Selasa, 21 Juli 2015

TEOLOGI POLITIK


TEOLOGI POLITIK[1]


I.              Pendahuluan
Berbicara mengenai “politik” berarti berbicara tentang “kota” atau “masyarakat” yang tinggal di dalamnya dengan segala kebijakan-kebijakan ataupun peraturan yang menyangkut kesejahteraan dan martabat hidup manusia. Namun pada kenyataannya saat ini, arti kata tersebut tidak lagi sesuai sebagaimana seharusnya. Kebutuhan mengenai peraturan, pengatur, dan pelaksana adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah pada tiap negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan mengeluarkan berbagai kebijakan publik sesuai dengan programnya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, muatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan dapat diketahui.
“Teologi Politik” yang akan dibahas dalam tulisan ini akan lebih mengarah kepada kekuasaan. Tidak jarang penderitaan manusia disebabkan oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. Salah satu contohnya, penindasan yang dialami oleh bangsa Israel ketika dalam perbudakan bangsa Mesir, namun oleh kekuasan TUHAN, bangsa tersebut dilepaskan dari penderitaannya. Pertanyaan kuncinya jelas: apa kata Alkitab tentang politik secara biblis? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam realitas? Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi teologi  politik Alkitab secara biblis dilakukan.

II.           Terminologi
Politik berasal dari kata yang berarti kota; negara.[2] Dalam PL kata polis disebutkan sebanyak 1600 kali, seperti ‘ir (Kej. 4:17; 10:11 dst; 11:4 dst; 19:29; 24:10; Kel. 1:11; Im. 25:29,31; 1 Sam. 15:5; 20:6; 2 Raj. 17:6; Yer. 51:42,43,58; Yun. 3:3; Na. 3:1) yang berarti “kota”.[3] Kata ini menghunjuk pada keanekaragaman permukiman yang berkubu dan tidak memperhatikan hak-hak. Kata-kata lainnya adalah qirya (Ezr. 4:10,15, dst). Tampaknya kata ini mengandung makna kesejahteraan ataupun keadilan (Yes. 1:21), qeret (Ayb. 29:7; Ams. 8:3; 9:3; dst), sya‘ar, harfiahnya adalah “pintu gerbang” tetapi juga sering diartikan dengan “kota” (Ul. 5:14; 12:15; 14:27,28), dan kata khatser yang dipakai secara khusus bagi desa terbuka.[4] Kota pada masa PL umumnya berbentuk memiliki tembok-tembok (kubu) pelindung yang tinggi dan berfungsi sebagai benteng.[5] Dalam suatu kota biasanya ada daerah pusat yang mana perdagangan dan hukum (tempat penghakiman) dilakukan yang disebut dengan gerbang kota (daerah pinggiran kota). Pusat kota berkubu adalah tempat perlindungan bagi seluruh penduduk di sekitarnya jika ada bahaya.[6]
Dalam PB kata polis muncul sebanyak 161 kali, namun belum bersifat politis dan masih sebatas pengertian “kota”.[7]Kata kerja politeuomai yang berarti menghidupi hidupnya; bertingkah laku (Kis. 23:1; Flp. 1:27) dan kata benda politeia, “persemakmuran” atau “badan politik” dipakai dengan hunjukan kepada hak-hak seseorang atau kelompok. Keadaan kota pada masa PB tidak jauh berbeda pada masa PL, namun yang menjadi pembedanya adalah jika dalam PL setiap bangsa yang takluk harus tunduk dan memeluk agama penakluk serta menggantikan patung-patung dan altar di kuil, sedangkan pada masa PB dengan pengaruh Hellenistis, setiap bangsa yang ditaklukkan oleh Aleksander Agung (356-323 s.M) harus menyediakan tempat bagi dewa-dewi Yunani dan menyembah Zeus di samping dewa-dewi mereka.[8]
Berdasarkan penjelasan di atas, baik dalam PL maupun PB, polis belum bersifat politis[9] masih hanya sebatas pengertian kota. Namun yang jelas ada warga, kota, peraturan, pengatur, pelaksana, pemerintahan, serta cara untuk hidup yang lebih sejahtera, makmur dan bermartabat (bnd. Kej. 1:28) yang bersifat totalitas. Dengan demikian inti utama kota-kota (polis) dalam Alkitab adalah bukan tembok-temboknya (kubu) dan sejenisnya, melainkan cara untuk dapat hidup sejahtera, makmur, adil sehingga menjadi polis Allah yang hidup.[10] 

III.        Analisa
3.1         Perjanjian Lama
3.1.1 Penyataan Nama TUHAN Sebagai Peristiwa Politik
Penindasan yang dialami bangsa Israel ketika di Mesir (Kel. 1:1-22) menunjukkan, bahwa memang hak-hak bangsa Israel menyangkut martabat hidup betul-betul diabaikan. Hal ini tampak dalam pemakaian kata ‘ir (Kel. 1:11, 9:29,33) bahwa memang kesejahteraan hidup tidak ada bagi bangsa Israel. Kemudian berserulah bangsa Israel kepada Allah meminta tolong dan Allah mendengar, melihat kesengsaraan bangsa Israel (Kel. 2:23-25), sehingga kemudian Ia melakukan tindakan. Tindakan-Nya adalah menyatakan diri-Nya untuk berfirman dan bertindak. Allah melalui hamba-Nya Musa, mengutus Musa untuk melakukan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan tanah Mesir (Kel. 2:11 – 4:23; 6:1-12).[11] Pengutusan tersebut adalah untuk mengadakan diplomasi dengan raja Firaun (Kel. 5:1 dst), namun diplomasi tersebut ditolak oleh Firaun sampai pada berlangsungnya tulah di Mesir. Penyataan Nama Allah tersebut berarti Allah membuka, menyatakan, dan memperkenalkan diri-Nya. YHWH itulah nama-Nya (Kel. 3:6; 6:5). Penyataan Nama tersebut menunjukkan, bahwa Allah hadir dalam peristiwa Keluaran, YHWH tidak hanya hadir begitu saja, namun Ia turut merasakan penderitaan yang dirasakan oleh bangsa Israel (Kel. 2:23-25) yang akhirnya membawa kepada pembebasan yang luar biasa. Nama YHWH tersebut menunjukkan keseluruhan pribadi-Nya dan perbuatan-Nya. Di dalam penyataan tersebut ada perbuatan dan perbuatan itu adalah cara/kebijakan TUHAN.
Akulah YHWH – itulah namaKu. Ehye asyer Ehye = AKU AKAN ADA YANG AKU AKAN ADA (Kel. 3:14). Ini berarti bahwa YHWH akan selalu hadir membela, menyertai, menolong, melepaskan.[12] Ini semua dilakukan-Nya untuk merubah keadaan. Keluar dari Mesir tidak hanya berarti meninggalkan “tanah Mesir”, namun “pindah suasana”dan pindah keadaan.[13] Pindah dari suasana ketertindasan ke suasana yang lebih baik dan lebih mapan lagi yang kemudian disertai dengan pemberian 10 perintah Allah (Kel. 20:1-17) sebagai cara agar bangsa Israel dapat hidup sejahtera, adil dan makmur. 
Dari penjelasan di atas tampaklah, bahwa politik yang dilakukan Allah adalah suatu cara/kebijakan yang dengan inisiatif-Nya sendiri menjadi pengatur (ragulator) dan pelaksana (eksekutor) penyataan-Nya (Keluaran Mesir) dengan maksud menunjukkan kesetiaan-Nya pada orang yang tertindas dan orang kecil. Inilah awal mula Teokrasi bagi bangsa Israel.

3.1.2 Dari Teokrasi Menjadi Monarki  
Setelah suku-suku Israel terbentuk menjadi Amphictiyoni, maka setiap suku mengirimkan utusannya ketika mereka hendak berperang untuk mempertahankan hasil pertanian maupun peternakan mereka. Perang tersebut disebut dengan “Perang Suci”. Mengapa? Karena YHWH-lah yang diyakini sebagai pemimpin para tentara suku Israel.[14] Jadi pada masa ini, YHWH sendirilah yang menjadi sumber peraturan (regulali), pengatur (ragulator) dan pelaksana (eksekutor/pemerintah) atau yang disebut dengan Teokrasi.  Kemudian pada abad 12 s.M ada dorongan dari ke- 12 suku tersebut untuk membentuk sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan tumbuhnya rasa kebangsaan di antara mereka dan ancaman dari bangsa Filistin. Ketika itu Samuellah yang yang menjadi hakim dan sudah dianggap sebagai kepala persekutuan agamaniah Israel dan melalui kepemimpinannya mulai terasa muncul kadar persatuan politis. [15]
Dalam 1 Samuel 8:5-20 diceritakan adanya tua-tua Israel datang menghadap Samuel agar mereka diberikan raja untuk memerintah mereka yang menghakimi dan memimpin Israel dalam perang (ay. 5 dan 20), namun tampaknya ada pertentangan terhadap permintaan ini (1 Sam. 8:7,18). Permintaan tersebut mengindikasikan penolakan YHWH sebagai Raja atas mereka. Kata-kata Samuel yang terdapat dalam 1 Sam. 8:11-18 menunjukkan suatu pemahaman yang realistis mengenai kenyataan politik, yaitu penguasa militer/raja akan menjadi penguasa politik, ekonomi, sosial dan agama.[16] Hal tersebut bertentangan dengan teologi Israel ketika mereka berada dalam pemerintahan Allah. Mengapa? Karena dalam teologi kafir, raja dipercaya sebagai anak dewa dan peraturan ada di bawah kekuasaan raja. Sehingga tidak jarang seorang raja menjadi bersifat otoriter kepada rakyatnya karena apa yang diperintahkannya adalah sama dengan sebuah undang-undang. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Raja (anak dewa)

                                   Undang-Undang[17] (Perintah raja)                   Otoriter
 

Rakyat/bangsa
Selanjutnya, diambillah keputusan untuk mengangkat raja, dan pada kira-kira tahun 1020 s.M Saul dipilih sebagai raja yang pertama (1 Sam. 9:1 – 10:16; 10:17-24; 11:1-5). Inilah yang menjadi awal dari monarki bangsa Israel. Sadar ataupun tidak sadar, bangsa Israel pada masa ini telah berkecimpung di dunia politis (bentuk kekuasaan).
Walaupun pada awalnya ada pertentangan akan perubahan dari kedua sifat kebijakan ini, namun Allah tetap menyertai Israel dan memperhatikan kehidupan, kesejahteraan, keadilan dalam bangsa Israel. Dampak dari perubahan kebijakan tersebut adalah adanya rasa curiga, iri, benci dalam keinginan untuk menduduki suatu kekuasaan dalam masyarakat (bnd. 1 Sam. 18:6 – 19:1-24), sehingga tidak jarang terjadi kepemimpinan yang kotor dan penuh dengan dosa (bnd. 1 Sam. 15; 2 Sam. 11). Kebijakan untuk menentukan kehidupan yang terlepas dari Allah akan membawa kesia-siaan.
Setelah Samuel digantikan oleh Daud menjadi raja, langkah-langkah cermat yang dilakukan Daud adalah memusatkan pemerintahannya di Yerusalem, yakni sebuah kota yang direbutnya dari tangan orang Yebus. Kebijakan ini dilakukannya adalah agar tidak ada kecemburuan antara suku-suku Israel yang di bagian utara dan timur karena Yerusalem merupakan tempat yang netral. Tabut Perjanjian yang merupakan Benda Suci yang pernah direbut bangsa Filistin dipindahkan ke kota Yerusalem (2 Sam. 6:1-19 ) sebagai tanda bahwa ia memperkuat kesetiaan dirinya kepada Israel. Ia tidak menghapus kebiasaan lama Israel, melainkan taat pada peraturan keagamaan. Daud tetap bersikap hormat dan tetap melanjutkan ibadah kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Daud adalah pemimpin pilihan Allah (2 Sam. 7). Kota (‘ir) yang dulunya milik orang Yebus adalah kota yang tandus, mempunyai banyak jurang, lembah dan bukit-bukit berbatu, dan kurangnya persediaan air minum serta sarat dengan peperangan,[18]  menunjukkan bahwa kota ini memang sarat dengan ketidaksejahteraan dan ketidakmakmuran, namun oleh kebijakan Daud menjadikan kota ini menjadi “kota Allah”, kota yang menjadi kesejahteraan dan kewibawaan serta pusat peribadahan umat kepada Allah.[19]

3.1.3 Kerajaan YHWH dan Politik
Bagi Israel kerajaan YHWH mempunyai arti politis mengesampingkan semua penguasa yang diperintah oleh manusia. Hal ini secara ringkas dinyatakan oleh Gideon dalam Hak. 8:22-23.[20] Kerajaan allah pada kebanyakan bangsa Timur Tengah kuno merupakan suatu ideologi yang harus mendukung negara-negara duniawi, namun di Israel justru sebaliknyalah yang harus terjadi.[21]
Seperti yang telah dipaparkan di atas, sebelum Israel menjadi monarki Israel menganut sistem pemerintahan Teokrasi. Artinya, YHWH-lah yang menjadi pemimpin mereka. Baik pada masa Teokrasi maupun monarki instrument politik yang ada ialah pemilihan, pemimpin dan rakyat.


3.1.3.1 Instrument Politik
*      Teokrasi
a.      Pemilihan dan Pemimpin
Pada masa Teokrasi dapat dikatakan, bahwa pemilihan YHWH menjadi pemimpin Israel tidak dilakukan oleh Israel. YHWH-lah dengan inisiatif-Nya menjadi pemimpin bangsa Israel melalui pertemuan-Nya dan pengutusan-Nya terhadap Musa (Kel. 3:1-15). Musa hanyalah sebagai “alat” YHWH untuk memimpin bangsa tersebut keluar dari segala bentuk penindasan. Kepemimpinan Allah itu terjadi karena Allah “melihat” Israel dilakukan sewenang-wenang oleh bangsa Mesir. Oleh karena itu, pada masa teokrasi ini, YHWH-lah yang menjadi penanggung jawab mutlak dari kesejahteraan bangsa Israel.
Tanggung jawab tersebut, juga tidak hanya berlangsung ketika mereka masih di tanah Mesir, tetapi juga berlangsung ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan (Kel. 13:17-22) dan juga pada masa selanjutnya yang dibuktikan dengan pemberian Sepuluh Hukum Taurat oleh YHWH kepada bangsa Israel melalui Musa (Kel. 20:1-17; Ul. 5:1-21). Di dalam pemilihan dan kepemimpinan tersebut YHWH-lah yang menjadi regulator dengan prioritas utama adalah kesejahteraan hidup, baik yang jasmani maupun rohani.

b.      Rakyat
Rakyat atau masyarakat adalah objek dari kekuasaan dalam politik. Allah yang memperkenalkan diri-Nya tersebut hadir untuk mensejahterakan bangsa Israel (Kel. 2:23-25). YHWH tidak bertindak otoriter ketika Ia menjadi pemimpin di tengah-tengah bangsa Israel. Kehadiran-Nya menunjukkan, bahwa Israel menjadi rakyat ataupun umat-Nya. Oleh karena itu, ketaatan bangsa Israel menentukan kesejahteraan yang mereka peroleh dari YHWH. Dalam konsep Teokrasi, antara pemimpin dengan rakyat mempunyai hubungan yang baik dan merujuk dari dan kepada Allah. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
       YHWH

                                   Undang-Undang (Hukum Taurat)

Pemimpin (Musa)/Hakim/Imam








 


   Rakyat/bangsa

TUHAN memberikan UU-Nya kepada para pemimpin yang dipilih oleh-Nya untuk diimplementasikan kepada dan oleh rakyat. Panah putus-putus menandakan, bahwa mereka yang dipilih oleh Allah tidak secara mutlak berkuasa atas Israel. Mereka hanya berperan sebagai “alat” implementasi dari perintah Allah kepada manusia. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat tetap terjaga secara baik dan teratur. TUHAN-lah yang berkuasa secara mutlak dan tetap memperhatikan kesejahteraan bangsa-Nya, sehingga nama-Nya pun semakin dipermuliakan/beribadah oleh bangsa-Nya sebagai respon atas cinta kasih yang diberikan TUHAN kepada bangsa-Nya.

*            Monarki
a. Pemilihan dan Pemimpin
Pemilihan seorang pemimpin (raja) di tengah-tengah bangsa Israel dimulai ketika tua-tua Israel datang menghadap Samuel untuk mengangkat seorang raja di tengah-tengah mereka (1 Sam. 8:4-5; 10-17) dan terpilihlah Saul yang menjadi seorang pemimpin (raja) pertama bagi bangsa Israel sebagai ragulator bagi mereka (1 Sam. 11). Tugas pokok pemerintahannya adalah bertahan melawan bangsa Filistin (bnd. 1 Sam. 14:52). Tugas tersebut menunjukkan, bahwa Daud memelihara dan megatur kesejahteraan kota, kendati ia gagal membangun dinasti atau istana yang dikarenakan oleh Saul ingin memakai masyarakat tanpa kelas di Israel sebagai dasar negara.[22]
Walaupun pemilihan/pengangkatan raja atas Israel mengindikasikan penolakan terhadap YHWH sebagai Raja atas mereka, namun pada kenyataannya masyarakat Israel tetap tidak anarkis. Hal tersebut dibuktikan melalui “UUD” dalam perjanjiannya dengan (berit) dengan YHWH (Kel. 19 - 24).[23]
Berbeda dengan Saul, Daud adalah raja yang lebih berhasil ketimbang Saul. Keberhasilan Daud dalam pemilihan menjadi seorang raja atas Israel disebabkan oleh bala tentara yang dibangun oleh Daud cukup kuat, merangkul orang-orang yang diterlantarkan oleh masyarakat dan terutama keberhasilannya dalam mempertahankan ideologi bangsa Israel sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjurus kepada ketaatan. Ketaatan tersebut dituntut oleh Daud demi tujuan baru, yaitu menyokong kerajaannya sebagai cerminan duniawi dari kekuasaan YHWH di Israel.[24]
Setelah Daud dan para tentaranya berhasil merubut Yerusalem dari tangan orang Yebus dan menetapkannya sebagai pusat pemerintahannya yang kemudian disebut dengan “kota Daud” (2 Sam. 5:6-10). Hal ini dilakukan Daud karena Yerusalem adalah sebuah daerah netral. Ketegangan yang ada antara suku-suku Israel menjadi alasan utama Daud memilih Yerusalem sebagai lambang dari kekuasaannya (2 Sam. 5:11-12), sehingga tidak ada lagi claim, bahwa Yerusalem hanya milik dari salah satu suku Israel.[25]
Keberhasilan Daud dalam mempertahankan ideologi bangsa Israel pada masa pemerintahannya dimulai ketika ia memindahkan Tabut Perjanjian ke kota Yerusalem yang dulunya pernah direbut oleh bangsa Filistin. Tabut tersebut adalah pengikat bangsa Israel dalam persekutuannya kepada YHWH. Dengan menempatkan tabut tersebut di Yerusalem, Daud secara bijak telah memperkuat kesetiaan Israel kepada dirinya. Bahkan Daud dapat dikatakan sebagai tokoh Israel yang taat kepada aturan lama dan memberikan pusat baru yang tetap melanjutkan ibadah bangsa Israel kepada YHWH. Semua suku Israel menyambut gembira tindakan Daud tersebut.[26]       
Namun ada satu hal yang perlu diingat dan diperhatikan di dalam sistem kepemimpinan pola monarki ini, yaitu kesetiaan kepada YHWH adalah syarat utama dalam mempertahankan sebuah kekuasaan yang baik dan ideal. Kebebasan, kemerdekaan dan kelangsungan kesejahteraan, baik kepada raja maupun rakyat akan tetap berlangsung apabila selalu setia dan tidak memberontak kepada YHWH (selalu setia kepada perjanjian terhadap YHWH). Apabila syarat tersebut dilanggar, maka hukuman dari YHWH pun akan berlangsung.[27] Hal inilah yang terjadi ketika Salomo, putra Daud menjadi raja atas Israel menggantikan ayahnya. Dalam masa pemerintahannya, Salomo tidak lagi mempertahankan ideologi bangsa Israel. Salomo hanya lebih peka terhadap kemewahan. Birokrasi kerajaan meningkat secara pesat dan hebat. Pungutan pajak diperluas sampai kepada bangsa Israel (1 Raj. 4:21-23, 26-28), membangun negara dengan ala Kanaan yang identik dengan kekafiran, dan mengadakan kerja rodi (1 Raj. 5:13-15) seperti yang dilakukan oleh Firaun kepada nenek moyang Israel ketika di tanah perbudakan Mesir. Oleh sebab itu, dalam nama YHWH suku-suku Israel mengadakan pemberontakan kepada Salomo (1 Raj. 11:26-40). Walaupun pemberontakan tersebut tidak berhasil, namun pada saat kematian Salomo, Israel menjadi terpecah dan terbagi dua.[28]

b.      Rakyat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rakyat adalah objek dari suatu kekuasaan ataupun pemerintahan. Setelah Israel menjadi monarki, maka seorang raja yang memerintah memiliki hamba, militer, birokrsi sipil dan mewajibkan seorang perempuan-perempuan melayani istana.[29] Namun yang dituntut dari rakyat ketika masa monarki adalah ketaatan mereka terhadap perjanjian yang telah dibangun dulunya dengan YHWH (Yos. 24:14-28). Kesejahteran rakyat tidak tergantung kepada kesuksesan seorang raja, melainkan kewajiban Israel untuk melayani hanya bagi YHWH.[30]
Seorang raja memang berkuasa atas rakyatnya, namun hak kekuasaan yang ada padanya itu adalah berasal dari Allah melalui orang yang dipilih-Nya (1 Sam. 9; 2 Sam. 2 dan 5), sehingga kesejahteraan yang berhasil ia lakukan kepada rakyatnya adalah juga tergantung kepada kesetiaannya kepada YHWH. Arti politis perjanjian Israel dengan YHWH adalah tidak toleran dengan kekafiran (bnd. Kel. 34:14).[31] Sehingga dengan demikian, kesejahteraan mereka (Israel dan rajanya) akan tetap terpelihara oleh YHWH. Jadi, kesetiaan raja dan rakyatnya kepada YHWH adalah suatu satu kesatuan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
YHWH (dengan perjanjian-Nya kepada Israel)
                                                                      
                                            
     Raja (diurapi melalui orang pilihan-Nya)
 

   Bangsa Israel
                 : Kesejahteraan dari Allah               : 1. Memilih raja


  
                 : Setia kepada perjanjian-Nya            2. Memerintah bangsa Israel 


  
3.1.3.2 Politik: Usaha-usaha Untuk Menghidupi Kehidupan Sejahtera
a.        Diplomasi dan Perjuangan
Ketika nenek moyang bangsa Israel masih berada di tanah perbudakan Mesir, maka oleh TUHAN Musa diutus-Nya untuk mengadakan diplomasi dengan raja Firaun diistananya (Kel. 5). Karena Musa adalah juga seorang bangsawan Mesir, maka dengan mudah ia masuk ke istana seorang raja dan mengadakan diplomasi terhadap raja Firaun. Diplomasi tersebut bertujuan agar Israel dilepaskan dari tanah perbudakan dan penderitaan mereka, sehingga mereka memperoleh kelepasan dari segala bidang kehidupan.
Ketika diplomasi yang dibangun gagal, maka Musa atas nama YHWH melakukan sebuah perjuangan. Perjuangan adalah suatu cara untuk menegakkan persamaan derajat yang merupakan dasar pokok pemujaan yang tidak terbagikan kepada YHWH.[32] Menurut tradisi Israel dalam Keluaran 20:2 dapat dilukiskan bagaimana Israel ketika ditindas di Mesir. Sebagaimana diingat oleh suku-suku Israel, awal dari usaha meninggalkan Mesir merupakan suatu konfrontasi yang berulang-ulang terhadap Firaun. YHWH sendiri menimpa Firaun dengan sejumlah malapetaka berat yang memuncak pada kematian putra sulung Firaun dan para hambanya. Sebagai hasilnya, YHWH melalui Musa memimpin bangsa Ibrani keluar dari Mesir dan memasuki padang gurun.[33]

b.      Taat kepada UUD-Nya (Perjanjian-Nya)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketaatan kepada UUD YHWH adalah syarat utama dalam menentukan kesejahteraan bangsa Israel. UUD ini diberikan YHWH ketika Israel telah lepas dari tanah perbudakan Mesir melalui Musa yang dapat dilihat dalam Kel. 19 – 24 dan keseluruhan kitab Ulangan.[34]
Sepuluh Perintah TUHAN yang diberikan kepada bangsa Israel melalui Musa adalah bagian dari UUD YHWH yang menjadi syarat utama dari kesejahteraan Israel. UUD tersebut diperkuat dengan kutukan yang akan menimpa bila terjadi pengingkaran. Persetujuan tersebut disegel dengan memintakan kesaksian manusia dan Allah. Dalam bentuk umum, semua unsur ini terdapat juga dalam perjanjian Israel dengan YHWH.[35] Ketentuan kunci UUD YHWH kepada Israel adalah ketaatan yang tak terbagikan terhadap YHWH.[36]

c.       Produksi Tanah
Sebagai Kerajaan Allah, Israel memeliki hukum adat untuk mengatur kehidupan dan menjadi patokan penyelesaian perselisihan. Di dalam produksi tanah, ada perhatian khusus terhadap bagaian-bagian masyarakat yang dapat jatuh miskin atau yang mudah diperas oleh tetangga (Kel. 22:21-24). Di Israel, YHWH adalah Raja. Oleh sebab itu, seluruh tanah adalah milik YHWH. Dalam praktek, ini berarti tanah garapan tidak dapat dibeli atau dijual. Di dalam hukum Israel milik para petani dilindungi oleh Tahun Yobel: apabila satu keluarga terpaksa menyerahkan tanah miliknya karena suatu penyebab (misalnya, diambil oleh tetangga atau penguasa), maka hak mereka untuk memperolehnya kembali pada akhir siklus masa 50 tahun (Imamat 25). Mengenai prakteknya, bagaimana peraturan ini dilakukan tidak dapat diketahui secara pasti dan jelas, namun tujuannya adalah mewujudkan suatu masyarakat tanpa kemiskinan.[37]   

3.1.4  Politik Sebagai Cara Untuk Memperteguh Iman
Para penguasa politik Yehuda pada zaman nabi Yesaya adalah para penguasa yang gagal. Mengapa disebut demikian? Hal ini dikarenakan para raja Yehuda pada zaman nabi Yesaya telah menjauh dari kepentingan TUHAN, seperti raja Usia (767-740) yang telah membatasi peribadahan kepada TUHAN dengan menjauhkan bukit-bukit pengurbanan Yehuda (2 Raj. 15:4), Yotam (740-734) yang menyalahgunakan kekuasaan dan ketidakadilan sosial (Yes. 1:16-17,21-28; 2:6 – 4:1; 5:1-7,8 – 24 + 10:1-4a), Ahas (734-727) dan Hizkia (721-705) yang bersekutu dengan kekuasaan yang mempunyai maksud jahat.[38] Para raja Yehuda ketika itu telah menjauhkan imannya dari TUHAN. Oleh karena itu Yesaya dalam permberitaannya secara politis ingin mengajak, seharusnya para penguasa adalah penguasa yang tunduk pada perintah TUHAN dan mempunyai iman yang tidak pernah tergoyahkan. Walaupun pada saat itu Israel adalah bangsa yang makmur (Yes. 1:21-28), namun ketidaktaatan kepada TUHAN akan menimbulkan kesengsaraan bagi semua.

3.1.5 Politik sebagai Syalom
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”
(Yer. 29:7).
Ketika Israel berada di pembuangan Babel, Allah masih tetap memperhatikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan umat-Nya di pembuangan (Yer. 29:7). Hidup di pembuangan sebagai bangsa yang dijajah adalah kehidupan yang penuh dengan keminoritasan dari sudut agama,[39] oleh karena itu Allah menghendaki setiap umat-Nya, di mana pun, kapanpun dan dalam situasi terjajah (sulit) sekalipun agar tetap menjadi syalom (eirene). Artinya menunjukkan suatu keadaan hidup yang penuh kebahagiaan yang bersifat totalitas, baik rohani maupun jasmani atau baik perorangan sebagai persekutuan mengingat betapa pentingnya relasi dalam hidup manusia yang pada selanjutnya adalah sebagai makhluk sosial-politik.[40]Sehingga syalom pun menunjukkan suatu situasi dalam relasi yang baik antar pribadi lepas pribadi, manusia dengan Allah. Tetapi harus diingat syalom adalah pemberian Allah dan merupakan karya Allah semata untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.

3.2         Perjanjian Baru
3.2.1   Politik: Antara Gerakan Yesus dan Kerajaan Allah dengan Gerakan Zelot
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).
Nas di atas menunjukkan sebuah gerakan Kerajaan Allah yang dilakukan oleh Yesus. Menurut gerakan Yesus, yang menjadi penghalang utama terwujudnya Kerajaan Allah di Palestina adalah Bait Allah dan struktur golomgam penguasa yang mendukungnya.[41] Penguasa Roma mengadakan perbudakan bagi masyarakat Palestina. Gerakan yang dilakukan Yesus terhadap para imam sebagai “penguasa” Bait Suci adalah melalui ideologi. Yaitu, suatu ideologi yang sudah lama tertanam dalam bagi para imam.
Para imam percaya, bahwa pusat peribadahan bangsa Yahudi adalah berada di Yerusalem, tepatnya Bait Suci. Namun, para imam menyalahgunakan fungsi dari Bait Suci tersebut. Dalam Lukas 19:45-46, diceritakan bahwa Yesus menjungkirbalikkan meja penukaran uang serta perdagangan di Bait Allah. Hal ini dilakukan Yesus bukan hanya karena faktor ekonomis saja, melainkan juga karena para imam sebagai “penguasa” Bait Suci melakukan pemerasan, memeras tenaga para petani, orang miskin, janda dengan dalih pembangunan Bait Allah, sehingga Bait Allah menjadi sarang para pencuri. Bait Allah bukan lagi rumah ibadah untuk segala bangsa sebagaimana tujuannya semula, melainkan sudah menjadi sarang para pencuri dan penyamun (bnd. Yer. 7:11; Mrk. 11:17).[42] Oleh sebab itulah Yesus melakukan kritik yang sangat tajam terhadap ideologi tersebut (Mat. 23:23, 27-28; Mrk. 13:1-2; Luk. 19:45-46).[43]
Adapun tujuan dari gerakan Yesus tersebut adalah mengembalikan fungsi Bait Suci sebagaimana yang sesuai dengan tujuan awalnya dan memperhatikan mereka yang mengalami penindasan. Selain itu, tujuan dari gerakan tersebut adalah mewujudkan dalam kehidupan bersama prinsip-prinsip persamaan derajat Kerajaan Allah (Mat. 23:8-12).[44]
Berbeda dengan gerakan Yesus, golongan Zelot justru melakukan gerakannya dengan cara militer (kekerasan). Dalam hal Bait Allah, golongan Zelot memandang bahwa Bait Allah sebagai inti dari dari Kerajaan Allah. Mereka memandang, bahwa kehadiran pasukan Romawi di Palestina sebagai pencemaran tanah TUHAN dan suatu penghinaan yang menolak kekuasaan YHWH. Sehingga yang menjadi tugas pertama kaum beriman menurut mereka adalah mengusir kehadiran Roma. Mereka bukannya tidak menyadari kekuatan militer Roma, tetapi mereka juga yakin bahwa Allah akan berjuang untuk membaharui Kerajaan-Nya. Dengan keyakinan inilah mereka memulai perjuangan yang sungguh sia-sia.[45] Di sinilah letak perbedaan gerakan Yesus dan Kerajaan Allah dengan gerakan kaum Zelot, yakni kaum Zelot menggunakan cara militer untuk mewujudkan kesejahteraan tetapi gerakan Yesus menghindari konflik militer dengan kritik ideologi yang dilakukan-Nya. Yesus memang tidak tegas menolak taktik militer tersebut, tetapi Yesus tidak mendukung taktik tersebut untuk membersihkan negeri dari penindasan kaum imam.[46] Oleh karena itu, perjuangan Yesus bukanlah jalan kekerasan. Konsep pembebasan yang dilakukan Yesus adalah pembebasan seluruh manusia. Taktik dan cara perjuangan Yesus adalah penyadaran manusia tentang hakikatnya sebagai yang dijajah oleh dosa.[47]

3.2.2   Politik dan Kemerdekaan
Yesus memang bukan seorang pejuang kemerdekaan yang militan, namun Ia juga bukan seorang “rohaniawan” yang a-politik dan bersikap acuh tak acuh pada kerinduan manusia akan kemerdekaan dan kebebasan. Ia memang tidak menerjunkan diri sebagai Mesias politik yang memimpin tentara pembebasan rakyatatau ikut berpolitik untuk mengusir penjajah Roma. Hal ini bukan karena Ia tidak peduli dengan nasib bangsa Yahudi, melainkan karena misi-Nya ke dunia adalah melampaui batas-batas nasionalisme Yahudi. Ia memang seorang politikus yang benar dan pejuang kebenaran yang sejati, sebab Ia sesungguhnya berjuang melawan akar segala penjajahan dan penyimpangan politik manusia, yang mengakibatkan ketidakdamaian, kesengsaraan dan penderitaan seluruh umat manusia.[48]
Perkataan Yesus dalam Mat. 28:18-20, menunjukkan bahwa Kerajaan Allah bersifat internasionalisme dan universalisme. Oleh karena itu, maka perjuangan-Nya tidak berada dalam tataran politik kebangsaan, sekalipun kelak akan berpengaruh ke situ, namun pada tataran iman atau teologi.[49] Dalam Yoh. 8:31-32, 36, memberitahukan bahwa Yesus adalah pemberi kemerdekaan sejati. Sekilas jika diperhatikan ay. 36, maka tafsiran yang ada ialah bahwa Yesus sesungguhnya merupakan pembebas politik yang dinanti-nantikan oleh bangsa Israel. Begitu pula yang terjadi dalam Yoh. 6:68-69, yakni pengakuan Petrus tentang kemesiasan Yesus sudah cukup kuat sebagai alasan untuk menganggap Yesus sebagai Mesias politis. Namun, jika berangkat dari konteks literernya, maka Yoh. 8:31-36 adalah pengingatan Yesus kepada para murid-Nya agar mengetahui “kebenaran” tentang diri-Nya tanpa ragu. Syaratnya adalah jika berpegang teguh pada segala ucapan-Nya (LAI: “Jika kamu tetap di dalam firman-Ku). Sebab hal berpegang teguh pada firman-Nya merupakan syarat dasar untuk mengetahui kebenaran. Pengetahuan akan kebenaran itulah yang sesungguhnya akan memerdekakan. Kebenaran itu adalah kebenaran seputar diri-Nya, yakni Ia berasal dari Allah dan bukan dunia, serta berkuasa atas dunia oleh Allah. Sehingga, Allah dalam diri Yesus Kristus adalah Sang Kebenaran itu sendiri, dan Dia-lah satu-satunya yang berkuasa memberikan kemerdekaan sejati itu.[50]
Jadi, jelas terlihat bahwa kemerdekaan yang dimaksud Yesus adalah kemerdekaan politis-teologis. Artinya, bahwa kemerdekaan yang diberikan Yesus itu adalah kemerdekaan dari perhambaan dosa yang merupakan akar dari kejahatan politik. Kemerdekaan inilah yang akan berpengaruh kepada kesejahteraan (politik) suatu bangsa. Kemerdekaan yang teologis ini akan berpengaruh terhadap suatu tatanan hidup baru dalam politik[51], sehingga kesejahteraan yang jasmani dan rohani (Kerajaan Allah) terwujud dalam suatu tatanan masyarakat yang telah melakukan ikatan dengan Allah atau dengan kata lain, masyarakat yang telah bebas dari perhambaan dosa.

3.2.3      Politik dalam “Doa Bapa Kami”
Dalam Matius 6:5-15 Yesus mengajarkan suatu konsep cara berdoa yang benar, yang kemudian disebut dengan Doa Bapa Kami. Salah satu isi permohonan dari doa tersebut adalah “datanglah Kerajaan-Mu” (Mat. 6:10a). Kerajaan yang dimaksud di sini adalah suatu pemerintahan yang dijalankan oleh Allah sebagai Raja yang penuh dengan keadilan.[52]
Karena Allah yang memperkenalkan diri-Nya dulu kepada nenek moyang Israel di tanah perbudakan Mesir adalah Allah yang datang dengan kerajaan-Nya yang membawa kepada pembebasan dan keadilan, sehingga terciptalah kesejahteraan dan keadilan di tengah-tengah bangsa Israel, maka permohonan datanglah Kerajaan-Mu di sini juga adalah mengacu kepada suatu kuasa yang menciptakan kesejahteraan dan keadilan di dunia yang dipimpin dan dijalankan langsung oleh Allah sebagai Raja. Kesejahteraan dan keadilan tersebut bukan hanya sesuatu yang bersifat future (penggenapan di masa yang akan datang), melainkan juga sebuah kesejahteraan dan keadilan yang sudah dimulai dari sekarang. Itulah sebabnya dalam permohonan doa selanjutnya dikatakan  jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga (Mat. 6:10b), memaksudkan bahwa kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya dan kemudian dilanjutkan dalam diri Yesus Kristus adalah sebagai tanda bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di dunia ini dan masih akan berlangsung/berlanjut sampai masa yang akan datang (present).

3.2.4                                  Politik sebagai suatu Nasehat (Perintah)
Dalam Filipi 1:27, dituliskan bahwa agar warga (jemaat) hidup (politeusthai) sesuai dengan Injil Krtistus (LAI). Katapoliteusthai, berarti hidup atau berlaku sebagai warga dari suatu negara/kerajaan. Dengan kata ini, Paulus ingin mengingatkan anggota jemaat akan status mereka sebagai warga-warga dari Kerajaan Sorga (Flp. 3:20). Bersama-bersama mereka merupakan suatu “polis” dan tiap-tiap warga jemaat adalah warga dari “polis” itu (bnd. Ef. 2:12, 19).[53]
Oleh karena jemaat adalah warga Kerajaan Sorga yang tinggal dan bersekutu bersama di suatu kota, maka mereka secara otomatis dan harus bersatu, tolong-menolong, saling menghormati, bersama-sama berjuang melawan suatu bentuk pemerintahan yang bertindak secara sewenang-wenang. Ini merupakan suatu perintah yang harus dilakukan secara terus-menerus (aktif).[54] Jadi, penekanan nasehat atau perintah yang diberikan Paulus dimaksudkan Paulus di sini adalah bagaimana setiap warga jemaat yang notabene adalah warga kerajaan/negara dan juga warga Kerajaan Sorga hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil Kristus, yang tidak lain adalah suatu persekutuan dalam Roh Kudus yang diimplementasikan dalam perbuatan keseharian. Penekanan selanjutnya adalah bagaimana jemaat sebagai suatu persekutuan yang sehati-sejiwa harus tahan, teguh, kokoh dan terus berjuang mempertahankan imannya di tengah-tengah dunia yang sesuai dengan Injil Kristus.[55]



3.2.5   Politik sebagai suatu Perkara Sorgawi
Dalam Filipi 3:20 dituliskan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat”. Politeuma (warga negara) yang dimaksud Paulus dalam nas ini adalah menjadi anggota dari suatu polis (kewarga-negaraan).[56]
Penekanan perkara sorgawinya di sini adalah karena Kristus telah menebus dan menyelamatkan umat, maka umat harus ambil bagian dalam keselamatan tersebut. Kehidupan mereka di dunia haruslah berpadanan dengan kewargaan sorgawi mereka, walaupun tubuh yang mereka miliki sekarang adalah “tubuh yang hina” yang berada dalam kuasa kematian (Rm. 7:24), tetapi oleh Kristus “tubuh hina” tersebut akan Kristus ubah menjadi serupa dengan tubuh-Nya yang mulia.[57]Dengan demikian, perkara sorgawi yang dimaksud dalam nas ini adalah mengarah kepada suatu kesejahteraan yang bersifat rohani. Itulah sebabnya dikatakan, politik adalah sebagai suatu perkara sorgawi.  

3.2.6                                  Politik Teokrasi-Monarki
Dalam PB teologi politik yang ditekankan adalah politik teokrasi-monarki. Artinya Allah-lah yang berkuasa penuh atas kuasa yang ada di dunia (Rm. 13:1), oleh karena manusia adalah ciptaan menurut gambar-Nya (Kej. 1:27), maka setiap orang yang mempunyai kekuasaan/kedudukan haruslah menjalankan perintah sesuai dengan anjuran-Nya, yaitu selalu menjadi syalomdalam situasi apapun. Dengan demikian, setiap orang percaya juga harus menghormati segala pekerjaan mereka yang berlandaskan perintah Allah.
Kehidupan Yesus tidak terlepas dari keadaan politis, oleh karena itu para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari polis, menuntut pemahaman terutama menyangkut tanggung jawab. Perkataan Yesus dalam Matius 21:22 menunjukkan bahwa kerajaan Romawi memelihara ketertiban di Palestina, dan memberi perlindungan terhadap para penyamun dan orang jahat, sehingga orang dapat berdagang dan memelihara pekerjaannya yang lain dengan aman.[58] Itulah sebabnya setiap warga wajib membayar pajak kepada pemerintahan yang berdaulat dan yang menghormati martabat manusia, dan yang paling utama dari perkataan Yesus tersebut adalah wajib memperhambakan dirinya kepada Allah (Mat. 21:22).
Pada masa Paulus, kerajaan Romawi adalah memang sering melakukan hukuman-hukuman yang bersifat bengis, tetapi kerajaan Romawi pada masa Paulus tetap melaksanakan kewajibannya terhadap penduduk, dengan memastikan keadilan, ketertiban dan stabilitas.[59] Namun yang menjadi permasalahan bukanlah hukuman-hukuman yang bersifat bengis tersebut, tetapi hal keminoritasan/masalah keagamaan (hukum Taurat dan bangsa pilihan Allah) antara orang Kristen dengan Yahudi yang lebih kuat dari orang Kristen,[60] penolakan oleh orang-orang Yahudi yang menolak Injil yang dikabarkan Paulus, sehingga orang-orang Yahudi pernah merencanakan untuk membunuh Paulus (Kis. 20:3; 23:12).
Walaupun pada masa Paulus selalu sarat dengan masalah keagamaan dan keminoritasan, namun Paulus tetap memberitakan bahwa setiap orang baik dalam keadaan tertekan sekalipun harus mempunyai sikap menyangkut bidang kehidupan, yaitu politis (Rm. 13:1-7). Setiap orang harus taat kepada pemerintah yang berdaulat dan berkeadilan. Taat yang dimaksud adalah sikap bukan karena rasa takut tetapi karena dorongan batin.
Dalam kitab Wahyu, para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah. Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes, manakala kekaisaran Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah orang  Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah mana pun, selain Allah.[61]
IV.        Refleksi Teologis
Politik bukanlah kesempatan untuk berkuasa demi kepentingan diri sendiri, melainkan politik adalah berdasarkan hati nurani demi kesejahteraan banyak orang. Kesejahteraan bukan saja menyangkut hal jasmaniah, tetapi juga rohani.   Kebebasan untuk memperoleh kehidupan yang layak, pendidikan, beribadah kepada TUHAN adalah bagian dari politik, yaitu suatu cara untuk hidup adil, makmur dan beragama.
Berpolitik adalah panggilan mulia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. HKBP dalam tahun diakonianya (2009) yang mengambil tema dari Yer. 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”, memaksudkan bahwa HKBP dan segenap para pelayannya serta jemaatnya harus mampu menunjukkan suatu keadaan atau cara hidup yang penuh dengan kebahagiaan yang bersifat totalitas bagi siapa saja, di mana pun, kapan pun dan dalam situasai yang bagaimana pun sekalipun dari segi status sosial keagamaan adalah minoritas. Oleh karena itu dalam pelayanannya yang bersifat politis (HKBP dan segenap orang Kristen) diperlukanlah doa sebagai berikut: “TUHAN, karuniakanlah kepada kami keberanian untuk mengubah apa yang dapat kami ubah, kesabaran untuk bertahan terhadap apa yang tidak dapat diubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan itu”. Doa ini relevan dalam banyak keadaan yang dihadapi orang-orang Kristen.[62]    

V.           Kesimpulan dan Saran
5.1     Kesimpulan
1.             Teologi politik adalah cara dari segenap manusia yang berasal dari Allah  demi terwujudnya kesejahteraan atau keadilan (baik jasmani maupun rohani bagi) setiap manusia dan mengangkat harkat dan martabat manusia, baik dalam pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari.
2.             Ideologi (UUD YHWH) adalah asas dari teologi politik.
3.             Kekuasaan yang ada di dunia ini adalah bersumber dari Allah (Rm. 13:1-7) oleh karena itu segenap orang Kristen tidak boleh menyembah seorang pemimpin sebagai “Ilah” sekalipun kesejahteraan dan keadilan terwujud dalam pemerintahannya, tetapi harus tetap loyal kepadanya. Hanya Allah sajalah yang layak untuk disembah.
4.             Teokrasi adalah menyangkut nilai kehidupan. Manusia dibebaskan dari kekuasaan mana pun, kecuali Allah yang harus ditaatinya. Artinya, dengan dan di dalam teokrasi itu pasti tersimpan suatu nilai yang paling mendasar yang berkaitan dengan kehidupan dan kemanusiaan.
5.             Monarki adalah suatu kesempatan untuk menduduki kekuasaan yang bukan tidak mungkin kecurangan ada di dalamnya. Oleh karena itu Monarki yang baik haruslah seperti yang dikatakan dalam Mazmur 72.
6.             Dalam prinsip etika politik Alkitabiah, suatu pemerintahan yang baik memang terfokus dalam ketiga urusan ini: penegakan hukum yang tidak berat sebelah, keadilan bagi orang miskin, dan pembebasan warga dari penindasan dan kekerasan (sistem politik Teokrasi-Monarki).

6.2         Saran
1.       Gereja, secara khusus HKBP sebaiknya membuat semacam lokakarya ataupun pernyataan sikap yang jelas agar jemaat juga mengerti bahwa politik bukan hanya terlibat dalam suatu pemerintahan/kekuasaan, tetapi juga bagaimana cara mereka menunjukkan syalom dalam kehidupan sehari.
2.       HKBP harus tetap aktif menyuarakan suara kenabian demi terwujudnya keadilan terhadap pemerintah, apabila realisasi kepemimpinan bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 29 yang tentunya dilakukan tanpa dengan kekerasan melainkan dengan cara berdialog (sesuai dengan fungsinya sebagai “garam dan terang”).  




Daftar Pustaka
A.           Buku-buku Utama
Abineno, J. L. Ch.
2002                                           Khotbah Di Bukit: Catatan-catatan tentang Matius 5-7, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke- 3).
2008                                           Tafsiran Alkitab: Surat Filipi, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke- 10).
Barth, Christoph
2006                                           Theologia Perjanjian Lama 1, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke-11).
Brown, Colin (ed.)
1979                                The New Internasional Dictionary of New Testament Theology, Michigan (Paternoster Press).
Douglas, J.D. (peny.)
2007                                Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-L, Jakarta (Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM,cetakan ke-9).
2007                                           Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid II M-Z, Jakarta (Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, cetakan ke-9).
Drane, John                
2000                                Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke-3).
Heer, J.J. de
2008                                Tafsiran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke-9).
Mawene, Marthinus TH.
2004                                Teologi Kemerdekaan: Suatu Ontologi tentang Kemerdekaan dan Pembebasan dalam Perspektif Kerajaan Allah, Jakarta (BPK-GM).


Pareira, Berthold Anton
2006                                Kritik Sosial Politik Nabi Yesaya: Yesaya 1-12, Malang (DIOMA).
Peterson, Robert M.
2008                                Tafsiran Alkitab: Kitab Yeremia, Jakarta (BPK-GM, cetakan ke-6).
Pixley, George V./Tabe, Aleks
1990                                Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan, Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, Jakarta (BPK-GM).
Wahono, Wismoady
2004                                           Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta (BPK-GM,cetakan ke-12).
Wood, D.R.W.
1996                                                         New Bible Dictionary, England (Inter-Varsity Press, cetakan ke-3).

B.            Internet
wikipedia.org/wiki








[1] Merupakan perbaikan sajian dalam mata kuliah Seminar Biblika, yang diampu oleh dosen Pdt. C.W.Z. Pakpahan, M. Th danPdt. B. Sinaga, M. Th. Untuk seluruh pembahasan sub bab 3.1.3 Kerajaan YHWH dan Politik adalah masukan dan saran dari Pdt. C.W .Z. Pakpahan, M. Th kepada penyaji/penulis, sedangkan untuk pembahasan 3.2.1 Politik: Antara Gerakan Yesus dan Kerajaan Allah dengan Gerakan Zelot3.2.2 Politik dan Kemerdekaan3.2.3 Politik dalam “Doa Bapa Kami”3.2.4 Politik sebagai suatu Nasehat (Perintah)3.2.5 Politik sebagai suatu Perkara Sorgawi adalah tambahan kemudian setelah mendapat kritikan dan saran dari Pdt. B. Sinaga, M. Th, yang diberikan oleh kedua dosen pada saat penulis menyajikan judul di atas. 
[2] Lih. Colin Brown (ed.), The New Internasional Dictionary of New Testament Theology, Paternoster Press, Michigan 1979, hlm. 801.
[3] Ibid., hlm. 802.
[4] D.R.W. Wood, New Bible Dictionary, Inter-Varsity Press, England 19963, hlm. 207.
[5] Bnd. Brown (ed.), Op.cit. Pada umumnya kota berbentuk empat persegi dengan jalan tengah, dihiasi dengan pohon-pohon indah dan mulia dan bunga-bungaan. Rumah-rumah penduduk yang besar barangkali adalah milik para bangsawan, dan bahkan istana.
[6] Bnd. Wood, Ibid.
[7] Lih. Brown (ed.), Op.cit., hlm. 803.
[8] Bnd. John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis, BPK-GM, Jakarta 20003, hlm. 36. Oleh golongan Yahudi kebijakan ini sangat ditentang karena bertentangan dengan keesaan YHWH, dimana Ia harus disembah tanpa berhala-hala.
[9] Sifat politis yang dimaksud adalah usaha untuk memerintah atau mendapatkan suatu kedudukan dalam pemerintahan suatu negara ataupun kebijakan-kebijakan yang berasal dari suatu kerajaan, pemerintahan (lembaga). Walaupun pada mulanya kata polis belum mengacu pada sifat politis, namun menurut beberapa ahli, penulis Yahudi yang bernama Filo-lah yang mengerti polis menurut arti politiknya. Itulah sebabnya kemudian politik berasal dari kata polis. {bnd. J.D Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, Jakarta 20079, hlm. 589}. Pemikiran Filo tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh budaya Hellenistis, dimana ketika Alexander Agung membagi wilayah kekuasaannya, maka tiap daerah dikuasai oleh para panglimanya (gubernur) dengan tujuan untuk mengorganisir wilayah yang dikuasai agar setiap masyarakat mempunyai harapan hidup dan pendidikan yang sama (bnd. Drane, hlm. 23-24). Pengorganisiran (pembagian wilayah kekuasaan) inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi pengertian polis menurut pemikiran Filo.  
[10] Bnd. Wood, Op.cit., hlm. 209.
[11] BndC. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, BPK-GM, Jakarta 200611,  hlm. 148-149.
[12] Ibid., hlm. 159.
[13] Ibid.,  hlm. 134.
[14] Bnd. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, BPK-GM, Jakarta 200412, hlm. 126-17 & 129.
[15] Ibid., hlm. 128.
[16] Ibid.
[17] Selanjutnya disingkat dengan “UU”.
[18] Lih. J.D. Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid II M-Z, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, Jakarta 20079, hlm. 572.
[19] Lih. Wahono, Op.cit., hlm. 137.
[20] Lih. George V. Pixley, Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan, Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, diterjemahkan oleh Aleks Tabe, BPK-GM, Jakarta 1990, hlm. 18.
[21] Ibid.
[22] Ibid., hlm. 36.
[23] Ibid., hlm. 22.
[24] Ibid., hlm. 37.
[25] Ibid., hlm. 36-37.
[26] Bnd. Wahono, Op.cit., hlm. 134.
[27] Bnd. Pixley, Op.cit., hlm. 43.
[28] Ibid., hlm. 39-41.
[29] Ibid., hlm. 21.
[30] Bnd. Pixley, Ibid., hlm. 22-23.
[31] Lih. Pixley, Ibid., hlm. 24.
[32] Ibid., hlm. 25.
[33] Ibid., hlm. 26.
[34] Ibid., hlm. 22.
[35] Ibid.
[36] Ibid., hlm. 24.
[37] Ibid., hlm. 31-32.
[38] Bnd. Berthold Anton Pareira, Kritik Sosial Politik Nabi Yesaya: Yesaya 1-12, DIOMA, Malang 2006, hlm. 35-39.
[39] Lih. Robert M. Peterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Yeremia, BPK-GM, Jakarta 20086, hlm. 278.
[40] Bnd. J.D Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, Jakarta 20079, hlm. 229-230.
[41] LIh. Pixley, Op.cit., hlm. 65.
[42] Ibid., hlm. 68 dan 75.
[43] Ibid., hlm. 68, 71 dan 75.
[44] Ibid., hlm. 69.
[45] Ibid., hlm. 75-76.
[46] Ibid., hlm. 74.
[47] Bnd. Marthinus TH. Mawene, Teologi Kemerdekaan: Suatu Ontologi tentang Kemerdekaan dan Pembebasan dalam Perspektif Kerajaan Allah, BPK-GM, Jakarta 2004, hlm. 194.
[48] Lih. Mawene, Ibid., hlm. 58.
[49] Ibid., hlm. 59.
[50] Ibid., hlm. 61-62.
[51] Ibid., hlm. 62-63.
[52] Bnd. J. L. Ch. Abineno, Khotbah Di Bukit: Catatan-catatan tentang Matius 5-7, BPK-GM, Jakarta 20023, hlm. 122. 
[53] Lih. J. L. Ch. Abineno, Tafsiran Alkitab: Surat Filipi, BPK-GM, Jakarta 200810, hlm. 44-45.
[54] Ibid., hlm. 45.
[55] Bnd. Abineno, Tafsiran AlkitabIbid., hlm. 46.
[56] Ibid., hlm. 122.
[57] Ibid., hlm. 125.
[58] Lih. J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22, BPK-GM, Jakarta 20089, hlm. 434.
[59] Lih. Peterson, Op.cit., hlm. 278.
[60] Bnd. Wahono, Op.cit., hlm. 373, 423-424.
[61] Lih. Selanjutnya, Saut Sirait, “Politik dari Perspektif Kristen di Indonesia”, dalam:  wikipedia.org/wiki, dikunjungi tanggal 3 Oktober 2009.

[62] Lih. Peterson, Op.cit., hlm. 280.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar