Selasa, 21 Juli 2015

Perkawinan dan Perceraian (Perspektif Kristiani)

Perkawinan, ide awalnya sebenarnya berasal dari Tuhan sendiri. Lembaga ini dirancang Tuhan sejak dari Taman Eden, dimana saat itu manusia belum jatuh ke dalam dosa (lih. Kej.2:18-24). Dari sinilah ”piagam” aslinya terbentuk. Hal ini kemudiaan diteguhkan oleh ucapan Yesus dalam Matius 19:4-5 – dimana kemudian hal ini ditetapkan sebagai dasar dari sebuah perkawinan. Sekali lagi, perkawinan berasal dari ide Allah sendiri! Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau gereja-gereja dan mayoritas orang kristen menganggap perkawinan sebagai suatu karunia atau pemberian Allah. Menurut J.L. Ch Abineno hal itu didasarkan atas kejadian 1 dan 2 serta Matius 19:3 dan yang berikutnya. Selain sebagai karunia Allah, perkawinan juga dipandang sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan bukan semata-mata perkara duniawi saja. Di dalam perkawinan, seorang kristen selalu mengharapkan berkat dan campur tangan Tuhan di dalamnya. Kesakralan perkawinan itu dilihat oleh seorang ahli perkawinan kristen Dr. David Mace dengan merumuskan 3 pilar perkawinan ( perkawinan diibaratkan sebagai sebuah meja dengan 3 pilar panyangga dibawahnya. Kalau satu pilar tidak ada, maka meja ”perkawinan” itu akan ambruk). Ke tiga pilar itu adalah : 1.1. Pilar Monogami Perkawinan kristen adalah perkawinan monogami. Satu untuk satu! Satu suami dengan satu istri. Sampai maut memisahkan mereka. Hal ini menutup peluang untuk melecehkan perkawinan menjadi sarana pengumbaran nafsu seperti terlihat dalam perkawinan yang Poligami. Perkawinan monogami ini terutama melindungi pihak wanita yang sering terlecehkan akibat pola perkawinan Poligami. Verkuyl bahkan melihat lebih jauh lagi bahwa ada hubungan yang erat antara monotheisme dengan monogami dan keterkaitan antara politheisme dengan poligami. Hal ini ditunjukkan dalam kitab Hosea, dimana Hosea memandang kesetiaan Yahwe kepada umat sebagai dasar yang teguh bagi kesetiaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam perkawinan. 1.2. Pilar Fidelity Tidak cukup monogami, perkawinan kristen juga seharusnya disertai asas fidelity – kesetiaan. Apa artinya beristri atau bersuami satu, tapi diluaran sana memiliki banyak simpanan – WIL (Wanita idaman lain) atau PIL (Pria idaman lain) ? Tanpa fidelity, pilar monogami akan ambruk dengan sendirinya! Dengan asas fidelity ini maka kesucian perkawinan dijunjung tinggi. Seks diluar perkawinan – sex extra marital – merupakan pelanggaran moral yang harus dihindari, kalau bangunan perkawinan mau kokoh! 1.3. Pilar Indisolubility Asas indisolubility berarti asas Tak terceraikan. Maksudnya, perkawinan kristen seharusnya dilandasi sebuah tekad dan upaya keras agar tidak terceraikan. Harus diupayakan dengan sekuat tenaga, biar hanya maut saja yang akhirnya ”memisahkan” sepasang pengantin kristen. Asas ini jelas melindungi semua pihak yang terlibat dalam perkawinan (suami, istri, dan anak-anak). LEBIH JAUH LAGITENTANG PERKAWINAN KRISTEN Kini kita akan melihat lebih dalam lagi pernak-pernik perkawinan menurut ajaran Kristen. Mengutip pendapat J.L. Ch Abineno , menurut alkitab perkawinan dalam ajaran Kristen dilukiskan sebagai : 2.1. Perkawinan sebagai suatu persekutuan-hidup Yang dimaksud persekutuan hidup adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri. Persekutuan hidup ini dikehendaki oleh Allah. Sebagai sebuah persekutuan hidup, sebuah perkawinan bukannya langsung jadi, tapi memerlukan usaha dan perjuangan. Yang penting disini adalah adanya keterbukaan diantara suami-istri. Persekutuan hidup itu akan bisa langgeng kalau masing-masing pihak bersedia mengalah dan menganggap yang lain lebih utama (band.Fil.2:3). Dengan demikian meskipun konflik pasti terjadi, tetapi dengan keterbukaan dan sikap rendah hati (mau mengalah), maka persekutuan hidup itu tidak akan tercerai berai! 2.2. Perkawinan sebagai suatu persekutuan-hidup yang total Perkawinan – menurut ajaran kristen – bukan saja suatu persekutuan-hidup, tetapi juga suatu persekutuan hidup yang total! Yang dimaksud total disini adalah suami istri telah menjadi satu tubuh atau satu daging (Mat.19:5). Ini totalitas! Ini yang membedakan sebuah perkawinan kristen dengan persekutuan-persekutuan lainnya. Misalnya : persekutuan dagang, persekutuan pertemanan, persekutuan marga dan sebagainya. Persekutuan yang demikian, meskipun erat, tetapi tidak total. Tidak mungkin menjadi satu tubuh atau satu daging! 2.3. Perkawinan sebagai persekutuan yang eksklusif Maksudnya, perkawinan kristen itu secara eksklusif hanya terdiri dari dua orang saja, yaitu suami dan istri. Tidak ada pihak ke tiga disana! Keadaan eksklusif ini harus dipertahankan baik dalam suka, maupun dalam duka. Disini prinsipnya tidak mengenal WIL (Wanita idaman lain) atau PIL (Pria idaman lain) atau yang hanya sekedar menyerempet bahaya semacam TTM (teman tapi mesra). Yang ada hanya satu suami untuk satu istri. Titik. Ini baru eksklusif namanya! 2.4. Perkawinan sebagai suatu persekutuan-hidup yang kontinyu Maksudnya kontinyu disini adalah bahwa persekutuan antara suami dan istri adalah pesekutuan yang terus-menerus. Tidak boleh berhenti. Sekali seseorang memasuki jenjang perkawinan, ia terikat terus-menerus dengan pasangannya! Hubungan kasih yang kontinyu ini merupakan cerminan dari kesetiaan Allah sendiri yang berkenan secara kontinyu mengasihi umat-Nya (pengantin perempuan). Tuhan Yesus menegaskan hal ini dengan mengatakan : ” Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat.19:6 ; Mrk.19:9). 2.5.Perkawinan sebagai suatu persekutuan-percaya Yang dimaksud disini bukan berarti bahwa suami istri harus selalu mempunyai pendapat yang sama. Tetapi intinya, sebagai suami dan istri yang telah dipersekutukan oleh Allah mereka seharusnya memiliki banyak persesuaian dalam hal-hal yang prinsipil! Seperti dalam hal makna hidup, maksud dan tujuan perkawinan, pembagian tugas suami-istri, tangung jawab orang tua, bagaimana mengelola uang, pendidikan anak dan sebagainya. Persesuaian atau kesepakatan ini penting, sebab kalau tidak ada persesuaian maka akan terus terjadi pertengkaran. Dan pertengkaran yang terus menerus bisa menggoyahkan sendi-sendi perkawinan yang sudah dibangun dengan susah payah. TENTANG PERCERAIAN Dalam pembahasan di depan sudah dikatakan bahwa pada hakekatnya kekristenan tidak mengenal adanya perceraian. Asas indisolubility tidak memberi tempat bagi adanya perceraian ini. Ini adalah bentuk idealnya. Tapi dalam prakteknya, kemudian ada yang bertanya : Apakah hukum itu (tidak boleh bercerai) mutlak adanya? Apakah sama sekali tidak ada pengecualian ? Mengenai hal ini ada beberapa pendapat. Pertama, ada yang menjawab tegas bahwa perceraian karena alasan apapun tidak diperbolehkan. Yang diijinkan hanya hidup berpisah, bukan bercerai. Pandangan ini dipegang oleh gereja Roma Katholik. Kedua, gereja-gereja protestan umumnya lebih moderat. Prinsip umumnya bercerai itu tidak boleh. Tapi ada kasus-kasus tertentu -kasus-kasus yang sangat istimewa- (border line cases) dimana perceraian dimungkinkan. Kasus istimewa itu misalnya adalah perzinahan yang permanen (jadi bukan hanya sekali dua kali berzinah) . Atau perkawinan yang sudah gagal total, yang tidak berfungsi lagi sebagaimana dikehandaki Allah. Suami istri sudah tidak mau berbicara lagi, malahan sering melakukan pemukulan. Suami sudah berbulan-bulan hidup dengan wanita lain dan sebagainya. Tuhan Yesus nampaknya juga mempertimbangkan beberapa kasus istimewa yang memungkinkan terjadinya perceraian, terutama karena zinah (lih.Mat.5:32 ;19:9). Saya pribadi berpendapat, bahwa idealnya –das sollen- perkawinan itu tidak boleh diceraikan. Tetapi dalam kenyataannya – das sein- kemanusiaan kita yang berdosa membuat kita tidak bisa memenuhi standar yang ditetapkan Allah. Maka perceraian dimungkinkan untuk kasus-kasus tertentu dimana patokannya adalah : hakekat perkawinan itu sudah hancur dan tidak mungkin lagi diperbaiki! Perkawinan itu sudah tidak sesuai dengan maksud Allah yang semula ketika menggagas sebuah perkawinan. Dengan demikian perceraian bisa dikategorikan sebagai apa yang dalam ilmu etika disebut Evil-nescessity – mendiang Eka Darmaputera mempopulerkannya dengan istilah : Jahat-tapi-apa-boleh-buat. Jadi sebenarnya perceraian itu adalah sebuah tindakan yang ”jahat”, buruk dan berdosa, tetapi apa boleh buat, kerena kondisi tertentu, hal itu mungkin untuk dilakukan! Dengan mengatakan semua itu, bukan berarti kita lalu menganggap remeh sebuah perkawinan. Tidak! Perkawinan tetap harus dijaga kelanggengannya. Dan harus diupayakan supaya hanya maut yang boleh memisahkannya. Kalau pun toh akhirnya terjadi kasus istimewa dimana perceraian dimungkinkan, itu harus dilihat sebagai sesuatu yang jahat, buruk dan berdosa! Sebab hal itu melanggar Firman dan kehendak Allah! Catatan

[1] Easton’s Bible Dictionary, Marriage, CD Rom.
[1] J.L.Ch Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994) hal.55
[1] J. Verkuyl, Etika Kristen seksuil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.60
[1] J.L.Ch Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994) hal.61-75
[1] J. Verkuyl, Etika Kristen seksuil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.113
[1] Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua : Perkenalan Pertama , (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989) hal.145


Tidak ada komentar:

Posting Komentar