Selasa, 21 Juli 2015

KRISIS EKOLOGI DAN SIKAP KRITIS KRISTIANI DITINJAU SECARA TEOLOGIS


Pada saat masih menjadi mahasiswa dulu, saya pernah mendengar khotbah tentang dosa dari teks yang tidak asing bagi kebanyakan orang, Kejadian 3. Dengan berapi-api sang pengkhotbah memaparkan bahwa dampak dosa yang paling hakiki adalah rusaknya hierarki ideal:
Allah –> Manusia –>Ciptaan, menjadi, Ciptaan –> Manusia –> Allah
Allah yang semestinya menjadi puncak dari segala sesuatu digantikan oleh alam dan alam yang semestinya dikuasai oleh manusia kini dijadikan sesembahan manusia. Konsekuensinya, penebusan Kristus adalah penebusan yang bertujuan mengembalikan hierarki ideal tersebut. Manusia harus kembali kepada kodratnya, menjadi penguasa alam (dan bukannya dikuasai alam) dan Allah harus menjadi penguasa manusia.
Terlepas dari berbagai alasan yang dapat kita kemukakan, konsep di atas sebenarnya memiliki side-effect yang kurang baik sebab kesalahan tafsir terhadap teks tersebut dapat membuat kita melihat bahwa manusia adalah makhluk superior, yang berhak melakukan apa saja terhadap alam ciptaan.Kesan inilah yang ditangkap oleh Lynn Towsend White, Jr. (1907-1987)—seorang profesor sejarah abad pertengahan dan pengajar di beberapa universitas ternama seperti Princeton, Stanford dan University of California, Los Angeles—seperti yang ia tuliskan dalam artikelnya yang sangat monumental, “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” (Science 155 [1967] 1203-1207). Menarik untuk disimak, White berkesimpulan bahwa krisis ekologi yang memuncak pada abad 20 ini bukan sekadar disebabkan oleh mencuatnya revolusi sains (abad XVII) dan revolusi teknologi (abad XVIII) di Eropa melainkan karena terjadinya pergeseran konsep relasi antara manusia-alam yang cukup signifikan pada era tersebut. Lebih menarik lagi, White menyatakan bahwa pergeseran tersebut tidak dapat dilepaskan dari agama:
What people do about their ecology depends on what they think about themselves in relation to things around them. Human ecology is deeply conditioned by beliefs about our nature and destiny–that is, by religion.
Dalam perjalanan sejarah, kekristenan akhirnya menjadi “pemenang” di dunia Eropa. Pola pikir dan gaya hidup masyarakat Eropa sampai hari ini harus diakui berakar dari tradisi Kristen yang sangat menyejarah. White mencermati bahwa pertemuan antara dua revolusi besar di Eropa pada abad XVII dan XVIII dengan kekristenan menjadi momentum besar yang mempengaruhi krisis Ekologi saat ini. Kebangkitan sains dan industri yang sudah memperlihatkan dampak buruknya terhadap lingkungan hidup saat itu makin memperoleh katalisatornya lewat doktrin-doktrin Kristen yang sangat mendukung. Menurut White, kekristenan adalah agama yang sangat anthropocentric. Ia mengatakan bahwa berbeda dengan paham dinanisme/animisme dan agama-agama penyembah berhala yang lain (terkecuali, mungkin, Zoroastrianisme), kekristenan memisahkan manusia dari alam lewat konsep “segambar dan serupa dengan Allah.” Orang pada zaman kuno memiliki konsep bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki roh penjaganya masing-masing. Bahkan paham Panteisme mengatakan bahwa segala sesuatu mengandung unsur allah, bahkan allah dan semesta adalah dua unsur yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Kepercayaan kuno ini, terlepas dari nuansa yang bagi kebanyakan masyarakat modern terkesan irasional, ternyata sanggup untuk menahan manusia pada zaman dulu untuk melakukan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Terlepas dari kritiknya yang sangat tajam terhadap teologi Kristen yang menurutnya turut mendorong bibit-bibit pengrusakan lingkungan oleh revolusi industri dan sains, White dengan sangat fair mengatakan bahwa kekristenan adalah kepercayaan yang sangat bercorak dan bahwa implikasinya sangat berbeda tergantung konteks yang berbeda. Yang White maksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa iman Kristen beserta kredo-kredonya sebenarnya sangat kontekstual dan tetap relevan dalam berbagai kondisi zaman. Dan itulah yang membuat White melihat bahwa penyelesaian problem krisis ekologi ini bukanlah dengan, “. . . simply by applying to our problems more science and more technology.” Menurutnya, “Since the roots of our trouble are so largely religious, the remedy must also be essentially religious, whether we call it that or not. We must rethink and refeel our nature and destiny.” Ya, penyelesaian persoalan krisis ekologi bukanlah sekadar dengan membuat undang-undang, melarang penggunaan ini dan itu, hari tanpa penggunaan kendaraan bermotor, dan bentuk-bentuk himbauan sporadis lain tanpa pemahaman terhadap akar permasalahan yang kuat. Sikap dan tindakan manusia terhadap alam dan sekitarnya sangat bergantung kepada penghayatan manusia itu sendiri terhadap alam. Penghayatan berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan dasariah dan kepercayaan-kepercayaan dasariah itu adalah teologi. Dari paparan ini maka kaum intelektual, teolog dan kalangan akademisi Kristen sebenarnya punya tanggung jawab moral yang sangat besar dan seharusnya berdiri pada garis terdepan dalam upaya mengatasi krisis ini.
Tema tentang Ekologi mungkin adalah tema yang kurang begitu lazim dan jarang dikumandangkan dalam khotbah-khotbah dan pembinaan-pembinaan gerejawi. Meskipun demikian penulis merasa perlu mengangkat topik ini sebagai salah satu upaya berperan serta menjawab krisis yang ada, memperkaya wacana berteologi Injili yang sebenarnya sangat pro lingkungan hidup sekaligus mencerahkan umat dan memberikan pemahaman yang utuh dalam berteologi. Let’s go green!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar