Pada saat masih menjadi mahasiswa dulu, saya pernah mendengar
khotbah tentang dosa dari teks yang tidak asing bagi kebanyakan orang, Kejadian
3. Dengan berapi-api sang pengkhotbah memaparkan bahwa dampak dosa yang
paling hakiki adalah rusaknya hierarki ideal:
Allah –> Manusia –>Ciptaan, menjadi, Ciptaan
–> Manusia –> Allah
Allah yang semestinya menjadi puncak dari segala sesuatu
digantikan oleh alam dan alam yang semestinya dikuasai oleh manusia kini
dijadikan sesembahan manusia. Konsekuensinya, penebusan Kristus adalah
penebusan yang bertujuan mengembalikan hierarki ideal tersebut. Manusia
harus kembali kepada kodratnya, menjadi penguasa alam (dan bukannya dikuasai
alam) dan Allah harus menjadi penguasa manusia.
Terlepas dari berbagai alasan yang dapat kita kemukakan, konsep di
atas sebenarnya memiliki side-effect yang kurang baik sebab
kesalahan tafsir terhadap teks tersebut dapat membuat kita melihat bahwa
manusia adalah makhluk superior, yang berhak melakukan apa saja terhadap alam
ciptaan.Kesan inilah yang ditangkap oleh Lynn Towsend White, Jr.
(1907-1987)—seorang profesor sejarah abad pertengahan dan pengajar di
beberapa universitas ternama seperti Princeton, Stanford dan University of
California, Los Angeles—seperti yang ia tuliskan dalam artikelnya yang sangat
monumental, “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” (Science 155
[1967] 1203-1207). Menarik untuk disimak, White berkesimpulan bahwa krisis
ekologi yang memuncak pada abad 20 ini bukan sekadar disebabkan oleh mencuatnya
revolusi sains (abad XVII) dan revolusi teknologi (abad XVIII) di Eropa
melainkan karena terjadinya pergeseran konsep relasi antara manusia-alam yang
cukup signifikan pada era tersebut. Lebih menarik lagi, White menyatakan
bahwa pergeseran tersebut tidak dapat dilepaskan dari agama:
What people do about their
ecology depends on what they think about themselves in relation to things
around them. Human ecology is deeply
conditioned by beliefs about our nature and destiny–that is, by religion.
Dalam perjalanan sejarah, kekristenan akhirnya menjadi “pemenang”
di dunia Eropa. Pola pikir dan gaya hidup masyarakat Eropa sampai hari ini
harus diakui berakar dari tradisi Kristen yang sangat menyejarah. White
mencermati bahwa pertemuan antara dua revolusi besar di Eropa pada abad XVII
dan XVIII dengan kekristenan menjadi momentum besar yang mempengaruhi krisis
Ekologi saat ini. Kebangkitan sains dan industri yang sudah memperlihatkan
dampak buruknya terhadap lingkungan hidup saat itu makin memperoleh
katalisatornya lewat doktrin-doktrin Kristen yang sangat mendukung. Menurut
White, kekristenan adalah agama yang sangat anthropocentric. Ia
mengatakan bahwa berbeda dengan paham dinanisme/animisme dan agama-agama
penyembah berhala yang lain (terkecuali, mungkin, Zoroastrianisme),
kekristenan memisahkan manusia dari alam lewat konsep “segambar dan serupa
dengan Allah.” Orang pada zaman kuno memiliki konsep bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini memiliki roh penjaganya masing-masing. Bahkan paham
Panteisme mengatakan bahwa segala sesuatu mengandung unsur allah, bahkan allah
dan semesta adalah dua unsur yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Kepercayaan
kuno ini, terlepas dari nuansa yang bagi kebanyakan masyarakat modern terkesan
irasional, ternyata sanggup untuk menahan manusia pada zaman dulu untuk
melakukan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Terlepas dari kritiknya yang sangat tajam terhadap teologi Kristen
yang menurutnya turut mendorong bibit-bibit pengrusakan lingkungan oleh
revolusi industri dan sains, White dengan sangat fair mengatakan
bahwa kekristenan adalah kepercayaan yang sangat bercorak dan bahwa
implikasinya sangat berbeda tergantung konteks yang berbeda. Yang White
maksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa iman Kristen beserta
kredo-kredonya sebenarnya sangat kontekstual dan tetap relevan dalam berbagai
kondisi zaman. Dan itulah yang membuat White melihat bahwa penyelesaian
problem krisis ekologi ini bukanlah dengan, “. . . simply by applying
to our problems more science and more technology.” Menurutnya, “Since
the roots of our trouble are so largely religious, the remedy must also be
essentially religious, whether we call it that or not. We must rethink and refeel
our nature and destiny.” Ya, penyelesaian persoalan krisis ekologi
bukanlah sekadar dengan membuat undang-undang, melarang penggunaan ini dan itu,
hari tanpa penggunaan kendaraan bermotor, dan bentuk-bentuk himbauan sporadis
lain tanpa pemahaman terhadap akar permasalahan yang kuat. Sikap dan
tindakan manusia terhadap alam dan sekitarnya sangat bergantung kepada
penghayatan manusia itu sendiri terhadap alam. Penghayatan berkaitan
dengan kepercayaan-kepercayaan dasariah dan kepercayaan-kepercayaan dasariah
itu adalah teologi. Dari paparan ini maka kaum intelektual, teolog dan
kalangan akademisi Kristen sebenarnya punya tanggung jawab moral yang sangat
besar dan seharusnya berdiri pada garis terdepan dalam upaya mengatasi krisis
ini.
Tema tentang Ekologi mungkin adalah tema yang kurang begitu lazim
dan jarang dikumandangkan dalam khotbah-khotbah dan pembinaan-pembinaan
gerejawi. Meskipun demikian penulis merasa perlu mengangkat topik ini
sebagai salah satu upaya berperan serta menjawab krisis yang ada, memperkaya
wacana berteologi Injili yang sebenarnya sangat pro lingkungan hidup sekaligus
mencerahkan umat dan memberikan pemahaman yang utuh dalam berteologi. Let’s
go green!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar