan Allah namun disisi lain menghancurkan ekosistem hidup manusia. Alam yang tabu, digerakan oleh mitologi dimana manusia mempunyai rasa hormat dan menghargai, ternyata digantikan dengan rasionalitas. Contoh yang dikemukan Metz, bahwa pada zaman dulu jika orang melihat pohon, pertanyaannya berapa roh yang menghuni didalamnya. Tetapi bagi manusia modern, bulan lagi berapa roh yang mendiami pohon itu melainkan berapa kubik kayu dan berapa dolar yang terkandung dalam pohon itu.
Sekularisasi alam hanya berarti jika manusia tidak lagi menerima dunia begitu saja, sebagai sesuatu yang nihil, mempunyai bentuk dan ketentuannya sendiri melainkan kesadaran manusia sebagai perpanjangan tangan Allah untuk mengolah dan mengembangkan dunia ini demi kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Alam sebagai ciptaan Allah yang transenden harus dilihat sebagai bagian dalam hidup manusia itu sendiri, untuk dioleh dan dikembangkan.
02. Pengertian Beriman
Metz mengartikan iman sebagai memorial, kenangan akan perkataan dan perbuatan Yesus dalam sejarah melalui pewartaan, penderitaan, wafat dan kebangkitanNya. Maka hakekat iman Kristen sebagai fides historica, karena pengalaman akan Allah memuncak daalam fakta peristiwa Yesus yang menyejarah. Jelas bahwa iman Kristen bukan dicampakan Allah langsung dari langit melainkan perisitiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Iman Kristen sebagai praksis dalam sejarah masyarakat yang harus dilihat sebagai pengharapan dalam solidaritas dalam Allah Yesus, sebagai Allah dari orang-orang hidup dan orang mati, yang memanggil semua orang untuk menjadi subyek di hadapaNya. Pengharapan ini bukan sesuatu janji kosong akan masa depan melainkan tanda solidaritas Allah dan keterlibatanNya dalam sejarah umat manusia. Iman dan pengharapan serta kasih yang terungkap dalam solidaritas menjadi dasar teologis bagi umat beriman. Iman, pengharapan dan solidaritas tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Dasar pengharapan bagi umat beriman adalah kebangkitan Yesus Kristus. Dan kebangkitan Yesus menjadi sebuah awal revolusi bagi semua orang yang menderita, dilupakan dan mati. Memorial Christi, menjadi corak khas keberimanan akan sejarah Yesus Kristus penyelamat dan pembebas, yang hadir dalam sejarah umata manusia itu sendiri. Dunia dengan segala peradaban, juga dengan segala kehancuran menjadi tempat inkarnasi Allah sendiri.
Fides Historica atau memroia Christi dalam pengharapan dan solidaritas menjadi bukti keterlibatan Allah dalam membebaskan manusia dari perbudakan dosa akibat kemiskinan dan penderitaan. Keterlibatan Allah nyata dengan tanda-tanda yang dilakukan Yesus, dengan sebuah janji akan langit dan bumi yang baru, dimana semua menjadi satu keluarga Allah hidup dalam kepenuhan. Namun solidaritas dan pengharapan ini seharusnya menjadi tanggung jawab orang-orang Kristen bagaimana melibatkan diri dalam dunia yang tengah mempertaruhkan penderitaan, kemiskinan dan kegagalan berhadapan dengan struktur social yang memperbudak.
Janji akan langit dan bumi yang baru jika para pengikut Kristus berani keluar dari eksklusivitsnya, mewartakan pembebasan dan penghrapan sekaligus berada dalam solidaritas dengan sesama yang kalah, miskin, dilupakan dan gagal.
Karena itu, Credit Union Pelita Kasih lahir sebagai sebuah lembaga yang menawarkan pengharapan dan solidaritas akan kemiskinan, penderitaan dan penindasan. Credit Union Pelita Kasih menjadi oase bagi semua orang yang memiliki pengharapan akan masa depan yang lebih baik dimana tidak lagi ada pemisahan berdasarkan suku, agama maupun Ras tertentu. Semboyan Credit Union, one Heart Many Faces kiranya menjadi spirit untuk menghayati solidaritas dan pengarapan tersebut.@@Felixawollo**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar