Kebangkitan Perempuan Asia
Pergerakan kebangkitan kaum perempuan
di kawasan Asia mulai muncul sekitar dua puluh-an tahun yang lalu. Gerakan itu
berawal dari kesadaran duka nestapa mereka dalam masyarakat. Gerakan yang
kemudian muncul di mana-mana itu melancarkan protes untuk mengusahakan
pembebasan. Kasus ini dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat yang memandang
perbedaan gender. Ada suatu ketidakadilan bagi pihak perempuan dalam
martabatnya. Menurut buku acuan utama yang dipakai sebagai bahan tulisan ini,
terdapat data berita yang sangat exstrim. Sebagai contoh adalah: di China bayi
yang dalam kandungan diketahui berjenis kelamin perempuan banyak yang digugurkan.
Begitu juga di dalam kedudukan sosial. Seorang wanita sering dipandang tidak
memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Contoh kebiasaan lama yang terjadi
adalah ketika wanita sudah tumbuh menjadi seorang gadis, maka diasosiasikan
dalam masyarakat sebagai yang dikuasai laki-laki. Dalam penggolongan upah,
seorang perempuan lebih rendah, bahkan terjadi ketidakadilan dalam
seksualitas[1].
Di India dan China pernah terjadi kesenjangan yang memandang
seorang perempuan tugas utamanya adalah menghasilkan ahli waris. Di sisi lain
tindak kekerasan baik jasmani maupun psikologis tidak pernah luput dari
pengalaman hidup perempuan. Berikut ini kutipan kesaksian dari sekelompok
perempuan Asia yang mengalami penindasan: Kerap kali perempuan menjadi kurban
perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan yang lain. Sebagai bagian dari
kelompok-kelompok yang paling terperas dan tertindas, para perempuan di
industri-industri diperlakukan sabagai tenaga kerja yang murah, penurut dan
dapat diapakan saja. Perempuan-perempuan bagaikan industri seks, yang kerap
kali berkaitan dengan turisme dan pangkalan militer, digunakan sebagai barang
dagangan dan dipandang sebagai orang buangan sosial[2]. Di dalam lingkup
keagamaanpun peranan perempuan juga menjadi minoritas. Sebagai contoh dalam struktur
hirarki, biasanya posisi-posisi yang penting dominasi oleh laki-laki. Pihak
perempuan kerap kali malah dianggap sebagai pihak penggoda. Secara biologis,
perempuan dianggap memiliki halangan ritual murni, karena mengalami siklus
datang bulan. Dalam gambaran dewa-dewa yang cenderung memiliki kedudukan
sebagai yang tinggi, adalah laki-laki. Pemimpin negara maupun kerajaan yang
dipilih biasanya juga laki-laki. Bahkan apabila ada dewi-dewi, mereka ini
bergantung pada dewa-dewa laki-laki sebagai pasangan hidup mereka[3].
Perempuan Menurut Kitab Suci dan Tradisi
Di kalangan perempuan Kristen Asia,
usaha-usaha untuk manghargai kaum perempuan dalam visi dan praksis keagamaan
telah berfokus terutama pada citra Allah, teladan Yesus dan Maria dan
perempuan-perempuan dalam masyarakat[4]. TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.” (Kej 2:18)[5]. Tanpa keadilan bagi kaum perempuan tidak
akan terjadi keadilan bagi semua orang. Kaum perempuan tak boleh ditingalkan
dalam proses pemberdayaan. Manusia harus belajar dari pengalaman kosmis.
Pengalaman kosmis terungkap dalam bahasa laki-laki dan perempuan. Seperti dalam
Kitab Suci digambarkan bahwa manusia sebagai citra Allah, selayaknya pemahaman
panggilan untuk hidup akrab dengan Allah terlealisasi dalam pengakuan
kesederajatan antara laki-laki dan perempuan[6].
Dalam koteks yang lebih luas,
pembebasan kaum perempuan benar-benar merupakan pembebasan sifat keperempuannan
dalam diri semua manusia. Sifat keperempuan dan kelaki-lakian adalah dua unsur
yang saling melengkapi dalam suatu keseluruhan. dari berbagai cara misalnya
dilambangkan sebagai yin dan yang, cinta kasih agape dan kebijaksanaan gnosis,
kontemplasi dan aksi kosmis dan metakosmis. Apa bila kedua unsur itu disatu
padukan dalam suatu kesatuan yang selaras, kita akan dapat beralih dari
memandang perempuan, tubuh, dan bumi sebagai alat dan kemudian memandang
semuanya itu sebagai lambang[7]. Memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun
kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang
disamakan. Akan tetapi, setiap cara diskriminasi dalam hak asaasi pribadi,
entah bersifat sosial, budaya berdasarkan jenis kelamin, suku warna kulit,
kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan karena bertentangan
dengan maksud Allah. (GS 29, KV II)[8].
Keselarasan manusia dengan
ekologi
Dalam permasalahan dengan dunia
global, kaum perempuan maupun laki-laki khususnya di kawasan Asia dipengaruhi
oleh kemerosotan lingkungan. Konsumsi orang-orang kaya menyebabkan masalah bagi
orang-orang miskin. Masalah yang dihadapi adalah maraknya konsumerisme yang
berdampak pada alam. Eksploitasi hutan dan pendirian pabrik-pabrik yang
memproduksi limbah sangat mencemari lingkungan. Demikian juga pada peggunaan
bahan-bahan kimia dalam produk-produk pertanian yang mengacaukan keseimbangan
gizi. Dalam dunia modern, kesejahteraan manusia atau keberhasilan dalam hidup
dilihat dari segi “punya” daripada “ada”. Konsumerisme merupakan orientasi
pokok. Orang dianggap lebih sejahtera jika mempunyai lebih banyak barang untuk
dikonsumsi. Semangat memiliki inilah yang menimbulkan sikap egois.
Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Asia dalam
keprihatinanya terhadap ekologi muncul dalam beberapa tindakan. Misalnya saja
gerakan chipko di India utara yang terkenal. Para perempuan berusaha
menggagalkan penebangan hutan dengan cara mendekap pohon-pohon yang ada di
kawasan Himalaya yang menjadi sasaran penebangan liar. Hal serupa juga terjadi
di beberapa tempat lain bukan pertama-tama untuk kepentingan ekologis, tetapi
untuk membela kehidupan. Contoh lain adalah kasus nelayan tradisional Filipina
yang menjadi kurban karena penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal besar
dengan pukat raksasa. Cara itu tidak saja menghabiskan ikan hingga yang kecil-kecil,
tetapi juga merusak ekosistem karena juga menghancurkan telur-telur ikan. Kaum
perempuan yang biasanya bekerja sebagai penyulam dan memperbaiki jala yang
rusak kehilangan pekerjaan mereka.
Eksploitasi terhadap alam dan perempuan seperti itu menyebabkan
timbulnya dehumanisasi manusia, karena mengakhibatkan timbulnya objektivikasi
dan instrumentalisasi manusia dan tubuh. Pandangan yang ilmiah-teknologis
cenderung bersifat materialistis yang tidak ada gunanya untuk jiwa atau
transendensi. Yang manusiawi dan yang sosial menjadi objek penyelidikan yang
ilmiah. Dalam berbagai situasi yang memprihatinkan seperti itu, maka peran
agama-agama dan tradisi yang menjujung tinggi nilai kemanusiaan dibutuhkan
peran sertanya.
Tradisi India dan Agama-agama di Asia
Tubuh menjadi pengantara untuk
hubungan dunia dengan orang-orang lain. Melalui kehadiran tubuh manusia maka
subtansi itu hadir bagi diri sendiri juga orang lain dalam hubungannya dengan
bumi. Jika dipercaya tubuh berasal dari bumi, maka menghancurkan bumi berarti
menghancurkan tubuh. Yang ideal seharusnya adalah hidup selaras dengan bumi.
Tradisi budaya Dravidia di India, misalya telah menciptakan suatu homologi yang
saksama antara alam dan manusia. Bumi merupakan dasar dan dukungan untuk hidup
mereka bersama, bumi memberikan udara, air dan makanan yang perlu untuk hidup.
Agama Hindhu berbicara tentang cita-cita Lokasamgraha atau pemeliharaan
kelestarian dunia yang harus menjadi tanggung jawab setiap orang. Agama Kristen
berbicara tentang Kristus yang menjadi pengantara baik bagi penciptaan awali
maupun pendamaian segala sesuatu (Ef 1:3-14). Bagi agama-agama asli dan rakyat,
seluruh alam semesta membentuk ikatan dalam suatu arus hidup yang mengalir
terus menerus[9].
Peran agama dalam pelestarian
lingkungan
Paus Yohanes Paulus II menegaskan
berekembangnya kesadaran bahwa perdamaian dunia terancam bukan hanya oleh
perlombaan senjata, berbagai macam konflik dan terus berlangsungya
ketidakadilan antara bangsa melainkan juga oleh kurangnya penghargaan terhadap
alam. Kesadaran ekologis yang baru harus dikembangakan dan dianjurkan dengan
berbagai sistem dan program yang konkrit[10]. Allah menghendaki supaya bumi
beserta isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa sehingga harta
benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang
berpedoman pada keadilan, diiringi cinta kasih.
Pelestarian alam dan lingkungan hidup yang berwawasan teologis
sesungguhnya merupakan usaha untuk memberi tempat dan nilai bagi agama dan
Allah dalam konteks kehidupan dan aktivitas manusia. Juga merupakan refleksi
peranan agama-agama dalam aktivitas pelestarian alam sebagai pengejawantahan
peran serta insan beragama dalam menjaga keutuhan alam ciptaan. Masyarakat yang
beriman dan takwa kepada TuhanYang Maha Esa menyadari bahwa tanggungjawab
menjaga keutuhan dan kelestarian alam ciptaan bukan hanya panggilan sejarah
untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi ataupun kultural yang timbul dari
tindakan semena-mena para perusak alam. Tetapi lebih dari itu, usaha menjaga
keutuhan alam ciptaan atau pelestarian alam dan lingkungan hidup merupakan
panggilan teologis bagi setiap insan beragama[11].
Bagi kita umat Kristen Usaha pembangunan masyarakat,
pengembangan keadilan sosial serta pelestarian alam dan lingkungan hidup bukan
hanya demi peningkatan untuk menghadapi kesenjangan sosial ataupun hambatan
tantangan lainnya. Sebaliknya bahwa keterlibatan dan keprihatinan kita itu
karena kesadaran bahwa semua itu mengandung nilai instrinsik dan kelanjutan
karya penebusan dunia dan manusia seutuhnya. Oleh karena itu teologi
pembangunan dan teologi pelestarian alam dan lingkungan hidup memiliki dasar
Kristologisnya. Bagi kaum beriman, realitas alam semesta dengan serba aneka
potensi sumber dayanya yang senantiasa dihubungkan dengan Allah sebagai dasar
dan sumber dinamika penciptaan dan keselamatan haruslah dimanfaatkan dan
ditanggapi dengan sikap penuh syukur serta tanggungjawab. Hal itu disebabkan
oleh kebenaran bahwa realitas kosmos ini memiliki dimensi keselamatan, baik
historis maupun eskatologis[12].
Oleh: Fr. Tugi SCJ
Daftar Pustaka
Amaladalos, Michael ,
2001, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar
JBanawiratma, J, B,
2004, Agenda Pastoral Transformatif, Kanisius, 2004
Ignatius Suharyo, Mgr
2009, the Chatolic way, Kanisius, Yogyakarta
Tule, LIC, Philipus
1994 Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Nusa Indah
1967, Kitab Suci Katolik, Nusa Indah, Ende Flores,
Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes
2001, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar
JBanawiratma, J, B,
2004, Agenda Pastoral Transformatif, Kanisius, 2004
Ignatius Suharyo, Mgr
2009, the Chatolic way, Kanisius, Yogyakarta
Tule, LIC, Philipus
1994 Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Nusa Indah
1967, Kitab Suci Katolik, Nusa Indah, Ende Flores,
Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes
[1] Bdk Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka
Pelajar, 2001,60
[2] Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka
Pelajar, 2001, 62
[3] Bdk Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka
Pelajar, 2001, 65
[4] Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, pustaka
pelajar, 2001, 73
[5] Kitab Suci Katolik, Nusa Indah, Ende Flores, 1967
[6] Bdk, J.B Banawiratma, Agenda Pastoral Transformatif,
Kanisius, 2004, 60
[7] Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka
Pelajar, 2001, 82
[8] Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 29
[9] Bdk Michael Amaladalos, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka
Pelajar, 2001, 101-103
[10] Mgr. Ignatius Suharyo., the Chatolic way, Kanisius, 2009,
185
[11] Philipus Tule. LIC, Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Nusa
Indah,1994, 98
[12] Bdk. Philipus Tule. LIC, Agama-agama Kerabat Alam Semesta,
Nusa Indah,1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar